Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Modern di Indonesia


A.    Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Modern di Indonesia


Adapun beberapa tokoh pendidikan Islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.     Kyai Haji Ahmad Dahlan (1869 – 1923)
K.H Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 M dengan nama kecilnya Muhammad Darwis, putra dariKH.Abubakar Bin Kyai Sulaiman, Khatib di masjid besar (jami’) Kesulitan Yogyakarta, Ibunya adalah puteri Haji Ibrahim seorang penghulu.[1]
Gebrakan K.H. Ahmad Dahlan dalam sistem pendidikan Indonesia yang pada masa itu masih dikotomik menjadi icon tersendiri bagi Muhammadiyah sebagai perintis sistem pendidikan integralistik. Gagasan K.H. Ahmad Dahlan tersebut menjadi jawaban permasalahan pendidikan atas dua sistem pendidikan pada waktu itu yang sama-sama ekstrim. Sistem yang satu hanya menekankan pada sisi religiusitas sedangkan sistem yang lainnya hanya menekankan pada sisi duniawi[2]. Kedua sistem ini hanya mampu melahirkan manusia “cacat” yang sempit dalam religiusitasnya atau manusia-manusia sekuler yang tak mengenal agama. K.H. Ahmad Dahlan menawarkan konsep baru yang bertolak pada pemahaman hakikat manusia secara utuh.
Pendidikan seyogyanya melahirkan manusia-manusia tangguh yang siap menghadapi problema masa depan. Untuk itulah, K.H. Ahmad Dahlan membuat alternatif baru yaitu dengan memadukan sistem pendidikan pribumi atau pesantren dengan sistem pendidikan kolonial yang sesuai dengan ajaran[3]. Hasilnya, terbentuk sistem pembelajaran yang tidak hanya mencekoki peserta didik dengan satu cabang ilmu melainkan mengombinasikan ilmu umum dan ilmu agama.
2.     Kyai Haji Hasyim Asy’ari (1871-1947)
K.H. Hasyim asy’ari dilahirkan pada tanggal 14 Februari tahun 1981 M di Jombang Jawa Timur, mula-mulai ia belajar agama Islam pada ayahnya sendiri Kyai Asy’ari Kemudian ia belajar ke pondok pesantren Purbalinggo. Kemudian pindah lagi ke Plangitan, Semarang, Madura, dan lain-lain. Maka di bawah pimpinan KH. Ilyas dimasukkan pengetahuan umum ke dalam Madrasah Salafiyah, yaitu:
1)     Membaca dan menulis huruf latin
2)     Mempelajari bahasa Indonesia
3)     Mempelajari ilmu bumi dan sejarah Indonesia
4)     Mempelajari ilmu berhitung
Semuanya itu diajarkan dengan memakai buku-buku huruf  latin.[4]
Kiprah dan perjuangannya yang begitu sentral, utamanya di dalam bidang pendidikan telah menentukan arah pendidikan di tanah air, sebuah pendidikan yang berbasis keislamaan namun tetap sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman (al-muhafazhah alal qadim as-Shalih wal akhdu al-jadid al-aslah)[5]. Demikian juga, apabila kita telaah lebih mendalam, sosok yang sangat kharismatik dan dikenal tak pernah menyerah ini juga memiliki peran yang amat penting dalam pergolakan-perjuangan dan penjemputan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda dan Jepang.
3.     KH Abdul Halim (1887 – 1962)
KH. Abdul Halim lahir di Ciberelang, Majalengka pada tahun 1887 M. Dia adalah pelopor gerakan pembaharuan di daerah Majalenga, Jawa Barat, yang kemudian berkembnag menjadi persyerikatan Ulama, dimulai pada tahun 1911, yang kemudian berubah menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) pada tanggal 5 April 1952 M/9 Rajab 1371 H.[6]
Salah satu pemikiran penting K.H. Abdul Halim,dalam kapasitasnya sebagai ulama, adalah bagaimana membina keselamatan dan kesejahteraan umat melalui perbaikan delapan bidang yang disebut dengan Islah as-Samaniyah, yaitu islah al-aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah at-tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), islah al-ailah (perbaikan bidang keluarga), islah al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah al-mujtama (perbaikan masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan islah al-ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan tolong-menolong)[7].
Secara bertahap, organisasi yang dipimpinnya dapat memperbaiki keadaan masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Melihat kemajuan dan hasil yang telah dicapainya, pemerintah kolonial Belanda mulai menaruh curiga. Secara diam-diam pemerintah kolonial mengutus polisi rahasia (yang disebut Politiek Inlichtingn Dienst/PID) untuk mengawasi pergerakan Abdul Halim dan setiap orang yang dicurigai. Pada tahun 1915 organisasi yang dipimpinnya ini dibubarkan sebab dinilai oleh pemerintah sebagai penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan Cina). Sejak itu Hayatul Qulub secara resmi dibubarkan namun kegiatannya terus berjalan.
Pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin sebagai upaya untuk terus mengembangkan bidang pendidikan. Sistem pendidikan berkelas dengan lama belajar lima tahun[8]. Sekolah ini mula-mula mendapat kritikan dari ulama setempat namun kemudian mendapat sambutan baik. Murid-murid datang bukan hanya dari Majalengka tetapi juga dari Indramayu, Kuningan, Cirebon, dan Tegal. Lulusannya kemudian mendirikan madrasah di tempat asalnya. Untuk menjaga mutu pendidikan, K.H. Abdul Halim mengadakan hubungan dengan Jamiat Khair dan Al-Irsyad di Jakarta[9]. Untuk ini ia menjalin hubungan dengan Jam’iyat Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan. Dengan dorongan dari sahabatnya, HOS. Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam pada waktu itu), pada tahun itu juga ia mendirikan Persyarikatan Ulama. Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917. Pada tahun 1924 daerah operasi organisasi ini sampai ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 terus disebarkan ke seluruh Indonesia[10].
Untuk mendukung organisasi ini, terutama pada sektor keuangan/dana, Abdul Halim mengembangkan usaha bidang pertanian dengan membeli tanah seluas 2,5 ha pada tahun 1927, kemudian mendirikan percetakan pada tahun 1930. Pada tahun 1939 ia mendirikan perusahaan tenun dan beberapa perusahaan lainnya, yang langsung di bawah pengawasannya. Untuk mendukung lajunya perusahaan di atas, kepada para guru diwajibkan menanam saham sesuai dengan kemampuan masing-masing. Abdul Halim juga mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang dikelola oleh persyarikatan wanitanya, Fatimiyah.
Inilah pucak pemikiran K.H. Abdul Halim di bidang pendidikan. Pesantren Santi Asromo dibangun di tempat yang jauh dari keramaian Kota Majalengka. Para santri selain diberi pelajaran agama juga diberi pelajaran umum dan dibekali pendidikan keterampilan seperti bercocok tanam, bertukang kayu, kerajinan tangan, dan lain-lain. Siswa juga wajib tinggal di asrama selama 5 sampai 10 tahun[11]. Pendidikan yang menekankan tiga unsur yaitu akhlak, sosial, dan ekonomi ini ternyata banyak menarik minat masyarakat. Para dermawan pun mengalir memberi dukungan. Santri yang dihasilkan adalah santri lengkap yang memiliki bekal agama, ilmu pengetahuan, dan keterampilan. Sebelumnya juga telah didirikanlah Kweekschool PO untuk mencetak tenaga guru. Pada 1932, nama sekolah diubah menjadi Madrasah Darul Ulum.



[1] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 25.

[2] Khozin, Menggugat Pendidikan Muhammadiyah, (Malang: UMM Press, 2005), hal. 4.

[3] Ibid.,

[4] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh,.....,hal. 26.

[5] Suaidi Asyari, Nalar Politik NU dan Muhammadiyah, (Yogyakarta: LkiS, 2009), hal. 45.
[6] Ibid, hal. 27.

[7] Djohan Effendi, Pembaharuan Tanpa Membongkar Tradisi, (Jakarta: Kompas March 2010), hal. 6.
[8] A. Mujib, Dkk. Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: PT. Diva Pustaka, 2004), hal. 47.

[9] Ibid.,
[10] Ibid., hal. 49.

[11] Ibid., hal. 50.