Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Hakikat Hukuman


BAB II

PERSPEKTIF TEORITIS TENTANG PEMBERIAN HUKUMAN  DALAM PENDIDIKAN ANAK
Hakikat Hukuman


A.    Hakikat Hukuman

Hukuman adalah kata dasar dari kata “hukum” yang berarti peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau orang yang memiliki wewenang dan otoritas”.[1] Dengan demikian, hukuman adalah suatu hal yang ditetapkan atau yang dikenakan kepada orang yang telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan yang telah diberlakukan. 
Dalam dunia pendidikan, dikenal istilah ganjaran yaitu seperti apresiasi dan sanksi, reward and punishment, dan/atau imbalan serta hukuman merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan apalagi dihilangkan dari yang namanya proses mendidik. Bagaimana anak akan menyadari bahwa apa yang dilakukan benar kalau kita tidak pernah memberikan apresiasi atau penghargaan kepadanya, dan bagaimana mengetahui bahwa apa yang dilakukan anak salah kalau kita tidak pernah menegur dan memberi ia hukuman atas perlakuannya yang salah tersebut.
Hukuman adalah suatu yang tidak diinginkan menimpa badan atau jiwa, baik secara kongkrit maupun abstrak, langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan mendorong anak untuk melakukan sesuatu yang baik dan meninggalkan sesuatu yang buruk, untuk mengubah anak ataupun meluruskannya sesuai dengan yang diajarkan syariat[2]. Sekiranya hukuman tidak ada, maka anak akan terus melakukan kesalahan dan tidak menjadi sadar.

Hukuman dalam pendidikan Islam adalah “hukuman yang bertujuan mendidik, bukan hukuman yang berdasarkan balas dendam yang bertujuan menyakiti, atau untuk menegakkan hukum atas pelanggaran yang telah diperbuat”.[3]
Hukuman pukulan dalam pendidikan bukanlah satu-satunya cara untuk mendidik atau membuat jera anak terhadap perilaku yang salah pada diri anak. Oleh karena itu, hukuman hendaknya harus relevan dan sesuai dengan sifat dasar manusia dengan memperhatikan keselamatan individu manusia yang mendapatkan hukuman. Hukuman dan ganjaran kiranya dipergunakan oleh guru untuk meneguhkan atau melemahkan respon-respon khusus tertentu.[4]

Metode hukuman digunakan untuk menekan perilaku-perilaku menyimpang anak, dan hal ini dilakukan harus sesuai dengan imbalan, sedangkan imbalan digunakan untuk memotivasi dan meneguhkan perilaku anak yang benar. Dengan kata lain, hukuman baru boleh diberikan terhadap anak didik apabila imbalan juga pernah diberikan sehingga anak didik tau akan setiap konsekuensi yang akan diterimanya dari sikap dan perilaku mereka. Kedua hal tersebut (hukuman dan imbalan) adalah sebagai metode ganjaran yang dapat dipergunakan  oleh setiap pendidik dalam mendidik anak. Istilah ganjaran = tsawab, terdapat dalam Alquran yang menunjukkan bahwa apa yang diperbuat oleh manusia di dunia, kelak akan mendapat ganjarannya di akhirat. Allah swt berfirman di dalam surat Ali Imran ayat 148:
فَآتَاهُمُ اللّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الآخِرَةِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ) آل عمران :١٤٨(
Artinya: Karena itu Allah memberikan ganjaran kepada mereka di dunia dan di akhirat dengan ganjaran yang baik. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Ali Imran: 148).

Ganjaran dalam ayat tersebut adalah ganjaran yang dijanjikan Allah swt kepada hamba-hambanya yang berbuat ma’ruf maupun yang berbuat munkar, sehingga setiap manusia yang berbuat kebaikan diharapkan agar hanya benar-benar untuk mengharap ridha Allah. Begitu juga halnya dalam pendidikan, pendidikan Islam memandang bahwa ganjaran seperti memberi motivasi terhadap anak yang berprestasi dan berperilaku baik serta memberi hukuman terhadap anak yang melakukan keburukan merupakan suatu hal yang perlu dilakukan oleh setiap pendidik kepada anak didik sebagai rangsangan agar anak terbiasa berperilaku mulia dan terpuji. Hukuman sebagai suatu proses evaluasi sikap dan tingkah laku anak didik dengan cara memberi anak nasehat dan peringatan untuk tahap awalnya. Anak diberikan nasehat dan peringatan agar anak tidak mengulangi perbuatan yang buruk yang pernah dilakukannya, selain itu nasehat dan peringatan juga perlu dilakukan oleh setiap pendidik sebagai teguran terhadap perbuatan yang akan dilakukan oleh anak didik.
Kata lain dari ganjaran yang berupa imbalan dan hukuman dalam pendidikan Islam dikenal juga dengan istilah Targhib dan Tarhib, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-An’am ayat 160 sebagai berikut:
مَن جَاء بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَن جَاء بِالسَّيِّئَةِ فَلاَ يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ) الأنعام: ١٦٠(
Artinya: Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (Q.S. Al-An’am: 160).

Ayat di atas adalah janji Allah terhadap hamba-hambaNya yang berbuat baik dan mematuhi segala perintahNya maka akan mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dan syurga, sedangkan bagi hamba-hambaNya yang mengkhiananti-Nya  atau yang tidak beriman dan bertaqwa kepadanya, maka akan dibalas dengan hukuman yang pedih dan neraka di akhirat nanti. Imbalan atau hukuman disini sesuai dengan tingkat amalan serta tingkat kesalahan serta dosa yang hamba-hambaNya perbuat. 
Dengan demikian, ganjaran berupa imbalan dan hukuman adalah sarana pendidikan yang memiliki sumber yang kuat untuk diterapkan dengan baik dan efektif di dalam proses belajar mengajar. Pemberian hukuman terhadap anak bertujuan untuk perbaikan sikap dan tingkah laku anak, oleh karena itu, pemberian hukuman menurut pendidikan Islam adalah pemberian hukuman terhadap anak yang harus dilaksanakan dengan baik dan mengandung nilai-nilai edukatif, perbaikan, cinta serta kasih sayang di dalam penerapannya.  



[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal. 360.

               [2] Mahmud Al-Khal’awi, Muhammad Said Mursi, Mendidik Anak dengan Cerdas, terj. Arif Rahman, (Solo: Insan Kamil, 2007), hal. 62. 
[3]Hamad Hasan Ruqaith, Sudahkan Anda Mendidik Anak dengan Benar? (Konsep Islam dalam Mendidik Anak), terj. Luqman Abdul Jalal, (DKI Jakarta: Cendekia, 2004), hal. 171. 

[4]Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 221.