Hakikat Kepribadian Anak


A.    Kepribadian Anak           

     
Menurut UU RI No. 20 tahun  2003 tentang Sisdiknas pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdsan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.[1]  
Pengertian kepribadian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara etimologis dan terminologis. Secara etimologi (asal katanya), kepribadian atau personality berasal dari bahasa Latin personare, yang berarti mengeluarkan suara (to sound through). Istilah ini digunakan untuk menunjukkan suara dari percakapan seorang pemain sandiwara melalui topeng (masker) yang dipakainya.[2] Pada mulanya istilah persona itu berarti topeng yang dipakai oleh pemain sandiwara, di mana suara pemain sandiwara itu diproyeksikan. Kemudian kata persona itu berarti pemain sandiwara itu sendiri. Berdasarkan hasil observasi penulis di Raudhatul Athfal Al-Khanza Kota Juang Bireuen bahwa RA tersebut menerapkan kurikulum berbasis karakter untuk membentuk kepribadian pesera didik.[3]
 Berdasarkan wawancara penulis dengan Ibu Agusniati, Kepala Raudhatul Athfal Al-Khanza Kota Juang Bireuen bahwa menurut beliau:
Untuk mewujudkan cita-cita pendidikan karakter dalam kurikulum 2013, salah satu upaya yang bisa dilakukan guru Raudhatul Athfal Al-Khanza Kota Juang Bireuen adalah dengan memaksimalkan fungsi mata pelajaran agama. Pendidikan agama, dipandang sebagai salah satu mata pelajaran yang memiliki beban lebih besar untuk mendidik karakter siswa. Karena posisinya yang merupakan simbol kemuliaan, pendidikan agama harus bisa menanamkan karakter-karakter kemuliaan kepada siswa. Selain itu, tujuan pendidikan agama sama dengan tujuan pendidikan karakter yang digagas oleh pemerintah. Karena pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya.[4]

Dalam peran sebagai transfer nilai, pendidikan diharapkan mampu mentransfer nilai-nilai, norma-norma, dan budi pekerti (akhlakul karimah) yakni proses pembudayaan (enkulturisasi) peserta didik sehingga mereka menjadi warga negara yang memiliki “keadaban” (civility), yang pada gilirannya menjadi pilar bagi pembentukan masyarakat madani, menjadi bangsa yang lebih maju dan beradab. Pembentukan karakter sebagai bagian yang penting dalam proses pendidikan, belum banyak disiapkan secara terencana oleh para pendidik. Menurut Pendapat Ibu Diana,  guru Raudhatul Athfal Al-Khanza Kota Juang Bireuen beliau mengatakan:
Pendidikan agama menjadi simbol pendidikan karakter. Pendidikan agama seharusnya mengambil peran lebih besar dalam pendidikan karakter, karena pada hakekatnya pendidikan agarna itu adalah pendidikan karakter, katakanlah bahwa ia simbol pendidikan karakter yang seharusnya mewamai proses pendidikan secara menyeluruh. Namun kenyataannya seperti uraian di atas, peran pendidikan agama gagal mengawal pendidikan karakter yang seharusnya menjadi peran intinya. Oleh karena itulah maka terlihat sumber masalahnya yaitu keberadaan guru agama yang kurang efektif dalam pendidikan karakter.[5]

Guru Pendidikan Agama Islam harus menjadi model dalam pendidikan karakter. Guru Pendidikan Agama Islam harus  menjadi uswatun hasanah sebagai bentuk pengamalan ajaran akhlaqul-karimah. Dengan suri tauladan yang baik, anak didik akan menirunya dengan baik pula. Secara psikologis, dalam diri manusia ada sifat imitasi qudwah. Bila perilakunya baik, maka imitasipun baik, begitu sebaliknya. Dengan demikian, guru agama merasa terikat secala moral dengan anak didiknya. Guru agama yang demikian menempati komitmen moralnya terhadap fungsi-fungsi keagamaan yang harus diemban olehnya. Pada akhimya, semuanya akan kembali pada dirinya juga.
Berdasarkan wawancara penulis dengan Ibu Agusniati Kepala Raudhatul Athfal Al-Khanza Kota Juang Bireuen bahwa menurut beliau:
Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam meningkatkan derajat dan martabat anak didik di Raudhatul Athfal Al-Khanza Kota Juang Bireuen. Dalam prosesnya sendiri fitrah yang alamiah ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga lingkungan memilki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan prilaku. Oleh karena itu setiap Raudhatul Athfal Al-Khanza Kota Juang Bireuen dan masyarakat harus memiliki pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan dibentuk. Para pemimpin dan tokoh masyarakat juga harus mampu memberikan suri teladan mengenai karakter yang akan dibentuk tersebut.[6]

Akhirnya, Pendidikan Agama Islam diharapkan dapat menjadi landasan moral, spiritual dan motivasi dalam pengembangan bidang-bidang ilmu lainnya, sehingga dapat melahirkan lulusan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian yang utuh dan memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berkebangsaan.  Untuk itu keberadaan guru PAI sebagai pelaku perubahan, pembangun peradaban, dan pembentuk karakter peserta didik menjadi semakin relevan untuk diperdalam justru dalam situasi yang menuntut komitmen dan kesungguhan dari para guru PAI untuk menghayati profesinya sebagai pembentuk karakter bangsa.     


               [1]Afnil Guza, Undang-Undang Sisdiknas, UU RI Nomor 20 Tahun 2003 dan Undang-Undang Guru dan Dosen, UU RI Nomor 14 Tahun 2005, (Jakarta: Asa Mandiri, 2009), hal. 2.

               [2] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hal.
154.
               [3]Hasil Observasi Penulis di Raudhatul Athfal Al-Khanza Kota Juang Bireuen, 16 November 2015.
               [4]Agusniati, Kepala Raudhatul Athfal Al-Khanza Kota Juang Bireuen, Wawancara di RA, 16 November 2015.

               [5] Diana, Guru Raudhatul Athfal Al-Khanza Kota Juang Bireuen, Wawancara di RA, 16 November 2015.
               [6] Agusniati, Kepala Raudhatul Athfal Al-Khanza Kota Juang Bireuen, Wawancara di RA, 17 November 2015.

0 Comments