BAB II
Hakikat
Pendidikan Keluarga Dalam Islam
A. Pengertian dan
Tujuan Pendidikan Keluarga
1.
Pengertian Pendidikan dan Pendidikan
Keluarga
Dalam kamus
umum bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata didik, diberi awalah “pe”
dan akhiran “an”, yang berarti “proses pengubahan sikap dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan”. Sedangkan arti
mendidik itu adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran) mengenai akhlak dan
kecerdasan.[1]
Pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani pedagogie yang
berarti “pendidikan” dan paedagogia yang berarti “pergaulan dengan
anak-anak”. Sementara itu, orang yang tugasnya membimbing dan mendidik dalam
pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri disebut paedagogos. Istilah paedagogos
berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing,
memimpin).[2]
S.A Branata,
berpendapat seperti yang dikutip oleh Alisuf Sabri Pendidikan ialah usaha yang
disengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung, untuk
membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan.[3]
Berpijak dari pendapat di atas, maka
dapat disimpulkan sebagaimana dikutip oleh Alisuf Sabri dalam bukunya ilmu
pendidikan,"pendidikan adalah usaha sadar dari orang dewasa untuk membantu
atau membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak/ peserta didik secara dan
sistematis.[4] Dalam bahasa Arab pendidikan
diistilahkan dengan tarbiyah, istilah ini berarti mengasuh, memelihara,
membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi
hasil-hasil yang sudah matang[5].
Pemahaman
yang lebih rinci mengenai tarbiyah ini harus mengacu kepada substansial yaitu
pemberian pengetahuan, pengalaman dan kepribadian. Karena itu pendidikan Islam harus dibangun dari perpaduan
istilah 'ilm atau 'allama (ilmu, pengajaran). 'adl
(keadilan), 'amal (tindakan), haqq (kebenaran atau ketetapan hubungan
dengan yang benar dan nyata, nuthq (nalar), nafs
(jiwa), qalb (hati), 'aql (pikiran atau intelek), meratib
dan darajat (tatanan hirarkhis), ayat (tanda-tanda atau symbol), tafsir dan ta'wil (penjelasan
dan penerangan), yang secara keseluruhan terkandung dalam istilah adab.[6]
Secara
keseluruhan definisi yang bertemakan
pendidikan keluarga itu mengacu kepada suatu pengertian bahwa yang dimaksud
dengan pendidikan keluarga adalah “upaya membimbing, mengarahkan, dan membina anak-anak yang dilakukan secara sadar dan terencana
agar terbina suatu kepribadian yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran
Islam”[7]. Menurut
Achmadi mendefinisikan pendidikan Islam adalah: Segala usaha untuk memelihara
dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang berada pada
subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (Insan Kamil) sesuai
dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian
muslim.[8]
Dari
beberapa pendapat yang telah diuraikan secara terperinci dapat disimpulkan
bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk dapat membantu,
melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi pengetahuan, pengalaman,
intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai
dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang
dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian
yang utama.
Tujuan ini
secara herarkhis bersifat ideal bahkan universal. Tujuan tersebut dapat dijabarkan pada tingkat yang lebih rendah lagi, menjadi tujuan yang bercorak nasional, berpokok ajaran,
sampai dengan setiap kali melaksanakan kegiatan pendidikan keluarga.[9]
Yang dimaksud
dengan pendidikan keluarga adalah pendidikan yang harus dilaksanakan dalam
keluarga oleh orang tua kepada dirinya sendiri, anggota keluarga yang lain dan
kepada anak-anaknya[10].
Pendidikan keluarga dapat diartikan sebagai tindakan dan upaya yang dilakukan
oleh orang tua sebagai pendidik utama dalam bentuk bantuan, bimbingan,
penyuluhan dan pengajaran kepada dirinya sendiri, anggota keluarga lain dan
kepada anak-anaknya, sesuai dengan potensi mereka masing-masing, dengan jalan
memberikan pengaruh baik melalui pergaulan antar mereka. Sehingga anggota
keluarga dan anak yang bersangkutan kelak dapat hidup mandiri yang bertanggung
jawab dan ia dapat dipertanggung jawabkan dalam lingkungan masyarakatnya sesuai
dengan nilai-nilai budaya yang berlaku dan agama yang dianutnya.
Keluarga
merupakan kesatuan yang terkecil di dalam masyarakat tetapi menempati kedudukan
yang primer dan fundamental dalam kehidupan manusia.[11]
Salah satu fungsi keluarga adalah fungsi religius. Fungsi religius berkaitan
dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan
melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya, mengenai kaidah-kaidah agama
dan perilaku keagamaan[12].
Fungsi ini mengharuskan orang tua sebagai tokoh inti dan panutan dalam keluarga
untuk menciptakan iklim keagamaan dalam kehidupan keluarganya.
Manusia dalam
menuju kedewasaannya memerlukan bermacam-macam proses yamg diperankan oleh
bapak dan ibu dalam lingkungan keluarga. Keluarga merupakan wadah yang pertama
dan dasar bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Pengalaman empiris
membuktikan bahwa institusi lain diluar keluarga tidak dapat menggantikan
seluruhnya peran lembaga bahkan pada institusi non keluarga, seperti play group
sangat mungkin adanya beberapa nilai yang negatif yang berpengaruh jelek bagi
pembentukan dan pendidkan anak terutama pendidikan akhlak. Kesadaran orang tua
akan peran dan tanggung jawabnya selaku pendidik pertama dan utama dalam keluarga
sangat diperlukan. Tanggung jawab orang tua terhadap anak tampil dalam bentuk
yang bermacam-macam. Konteknya dengan tanggung jawab orang tua dalam
pendidikan, maka orang tua adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga.
Bagi anak orang tua adalah model yang harus ditiru dan diteladani. Sebagai
model seharusnya orang tua memberikan contoh yang terbaik bagi anak dalam
keluarga. Sikap dan perilaku orang tua harus mencerminkan akhlak yang mulia.
Oleh karena itu Islam mengajarkan kepada orang tua agar selalu mengajarkan
sesuatu yang baik-baik saja kepada anak mereka.
Dalam ajaran Islam, anak merupakan amanah Allah yang harus
dipertanggungjawabkan. Dalam ruang lingkup keluarga, orang tua bertanggung
jawab terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kesempurnaan pribadi anak menuju
kematangannya. Secara umum, inti dari tanggung jawab itu adalah penyelenggaraan
pendidikan bagi anak-anak di dalam rumah tangga[13].
Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama bagi anak. Karena secara kodrati,
keluarga merupakan absis penentu dalam pengembangan pendidikan anak pada masa
depan. Dalam keluarga terjadi interaksi antara satu dengan lainnya sehingga
terjadi proses transformasi nilai, baik spritual maupun sosio kultural[14].
2. Tujuan
Pendidikan Keluarga
Sementara itu,
tujuan pendidikan keluarga dalam Islam mempunyai tujuan umumnya adalah
menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah, mengingat Islam adalah
risalah samawi yang diturunkan kepada seluruh manusia sejak detik-detik pertama
turunnya Islam.
Di
samping itu secara rinci tujuan pendidikan keluarga
dalam Islam adalah: pertama, untuk membentuk akhlak yang mulia, karena
akhlak inti pendidikan keluarga untuk mencapai akhlak yang sempurna harus
melalui pendidikan. Kedua, Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan
akhirat. Pendidikan keluarga bukan hanya menitikberatkan pada keagamaan saja, atau pada keduniaan saja
tetapi pada kedua-duanya. Ketiga, Persiapan untuk mencari rezeki dan
pemeliharaan segi manfaat atau lebih dikenal dengan prefosionalisme. Tujuan ini adalah menyiapkan anak-anak
dari segi profesionalisme, supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan
keterampilan pekerjaan agar dapat mencari rezeki dalam hidup di samping
memelihara segi kerohanian dan keagamaan. Keempat,
menumbuhkan semangat ilmiyah pada anak-anak dan memuaskan keingintahuan (curiosity)
dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri. [15]
Secara psikologi tujuan pendidikan keluarga dalam Islam adalah:
Pertama, Pendidikan
akal dan persiapan pikiran, Allah menyuruh manusia untuk merenungkan kejadian
langit dan bumi agar dapat beriman kepada Allah. Kedua, Menumbuhkan potensi-potensi dan bakat-bakat terutama
pada manusia karena Islam adalah agama fitrah sebab ajarannya tidak asing dari
tabi'at manusia, bahkan ia adalah fitrah yang manusia diciptakan sesuai
dengannya. Ketiga, Menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi generasi muda dan mendidik mereka
sebaik-baiknya, baik lelaki maupun perempuan. Keempat, Berusaha untuk menyeimbangkan segala
potensi-potensi dan bakat-bakat manusia.[16]
Tujuan
strategis ini, sesuai dengan firman Allah dalam surat at-Taqwir ayat 27 sebagai
berikut:
اِنْ
هُوَ اِلاَّ ذِكْرٌ لْلعَالَمِيْنَ (التكوير: ٢٧)
Artinya: al-Qur'an tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta
alam. (Qs. at-Takwir: 27).
Berdasarkan
gambaran di atas dapat dipahami, bahwa dalam Al-Qur'an tujuan pendidikan keluarga
adalah: pertama, mengarahkan
manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya,
yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengelola bumi sesuai dengan
kehendak Tuhan. Kedua, mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan
tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada
Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan. Ketiga,
membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki
ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan untuk mendukung
tugas pengabdian dan kekhalifahan. Keempat, mengarahkan manusia agar berakhlak
mulia, sehingga tidak menyalahkan fungsi kekahlifahannya. Kelima,
mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Bahkan sebelum
turun ayat ini keharusan da'wah merupakan tugas untuk memperingatkan seluruh
manusia terhadap kufur dan syirik serta menyuruh mereka supaya mengagungkan dan membesarkan asma Allah, dengan
meneladani Muhammad sebagai rasul.[17]
Usaha
pendidikan selalu bertujuan dalam lingkup kehidupan yang bernilai dan bermakna
dalam kerangka sesuatu yang “ideal” atau “maksimal” sesuai dengan kemampuan
anggota keluarga termasuk anak dalam keluarga itu. Dalam tujuan pendidikan
biasanya terkandung tiga aspek kehidupan manusia dalam kaitannnya dengan
kehidupan di dalam lingkungan masyarakatnya, yaitu aspek kehidupan pribadi,
sosial dan moral.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa yang menjadi tujuan pendidikan dalam
keluarga, ialah Anak dan anggota keluarga dapat tumbuh dan berkembang
semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya untuk menjadi seseorang yang
mandiri dalam masyarakatnya dan dapat menjadi insan produktif bagi dirinya
sendiri dan lingkungannya itu[18].
Kemudian setiap
anggota keluarga berkembang menjadi orang dewasa yang mengerti tindak budaya
bangsanya dan menjadi seorang yang bertaqwa sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya. Keluarga adalah salah satu mata rantai kehidupan yang paling
esensial dalam sejarah perjalanan hidup manusia. Rumahku adalah surgaku, adalah
sebuah ungkapan yang paling tepat tentang bangunan keluarga ideal. Untuk
membangun keluarga yang ideal, mawaddah warrahmah dan sakinah haruslah
dilandasi fondasi yang kokoh berupa iman, kelengkapan bangunan dengan Islam,
dan pengisian ruang kehidupannya dengan ihsan, tanpa mengurangi tuntutan kebutuhan
hidup manusia yang bersifat keduniaan.
Keluarga
sebagai pranata sosial pertama dan utama, mempunyai arti paling strategis dalam
mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan oleh anak yang sedang
mencari makna kehidupannya. Meskipun diakui bahwa keluarga bukan merupakan
satu-satunya pranata yang menata kehidupan anak, karena di samping keluarga
masih banyak pranata sosial lainnya yang secara kontributif mempunyai andil
dalam pembentukan kepribadian. Dengan kata lain, pranata keluarga adalah titik
awal keberangkatan, sekaligus sebagai modal awal perjalanan hidup anak yang
kemudian dilengkapi dengan rambu-rambu perjalanan yang digariskan pranata
sosial lainnya di lingkungan pergaulan sehari-hari.
Lingkungan
keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga
inilah anak pertama-tama mendapat didikan dan bimbingan. Juga dikatakan
lingkungan yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah didalam
keluarga.Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak
dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan.
B.
Ruang Lingkup Pendidikan Keluarga
Pendidikan keluarga
merupakan salah satu bentuk pendidikan agama Islam yang
diajarkan untuk memahami, menghayati, dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Pendidikan keluarga ini termasuk salah satu pendidikan terpenting
dalam mengembangkan wawasan keagamaan anak, karena dengan memberikan pendidikan
keluarga, maka anak-anak dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan langsung
dengan pengabdian manusia kepada Khaliknya.
Oleh karena itu, secara garis besar, pendidikan keluarga
mempunyai ruang lingkup sebagai berikut:
a. Hubungan
manusia dengan Allah Swt.
Hubungan vertikal antara manusia
dengan Khaliknya mencakup dari segi aqidah yang meliputi: iman kepada Allah,
iman kepada Malaikat-Malaikat-Nya, iman kepada Kitab-Kitab-Nya, iman kepada Rasul-Rasul-Nya,
iman kepada Hari Akhir, dan iman kepada Qadha Qadar-Nya.[19]
b. Hubungan
manusia dengan manusia.
Materi yang diberikan dalam
pendidikan keluarga meliputi: akhlak dalam pergaulan hidup sesama manusia,
kewajiban membiasakan berakhlak yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain,
serta menjauhi akhlak yang buruk.[20]
c. Hubungan
manusia dengan alam sekitarnya.
Materi pendidikan keluarga yang
berhubungan dengan hubungan manusia dengan alam sekitar meliputi akhlak manusia
terhadap alam lingkungannya, baik lingkungan dalam arti luas, maupun makhluk hidup selain manusia, yaitu binatang
dan tumbuh-tumbuhan.[21]
Proses pendidikan dalam keluarga
menurut Islam mempunyai fungsi dan peranannya yang amat luas, baik di dalam
tujuan pokok maupun di dalam tujuan sementara. Karena hal tersebut menyangkut
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. sudah sejak awal menjadi ciri dan unsur
pokok umat manusia.
Iman dapat diartikan dengan “keyakinan
yang mantap akan adanya keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, syari’at serta
keputusan-Nya, Maha Pencipta segalanya Dialah satu-satunya Tuhan yang berhak
disembah dengan sebenarnya, tiada Tuhan selain Dia”.[22] Keyakinan yang
teguh dan mantap terhadap Allah, kemudian dijabarkan kepada rukun-rukun iman
yang lain, yaitu beriman kepada Malaikat, Kitab-Kitab (samawi), para Rasul Alaihimussalam,
iman kepada adanya Hari Kiamat serta Qadha dan Qadar Allah, yang kemudian
membentuk aqidah Islamiah yang kuat dan mantap didalam setiap muslim.
Akan tetapi konsep iman yang
dibicarakan dalam bacaan pada umumnya mengacu pada masalah berbakti kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Menurut Mahmud Syaltut, yang dimaksud
dengan keimanan adalah “mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi Saw.
dan para sahabatnya; disebut “taqwa” karena mereka teguh mengikuti sunnah Nabi Saw.
disebut muslimin, karena mereke berpegang di atas al-haq (kebenaran),
tidak berselisih dalam agama, mereka terkumpul pada para imam al-haq,
dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama”.[23]
Karena itu mengikuti sunnah Rasulullah
Saw. maka mereka disebut dengan ahlul hadits, ahlul autsar, ahlul ‘ittiba’,
thaifah al-mansurah (kelompok yang dimenangkan), dan firqah an-najah
(golongan yang selamat).[24] Oleh karena
itu, mempelajari aqidah akhlak merupakan suatu kewajiban bagi kaum muslimin
yang hendak beriman secara teguh kepada Allah Swt.
Demikian juga dengan akhlak sebagian
dari pelajaran pokok yang diajarkan dalam aqidah akhlak menyangkut
masalah-masalah akhlak dan moralitas dengan mengangkat cerita-cerita kesabaran
dan ketabahan Nabi Saw. dalam menghadapi segala macam cobaan, maka dapatlah
diketahui pembinaan akhlak dan moralitas merupakan hal yang sangat diutamakan
disetiap masyarakat sejak dahulu sampai sekarang, terutama dalam upaya
pembinaan manusia seutuhnya dan pembentukan sumber daya manusia yang
berkualitas.
Akan tetapi penekanan terhadap
pembentukan akhlak dan moralitas di dalam masyarakat tidak hanya bersifat
teoritis, yakni memahami dan menguasai ajaran-ajaran akhlak dan moral yang
terdapat di dalam kitab-kitab akhlak dan tasawuf, tetapi lebih diutamakan
aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengamalkan dan menjalankan apa
saja yang telah diketahuinya itu sehingga menjadi kebisaaan yang mewarnai sikap
dan prilakunya. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh sikap dan prilaku
masyarakat intelektual.
Namun, penerapan akhlak dan moralitas
yang dipaparkan di dalam pendidikan keluarga pada umumnya lebih mengarah kepada
kesabaran dan ketabahan yang erat hubungannya dengan konsep hidup wara’ yang
dimanifestasikan dengan hidup tenggang rasa, khusyu’, tawadhu’, sabar
dan lain sebagainya.
Wara’ adalah konsep hidup yang dipraktekkan oleh Rasulullah
Saw. dengan menerima apa yang diberikan Allah Swt. dengan mensyukuri segala
nikmat yang diberikan-Nya. Dengan
sikap wara’ tersebut, maka manusia akan dapat mengambil manfaat yang besar
dalam kehidupannya, sebab wara’ akan menuntun manusia untuk hidup dalam keadaan
selalu bersyukur.[25]
Akhlak al-karimah
merupakan sarana untuk mencapai kesuksesan dunia dan akhirat, dengan akhlak
pula seseorang akan diridhai oleh Allah Swt. dicintai oleh keluarga dan manusia
pada umumnya. Ketentraman dan kerukunan akan diraih manakala
setiap individu memiliki akhlak seperti yang dicontohkan Rasulullah Saw.
Dalam Al-Qur’an
Allah Swt. berfirman sebagai berikut:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ
كَثِيراً﴿الأحزاب: ٢١﴾
Artinya: Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.(Qs. Al – Ahzab: 21 )
Dalam ayat diatas, Allah Swt. Telah menghiasi pribadi Rasulullah Saw dengan
kepribadian yang mulia yaitu kepribadian yang dapat membawa manusia kepada
kebahagian dunia dan akhirat. Nabi menjadikan sifat lemah lembut sebagai
salah satu faktor keberhasilan dalam pendidikan. Sifat lemah lembut lebih
diperlukan lagi pada saat terjadi kesalahan yang tidak disengaja. Kadang,
ketika seseorang berbuat salah kepada kita, kita merasa kesal sehingga emosi
kita tak terkendali, kita tidak bisa bersifat lembut dan cenderung bersifat
kasar.
Bila dicermati
secara historis pendidikan di zaman Rasulullah Saw. dapat dipahami bahwa
salah satu faktor terpenting yang membawa beliau kepada keberhasilan adalah
keteladanan (uswah).[26]
Rasulullah Saw. di dalam mendidik lebih banyak memberikan keteladanan kepada
umatnya. Karena itulah, keteladanan dikatakan sebagai metode
yang sangat efektif dalam mencapai keberhasilan pendidikan. Sementara itu Nabi Muhammad Saw. itu sendiri diutus oleh Allah Swt. bertujuan untuk
menyempurnakan akhlak manusia yang pada masa itu telah jauh merosot melebihi
hewan.
Kunci keberhasilan pendidikan dalam
keluargasebenarnya terletak pada pendidikan rohani dengan artian
keagamaanseseorang. Beberapa hal yang memegang peranan penting dalam membentuk pandangan
hidup seseorang meliputi pembinaan akidah, akhlak, keilmuan dan kreativitas
yang mereka miliki.
Sedangkan pendidikan dalam keluarga itu sendiri secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: Pertama, Pembinaan
akidah dan akhlak. Kedua, Pembinaan intelektual. Ketiga, Pembinaan
kepribadian dan sosial
C.
Bentuk-Bentuk
Pendidikan Keluarga
Ajaran yang dibawakan oleh Nabi-Nabi sejak
awal hingga lahirnya agama Islam, selalu menjaga martabat kemanusiaan agar
tidak mengalami penurunan yang mengakibatkan menyamai martabat binatang. Tetapi
apa yang dikhawatirkan oleh Nabi-Nabi, betul-betul terjadi di kalangan manusia,
di mana mereka saling merusak dirinya dengan berbagai macam kedhaliman bahkan Nabinya
juga dimusuhi, dengan alasan bahwa dialah yang menghalang-halangi kebebasan
mereka melakukan hal-hal yang dikehendakinya.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ (الذرية: 56)
Artinya: Dan tidak Aku
menciptakan jin dan manusia melainkan mereka hanyalah untuk menyembah-Ku (Qs. adz-Dzariyat: 56).
Dilihat dari seruan Nabi dalam
Al-Qur'an yang selalu mengajak umatnya menyembah Allah, karena keadaannya
manusia saat itu sudah terlalu sesat dalam kemusyrikan, bahkan sudah terlampau
jauh dari kedudukan manusia sebagai hamba Allah, sehingga makin bergeser dari
kedudukannya sebagai khalifah di bumi ini, yang seharusnya bertugas untuk
menyembah-Nya, serta untuk memakmurkan dunia beserta seluruh penghuninya. Oleh
karena itu, untuk mengetahui pendidikan keluarga dalam Islam, maka perlu
diuraikan bahwa ada tiga macam sendi Islam yang tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan lainnya sehingga kualitas seorang muslim selalu dapat diukur dengan
pelaksanaannya terhadap ketiga macam sendi tersebut, yang mencakup:
1.
Pendidikan aqidah
Pengertian Aqidah secara bahasa berarti
sesuatu yang mengikat.[27]
Pada keyakinan manusia adalah suatu keyakinan yang mengikat hatinya dari segala
keraguan. Aqidah menurut terminologi syara' (agama) yaitu keimanan kepada
Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Para Rasul, Hari Akhirat, dan keimanan
kepada takdir Allah baik dan buruknya. Ini disebut Rukun Iman.[28]
Aqidah adalah keyakinan hati atas
sesuatu. Kata ‘aqidah’ tersebut dapat digunakan untuk ajaran yang terdapat
dalam Islam, dan dapat pula digunakan untuk ajaran lain di luar Islam. Sehingga
ada istilah aqidah Islam, aqidah nasrani; ada aqidah yang benar atau lurus dan
ada aqidah yang sesat atau menyimpang.[29]
Dalam ajaran Islam, aqidah Islam (al-aqidah
al-Islamiyah) merupakan keyakinan atas sesuatu yang terdapat dalam apa yang
disebut dengan rukun iman, yaitu keyakinan kepada Allah, Malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari Akhir, serta Taqdir baik dan buruk.[30]
Yang meliputi enam macam rukun iman,
dengan kewajiban beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya,
hari Kiamat-Nya, dan Qadar baik serta Qadar buruk yang telah ditentukan-Nya. Pendidikan
sebagai inti dalam kehidupan, tanpa pendidikan potensi yang dimiliki oleh
seorang manusia tak akan dapat teroptimalkan dengan baik. Begitu banyak orang
tua muslim menaruh perhatian terhadap upaya penjagaan identitas keislaman
anak-anak mereka, lalai akan pentingnya mendidik anak sesuai Al-Qur’an dan
Sunnah merupakan akar dari segala persoalan.
Pernyataan tersebut mengindikasikan
perlunya upaya dari orang tua dalam mendidik anak-anaknya agar mampu
mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh anak-anaknya. Mendidik anak-anak
sesuai Al-Qur’an dan Sunnah perlu kerjasama. Kedua orang tua harus meluangkan waktu mereka dan
ikut serta secara aktif mengajar anak-anak mereka. Adalah tugas orang tua untuk
mengajarkan kepada anak-anak mereka sejak dini mengenai konsep tentang Allah
Swt. tentang tauhid
(keesaan Allah) dan tentang syirik (menyekutukan Allah).
Jika berbicara tentang pendidikan agama
dalam keluarga, maka lentu tidak terlepas dari aspek-aspek pendidikan
agama itu sendiri, yaitu aspek akidah, ibadah dan akhlak. Akidah adalah dasar,
fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan,
harus semakin kokoh
fondasi yang dibuat, kalau fondasinya lemah maka bangunan akan cepat runtuh.
Seseorang yang memiliki akidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan
tertib dan memiliki akhlak yang di lihat oleh anak adalah lingkungan
keluarga. Jika lingkungan keluarganya baik, maka akan tumbuhlah generasi yang
baik pula, dan sebaliknya, jika lingkungan keluarga tidak baik, maka akan
tumbuh generasi yang tidak baik pula. Dalam kenyataan yang ada, banyak
keluarga-keluarga muslim yang gagal dalam mengasuh dan mendidik anak yang
menyebabkan anak gagal dalam kehidupannya kelak, bahkan lahir generasi yang kurang
memperhatikan ajaran agama. Hal yang demikian terjadi mungkin disebabkan
keluarga yang kurang menghayati tuntunan agama yang berkaitan dengan masalah keluarga
dan pendidikan yang dapat dijadikan sebagai pengaruh bagi setiap
keluarga muslim. Dan sebagai keluarga muslim yang meyakini adanya tuntunan dari Allah
dan Rasul-Nya dalam setiap aspek kehidupan tanpa kecuali tuntunan yang
berkaitan dengan pendidikan keluarga.
Selain itu, tauhid uluhiyah sebagai
landasan tujuan setiap amal kita, karena Allah Swt.-lah yang kita
sembah. Contoh-contoh kemusyrikan yang timbul karena pengingkaran atau
ketidakfahaman terhadap tauhid rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah.
Masa usia dini
merupakan masa keemasan (golsen age) bagi perkembangan intelektual
seorang manusia. Masa usia dini merupakan fase dasar untuk tumbuhnya
kemandirian, belajar untuk berpartisipasi, kreatif, imajinatif dan mampu
berinteraksi. Hal ini senada dengan ungkapan bahwa perkembangn intelegensi,
kepribadian dan perilaku sosial pada manusia terjadi paling cepat pada usia
dini, bahwa separuh dari semua potensi intelektual sudah terjadi pada umur
empat tahun. Oleh karena itu, pendidikan dalam keluarga sebagai pendidikan yang
pertama dan utama bagi perkembangan seorang anak, sebab keluarga merupakan
wahana yang pertama untuk seorang anak dalam memperoleh keyakinan agama, nilai,
moral, pengetahuan dan keterampilan, yang dapat dijadikan patokan bagi anak
dalam berinteraksi dengan lingkungannya.[31]
Seorang ibu adalah orang terdekat bagi
anaknya dan tiap anak mungkin memiliki gaya belajar berbeda. Meski begitu, tiap
anak tetap mampu berprestasi dengan ditunjang sarana belajar yang sesuai
kebutuhan. Akan tetapi dalam hal mendidik anak ayah pun memiliki peranan
penting dalam menyempurnakan proses pendidikan. Karena orang tua harus berusaha
memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya, agar kelak ia menjadi
makhluk yang paripurna. Lingkungan keluarga yang paling banyak mempengaruhi kondisi
psikologis dan spiritual anak. Terdapat beberapa alternatif dalam mengenalkan
Islam, baik dengan nyanyian dan cerita.
2.
Pendidikan syari’ah
Secara etimologis, kata syariat, (dalam
bahasa Arab, aslinya, syarî’ah/ شريعة) berasal dari kata syara’a ( شرع) yang
berarti jalan ke tempat keluarnya air untuk minum atau tempat lalu air di
sungai.[32]
Dalam perkembangannya, kata syari’ah digunakan orang Arab untuk konotasi jalan
lurus ( الطريقة المستقيمة ). Syariat adalah ajaran islam yang membicarakan amal manusia
baik sebagai makluk ciptaan Allah maupun hamba Allah. Terkait dengan susunan
tertib Syari’at.[33]
Yang meliputi pengabdian hamba terhadap
Tuhan-Nya, yang dapat dilihat pada rukun Islam yang lima, dengan kewajiban
mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
berpuasa di bulan ramadhan, dan menunaikan ibadah haji di Baitullah. Dan muamalah juga termasuk masalah
syari’ah yang meliputi perkawinan, pewarisan, hubungan perkonomian, masalah
ketatanegaraan, perlindungan hak-hak dan kewajiban manusia dan sebagainya.
Pendidikan keimanan juga dapat
diartikan mendidik anak-anak untuk melaksanakan ibadah
dengan menyelami spiritnya, dan bukan dengan sekedar formalitas pelaksanaannya
semata. Bukan pula
dengan menakut-nakuti atau
memaksa mereka, melainkan dengan menguatkan perasaan diawasi Allah Swt. Takut
dan cinta kepadaNya didalam diri anak sejak usia dini.[34]
Rumah tangga muslimah yang merupakan
lingkup terkecil dari bangunan masyarakat Islam adalah pondasi utama yang
sangat menentukan keberhasilan dakwah Islam. Karena dakwah secara langsung
maupun tidak langsung dimulai dari lingkup keluarga. Allah berfirman dalam surat At-tahrim
ayat 6:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا
أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ) التحريم:٦(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api Neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.( Qs. At- tahrim : 6 )
Menafsirkan firman Allah ‘Peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api Neraka, Ali bin Abi Thalib mengatakan Didiklah dan ajarilah mereka
lakukan keta’atan kepada Allah jauhi kemaksiatan kepadaNya dan perintahkan
keluargamu untuk senantiasa berdzikir niscaya Allah menyelamatkan kalian dari
api Neraka’. Seorang ummi muslimah adalah orang yang paling banyak diam di
rumah dan bergaul dengan anak-anak mereka. Maka berkaitan dengan tanggung jawab
ini seorang ummi muslimah mempunyai peran khusus.
Permasalahannya adalah bagaimana caranya agar seorang ummi
benar-benar berfungsi sebagai madrasah bagi anak-anak mereka? Jawabnya tentu
dengan mempersiapkan mereka dengan ilmu syar’i yang akan mereka amalkan serta
mengajak orang lain untuk mengamalkannya kemudian sabar dalam melaksanakannya.
Untuk itu tiap ummi muslimah harus mem-persiapkan dirinya dengan sebaik-baiknya
terutama dalam memberikan tarbiyah imaniyah kepada anak dan keluarga pada
umumnya.
Memilih pasangan hidup sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Artinya tanggung jawab ini sudah dimulai ketika seorang muslim/muslimah
beranjak membangun kehidupan baru. Sebuah rumah tangga yang dibangun di
atas kaidah yang benar dalam memilih pasangan hidup akan membantu terwujudnya
kehidupan yang selamat dan bahagia dengan izin Allah Swt. Karena itu raihlah
keberuntungan itu dengan menikahi wanita yang baik agamanya. Mengingat Allah
dalam tiap keadaan.
Mendo’akan kebaikan untuk anak sebelum
mereka dilahirkan. Dan hendaklah beberapa saat setelah kelahiran anak sang ummi
mengenalkan kalimat tauhid melalui adzan pada telinga sang bayi. Rasulullah
mencontohkan hal ini sehingga kalimat yang mengandung keagungan Allah inilah
sebagai hal pertama yang ia dengar.
Seorang anak
tanpa diperintah ataupun dilarang akan menirukan segala ucapan dan gerakan sang
ummi. Seorang anak kadang kita lihat menirukan gerakan orang tuanya dalam
shalat duduk ruku’ dan sujud. Juga dia selalu berusaha mengulangi ucapan-ucapan
yang ia dengar. Dan ini terjadi di saat usia mereka masih kurang dari tiga
tahun maka ummi-lah yang harus pandai-pandai menjadi contoh langsung bagi
anak-anak mereka.[35]
Sebagaimana kita ketahui bahwa tauhid
merupakan asas pokok dalam beribadah kepada Allah maka sudah selayaknyalah
sedini mungkin kita mengenalkan kepada anak tentang keesaan Allah rububiyah-Nya uluhiyah-Nya
serta asma’ dan sifatNya hingga mereka mampu beribadah kepada Allah sesuai
dengan syari’at yang dikehendakiNya. Misalnya kita jelaskan tentang
konsekuensi-konsekuensi tauhid lewat kisah-kisah atau kita berikan
contoh-contoh yang bisa membawa anak memikirkan tentang makhluk-makhluk Allah
yang menunjukkan keesaanNya. Hal itu misalnya dilakukan dengan melihat alam
sekitar sehingga secara bertahap akan tumbuh Iman mereka kepada Allah dengan
dalil dan petunjuk.
Melatih anak-anak dengan
latihan-latihan ibadah seperti shalat shiyam shadaqah serta membiasakan mereka
dengan do’a-do’a yang masyru’ dalam tiap keadaan sehing-ga tumbuh iman dan
tawakkal mereka kepada Allah. Mengajarkan kepada anak-anak tentang sejarah Nabi
untuk diteladani. Ini perkara pen-ting yang harus diketahui tiap muslim. Lalu
hendaknya dilanjuntukan dengan sirah para sahabat dan tabi’in. Karena
Rasulullah serta para tabi’in adalah teladan setiap muslim.
Memilihkan tempat-tempat dan
teman-teman yang membantu mereka memahami dien. Misalkan mengikutsertakan anak
dalam ta’lim-ta’lim atau untuk menghafalkan surah-surah Al-Qur’anul Karim
sesuai dengan kemampuan mereka. Dan hendaknya kita menjauhkan anak dari
lingkungan orang yang bisa merusak dien serta aqidahnya. Karena itu seorang
ummi harus bersungguh-sungguh di dalam mengontrol dan mengawasi pergaulan
anak-anak mereka.
3.
Pendidikan akhlak
Khuluq dalam bahasa arab artinya adalah
adab atau etika yang mengendalikan seseorang dalam bersikap dan bertindak[36].
Adapun tabiat
atau perangai yang memang sudah ada pada masing-masing orang disebut watak, [37]sedangkan
akhlak adalah perangai atau sikap yang dapat dibina dan diciptakan dalam diri
masing-masing pribadi orang tua sebagai pendidik pertama bagi anak haruslah berusaha
keras untuk membimbing dan menjadikan perangai atau sikap yang baik sebagai
watak anak-anak mereka.[38]
Menurut
pendapat para ahli jiwa mengatakan bahwa yang mengendalikan kelakuan tindakan
seseorang adalah kepribadiannya.[39]
Yang
meliputi hubungan baik terhadap Allah Swt, terhadap sesama manusia serta
terhadap seluruh makhluk di dunia ini.[40] Anak sejak dini
membutuhkan pembinaan moral, sikap dan perilaku agar nantinya tidak terseret
arus yang menyesatkan. Memberikan pembinaan akhlak dan berusaha untuk
menumbuhkan keinginan untuk melakukan kebajikan dalam hidup seseorang memang
diperlukan dalam pendidikan agama, sebab untuk mencapai nilai-nilai kebajikan
itu sendiri adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan pendidikan akhlak yang
kedudukannya sangat mulia bagi umat Islam.
Akhlak merupakan cerminan kepribadian,
juga merupakan benteng yang dapat menahan masuknya faham-faham atau
ajaran-ajaran yang tidak baik dalam kehidupan modern. Terbinanya akhlak
merupakan suatu jalan untuk melakukan kebajikan, sehingga menyadari akan
kewajibannya.[41]
Setiap individu mempunyai pendapat
dan pandangan yang berbeda-beda tentang suatu hal. Semua kembali
kepada bagaimana cara dan dari sudut mana ia menilai. Seseorang dapat menilai
dan memberikan pendapat dan pandangan pada hal-hal yang ia ketahui. Begitu pula
dengan pendidikan agama, akan tetapi mereka memiliki perbedaan pendapat tentang
pendidikan agama, hal itu dapat terlihat dari bagaimana cara tingkah laku dan
mendidik keluarga. Sebagian mereka khususnya para orang tua berpendapat bahwa
pendidikan agama penting bagi keluarganya. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa
pendidikan agama tidak penting bagi keluarganya.
Orang tua yang berpendapat bahwa
pendidikan agama penting bagi keluarganya, ia akan bersikap positif terhadap
agama. Sikap positif ini akan terlihat dari tingkah laku sehari-hari, apakah ia
mengamalkan ajaran-ajaran agama dan bagaimana ia mendidik keluarganya. Begitu
pula sebaliknya orang tua yang berpendapat bahwa pendidikan agama tidak penting
bagi keluarganya ia akan bersikap negatif terhadap agama dan cenderung
bertingkah laku, berfikir dan cara mendidik keluarganya tidak sesuai dengan
syariat agama.
Banyak metode yang dilakukan oleh orang tua dalam
melaksanakan pembinaan akhlak anak. Pertama-pertama harus dimulai dari orang
tua sebagai pendidik ia harus berusaha untuk memberikan contoh yang baik kepada
anak, baik dalam perbuatan maupun perkataan. Membiasakan anak untuk melakukan
sesuatu yang sesuai dengan syariat agama. Melatih mereka untuk melaksanakan
puasa Ramadhan secara bertahap, kemudian orang tua dapat mengajarkan bagaimana
bertingkah laku dan berbicara dengan orang yang lebih tua.
Memperhatikan pergaulan anak, karena lingkungan juga dapat
mempengaruhi perkembangan akhlak anak. Banyak juga orang tua yang mengalami
kesulitan dalam menjalankan pembinaan akhlak anak. Mereka sudah berusaha keras
untuk bertingkah laku dan memberikan contoh yang benar, sesuai dengan
norma-norma agama, menyekolahkan ke sekolah-sekolah agama. Namun mereka
berakhlak tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, bahkan apabila mereka
memberikan peringatan atas kesalahan anak-anaknya, si anak akan mengabaikan
peringatan tersebut. Namun sebagian orang tua ada yang melalaikan kepentingan
pembinaan akhlak ataupun budi pekerti anak-anak mereka, dan menganggap sepele
hal tersebut.
Berdasarkan keterangan di atas, maka
dapat pahami bahwa pendidikan keluarga merupakan suatu hal yang sentral dalam
kehidupan manusia yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Hanya manusialah yang
dituntut untuk berakhlak mulia di antara makhluk ciptaan Allah Swt. lainnya. Hal ini
dituntut dari manusia, karena ia di samping diciptakan dalam bentuk dan rupanya
yang terindah, juga diberikan akal untuk memilih, menilai dan membandingkan
antara baik, buruk atau benar dan salah dalam kehidupannya.
Hal tersebut sesuai dengan hadits
Rasulullah Saw. sebagai berikut:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ واليومِ الآخِرِ
فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ (رواه البخارى)[42]
Artinya: Dari Aisyah ra. Berkata Rasulullah Saw.
bahwa: iapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah
menghormati tetangganya. (HR. Al-Bukhari)
Berkenaan dengan hadits tersebut di
atas, maka dapat dipahami bahwa akhlak yang mulia bertetangga yang baik itu
akan mendatangkan kemakmuran. Hal tersebut dalam hadits ini secara rasio dapat
diterima, karena akhlak yang baik akan mendapatkan banyak kawan dan disukai
orang sehingga semua kesulitan dapat dipecahkan. Berdasarkan uraian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pendidikan keluarga sangat penting dalam kehidupan umat
manusia, karena pendidikan keluarga yang berhubungan dengan akhlak merupakan
salah satu pengetahuan yang mengatur secara langsung hubungan manusia dengan
Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya.
Keluarga
mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat
Islam maupun non-Islam. Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang
pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang
amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama
dalam kehidupanya (usia pra-sekolah). Sebab pada masa tersebut apa yang
ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau
berubah. Dari sini,
keluarga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat. Karena keluarga
merupakan batu pondasi bangunan masyarakat dan tempat pembinaan pertama untuk
mencetak dan mempersiapkan personil-personilnya.
Dengan demikian pendidikan keluarga adalah juga
pendidikan masyarakat, karena disamping keluarga itu sendiri sebagai kesatuan
kecil dari bentuk kesatuan-kesatuan masyarakat, juga karena pendidikan yang
diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya sesuai dan dipersiapkan untuk
kehidupan anak-anak itu di masyarakt kelak. Dengan demikian nampak adanya satu
hubungan erat antara keluarga dengan masyarakat. Anak lahir dalam pemeliharaan
orang tua dan dibesarkan di dalam keluarga. Orang tua tanpak ada yang
memerintah langsung memikul tugas sebagai pendidik, baik bersifat sebagai
pemelihara, sebagai pengasuh, sebagai pembimbing, sebagai pembina maupun
sebagai guru dan pemimpin terhadap anak-anaknya. Ini adalah tugas kodrati dari
tiap-tiap manusia.
Oleh karena itu norma-norma pada anggota-anggota
keluarga, baik ayah ibu maupun kakak-kakaknya dapat berpengaruh terhadap anak .
Maka orang tua di dalam keluarga harus dan merupakan kewajiban kodrati untuk
memperhatikan anak-anaknya serta mendidiknya, sejak anak-anak itu kecil, bahkan
sejak anak-anak itu masih dalam kandungan. Jadi tugas orang tua mendidik
anak-anaknya itu terlepas sama sekali dari kedudukan, keahlian atau pengalaman
dalam bidang pendidikan yang legal.
D.
Fungsi Pendidikan Islam dalam Pembinaan Keluarga
Keluarga memiliki peran strategis dalam
proses pendidikan anak dan umat manusia. Keluarga lebih kuat pengaruhnya dari
sendi-sendi yang lain. Sejak awal masa kehidupan seorang manusia, lebih banyak
mendapat pengaruh dari keluarga. Sebab waktu yang dihabiskan di keluarga lebih
banyak dari pada di tempat lain. Pada hakikatnya pendidikan di keluarga
merupakan pendidikan sepanjang hayat. Pembinaan dan pengembangan kepribadian
serta penguasaan ilmu/tsaqafah Islam dilakukan melalui pengalaman hidup
sehari-hari dan dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di keluarga, terutama
ibu dan bapaknya.
Begitu pentingnya pembinaan dan
pendidikan di dalam keluarga, pendidikan anak sejak dini di dalam keluarga akan
tertanam secara kuat pada diri seorang anak. Sebab pengalaman hidup pada
masa-masa awal umur manusia akan membentuk ciri khas, baik dalam tubuh maupun
pemikiran yang bisa jadi tidak ada yang dapat mengubahnya sesudah masa itu.
Secara umum prinsip pendidikan
mempunyai pengertian suatu haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran
yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan pendidikan keluarga, strategi dapat
diartikan sebagai pola-pola kegiatan ayah-anak dalam perwujudan pendidikan agama
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[43]
Fungsi pendidikan Islam dalam membina keluarga merupakan
suatu proses untuk membimbing anak untuk menjadi orang yang berguna bagi agama,
nusa dan bangsa. Oleh karena itu, manusia membutuhkan pendidikan secara optimal
agar mampu mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi,
kegiatan pengajaran tersebut mempunyai prinsip tersendiri dalam usaha mencapai
tujuan pengajaran. Namun demikian, prinsip-prinsip pendidikan semua pendidikan
sama saja, termasuk terhadap prinsip pendidikan anak.
Hal tersebut dikarenakan belajar mengajar adalah suatu
kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Orang tua yang menciptakan guna
membelajarkan anak didik. Orang tua yang mengajar dan anak didik yang belajar.
Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah interaksi edukatif dengan
memanfaatkan keluarga sebagai mediumnya. Di sana semua bentuk pendidikan
diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengetahuan yang telah
ditetapkan sebelum pengajaran dilaksanakan.
Sebagai orang tua tentunya sudah menyadari apa yang
sebaiknya dilakukan untuk mencapai kondisi belajar mengajar yang dapat
mengantarkan anak-anak kepada kebaikan. Di sini tentu saja tugas orang tua
berusaha menciptakan suasana yang menggairahkan dan menyenangkan bagi anaknya.
Oleh karena itu, memberikan pengetahuan agama bagi seorang
anak menghendaki hadirnya sejumlah prinsip pendidikan. Sebab belajar tidak
selamanya memerlukan seorang guru. Cukup banyak aktifitas yang dilakukan
seseorang anak di luar dari keterlibatan guru. Belajar di rumah cenderung
menyendiri dan tidak terlalu banyak mengharapkan bantuan dari orang lain,
apalagi aktifitas itu berkenaan dengan kegiatan membaca sebuah buku.
Sebenarnya semua halnya yang
menyangkut dengan memberikan pendidikan kepada anak pada hakikatnya merupakan
suatu proses, yaitu mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar
anak-anak, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong anak-anak melakukan
belajar. Oleh karena itu, Nana Sudjana menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya
mengajar adalah proses memberikan bimbingan/bantuan kepada anak didik dalam
melakukan proses belajar.[44]
Oleh karena itu, sebagai upaya
pengaturan kegiatan belajar mengajar anak, maka Adi Suardi sebagaimana yang
dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein menerangkan ciri-ciri
pembelajaran sebagai berikut:
Pertama, Pembelajaran memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk anak
dalam suatu perkembangan tertentu. Kedua, Ada suatu prosedur (jalannya
interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Ketiga, Kegiatan pendidikan ditandai dengan
penggarapan metode yang khusus. Keempat, Ditandai dengan aktifitas anak
sebagai konsekwensi, bahwa anak merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya
kegiatan belajar. Kelima, Dalam kegiatan belajar orang tua harus
berperan sebagai pembimbing. Keenam, Dalam kegiatan belajar membutuhkan kedisiplinan.[45]
Melihat realitas tersebut di atas, maka di sini penulis
merumuskan prinsip-prinsip pendidikan anak sebagai berikut:
Pertama, Memelihara dan membesarkan anak. Inilah prinsip paling sederhana dan merupakan dorongan alami untuk
mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Kedua, Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmani maupun rohani, dari
berbagai penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dan dari tujuan hidup yang
sesuai dengan falsafah hidup dan agama yang dianutnya. Ketiga, Memberikan
pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki
pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya. Keempat,
Membahagiakan anak baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan
tujuan hidup muslim.[46]
Dari keterangan di atas, maka dapat digambarkan bahwa dalam
menerapkan pendidikan Islam juga harus menggunakan prinsip yang sama dengan
pendidikan lainnya, karena pada dasarnya para ahli pendidikan belum merumuskan
prinsip yang khusus untuk masing-masing model pendidikan. Oleh karena itu,
untuk mencapai tujuan pendidikan, maka digunakan prinsip pendidikan yang
berlaku secara umum guna tercapainya tujuan pendidikan tersebut.
Setiap orang tua tentu mendambakan anaknya menjadi anak
yang saleh, yang memberi kesenangan dan kebanggaan kepada mereka. Kehidupan
seorang anak tak lepas dari keluarga (orang tua), karena sebagian besar waktu
anak terletak dalam keluarga. Peran orang tua yang paling mendasar didalam
mendidik agama kepada anak-anak mereka adalah sebagai pendidik yang pertama dan
utama, karena dari orangtualah anak pertama kali menerima pendidikan,baik itu pendidikan
umum maupun agama[47].
Pelaksanaan pendidikan agama dalam lingkungan keluarga
kaitannya dengan pembentukan akhlak adalah dengan melaksanakan pendidikan agama
yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak yang terdiri
dari perkembangan anak usia balita, usia sekolah dasar dan remaja. Bentuk
pelaksanaan pendidikan selain dengan memberikan secara teoritis tentang akhlak
juga harus disertai dengan contoh tauladan kepada anak oleh orang tua, maka
faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan agama dalam keluarga
terdiri dari faktor internal yaitu faktor yang berasal dari lingkungan keluarga
itu sendiri seperti kondisi keluarga yang harmonis atau tidak, tidak
berjalannya fungsi dan peran masing-masing anggota keluarga, baik ayah, ibu dan
anak, tingkat ekonomi keluarga yang rendah dan sebagainya. Sedangkan faktor
eksternal adalah faktor yang berasal dari luar lingkungan keluarga yaitu
masyarakat, lingkungan sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
informasi dan komunikasi.
[2] Ibid., hal. 88.
[3] Armai
Arif, Reformulasi Pendidikan Islam, Cet. Ke. II, (Ciputat: CRSD PRESS, 2007), hal. 15.
[5]
Khursyid Ahmad, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam,
terj. A.S Robith, (Surabaya: Pustaka Progresif,
1992), hal. 14.
[8]
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya
media, 1992), hal. 14.
[10] Dadang
Gani Ginanjar Haitam, Program Pendidikan Keluarga, artikel
diakses tanggal 8 Desember 2011. dari http://artikelterbaru.com/pendidikan/arti-dan-tujuan-pendidikan-keluarga-2-20111692.
[14]Ibid., hal. 36.
[15]Azis
Abbas, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Sumber Widya, 1995), hal. 71.
[16]Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,
(Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hal. 61.
[17]Abdul
Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988),
hal. 119.
[22]Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, (Beirut: Wasyirkah al-Halabi
al-Babi, 1953), hal. 122.
[23]Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, (Mesir: Dar al-Kutub, t.t.),
hal. 65.
[26]
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal.116.
[29]
Moenawar Chalil, Definisi dan Sendi Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,
1970), hal. 53.
[31]Hasan
Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Sebuah Analisa Psikologi dan Pendidikan), (Jakarta: Al-Husna, 1995), hal. 19.
[33]
Muhammad Noor Matdawam, Dinamika Hukum Islam, (Tinjauan Sejarah Perkembangan), (Yogyakarta:Yayasan Bina Karier,1985), hal. 15.
[34] Djamari, Pendidikan Moral dan Etika:
Harapan dan Kenyataan, (Bandung: Rineka Cipta,1999), hal. 34.
[35]Abdurrahman
An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (terj.), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 28.
[36] Ahmad
Amin, Etika (ilmu ahlak),(ter.) Farid Ma’ruf,dari judul asli al-
Akhlaq, Cet.III. (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hal. 22.
[40]Mahmud
Syaltut, Aqidah dan Syari’ah, Terj. KH. Ali Yafie, (Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1990), hal. 55.
[41] Syaiful Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 78.
[44]Nana
Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. II, (Bandung: Sinar
Baru, 1991), hal. 29.
[45]Syaiful
Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta. 2002), hal. 46.
[47] M.
Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di lingkungan Sekolah dan Keluarga, Cet. IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 80.
0 Comments
Post a Comment