Kedudukan Wanita Dalam Tinjauan Pendidikan Islam


A.    Kedudukan Wanita Dalam Tinjauan Pendidikan Islam

Islam merupakan agama yang sempurna yang memberi kedudukan dan penghormatan tinggi kepada wanita, dalam hukum ataupun masyarakat. Beberapa bukti yang menguatkan dalil bahwa ajaran Islam memberikan kedudukan tinggi kepada wanita, dapat dilihat pada banyaknya ayat Alquran yang  berkenaan dengan wanita. Bahkan untuk menunjukkan betapa pentingnya  kedudukan wanita, ada surat khusus bernama An-Nisa  yang artinya ‘wanita’.7
Selain Al–qur’an, terdapat pula berpuluh Hadits (Sunnah) Nabi Muhammad SAW. yang membicarakan tentang kedudukan wanita dalam hukum dan masyarakat. Pada masyarakat yang mengenal praktik mengubur bayi wanita hidup-hidup,  lalu datang ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW untuk melarang kekejian itu sebagaimana yang tertuang dalam hadist Nabi: "Yang terbaik di antara manusia adalah yang terbaik sikap dan prilakunya terhadap kaum wanita.” Atau pula: "Barangsiapa yang membesarkan dan mendidik dua putrinya dengan kasih sayang, ia akan masuk surga".
Dalam catatan sejarah dapat ditelusuri, ajaran Islam telah mengangkat derajat wanita sama dengan pria dalam bentuk hukum, dengan memberikan hak dan kedudukan kepada wanita yang sama dengan pria sebagai ahli waris mendiang orangtua atau keluarga dekatnya. Hukum Islam pula yang memberikan hak kepada wanita untuk memiliki sesuatu (harta) atas namanya sendiri. Padahal ketika itu kedudukan wanita rendah sekali, bahkan dalam masyarakat Arab yang bercorak patrilineal sebelum datang Islam wanita mempunyai banyak  kewajiban, tetapi hampir tidak mempunyai hak. Wanita dianggap benda belaka, ketika masih muda ia adalah kekayaan orang tuanya, sesudah menikah ia menjadi  kekayaan suaminya. Sewaktu-waktu mereka bisa diceraikan atau dimadu begitu saja. Fisiknya yang lemah, membuat wanita dipandang tak berguna karena ia tak dapat berperang mempertahankan kehormatan.8 Pandangan ini tentu saja merendahkan derajat wanita. Penempatan wanita yang rendah itulah kemudian menjadi salah satu hal yang diperangi dan ditinggalkan oleh ajaran Islam. Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan. Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: "Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.9
Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan.10
Dienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kekejaman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Diantara martabat wanita yang dijunjung tinggi dalam islam adalah:
Pertama, timbangan kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah adalah takwa, baik laki-laki maupun perempuan sebagaimana yang terkandung dalam Al-qur’an surat Al Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ )الحجرات :١٣(
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.( Qs.  Al Hujurat: 13)

Lebih dari itu Allah menegaskan dalam firman-Nya yang lain:
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ )النحل : ٩٧(
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Qs. .An Nahl: 97).

Kedua, kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah seperti firman-Nya dalam Al-qur’an surat Al-ahzab ayat 35:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً )الأحزاب : ٣٥(
Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Qs. Al-Ahzab:35),

            Dan juga firman Allah dalam surat Muhammad ayat 19:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ ) محمد:١٩(
Artinya: Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.(Qs. Muhammad:19)

Persamaan ini jelas dalam kesempatan beriman, beramal saleh atau beribadah (shalat, zakat, berpuasa, berhaji) dan sebagainya.
Ketiga, kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya. Firman Allah dalam Al-qur’an surat An-nisa ayat 4:
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَّرِيئاً ﴿النساء : ٤﴾
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.(Qs. An-Nisa: 4)

 وَلاَ تَتَمَنَّوْاْ مَا فَضَّلَ اللّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُواْ وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُواْ اللّهَ مِن فَضْلِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً ﴿ النساء : ٣٢﴾
Artinya:   Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qs. An-Nisa: 32).

Keempat, Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan seperti firman Allah dalam surat An-nisa ayat 7:
لِّلرِّجَالِ نَصيِبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً مَّفْرُوضاً ﴿ النساء :٧﴾
Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.(Qs. An-Nisa:7).

Kelima, kedudukan wanita sama dengan pria dalam memperoleh pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sabda rasulullah:Artinya: Mencari menuntut ilmu pengetahuan adalah kewajiban muslim (termasuk pria dan wanita" (Hadits).
Keenam, kedudukan wanita sama dengan pria dalam kesempatan untuk memutuskan ikatan perkawinan, kalau syarat untuk memutuskan ikatan perkawinan itu terpenuhi atau sebab tertentu yang dibenarkan ajaran agama, misalnya melalui lembaga fasakh dan khulu', seperti suaminya zhalim, tidak memberi nafkah, gila, berpenyakit yang mengakibatkan suami tak dapat memenuhi kewajibannya dan lain-lain.
Ketujuh, wanita adalah pasangan pria, hubungan mereka adalah kemitraan, kebersamaan dan saling ketergantungan (QS An-Nisa:1, At-Taubah:71, Ar-Ruum:21, Al-Hujurat:13). QS Al-Baqarah:2 menyimbolkan hubungan saling ketergantungan itu dengan istilah pakaian; "Wanita adalah pakaian pria, dan pria adalah pakaian wanita".
Kedelapan, Kedudukan wanita sama dengan kedudukan pria untuk memperoleh pahala (kebaikan bagi dirinya sendiri), karena melakukan amal saleh dan beribadah di dunia (QS Ali Imran:195, An-Nisa:124, At-Taubah:72 dan Al-Mu'min:40). Amal saleh di sini maksudnya adalah segala perbuatan baik yang diperintahkan agama, bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat, lingkungan hidup dan diridhai Allah SWT.
Kesembilan, hak dan kewajiban wanita-pria, dalam hal tertentu sama (QS: Al Baqarah:228,Taubah:71) dan dalam hal lain berbeda karena kodrat mereka yang sama dan berbeda pula (QS Al-Baqarah:228, An-Nisa:11 dan 43). Kodratnya yang menimbulkan peran dan tanggung jawab antara pria dan wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari --misalnya sebagai suami-isteri-- fungsi mereka pun berbeda. Suami (pria) menjadi penanggungjawab dan kepala keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi penanggungjawab dan kepala rumah tangga.Menurut ajaran Islam, seorang wanita tidak bertanggungjawab untuk mencari nafkah keluarga, agar ia dapat sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada urusan kehidupan rumah tangga, mendidik anak dan membesarkan anak. Walau demikian, bukan berarti wanita tidak boleh bekerja, menuntut ilmu atau melakukan aktivitas lainnya. Wanita tetap memiliki peranan (hak dan kewajiban) terhadap apa yang sudah ditentukan dan menjadi kodratnya.Sebagai anak (belum dewasa), wanita berhak mendapat perlindungan, kasih sayang dan pengawasan dari orangtuanya. Sebagai isteri, ia menjadi kepala rumah tangga, ibu, mendapat kedudukan terhormat dan mulia. Sebagai warga masyarakat dan warga negara, posisi wanita pun sangat menentukan. Muhammad Abduh memandang, bahwa wanita Islam sebenarnya menduduki kedudukan tinggi, tetapi adat istiadat yang berasal dari luar Islam-lah yang mengubah hal itu, sehingga akhirnya wanita Islam mempunyai kedudukan rendah dalam masyarakat.11


               7 Al-maghribi Bin Ash-Sha’id Al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak (terj), cet. I (Jakarta: Darul Haq,  2004) hal. 282.
               8 Zahara Idris, “Dasar-Dasar Kependidikan”, (Bandung : Angkasa, t.t), hal. 70
               9 Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat, ( Kairo: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1964 ), hal. 138
               10 Mahmud Syaltut, Min Taujihat Al-Islam, ( Kairo, Al-Idarat Al-'Amat lil Azhar, 1959), hal. 193

               11 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan Cet. 13, ( Jakarta : Bulan Bintang, 2001), hal. 70

0 Comments