Konsep Islam Terhadap Pendidikan Anak dalam Keluarga
A.
Konsep Islam Terhadap Pendidikan Anak dalam Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan
pendidikan yang primer dan fundamental sifatnya. Di situlah anak dibesarkan,
memperoleh penemuan-penemuan dan belajar yang memungkinkan disitu anak
pertama-tama akan mendapatkan kesempatan menghayati pertemuan-pertemuan dengan
sesama manusia bahkan memperoleh perlindungan yang pertama.
Pendidikan agama dan spiritual termasuk
bidang pendidikan yang harus mendapat perhatian penuh oleh keluarga terhadap
anak-anak. Pendidikan agama dan spiritual ini berarti membangkitkan dan
kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada pada anak-anak melalui
bimbingan agama yang sehat dan mengamalkan ajaran-ajaran agama dan
upacara-upacaranya, begitu juga membekalkan anak dengan pengetahuan agama dan
kebudayaan Islam yang sesuai dengan umurnya dalam bidang akidah, ibadah,
muamalah dan sejarah tentang Islam. Begitu juga dengan mengajar kepadanya
cara-cara yang betul untuk menunaikan
syarat dan kewajiban agama dan menolongnya mengembangkan sikap agama yang
betul.
Di antara cara-cara praktis yang patut
digunakan oleh keluarga untuk menanam semangat keagamaan pada diri anak adalah
sebagai berikut: Pertama, Memberi keteladanan yang baik kepada mereka
tentang kekuatan iman kepada Allah dan berpegang pada ajaran agama. Kedua,
Membiasakan mereka menunaikan syiar-syiar agama semenjak kecil sehingga menjadi
kebiasaan mereka melakukannya dengan kemauannya sendiri. Ketiga, Menyiapkan
suasana agama yang spiritual yang sesuai di rumah di mana mereka berada. Keempat,
Membandingkan mereka membaca bacaan agama yang berguna dan memikirkan ciptaan
Allah Swt. Kelima, Menggalakkan mereka turut serta dalam aktivitas agama.[1]
Ketika keluarga menunaikan hal-hal
tersebut di atas sebenarnya ia menurut kepada petunjuk dari Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah Saw. Untuk menciptakan keluarga yang beragama dan mendapatkan
keturunan yang taat menjalankan perintah Allah swt. Islam mengatur pendidikan
sejak manusia masih dalam kandungan. Hal ini terjadi karena pembinaan kehidupan
beragama tidak dapat pisah dari pembinaan kepribadian secara keseluruhan,
manusia telah membutuhkan pendidikan sejak dalam kandungan, dan kepribadian
tersebut akan memberikan pengaruh terhadap pembinaan pribadi seseorang setelah
lahir.
Dalam hal ini Zakiah Daradjat
mengungkapkan bahwa: Pendidikan agama, dalam arti pembinaan kepribadian,
sebenarnya telah mulai sejak dilahirkan bahkan sejak dalam kandungan. Keadaan
orang tua, ketika anak dalam kandungan, mempengaruhi jiwa anak yang akan lahir
nantinya, hal ini banyak terbukti dalam
perawatan jiwa.[2]
Bahkan Islam dengan tegas menyatakan
bahwa sebelum seseorang melangsungkan pernikahan terlebih dahulu diharuskan
untuk memilih calon istri dari segala sudut, agar ketenteraman dan kebahagiaan
keluarga akan terjamin dan akhirnya anak yang merupakan amanah Allah akan
dipelihara dengan baik dan penuh kasih sayang sehingga anak-anak akan bahagia
dan aman.
Salah satu hadis tentang kriteria memilih pasangan hidup adalah
sebagai berikut:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ
النِّسَاءُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ
بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. (رواه البخارى)
Artinya: Dari
Abu Huraiah ra, Rasulullah Saw. bersabda: wanita dinikahi karena empat hal:
karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena
ketaatannya kepada agama. Pilihlah wanita yang taat kepada agama, maka kamu
akan bahagia. (HR. Bukhari).[3]
Beberapa faktor ini disampaikan dalam sabda Rasul Saw. sebagaimana tersebut
di atas. Hanya saja, dalam sabda Rasul Saw. tersebut dijelaskan tidak secara
pasti dan rinci maksud kata al-diin, yang kemudian ditegaskan dengan
perkataan “Jatuhkan pilihanmu pada yang beragama”. Dari ungkapan ini, bisa saja
seseorang yang beragama “biasa” atau sederhananya “yang penting beragama Islam”
termasuk ke dalam kategori ini (al-diin). Padahal, keberagamaan
seseorang yang hanya berupa identitas tidak cukup dijadikan sebagai hasil akhir
dari penggambaran kepribadian seseorang yang baik. Sebab, bisa saja orang yang
rajin melaksanakan salat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lainnya, perilakunya
dalam masyarakat masih jauh dari maksud dan tujuan yang diharapkan oleh agama
itu sendiri.
[3]
Al-Hafidz Bin Hajar Al-Atsqalani, Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam, Kitab
Nikah, No. 995, (Semarang: Pustaka Alawiyah, tt), hal. 201.