Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Materi dan Implementasi Pendidikan Islam Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003


A.    Materi dan Implementasi Pendidikan Islam Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003

Materi dan Implementasi Pendidikan Islam Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003

Penyelenggraan pendidikan madrasah setingkat dengan pendidikan umum bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia; mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan demokratis; menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi; memiliki dan etos budaya kerja; dan dapat memasuki dunia kerja atau dapat mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Sebagai implementasi dari tujuan tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk kompetensi lulusan sesuai dengan tingkat pendidikannya. Untuk kompetensi lulusan Madrasah dapat dilihat sebagai berikut : Pertama, berprilaku dalam kehidupan sosial sehari-hari sesuai dengan ajaran agama Islam; menalankan hak dan kewajiban; berfikir logis dan kritis terutama dalam memecahkan masalah, kreatif dalam berkarya; beretos kerja secara produktif; kompetitif, kooperatif dan mampu memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab, Kedua, menginternalisasi nilai agama dan nilai dasar humaniora yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat serta menunjukan sikap kebersamaan dan saling menghargai dalamidupan yang pluralis, Ketiga, memiliki wawasan kebangsaan dan bernegara, Keempat, berkomunikasi secara verbal baik lisan maupun tertulis sesuai dengan konteknya melalui berbagai media termasuk teknologi imformasi, Kelima, Memanfaatkan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki untuk hidup di masyarakat, Keenam, memanfaatkan pengetahuan dan kecakapan melalui belajar secara mandiri dalam rangka membangun masyarakat belajar, Ketujuh, gemar berolah raga dan menjaga kesehatan, mebangun ketahanan dan kebugaran jasmani, Kedelapan, berekpresi dan menghargai seni dan keindahan dan Kesembilan, Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan akademik[1]

Penanaman keimanan itu tidak dapat dilakukan melalui proses pengajaran kognitif; penanaman keimanan itu dilakukan melalui peneladanan, pembiasaan, pemotivasian, mungkin melalui penegakan hukum dan sebagainya. Kesemuanya teknik itu dirangkum dalam metode internalisasi. Metode internalisasi itu metode yang tepat untuk menanamkan iman yang kuat. Yang meneladankan, membaiasakan, memotivasi, dan lain-lain itu ialah kepala sekolah, semua guru, semua pegawai sekolah, tukang sapu, penjaga sepeda, juga ibu-ibu yang berjualan di kantin sekolah; di rumah peneladan itu dilakukan terutama oleh ayah dan ibu murid itu.
Mungkin ada orang yang belum tahu bahwa pendidikan keimanan dan ketakwaan itu sebenarnya adalah tugas Diknas, pengajaran agama dilakukan oleh Depag atas nama Diknas. Jadi, adalah wajib hukumnya seluruh aparat Diknas, terutama yang ada di sekolah itu untuk melaksanakan pendidkan keimanan dan ketakwaan.
Dibandingkan dengan pendidikan di sekolah umum, madrasah mempunyai misi yang mulia.  Ia bukan saja memberikan pendidikan umum (seperti halnya sekolah umum) tetapi juga memberikan pendidikan agama (melalui pelajaran agama dan penciptaan suasana kegamaan di madrasah) sehiingga, kalau pendidikan ini berhasil, para lulusannya akan dapat hidup bahagia di dunia ini (biasanya diukur secara ekonomis) dan hidup bahagia di akhirat nanti (karena ketaatannya pada ajaran agama).  Madrasah yang hanya menekankan pendidikan agama dan mengabaikan pendidikan umum mungkin hanya akan mampu memberikan potensi untuk bahagia di akhirat saja (walaupun ini masih lebih baik daripada hanya memperoleh kebaikan di dunia tanpa memperoleh kebahagiaan di akhirat).
Dalam kaitannya dengan era globalisasi dan perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan ini, madrasah harus juga menyiapkan anak didiknya untuk siap bersaing di bidang apa saja yang mereka masuki.  Ini dimaksudkan agar lulusan madrasah tidak akan terpinggirkan oleh lulusan sekolah umum dalam memperebutkan tempat dan peran dalam gerakan pembangunan bangsa.  Mengingat dalam UUSPN (Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional), madrasah dikategorikan sebagai sekolah umum, maka lulusan madrasah pun berhak melanjutkan belajarnya ke perguruan tinggi umum, baik Fakultas Ilmu Sosial maupun Fakultas Ilmu Eksakta. 
Terbukanya peluang untuk memasuki perguruan tinggi umum ini harus dimanfaatkan oleh madrasah sebaik mungkin, terutama untuk Fakultas Ekonomi, Teknik, dan Eksakta, fakultas-fakultas yang selama ini dijauhi oleh lulusan madrasah.  Hal ini disebabkan karena bidang-bidang ilmu itulah yang diperkirakan akan memainkan peran penting bagi pembangunan nasional pada masa-masa mendatang.  Untuk itu, madrasah harus meningkatkan kualitas pelajaran ilmu eksakta seperti matematika, fisika, dan biologi.  Madrasah harus mendorong para santrinya untuk mau bekerja di bidang ekonomi, teknik, dan ilmu eksakta murni agar bidang itu tidak hanya dikuasai oleh lulusan non-madrasah yang belum tentu memiliki mental keagamaan yang kuat.[2]
Salah satu persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam adalah permasalahan dikotomi. Dikotomi dimaksud, baik dalam bentuk dikotomi ilmu pengetahuan maupun dikotomi kelembagaan yang membedakan keduanya.
Pembaharuan materi pendidikan madrasah yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia secara formal dimulai  oleh Departemen Agama yang terbentuk sejak tanggal 03 Januari 1946, yang salah satu tugas utamanya ialah mengurusi lembaga pendidikan Islam. Lembaga pendidikan Islam yang banyak mendapatkan perhatian pemerintah (Departemen Agama) tersebut adalah madrasah.
Madrasah yang banyak mendapat perhatian ialah madrasah yang memperhatikan pendidikan umum, bahkan dapat dikatakan hampir semua bantuan merupakan bantuan untuk mata pelajaran umum. Sejalan dengan itu, Departemen Agama juga menganjurkan supaya pesantren yang tradisional dikembangkan menjadi sebuah madrasah, disusun secara klasikal, dengan memakai kurikulum yang tetap dan memasukkan mata pelajaran umum di samping mata pelajaran agama. Diantara ciri khas Madrasah/Agama sebagai pendidikan Islam adalah sebagai berikut: Peningkatan mutu pendidikan islam melalui mata pelajaran Alqur’an, Hadis, Keimanan, Akhlak, Fiqih, Sejarah Islam dan mata pelajaran Agama lainnya, peningkatan pendidikan madrasah melalui mata pelajaran selain pendidikan Agama Islam, peningkatan pendidikan madrasah melalui kegiatan ekstrakurikuler, peningkatan pendidikan madrasah melalui penciptaan suasana keagamaan dan peningkatan pendidikan madrasah melalui pembiasaan dan pengamalan agama misalnya, shalat berjamaah disekolah, dan kegiatan praktik keagamaan lainya.[3]

Dimensi materi Pelajaran Bahwa kurikulum sebagai perangkat pembelajaran disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
1)     Peningkatan iman dan takwa
2)     Peningkatan akhlak mulia
3)     Peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik
4)     Keragaman potensi daerah dan lingkungan
5)     Tuntutan pembangunan daaerah dan lingkungan
6)     Tuntutan dunia kerja
7)     Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan seni
8)     Agama
9)     Dinamika perkembangan global
10) Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan[4]


Adapun materi pendidikan agama Islam yang menjadi kurikulum pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a)     Pelajaran al-Qur’an Hadits,
Pendidikan agama Islam (PAI) di Madrasah Ibtidaiyah yang terdiri dari empat mata pelajaran tersebut memiliki karakteristik tersendiri. al-Qur’an-Hadits, menekankan pada kemampuan baca tulis yang baik dan benar, memahami makna secara tekstual dan kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Aspek Aqidah menekankan pada kemampuan memahami dan mempertahankan keyakinan/keimanan yang benar serta menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-asma’ al-husna. Al-Qur’an-Hadits merupakan sumber utama ajaran Islam, dalam arti ia merupakan sumber aqidah-akhlak, syari’ah/fiqih (ibadah, muamalah), sehingga kajiannya berada di setiap unsur tersebut.

b)     Pelajaran Aqidah Akhlak,
Pelajaran Aqidah Akhlak merupakan salah satu materi pendidikan Madrasah yang menekankan pada pembiasaan untuk melaksanakan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari.
c)     Pelajaran Fiqih,
Pelajaran Fiqih merupakan salah satu materi pendidikan Madrasah Pelajaran Fiqh menekankan pada kemampuan cara melaksanakan ibadah dan muamalah yang benar dan baik.
d)     Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam
Pelajaran Sejarah Islam merupakan salah satu materi pendidikan Madrasah Pelajaran Tarikh & kebudayaan Islam menekankan pada kemampuan mengambil ibrah dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.
e)     Pendidikan Bahasa Arab.
Pelajaran Bahasa Arab merupakan salah satu materi pendidikan Madrasah Pelajaran Bahasa Arab menekankan pada kemampuan berbahasa arab dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah Arab.

Dengan demikian jelaslah bahwa keberadaan pendidikan agama,dalam hal ini penulis fokuskan pada pendidikan Islam mempunyai tempat yang signifikan dalam sistem pendidikan nasional. Dimensi pemikiran bahwa pendidikan Islam diartikan sebagai paradigma teoritik yang disampaikan berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Adapun hakikat nilai-nilai Islami yang terkandung dalam Undang-undang Sistem Pendidikan nasional Nomor 20 tahun 2003 adalah nilai yang membawa pada kemaslahatan dankesejahteraan bagi seluruh makhluk (sesuai dengan konsep Rahmatan Lil‘alamiin), demokratis, egalitarian dan humanis.Dengan demikian terdapat benang merah bahwa pendidikan Islam diIndonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan nasional.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan National, azas desentralisasi pengelolaan pendidikan dituangkan. Desentrasilisasi pendidikan berani terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam rnengatasi permasaiahan yang dihadapi di bidang pendidikan. Dengan demikian pada hakikatnya lahimya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentag Sisdiknas di ilhami oleh semangat desentralisasi di bidang pendidikan. Undang-Undang ini sudah berjalan kurang lebih 3 tahun dengan segala implikasinya.
Menurut Karnadi Hasan, UU Pendidikan tahun 1989 dan beberapa Peraturan Pemerintah tersebut memberikan sebuah dampak terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam. Beliau menjelaskan bahwa sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral (sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan nasional secara keseluruhan.[5]
Selain itu UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan PLB yang berciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri khasnya.[6] Inilah poin pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya.[7]
UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama.[8]
Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum pendidikan agama juga ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD, terdapat 9 mata pelajaran, termasuk pendidikan agama. Di SMP struktur kurikulumnya juga sama, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pendidikan umum. Demikian halnya di tingkatan SMU, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pengajaran umum bersama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum. Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, IPA (Fisika, Biologi, Kimia), IPS (Ekonomi, Sosiologi, Geografi) dan Pendidikan Seni.[9]
Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum 1994, hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sampai rezim Orde Soeharto tumbang di tahun 1998, pendidikan di Indonesia, masih menggunakan UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim ini menggulirkan gagasan reformasi, yang salah satu agendanya adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan, sebagaimana yang menjadi tema kritik para pemerhati pendidikan dan diharapkan oleh banyak pihak.
Selanjutnya pada tahun 2003 ditetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya disebut dengan  UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 ini pasal yang diperdebatkan dengan tegang adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. ”Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama,” (Pasal 12 ayat a). Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3.
Undang-Undang ini juga sekaligus ”mengubur” bagian dari Undang-Undang Nomor 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, Nomor 29/1990, tentang tidak wajibnya sekolah dengan latar belakang agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama Katolik untuk siswa yang beragama Katolik). Undang-Undang Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/Yayasan Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut agama Katolik. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 ini lah yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa ’kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal. Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat 1 ini ditegaskan, ’pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia’. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur dalam undang-undang baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum dan komponen pendidikan lainnya.[10]
Ketua Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan Pendidikan Agama dan Keagamaan, (MP3A) Departemen Agama menambahkan, pelaksanaan pendidikan agama harus memperhatikan lima prinsip dasar, di antaranya: Pertama, pelaksanaan pendidikan agama harus mengacu pada kurikulum pendidikan agama yang berlaku sesuai dengan agama yang dianut peserta didik. Kedua, pendidikan agama harus mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan dan rasa hormat internal agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. Ketiga, pendidikan agama harus mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam berbangsa dan bernegara.[11]
Perjalanan kebijakan pendidikan Indonesia  belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kehadiran Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya menumbuhkan harapan akan memberi keuntungan bagi peserta didik karena dianggap sebagai penyempurnaan dari metode Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari sisi mental maupun kapasistas guru tampaknya sangat berat untuk memenuhi tuntutan ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara konseptual, ketika pemerintah bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional, sehingga KBK segera diganti dan disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).




[1] Timur Djaelani. Kebijaksanaan Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,k cet. II, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1982), hal. 42.
[2] Azyumardi Azra,http://islamlib.com/WAWANCARA/azra3.html,6/27/2003],
[3] Shaleh, Madrasah ....,hal. 265.


[4] Shaleh, Madrasah ....,hal. 31.
[5] Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, (POKSI VI FPG DPR RI, 2003), hal. 6.

[6] Arifin, Memahami..., hal. 7.

[7]Arifin, Memahami..., hal. 7.

[8] Paulo Freire, Politik Pendidikan, Kekuasaan dan Pembebasan, cet. VII, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004), hal. 29.

[9] H.R. Tilaaar, Membenahi Pendidikan Nasional, Cet. VI, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 66.
[10] Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa, Cet. VII, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 38.

[11]Shaleh, Pendidikan..., hal. 39.