Memberikan Keteladanan
A. Memberikan
Keteladanan
Keteladanan
dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil
dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak.
Mengingat pendidik adalah seorang figur terbaik dalam pandangan anak, yang
tindak-tanduk dan sopan-santunnya, disadari atau tidak, akan ditiru oleh
mereka. Bahkan bentuk perkataan, perbuatan dan tindak tanduknya, akan senantiasa
tertanam dalam kepribadian anak. “Untuk merealisasikan tujuan pendidikan,
seorang pendidik dapat saja menyusun sistem pendidikan yang lengkap, dengan
menggunakan seperangkat metode atau strategi sebagai pedoman atau acuan dalam
bertindak serta mencapai tujuan dalam pendidikan”.[1]
Menurut Ibrahim
Amini “Mendidik dengan memberi contoh adalah salah satu cara yang paling banyak
meninggalkan kesan. Carilah sosok figur yang memiliki nilai-nilai yang ingin
kita ajarkan di tengah-tengah mereka.
Teladan itu seperti magnet yang menyedot anak murid untuk mengikuti apa yang
mereka lihat dengan kepala mata sendiri”.[2]
Tidak ada yang meragukan betapa efektifnya teladan itu karena di setiap jiwa
manusia tersimpan semangat seperti itu. Berdasarkan hasil observasi penulis di
Gampong Meunasah Krueng Peudada bahwa orangtua di Gampong Meunasah Krueng
Peudada memberikan keteladanan kepada anaknya untuk mendidik mereka mendirikan
shalat.[3]
Berdasarkan
wawancara dengan Bapak Syamsuddin, Petuha Tuha Peut Gampong Meunasah Krueng Peudada
menurut beliau
Menanamkan pendidikan agama Islam pada anak (pendidikan ibadah shalat)
harus dimulai dari orang tuanya, sehingga hal itu sebagai bentuk cerminan bagi
anak untuk melakukan hal sama dengan apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Agar
anak terbiasa mengerjakan shalat, maka dapat dengan cara mengajari anak dan
mengajak anak untuk melakukan shalat lima waktu.[4]
Seorang anak
biasanya akan cepat menangkap sesuatu menurut apa yang dilihatnya. Karena daya
tangkap yang dimiliki seorang anak sangatlah tinggi. Oleh karena itu perlu
adanya percontohan yang baik dari lawan mainnya, terutama dari pihak orang tua.
Menyaksikan kedua orang tua melakukan shalat lima waktu setiap hari sejak dini,
membuat anak terpicu untuk meniru. Apalagi memang sang ayah sengaja mengajar
anaknya untuk ikut ke masjid guna menunaikan ibadah shalat berjama’ah, tentu
ini sangat membantu daya tangkap sang anak dalam membiasakan diri bersama
lingkungan orang-orang yang shalat sehingga memotivasi dirinya untuk bisa
seperti apa yang dilihatnya.
Oleh karena
itu, “masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam menentukan baik-buruknya
anak”.[5]
jika pendidikan jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani, dan menjauhkan
diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka si anak akan
tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia, berani dan menjauhkan
diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan agama. Begitu pula
sebaliknya jika pendidik adalah seorang pembohong, pengkhianat, orang yang
kikir, penakut, dan hina, maka si anak akan tumbuh dalam kebohongan, khianat, durhaka,
kikir, penakut, dan hina. Berdasarkan wawancara dengan Tgk. Danil, Imum Gampong
Meunasah Krueng Peudada, menurut pendapat beliau:
Usaha untuk memberikan teladan yang baik terhadap anak dalam pendidikan
ibadah shalat juga tidak hanya dilakukan dengan mengajak anak untuk melakukan
shalat lima waktu. Namun juga ada yang melakukannya dengan mengajak shalat
berjamaah. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Syukri yang selalu mengajak
anaknya untuk melakukan shalat berjamaah, sehingga ketika anak tidak mau
melakukan shalat, maka ia harus dihukum.[6]
Keteladanan
merupakan hal yang sangat baik yang harus dimiliki orang tua sebagai cerminan
anak. Karena pada fase ini, anak lebih banyak imitasi terhadap lingkungan
sekitarnya, khususnya dalam lingkungan keluarga. Seorang anak, bagaimana pun
besarnya usaha yang dipersiapkan untuk kebaikannya, bagaimana pun sucinya
fitrah, tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan pokok-pokok pendidikan
utama, selama la tidak melihat sang pendidik sebagai teladan dari nilai-nilai
moral yang tinggi. Adalah sesuatu yang sangat mudah bagi pendidik, yaitu mengajari
anak dengan berbagai materi pendidikan, akan tetapi adalah sesuatu yang teramat
sulit bagi anak untuk melaksanakannya ketika la melihat orang yang memberikan
pengarahan dan bimbingan kepadanya tidak mengamalkannya.