Pembaruan Nurcholish Madjid tentang Tauhid


A.    Pembaruan Nurcholish Madjid tentang Tauhid

Gelombang pemikiran Islam kontemporer yang muncul di dunia Islam membuktikan, bahwa diskursus Islam akan terus mengalami diaspora yang tak terbendung. Pemikiran ke-Islaman akan selalu mengikuti gerak sejarah. Munculnya berbagai corak pemikiran Islam dalam mengapresiasi realitas modern dengan segala pranata sosialnya merupakan anak kandung sejarah yang terus bergerak melintasi zamannya, baik yang progresif-liberal maupun yang tradisional-tekstual.
Sejak awal dasawarsa 1970-an, pembaruan telah menjadi sitilah yang pejoratif, dengan konotasi tertentu dan membawa kecurigaan dikalangan luas, tidak saja dilingkungan awam, tetapi juga dikalangan terpelajar. Ada dua sebab yang menimbulkan tanggapan ini. Pertama, pembaruan Islam di curigai atau dikaitkan dengan paham sekularisme. Kedua, pembaruan juga disangka mengandung latar belakang politik tertentu yang mengarah pada usaha-usaha “memojokkan” peranan umat Islam[1].
Gagasan pembaruan (tajdid) yang berkembang akhir-akhir ini bukan merupakan hal baru. Tiap kurun waktu, ketika sebagian manusia sudah kehilangan arah, dan agama tidak lagi dijadikan sebagai tolak ukur dan pedoman, selalu ada yang terpanggil untuk menjadi pembaru (mujaddid) pada zamannya[2]. Munculnya para pembaru ini merupakan bagian dari siklus sejarah kehidupan manusia, bahwa manusia akan selalu berubah, baik sikap, perilaku dan mentalitas psikologis sosial maupun keagamaan[3].
Para pembaharu berusaha memurnikan kembali berbagai pemikiran atau pemahaman menusia terhadap Islam, yang telah berada pada kondisi “takut”, karena taklid, jumud dan sebagainya. Pembaru itu berikhtiar menunjukkan dan menampilkan universalitas Islam yang telah mengalami reduksi, sehingga wajah Islam sebagai Rahmatan lil’alamin benar-benar terasa dan terwujudkan dalam kehidupan masyarakat yang terus mengalami diaspora. Menurut M. Din Syamsuddin, paling tidak ada dua faktor saling tarik menarik yang menjadikan isu pembaruan pemikiran dalam Islam. Pertama, watak keuniversalan Islam, dan yang kedua, watak kemutlakan Islam[4]. Kedua faktor diatas masing-masing memiliki sandaran dalam sumber-sumber doktrin Islam yang dipakai untuk menguatkan argumentasi mereka.
Dalam pandangan Nurcholis Madjid, yang akan kita bahas lebih jauh dalam bab selanjutnya, bahwa pembaruan harus dimulai dari dua hal yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan[5]. Dorongan melakukan pembaruan inilah yang menurut Nurcholis Madjid, mengandung konotasi, bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan kekuatan secara psikologis perjuangannya.
Ide pembaruan dalam pemikiran Islam hanya dapat mungkin diterangkan, jika seseorang dapat secara historis-kritis mengamati perkembangan pemikiran Islam dalam hubungannya dengan konteks sosial-budaya yang mengitarinya. Tanpa mengaitkan dengan konteks tidak pernah ada pembaruan. Teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah akan tetap seperti itu adanya, sedang alam, peristiwa-perstiwa alam, peristiwa-peristiwa ilmu dan teknologi akan terus menerus berkembang tanpa mengenal batas yang final[6].

Dari argumentasi tersebut, dapat dikatakan bahwa tanpa pembaruan pemahaman, doktrin keagamaan pada era tertentu akan membeku dan bisa kehilangan relevansinya. Penyegaran itu perlu untuk mencari relevansi pemahaman ajaran kitab suci dengan tantangan zaman dan gesekan antar berbagai tradisi keagamaan dalam era globalisasi. Dari studi historis–empiris terhadap fenomena keagamaan, terindikasi bahwa agama juga sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu keagamaan itu sendiri. Campur aduk dan berkait kelindannya agama dengan berbagai kepentingan sosial kemasyarakatan pada level historis–empiris merupakan salah satu persoalan keagamaan kentemporer yang paling rumit untuk dipersoalkan[7].
Dalam konteks inilah, kiranya umat Islam harus selalu berupaya menggali dasar-dasar dalam doktrin Islam sebagai landasan memecahkan setiap dilema historis-empiris yang terjadi. Dengan cara pembaruan, atau lebih konkritnya upaya interpretasi teks-teks kitab suci, akan menjadikan Islam selalu sesuai selera zaman dan tidak usang tertutupi perkembangan. Memperbincangkan gerakan pemaruan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosok Nurcholis Madjid Nurkarena ia adalah tokoh sekaligus pemain utamanya. Tentunya Nurcholis Madjid tak sendiri. Ada banyak tokoh yang seangkatan dengannya yang ikut serta dalam gerakan pembaruan Islam seperti, M. Dawam Rahardjo, Amin Rais, Gus Dur, Jalaluddin Rahmat dan tentunya masih banyak lagi.
Nurcholis Madjid adalah pemikir Islam yang mempunyai pengatuh kuat dan luas dalam sejarah intelektualisme Islam Indoneia. Pemikirannya membawa dampak yang amat luas dalam kehidupan keagamaan Islam, dan lebih dari itu ia bahkan menjadi rujukan serta kiblat kaum intelektual Muslim Indonesia. Salah satu bukti betapa kuatnya pengaruh Nurcholis Madjid, ialah ia berhasil mengembangkan wacana intelektual dikalangan masyarakat Islam secara modern, terbuka, egaliter, dan demokratis.



               [1] M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendekiawan Muslim, Cet; I, (Bandung, Mizan; Mei 1993), hal. 273.
               [2] Ahamd Mufli Saefuddin, dalam Jalaluddin Rahmat, et.al, Prof. Dr. Nurcholis Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa, Cet, II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2003), hal. 36.
               [3] Perubahan, sikap, perilaku dan mentalitas psikologis agama tidak dimaksudkan bahwa manusia selalu berubah pendirian keagamaannya, atau mengalami evolusi keyakinan. Namun perubahan dalam arti pemaknaan atas ajaran-ajaran non-dasar keagamaan dalam perspektif implementasinya.
               [4] M. Din Syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, Cet. II; (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 163.
               [5] Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Cet, XI, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 206.
               [6] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,Pendekatan Itegratif-Interkonektif, Cet; I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Februari 2006), hal. 135.
               [7] M. Amin Abdulah, Dialektika Agama Antara Profanitas dan Sakralitas, Pengantar dalam Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme, Cet; I, (Jogjakarta, IRCiSoD; 2006), hal. 5.

0 Comments