Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pembinaan Akhlak


A.    Pembinaan Akhlak

Akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab yaitu أخلق    bentuk jamak dari bentuk خلق   atau الخلق  yang secara etimologi diartikan dengan “budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat”.[19] Pengertian-pengertian tersebut di atas yang akan dijelaskan dalam pembahasan ini adalah budi pekerti. Budi berasal dari bahasa sanskerta artinya alat kesadaran (batin). Sedangkan kata budi pekerti berasal dari bahasa Indonesia yang artinya kelakuan. Dalam kamus bahasa Indonesia diartikan Budi pekerti ialah tingkah laku, atau perangai akhlak”.[20]  Melalui perkataan budi pekerti dapat tercermin sifat watak seseorang dalam perbuatan sehari-hari. Pengertian itu sangat mengarah kepada akhlak positif.
Disamping pengertian di atas ada beberapa pakar mengungkapkan berkenaan dengan pengertian akhlak antara lain: Imam Al-Ghazali mengatakan: “Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam di dalam jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu”.[21] Sementara Ali Abdul mengungkapkan bahwa: “akhlak adalah kehendak yang dibiasakan artinya kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak”.[22]
Pendapat para pakar di atas dapat dipahami bahwa akhlak sangat penting dalam Islam. Maka dengan Berpijak dari beberapa pengertian akhlak di atas menunjukkan bahwa hadits Rasulullah Saw mengatakan sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia dan tentang betapa pentingnya akhlak mulia pada seseorang muslim.
Dasar pembinaan akhlak adalah Alquran dan al-Hadits Kedua sumber itu menjadi landasan utama pembicaraan akhlak yang lebih tepat dan konkret sebagai pola hidup dalam menetapkan mana yang baik dan mana  yang buruk. Dalam Alquran terkandung bermacam akhlak yang perlu di sikapi oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.
1.     Dasar Pembinaan Akhlak
Allah Swt.  berfirman dalam Surat Al-Ahzab ayat 21 sebagai berikut:  :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً) الأحزاب: ٢١(
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah Swt  dan percaya (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah Swt  (Qs. Al-Ahzab: 21).

Pada ayat ini Allah Swt. memberitahukan kepada hambaNya yang mukmin, bahwa pada diri Rasulullah Saw ini dengan penuh suri teladan yang harus di ikuti oleh orang-orang yang mengharapkan rahmatNya. Serta kedatangan hari kiamat kelak dan banyak/sering menyebut nama Allah Swt. Dan beliau pun mempunyai akhlak yang mulia.[23]Adapun pembinaan akhlak anak terhadap kedua orang tua, baik itu berbangsa maupun bernegara. Selain Alquran hadits merupakan  dasar akhlak yang kedua, hadis dijadikan sebagai dasar akhlak dengan mempedomani perilaku dan akhlak Nabi Saw.
Akhlak menjadi perhatian dari setiap orang, baik di dalam masyarakat yang telah  maju maupun masyarakat yang masih terbelakang, dalam kehidupan sosial, akhlak yang baik sangat penting dimiliki oleh individu karena akhlak merupakan sumber kepercayaan atas diri seseorang. Bahkan akhlak turut berperan dalam menentukan kehormatan suatu bangsa. Agama Islam memandang akhlak sebagai hal utama sehingga salah satu tugas Rasulullah Saw. diutus Allah Swt.  adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Dengan demikian Nabi Muhammad Saw  bertugas menyampaikan risalahnya kepada seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini (Nabi di akhir zaman) serta berkewajiban memperbaiki budi pekerti sehingga umatnya menjadi manusia yang mempunyai akhlakul karimah.
Atas dasar tersebut, maka kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang sangat penting, baik sebagai individu maupun menjadi anggota masyarakat, jatuh bangunnya dan sejahtera tidaknya suatu bangsa, sangat  tergantung kepada akhlakNya. Apabila akhlakNya baik maka akan sejahtera  lahir dan  batinNya. SebalikNya apabila akhlaknya buruk, maka rusaklah lahir dan batinNya.  Sehubungan dengan hal ini.
Seseorang yang berakhlak karimah, selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya, memberikan hak yang harus diberikan kepada yang berhak perbuatan ini dilakukan dengan memenuhi kewajiban terhadap dirinya sendiri, terhadap tuhannya sesama manusia dan makhluk-makhluk lainnya selain manusia.[24]

Ajaran Islam sangat mengutamakan akhlak karimah yakni yang sesuai dengan tuntutan syariat Islam. Dalam konsepsi Islam, akhlak juga dapat diartikan sebagai suatu istilah yang mencakup hubungan vertikal antara manusia dengan khaliknya dan hubungan horizontal antara hubungan manusia dengan dirinya atau alam sekitarnya. Berdasarkan penjelasan di atas jelaslah bahwa sumber akhlak adalah Alquran dan Alhadits. Dan juga dapat di pahami bahwa akhlak Islam mempunyai pola yang mengatur hubungan tidak hanya sesama manusia, akan tetapi dengan khalik dan alam sekitarnya.
2.     Tujuan Pembinaan Akhlak
Tujuan pembinaan akhlak adalah untuk menjadikan insan yang berakhlakul karimah, yang sejahtera, aman dan damai dalam kehidupan manusia,  agar mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam hal ini tujuan pembinaan akhlak bukan hanya mengajarkan pengetahuan dan melatih keterampilan dalam melaksanakan ibadah saja, akan tetapi jauh lebih dari pada itu, pembinaan akhlak bertujuan membentuk kepribadian  anak yang sesuai dengan ajaran Islam.
Muhammad Rachmat Djatnika, menyatakan:
Tujuan pembinaan akhlak dalam Islam adalah untuk menanamkan makrifat (kesadaran) dalam diri manusia terhadap dirinya sendiri selaku hamba Allah Swt dan kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus memiliki tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakatnya serta menanamkan kemampuan manusia untuk mengelola, memanfaatkan alam sekitarnya ciptaan Allah Swt. bagi kepentingan kesejahteraan manusia dan kegiatan ibadahnya kepada khalik pencipta alam itu sendiri.[25]

Oleh karena itu tujuan pembinaan akhlak harus mampu menciptakan manusia muslim (generasi muslim) yang berilmu pengetahuan tinggi, di mana iman dan taqwanya menjadi pengendalian dalam menerapkan ilmu dalam masyarakat.
Pada sisi lain pembinaan akhlak mempunyai tujuan mendidik pribadi muslim ke arah kesempurnaan sebagai salah satu upaya mengoptimalkan pengabdian diri kepada Allah Swt. Tujuan pembinaan akhlak lebih ditekankan pada pembinaan moral untuk mewujudkan pribadi muslim yang sempurna. Hal ini senada dengan ungkapan Athiyah Al-Abrasyi, bahwa: “Pembentukan moral yang tinggi adalah fungsi utama dari tujuan akhlak”.[26]
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pembinaan akhlak adalah: untuk terbentuknya hamba Allah Swt.  yang bertaqwa dan memiliki multi pengetahuan akhlak lewat pembinaan. Kemudian merealisasikan segala perintah Allah Swt. dan bertanggung jawab dalam melaksanakan seluruh aktivitasnya, dengan tujuan kebahagiaan dunia akhirat. Melalui tujuan pembinaan ini dapat meningkatkan kualitas manusia (kualitas generasi Islam) dalam membina hubungan dengan  Allah Swt.  (hablumminAllah Swt) dan hubungan sesama manusia (hablumminnas). Secara keseluruhan Mohd Athiyah al-Abrasyi menjelaskan tujuan pembinaan akhlak:
Tujuan pembinaan akhlak adalah bertujuan mendidik warga  negara mukmin dan masyarakat muslim agar dapat merealisasikan ubudiyah. Dengan terealisasinya tujuan ini maka terealisasi pulalah segala keutamaan kehidupan sosial, seperti saling tolong menolong, bahu membahu, menjamin dan mencintai sesama makhluk ciptaan Allah  Swt.[27]

Berdasarkan uraian tersebut di atas semua jelaslah bahwa, tujuan pembinaan akhlak memadukan secara seimbang antara pembinaan individual dengan pembinaan sosial kemasyarakatan, supaya salah satu antara kedua belah pihak ini tidak saling meremehkan yang lain. Pembinaan individual akan membentuk pribadi-pribadi yang sehat bertaqwa serta taat kepada perintah Allah Swt. Sedangkan pembinaan sosial kemasyarakatan berorientasi ke arah hubungan antara sesama manusia. Terealisasinya pembinaan ini, akan membawa umat ke arah yang positif yaitu kehidupan yang berbahagia dunia dan akhirat. Orientasi pembinaan sosial terfokus pada pembinaan hubungan harmonis pada lingkungan sosial masyarakat. Dalam pembinaan  hubungan ini akhlak setiap individu masyarakat sangat penting, sehingga tidak terjadi sesuatu yang bersifat negatif.
Melalui proses akhlak secara optimal akan terlihat fungsi akhlak dalam membentuk perilaku muslim sejati yang dapat meningkatkan pengabdian kepada Allah Swt.  dan mengharmoniskan hubungan sesama manusia.                                 
B.    Pembinaan Perasaan dan Kejiwaan                              
Manusia dalam melakukan hubungan dan interaksi dengan lingkungannya baik materiil maupun sosial, semua itu tidak keluar dari tindakan penyesuaian diri atau adjustment. Tetapi apabila seseorang tersebut tidak dapat atau tidak bias menyesuaikan diri dikatakan  ksehatan mentalnya terganggu atau diragukan.[28] Contoh penyesuaian diri yang wajar tersebut adalah seseorang yang menghindarkan dirinya dari situasi yang membahayakan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri yang tidak wajar misalnya seseorang yang takut terhadap binatang yang biasa seperti kucing, kelinci dan sebangsanya. Dari dua contoh tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa orang yang bisa melakukan penyesuaian diri secara wajar dikatakan sehat mentalnya dan orang yang tidak bisa melakukan penyesuaian diri secara wajar, menunjukkan penyimpangan dari kesehatan mentalnya.
Kesehatan jasmani adalah “keserasian yang sempurna antara bermacam-macam fungsi jasmani disertai dengan kemampuan untuk menghadapi kesukaran-kesukaran yang biasa, yang terdapat dalam lingkungan, disamping secara positif merasa gesit, kuat dan semangat. Kesehatan mental dalam kehidupan manusia merupakan masalah yang amat penting karena menyangkut soal kualitas dan kebahagian manusia”.[29] Tanpa kesehatan yang baik orang tidak akan mungkin mendapatkan kebahagian dan kualitas sumber daya manusia yang tinggi.  Kenapa hal itu bisa terjadi?  Jawabannya karena kesehatan mental tersebut menyangkut segala aspek kehidupan yang menyelimuti manusia mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, sosial, politik, agama serta sampai pada bidang pekerjaaan dan profesi hidup manusia. Kehidupan mewah dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan menjamin kebahagian manusia. Hal itu karena yang bisa menjamin kebahagian manusia tersebut adalah kejiwaan, kesehatan dan keberagamaan yang dimiliki manusia. Tiga faktor tersebut sangat sejalan sekali dalam mencapai kebahagian hidup manusia didunia dan akhirat, karena kebahagian yang harus dicapai itu tidak hanya kebahagian didunia melainkan juga kebahagian diakhirat kelak.
Banyak teori yang dikemukan oleh ahli jiwa tentang kesehatan mental, misalnya teori psikoanalisis, behavioris dan humamisme. Sungguhpun demikian teori tersebut memiliki batasan-batasan dan tidak menyentuh seluruh dimensi (aspek) dan aktivitas kehidupan manusia sebagai makhluk multidimensional dan multipotensial. “Manusia sebagai makhluk multidimensional setidak-tidaknya memiliki dimensi jasmani, rohani, agama, akhlak, sosial, akal, dan seni (estetika)”.[30]
Sedangkan sebagai makhluk multi potensial manusia memiliki potensi yang amat banyak yang dikaruniakan Allah Swt kepadanya yang dalam Islam terkandung dalam asma ulhusna. Salah satunya adalah agama. “Agama adalah jalan utama menuju kesehatan mental, karena dalam agama ada kebuutuhan-kebutuhan jiwa manusia, kekuatan untuk mengendalikan manusia dalam memenuhi kebutuhaan, serta sampai kepada kekuatan untuk menafikan pemenuhan kebuthan manusia tanpa membawa dampak psikologis yang negative”.[31]
Di dalam al-Qur’an sebagai dasar dan sumber ajaran Islam banyak ditemui ayat-ayat yang berhubungan dengan ketenangan dan kebahagiaan jiwa sebagai hal yang prinsipil dalam kesehatan mental. Ayat-ayat tersebut adalah:
لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ) آل عمران: ١٦٤(
Artinya:   Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (keadaan nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Ali Imran: 164).

Dengan kejelasan ayat Alquran dan hadits diatas dapat ditegaskan bahwa kesehatan mental (shihiyat al nafs) dalam arti yang luas adalah tujuan dari risalah Nabi Muhammad Saw. diangkat jadi Rasul Allah Swt, karena asas, ciri, karakteristik dan sifat dari orang yang bermental itu terkandung dalam misi dan tujuan risalahnya. Dan juga dalam hal ini Alquran berfungsi sebagai petunjuk, obat, rahmat dan mu’jizat (pengajaran) bagi kehidupan jiwa manusia dalam menuju kebahagian dan peningkatan kualitasnya.
Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifah Allah dan Abdullah (Abdi Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan fitrah. Sejalan dengan itu, bahwa potensi dasar tersebut berupa jasmani, rohani, dan fitrah namun ada juga yang menyebutnya dengan jismiah, nafsiah dan ruhaniah.
1)     Aspek jismiah
Aspek jismiah adalah keseluruhan organ fisik-biologis, serta sistem sel, syaraf dan kelenjar diri manusia. Organ fisik manusia adalah organ yang paling sempurna diantara semua makhluk. Alam fisik-material manusia tersusun dari unsur tanah, air, api dan udara. Keempat unsur tersebut adalah materi dasar yang mati. Kehidupannya tergantung kepada susunan dan mendapat energi kehidupan yang disebut dengan nyawa atau daya kehidupan yang merupakan vitalitas fisik manusia. Kemampuannya sangat tergantung kepada sistem konstruksi susunan fisik-biologis, seperti: susunan sel, kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah, tulang, jantung, hati dan lain sebagainya. Jadi, “aspek jismiah memiliki dua sifat dasar. Pertama berupa bentuk konkrit berupa tubuh kasar yang tampak dan kedua bentuk abstrak berupa nyawa halus yang menjadi sarana kehidupan tubuh. Aspek abstrak jismiah inilah yang akan mampu berinteraksi dengan aspek nafsiah dan ruhaniah manusia”.[32]
2)     Aspek Nafsiah
Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas insaniah yang khas dimiliki dari manusia berupa pikiran, perasaan dan kemauan serta kebebasan. Dalam aspek nafsiah ini terdapat tiga dimensi psikis, yaitu dimensi nafsu, ‘aql, dan qalb. Dimensi nafsu merupakan dimensi yang memiliki sifat-sifat kebinatangan dalam sistem psikis manusia, namun dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah mendapatkan pengaruh dari dimensi lainnya, seperti ‘aql dan qalb, ruh dan fitrah. Nafsu adalah “daya-daya psikis yang memiliki dua kekuatan ganda, yaitu: daya yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala yang membahayakan dan mencelakakan (daya al-ghadabiyah) Serta daya yang berpotensi untuk mengejar segala yang menyenangkan (daya al-syahwaniyyah).[33]
Dimensi akal adalah dimensi psikis manusia yang berada diantara dua dimensi lainnya yang saling berbeda dan berlawanan, yaitu dimensi nafsu dan qalb. Nafsu memiliki sifat kebinatangan dan qalb memiliki sifat dasar kemanusiaan dan berdaya cita-rasa. Akal menjadi perantara diantara keduanya. Dimensi ini memiliki peranan penting berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insaniah pada diri manusia.
Dimensi qalb memiliki fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta seperti berpikir, memahami, mengetahui, memperhatikan, mengingat dan melupakan. Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa seperti tenang, sayang dan fungsi konasi yang menimbulkan daya karsa seperti berusaha.
3)     Aspek ruhaniah
Aspek ruhiyah adalah keseluruhan potensi luhur (high potention) diri manusia. Potensi luhur itu memancar dari dimensi ruh dan fitrah. Kedua dimensi ini merupakan potensi diri manusia yang bersumber dari Allah. Aspek ruhaniyah bersifat spiritual dan transedental. Spiritual, karena ia merupakan potensi luhur batin manusia yang merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang berasal dari ruh ciptaan Allah. Bersifat transidental, karena mengatur hubungan manusia dengan yang Maha transenden yaitu Allah. Fungsi ini muncul dari dimensi fitrah.[34]
Dari penjabaran diatas, dapat disebutkan bahwa aspek jismiah bersifat empiris, konkrit, indrawi, mekanistik dan determenistik. Aspek ruhaniah bersifat spiritual, transeden, suci, bebas, tidak terikat pada hukum dan prinsip alam dan cenderung kepada kebaikan. Aspek nafsiah berada diantara keduanya dan berusaha mewadahi kepentingan yang berbeda. Pada hakikatnya, proses pendidikan merupakan proses aktualisasi potensi diri manusia. Sistem proses menumbuhkembangkan potensi diri itu telah ditawarkan secara sempurna dalam sistem ajaran Islam, ini yang pada akhirnya menyebabkan manusia dapat menjalankan tugas yang telah dibebankan Allah.
Pembinaan mental seseorang dimulai sejak ia kecil. Semua pengalaman yang dilalui baik yang disadari atau tidak, ikut mempengaruhi dan menjadi unsur-unsur yang bergabung dalam kepribadian seseorang. Diantara unsur-unsur terpenting tersebut yang akan menentukan corak kepribadian seseorang dikemudian hari ialah nilai-nilai yang diambil dari lingkungan, terutama lingkungan keluarga. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai agama, moral dan sosial. Apabila dalam pengalaman waktu kecil itu banyak didapat nilai-nilai agama, maka kepribadiannya akan mempunyai unsur-unsur yang baik. Demikian sebaliknya, jika nilai-nilai yang diterimanya itu jauh dari agama maka unsur-unsur kepribadiannya akan jauh pula dari agama dan relatif mudah goncang. Karena nilai-nilai positif yang tetap dan tidak berubah-ubah sepanjang zaman adalah nilai-nilai agama, sedang nilai-nilai sosial dan moral yang didasarkan pada selain agama akan sering mengalami perubahan, sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Karena itulah maka mental (kepribadian) yang hanya terbina dari nilai-nilai sosial dan moral yang mungkin berubah dan goyah itu, akan membawa kepada kegoncangan jiwa apabila tidak diimbangi dengan nilai keagamaan.
Anselm von Feurbach sebagaimana yang diktip oleh Zakiyah Darajat, dalam bukunya peranan agama dalam kesehatan mental, mengatakan:
Agama dalam bentuk apapun dia muncul tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia. Masa remaja adalah usia transisi dari masa kanak-kanak menuju masa kematangan dewasa. Kematangan dewasa secara psikologis adalah keberhasilan seseorang dalam mencapai a sense of responsibility serta dalam memiliki filsafat hidup yang mantap. Salah satu materi yang pokok sebagai pengisi filsafat hidup adalah agama[35].

Agama bagi remaja memiliki fungsi yang sangat penting yaitu untuk penenang jiwa. Pada masa adolesen (antara 13-21 tahun) seorang individu sedang mengalami masa kegoncangan jiwa. Dalam periode ini mereka digelisahkan oleh perasaan-perasaan yang ingin melawan dan menentang orang tua, kadang-kadang merasa mulai muncul dorongan seks yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan[36]. Disamping itu mereka sering gelisah karena takut gagal, merasa kurang serasi dalam pertumbuhan dan sebagainya. Segala macam gelombang itu akan menyebabkan mereka menderita dan kebingungan. Dalam keadaan seperti itu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan merupakan penolong yang sangat ampuh untuk mengembalikan ketenangan dan keseimbangan jiwanya.



[19] Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Mizan, 1997), hal. 25.

[20] Pusat Perkembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal. 456.

[21] Halim, Akhlak..., hal. 84.
[22] Ibid., hal. 98.
[23] Al-Quran dan Tafsirnya …… hal. 743.
[24] Imam Baihaqi, Sunan Al-Kubra, Juz x, (Beirut: Darul Ilmi, tt), hal. 275.

[25] Rachmat Djatnika, System Ethika Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), hal. 11.
[26] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Ed. I. Cet. III, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 133.
[27] Mohd Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami al-ghani dan Djhsr Bahri, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 136.
[28] Al-Razi, Pengobatan Ruhani, Terj. MS. Nasrullah dan Hilman, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 20.

[29] Ibid, hal. 22.
[30] Hadziq , Abdullah, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang: Pustaka Rasail, 2005), hal. 27.

[31] Ibid, hal. 29.
[32] Musthafa Fahmi, al-Insân wa Shihhah al-Nafsiyyah (Kairo: Maktabat Misr, 1965), hal. 14.
[33] Ibid, hal. 16.
[34] Ibid, hal. 17.
[35] Zakiyah Darajat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal. 90-91.

[36] Ibid., hal. 92.