A.
Pembinaan Akhlak
Akhlak dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab yaitu أخلق bentuk jamak
dari bentuk خلق atau الخلق yang secara
etimologi diartikan dengan “budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat”.[19] Pengertian-pengertian tersebut di atas yang akan
dijelaskan dalam pembahasan ini adalah budi pekerti. Budi berasal dari bahasa sanskerta artinya alat
kesadaran (batin). Sedangkan kata budi pekerti berasal dari bahasa Indonesia
yang artinya kelakuan. Dalam kamus bahasa Indonesia diartikan “Budi pekerti ialah tingkah laku, atau perangai
akhlak”.[20] Melalui
perkataan budi pekerti dapat tercermin sifat watak seseorang dalam perbuatan
sehari-hari. Pengertian itu sangat mengarah kepada akhlak positif.
Disamping pengertian di atas ada beberapa pakar mengungkapkan berkenaan
dengan pengertian akhlak antara lain: Imam Al-Ghazali mengatakan: “Akhlak
adalah suatu sifat yang tertanam di dalam jiwa, yang dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran
terlebih dahulu”.[21] Sementara Ali Abdul mengungkapkan bahwa: “akhlak
adalah kehendak yang dibiasakan artinya kehendak itu bila membiasakan sesuatu,
kebiasaan itu dinamakan akhlak”.[22]
Pendapat para pakar di atas dapat dipahami bahwa akhlak sangat penting
dalam Islam. Maka dengan Berpijak dari beberapa pengertian akhlak di atas
menunjukkan bahwa hadits Rasulullah Saw mengatakan sesungguhnya aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak mulia dan tentang betapa pentingnya akhlak mulia
pada seseorang muslim.
Dasar pembinaan akhlak adalah Alquran dan
al-Hadits Kedua sumber itu menjadi landasan utama pembicaraan akhlak yang lebih
tepat dan konkret sebagai pola hidup dalam menetapkan mana yang baik dan
mana yang buruk. Dalam Alquran terkandung bermacam akhlak yang perlu di sikapi oleh manusia dalam
kehidupan sehari-hari.
1.
Dasar Pembinaan Akhlak
Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-Ahzab
ayat 21 sebagai berikut: :
لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً)
الأحزاب: ٢١(
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat)
Allah Swt dan percaya (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah Swt
(Qs. Al-Ahzab: 21).
Pada ayat ini Allah Swt. memberitahukan kepada
hambaNya yang mukmin, bahwa pada diri Rasulullah Saw ini dengan penuh suri
teladan yang harus di ikuti oleh orang-orang yang mengharapkan rahmatNya. Serta kedatangan hari kiamat kelak dan banyak/sering
menyebut nama Allah Swt. Dan beliau pun mempunyai akhlak yang mulia.[23]Adapun pembinaan akhlak anak terhadap kedua orang tua,
baik itu berbangsa maupun bernegara. Selain Alquran hadits merupakan
dasar akhlak yang kedua, hadis dijadikan sebagai dasar akhlak dengan mempedomani
perilaku dan akhlak Nabi Saw.
Akhlak menjadi perhatian dari setiap orang, baik
di dalam masyarakat yang telah maju
maupun masyarakat yang masih terbelakang, dalam kehidupan sosial, akhlak yang
baik sangat penting dimiliki oleh individu karena akhlak merupakan sumber
kepercayaan atas diri seseorang. Bahkan akhlak turut berperan dalam menentukan
kehormatan suatu bangsa. Agama Islam memandang akhlak sebagai hal utama
sehingga salah satu tugas Rasulullah Saw. diutus Allah Swt. adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Dengan
demikian Nabi Muhammad Saw bertugas
menyampaikan risalahnya kepada seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini
(Nabi di akhir zaman) serta berkewajiban memperbaiki budi pekerti sehingga
umatnya menjadi manusia yang mempunyai akhlakul karimah.
Atas dasar tersebut, maka kedudukan akhlak dalam
kehidupan manusia menempati tempat yang sangat penting, baik sebagai individu
maupun menjadi anggota masyarakat, jatuh bangunnya dan sejahtera tidaknya suatu
bangsa, sangat tergantung kepada
akhlakNya. Apabila
akhlakNya baik maka akan sejahtera lahir
dan batinNya. SebalikNya apabila
akhlaknya buruk, maka rusaklah lahir dan batinNya. Sehubungan dengan hal ini.
Seseorang yang berakhlak karimah, selalu
melaksanakan kewajiban-kewajibannya, memberikan hak yang harus diberikan kepada
yang berhak perbuatan ini dilakukan dengan memenuhi kewajiban terhadap dirinya
sendiri, terhadap tuhannya sesama manusia dan makhluk-makhluk lainnya selain
manusia.[24]
Ajaran Islam sangat mengutamakan akhlak karimah yakni yang sesuai
dengan tuntutan syariat Islam. Dalam konsepsi Islam, akhlak juga dapat
diartikan sebagai suatu istilah yang mencakup hubungan vertikal antara manusia
dengan khaliknya dan hubungan horizontal antara hubungan manusia dengan dirinya
atau alam sekitarnya. Berdasarkan penjelasan di atas jelaslah bahwa sumber
akhlak adalah Alquran dan Alhadits. Dan juga dapat di pahami bahwa akhlak Islam
mempunyai pola yang mengatur hubungan tidak hanya sesama manusia, akan tetapi
dengan khalik dan alam sekitarnya.
2.
Tujuan Pembinaan Akhlak
Tujuan pembinaan akhlak adalah untuk menjadikan insan yang berakhlakul
karimah, yang sejahtera, aman dan damai dalam kehidupan manusia, agar mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam hal ini tujuan pembinaan akhlak bukan hanya mengajarkan pengetahuan dan
melatih keterampilan dalam melaksanakan ibadah saja, akan tetapi jauh lebih
dari pada itu, pembinaan akhlak bertujuan membentuk kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam.
Muhammad Rachmat Djatnika, menyatakan:
Tujuan pembinaan akhlak dalam Islam adalah untuk
menanamkan makrifat (kesadaran) dalam diri manusia terhadap dirinya sendiri
selaku hamba Allah Swt dan
kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus memiliki tanggung jawab sosial
terhadap pembinaan masyarakatnya serta menanamkan kemampuan manusia untuk
mengelola, memanfaatkan alam sekitarnya ciptaan Allah Swt. bagi
kepentingan kesejahteraan manusia dan kegiatan ibadahnya kepada khalik pencipta
alam itu sendiri.[25]
Oleh karena itu tujuan pembinaan akhlak harus mampu menciptakan manusia
muslim (generasi muslim) yang berilmu pengetahuan tinggi, di mana iman dan
taqwanya menjadi pengendalian dalam menerapkan ilmu dalam masyarakat.
Pada sisi lain pembinaan akhlak mempunyai tujuan mendidik pribadi
muslim ke arah kesempurnaan sebagai salah satu upaya mengoptimalkan pengabdian
diri kepada Allah Swt. Tujuan pembinaan akhlak lebih ditekankan pada pembinaan
moral untuk mewujudkan pribadi muslim yang sempurna. Hal ini senada dengan
ungkapan Athiyah Al-Abrasyi, bahwa: “Pembentukan moral yang tinggi adalah
fungsi utama dari tujuan akhlak”.[26]
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan
pembinaan akhlak adalah: untuk terbentuknya hamba Allah Swt. yang bertaqwa
dan memiliki multi pengetahuan akhlak lewat pembinaan. Kemudian merealisasikan
segala perintah Allah Swt. dan bertanggung jawab dalam melaksanakan seluruh aktivitasnya, dengan
tujuan kebahagiaan dunia akhirat. Melalui tujuan pembinaan ini dapat
meningkatkan kualitas manusia (kualitas generasi Islam) dalam membina hubungan
dengan Allah Swt. (hablumminAllah
Swt) dan hubungan sesama manusia (hablumminnas). Secara keseluruhan Mohd
Athiyah al-Abrasyi menjelaskan tujuan pembinaan akhlak:
Tujuan pembinaan akhlak adalah bertujuan mendidik
warga negara mukmin dan masyarakat
muslim agar dapat merealisasikan ubudiyah. Dengan terealisasinya tujuan ini
maka terealisasi pulalah segala keutamaan kehidupan sosial, seperti saling
tolong menolong, bahu membahu, menjamin dan mencintai sesama makhluk ciptaan
Allah Swt.[27]
Berdasarkan uraian tersebut di atas semua jelaslah bahwa, tujuan
pembinaan akhlak memadukan secara seimbang antara pembinaan individual dengan
pembinaan sosial kemasyarakatan, supaya salah satu antara kedua belah pihak ini
tidak saling meremehkan yang lain. Pembinaan individual akan membentuk
pribadi-pribadi yang sehat bertaqwa serta taat kepada perintah Allah Swt.
Sedangkan pembinaan sosial kemasyarakatan berorientasi ke arah hubungan antara
sesama manusia. Terealisasinya pembinaan ini, akan membawa umat ke arah yang
positif yaitu kehidupan yang berbahagia dunia dan akhirat. Orientasi pembinaan
sosial terfokus pada pembinaan hubungan harmonis pada lingkungan sosial
masyarakat. Dalam pembinaan hubungan ini
akhlak setiap individu masyarakat sangat penting, sehingga tidak terjadi sesuatu
yang bersifat negatif.
Melalui proses akhlak secara optimal akan terlihat fungsi akhlak dalam
membentuk perilaku muslim sejati yang dapat meningkatkan pengabdian kepada
Allah Swt. dan
mengharmoniskan hubungan sesama manusia.
B.
Pembinaan Perasaan dan Kejiwaan
Manusia dalam melakukan hubungan dan
interaksi dengan lingkungannya baik materiil maupun sosial, semua itu tidak
keluar dari tindakan penyesuaian diri atau adjustment. Tetapi apabila seseorang
tersebut tidak dapat atau tidak bias menyesuaikan diri dikatakan ksehatan mentalnya terganggu atau diragukan.[28] Contoh
penyesuaian diri yang wajar tersebut adalah seseorang yang menghindarkan
dirinya dari situasi yang membahayakan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri yang
tidak wajar misalnya seseorang yang takut terhadap binatang yang biasa seperti
kucing, kelinci dan sebangsanya. Dari dua contoh tersebut dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa orang yang bisa melakukan penyesuaian diri secara wajar
dikatakan sehat mentalnya dan orang yang tidak bisa melakukan penyesuaian diri
secara wajar, menunjukkan penyimpangan dari kesehatan mentalnya.
Kesehatan jasmani adalah “keserasian
yang sempurna antara bermacam-macam fungsi jasmani disertai dengan kemampuan
untuk menghadapi kesukaran-kesukaran yang biasa, yang terdapat dalam
lingkungan, disamping secara positif merasa gesit, kuat dan semangat. Kesehatan
mental dalam kehidupan manusia merupakan masalah yang amat penting karena
menyangkut soal kualitas dan kebahagian manusia”.[29] Tanpa
kesehatan yang baik orang tidak akan mungkin mendapatkan kebahagian dan
kualitas sumber daya manusia yang tinggi.
Kenapa hal itu bisa terjadi?
Jawabannya karena kesehatan mental tersebut menyangkut segala aspek
kehidupan yang menyelimuti manusia mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, sosial,
politik, agama serta sampai pada bidang pekerjaaan dan profesi hidup manusia.
Kehidupan mewah dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan menjamin
kebahagian manusia. Hal itu karena yang bisa menjamin kebahagian manusia
tersebut adalah kejiwaan, kesehatan dan keberagamaan yang dimiliki manusia.
Tiga faktor tersebut sangat sejalan sekali dalam mencapai kebahagian hidup
manusia didunia dan akhirat, karena kebahagian yang harus dicapai itu tidak
hanya kebahagian didunia melainkan juga kebahagian diakhirat kelak.
Banyak teori yang dikemukan oleh ahli
jiwa tentang kesehatan mental, misalnya teori psikoanalisis, behavioris dan
humamisme. Sungguhpun demikian teori tersebut memiliki batasan-batasan dan
tidak menyentuh seluruh dimensi (aspek) dan aktivitas kehidupan manusia sebagai
makhluk multidimensional dan multipotensial. “Manusia sebagai makhluk
multidimensional setidak-tidaknya memiliki dimensi jasmani, rohani, agama,
akhlak, sosial, akal, dan seni (estetika)”.[30]
Sedangkan sebagai makhluk multi
potensial manusia memiliki potensi yang amat banyak yang dikaruniakan Allah Swt
kepadanya yang dalam Islam terkandung dalam asma ulhusna. Salah satunya adalah
agama. “Agama adalah jalan utama menuju kesehatan mental, karena dalam agama
ada kebuutuhan-kebutuhan jiwa manusia, kekuatan untuk mengendalikan manusia dalam
memenuhi kebutuhaan, serta sampai kepada kekuatan untuk menafikan pemenuhan
kebuthan manusia tanpa membawa dampak psikologis yang negative”.[31]
Di dalam al-Qur’an sebagai dasar dan
sumber ajaran Islam banyak ditemui ayat-ayat yang berhubungan dengan ketenangan
dan kebahagiaan jiwa sebagai hal yang prinsipil dalam kesehatan mental. Ayat-ayat
tersebut adalah:
لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ
إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ
مُّبِينٍ) آل عمران: ١٦٤(
Artinya: Sungguh Allah telah memberi karunia kepada
orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari
golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan
al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (keadaan nabi) itu, mereka adalah
benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Ali Imran: 164).
Dengan kejelasan ayat Alquran dan
hadits diatas dapat ditegaskan bahwa kesehatan mental (shihiyat al nafs)
dalam arti yang luas adalah tujuan dari risalah Nabi Muhammad Saw. diangkat
jadi Rasul Allah Swt, karena asas, ciri, karakteristik dan sifat dari orang
yang bermental itu terkandung dalam misi dan tujuan risalahnya. Dan juga dalam
hal ini Alquran berfungsi sebagai petunjuk, obat, rahmat dan mu’jizat
(pengajaran) bagi kehidupan jiwa manusia dalam menuju kebahagian dan
peningkatan kualitasnya.
Manusia merupakan makhluk
pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifah Allah dan
Abdullah (Abdi Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia
dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Potensi-potensi tersebut
berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan fitrah. Sejalan
dengan itu, bahwa potensi dasar tersebut berupa jasmani, rohani, dan fitrah namun
ada juga yang menyebutnya dengan jismiah, nafsiah dan ruhaniah.
1) Aspek jismiah
Aspek jismiah adalah
keseluruhan organ fisik-biologis, serta sistem sel, syaraf dan kelenjar diri
manusia. Organ fisik manusia adalah organ yang paling sempurna diantara semua
makhluk. Alam fisik-material manusia tersusun dari unsur tanah, air, api dan
udara. Keempat unsur tersebut adalah materi dasar yang mati. Kehidupannya
tergantung kepada susunan dan mendapat energi kehidupan yang disebut dengan
nyawa atau daya kehidupan yang merupakan vitalitas fisik manusia. Kemampuannya
sangat tergantung kepada sistem konstruksi susunan fisik-biologis, seperti:
susunan sel, kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah,
tulang, jantung, hati dan lain sebagainya. Jadi, “aspek jismiah memiliki dua
sifat dasar. Pertama berupa bentuk konkrit berupa tubuh kasar yang tampak dan
kedua bentuk abstrak berupa nyawa halus yang menjadi sarana kehidupan tubuh.
Aspek abstrak jismiah inilah yang akan mampu berinteraksi dengan aspek nafsiah
dan ruhaniah manusia”.[32]
2) Aspek Nafsiah
Aspek nafsiah adalah
keseluruhan kualitas insaniah yang khas dimiliki dari manusia berupa pikiran,
perasaan dan kemauan serta kebebasan. Dalam aspek nafsiah ini terdapat tiga
dimensi psikis, yaitu dimensi nafsu, ‘aql, dan qalb. Dimensi
nafsu merupakan dimensi yang memiliki sifat-sifat kebinatangan dalam sistem
psikis manusia, namun dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah mendapatkan
pengaruh dari dimensi lainnya, seperti ‘aql dan qalb, ruh dan fitrah.
Nafsu adalah “daya-daya psikis yang memiliki dua kekuatan ganda, yaitu:
daya yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala yang membahayakan dan
mencelakakan (daya al-ghadabiyah) Serta daya yang berpotensi untuk
mengejar segala yang menyenangkan (daya al-syahwaniyyah).[33]
Dimensi akal adalah
dimensi psikis manusia yang berada diantara dua dimensi lainnya yang saling
berbeda dan berlawanan, yaitu dimensi nafsu dan qalb. Nafsu memiliki
sifat kebinatangan dan qalb memiliki sifat dasar kemanusiaan dan berdaya
cita-rasa. Akal menjadi perantara diantara keduanya. Dimensi ini memiliki
peranan penting berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas insaniah pada
diri manusia.
Dimensi qalb
memiliki fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta seperti berpikir, memahami,
mengetahui, memperhatikan, mengingat dan melupakan. Fungsi emosi yang
menimbulkan daya rasa seperti tenang, sayang dan fungsi konasi yang menimbulkan
daya karsa seperti berusaha.
3) Aspek ruhaniah
Aspek ruhiyah
adalah keseluruhan potensi luhur (high potention) diri manusia. Potensi
luhur itu memancar dari dimensi ruh dan fitrah. Kedua dimensi ini
merupakan potensi diri manusia yang bersumber dari Allah. Aspek ruhaniyah
bersifat spiritual dan transedental. Spiritual, karena ia merupakan
potensi luhur batin manusia yang merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang
berasal dari ruh ciptaan Allah. Bersifat transidental, karena mengatur hubungan
manusia dengan yang Maha transenden yaitu Allah. Fungsi ini muncul dari
dimensi fitrah.[34]
Dari penjabaran diatas,
dapat disebutkan bahwa aspek jismiah bersifat empiris, konkrit, indrawi,
mekanistik dan determenistik. Aspek ruhaniah bersifat spiritual,
transeden, suci, bebas, tidak terikat pada hukum dan prinsip alam dan cenderung
kepada kebaikan. Aspek nafsiah berada diantara keduanya dan berusaha
mewadahi kepentingan yang berbeda. Pada hakikatnya, proses pendidikan merupakan
proses aktualisasi potensi diri manusia. Sistem proses menumbuhkembangkan
potensi diri itu telah ditawarkan secara sempurna dalam sistem ajaran Islam,
ini yang pada akhirnya menyebabkan manusia dapat menjalankan tugas yang telah
dibebankan Allah.
Pembinaan mental seseorang
dimulai sejak ia kecil. Semua pengalaman yang dilalui baik yang disadari atau
tidak, ikut mempengaruhi dan menjadi unsur-unsur yang bergabung dalam
kepribadian seseorang. Diantara unsur-unsur terpenting tersebut yang akan menentukan
corak kepribadian seseorang dikemudian hari ialah nilai-nilai yang diambil dari
lingkungan, terutama lingkungan keluarga. Nilai-nilai yang dimaksud adalah
nilai-nilai agama, moral dan sosial. Apabila dalam pengalaman waktu kecil itu
banyak didapat nilai-nilai agama, maka kepribadiannya akan mempunyai
unsur-unsur yang baik. Demikian sebaliknya, jika nilai-nilai yang diterimanya
itu jauh dari agama maka unsur-unsur kepribadiannya akan jauh pula dari agama
dan relatif mudah goncang. Karena nilai-nilai positif yang tetap dan tidak
berubah-ubah sepanjang zaman adalah nilai-nilai agama, sedang nilai-nilai
sosial dan moral yang didasarkan pada selain agama akan sering mengalami
perubahan, sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Karena itulah
maka mental (kepribadian) yang hanya terbina dari nilai-nilai sosial dan moral
yang mungkin berubah dan goyah itu, akan membawa kepada kegoncangan jiwa
apabila tidak diimbangi dengan nilai keagamaan.
Anselm von Feurbach
sebagaimana yang diktip oleh Zakiyah Darajat, dalam bukunya peranan agama dalam
kesehatan mental, mengatakan:
Agama dalam bentuk apapun
dia muncul tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia. Masa remaja adalah
usia transisi dari masa kanak-kanak menuju masa kematangan dewasa. Kematangan
dewasa secara psikologis adalah keberhasilan seseorang dalam mencapai a
sense of responsibility serta dalam memiliki filsafat hidup yang mantap.
Salah satu materi yang pokok sebagai pengisi filsafat hidup adalah agama[35].
Agama bagi remaja memiliki
fungsi yang sangat penting yaitu untuk penenang jiwa. Pada masa adolesen
(antara 13-21 tahun) seorang individu sedang mengalami masa kegoncangan jiwa.
Dalam periode ini mereka digelisahkan oleh perasaan-perasaan yang ingin melawan
dan menentang orang tua, kadang-kadang merasa mulai muncul dorongan seks yang
sebelumnya belum pernah mereka rasakan[36]. Disamping itu mereka sering gelisah karena takut gagal, merasa kurang
serasi dalam pertumbuhan dan sebagainya. Segala macam gelombang itu akan
menyebabkan mereka menderita dan kebingungan. Dalam keadaan seperti itu agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan merupakan penolong yang sangat ampuh untuk
mengembalikan ketenangan dan keseimbangan jiwanya.
[19] Ali
Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Mizan, 1997), hal. 25.
[20]
Pusat Perkembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal. 456.
[27]
Mohd Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj.
Bustami al-ghani dan Djhsr Bahri, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal.
136.
[30]
Hadziq , Abdullah, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang: Pustaka Rasail, 2005), hal. 27.
[35]
Zakiyah Darajat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal. 90-91.
0 Comments
Post a Comment