BAB III
PENGEMBANGAN KEPRIBDIAN ANAK MENURUT PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengembangan Anak dalam Cara Berbuat
Perkembangan
selalu berarti defferensiasi. Artinya pada setiap tahap dari seluruh perkembangan
anak, berarti mulai adanya defferensiasi baru pada anak itu, baik jasmaninya
maupun rohaninya. Hal ini nampak jelas bila kita memperhatikan gerakan anak.
Mula-mula anak kecil, menerima sesuatu dengan menggunakan kedua tangannya,
tetapi dalam perkembangannya, ia dapat menerima sesuatu itu dengan hanya satu
tangan dan dalam perkembangan selanjutnya malah hanya dengan beberapa jarinya
saja. Demikian pula, anak yang sudah besar dapat mengatakan: ibu, saya ingin
makan nasi dengan sayur asam kacang panjang dicampur dengan kacang tanah dan
lembayung, dengan lauknya ikan asin dan daging.[1]
Hal yang kedua
yang perlu kita camkan ialah bahwa setiap sesuatu fase yang dialami oleh anak,
adalah merupakan masa peralihan atau masa persiapan bagi masa selanjutnya.
Setiap fase antara anak yang satu dengan yang lain tidak sama lamanya. Inilah
sebabnya mengapa sering dikatakan bahwa tiap anak mempunyai irama
perkembangannya sendiri-sendiri. Hal ketiga yang perlu kita ketahui ialah bahwa
perkembangan yang dialami oleh anak adalah perkembangan jasmani dan rohani.
Oleh karena itu di dalam usaha membantu perkembangan anak, orang tua dan guru
diharapkan perkembangan ini selalu dalam keseimbangan agar tidak terjadi
kelainan pada anak didik. Hal yang keempat, yang perlu diketahui oleh para
pendidik khususnya orang tua ialah dalam keluarga lah anak itu berkembang. Oleh
karena itu keluarga menduduki tempat terpenting bagi terbentuknya pribadi anak
secara keseluruhan yang akan dibawa (hasil pembentukannya itu) sepanjang
hidupnya.
Segala perilaku
orang tua, pola asuh, dan pendidikan yang diterapkannya di dalam keluarga pasti
berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Perilaku itu antara lain kasih
sayang, sentuhan, kedekatan emosi (emotional bonding) orang tua serta
penanaman nilai-nlai yang dapat mempengaruhi kepribadian anak[2].
Mengembangkan pendidikan dalam keluarga maka orang tua memegang peran penting
dalam mencetak anak mempunyai akhlak yang luhur, perilaku jujur, disiplin dan
semangat sehingga akhirnya menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Usia dini merupakan masa peka anak-anak untuk menerima dan meletakkan dasar
pertama dalam upaya pengembangan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial,
emosi, konsep diri, disiplin, seni, moral, dan nilai-nilai agama. Pada masa
peka ini sedang terjadi pematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespons
berbagai rangsangan yang diterimanya dari luar. Usia dini merupakan masa kritis
sebagai pembentukan karakter anak. Kegagalan penanaman karakter pada anak sejak
usia dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak.
Seperti dalam sebuah ungkapan bahwa mendidik anak-anak kecil ibarat menulis di
atas batu yang akan terus berbekas sampai usia tua. Sedangkan mendidik orang
dewasa ibarat menulis di atas air yang akan cepat sirna dan tidak berbekas.
Membiasakan mendidik anak sejak kecil dapat membuahkan hasil yang terbaik.
Sebaliknya membiasakannya ketika dewasa sangat sulit, seperti dalam sebuah
perumpamaan bahw mendidik anak seperti sebatang dahan, ia akan lurus bila
diluruskan. Dahan itu tidak akan bengkok meskipun sudah menjadi sebatang kayu.
Thomas Licona
mengungkapkan bahwa walaupun jumlah anak-anak hanya 25% dari jumlah penduduk,
tetapi menentukan 100% masa depan. Seorang anak adalah satu-satunya bahan dasar
dapat membentuk seorang dewasa yang bertanggung jawab. Oleh karena itu orang
tua dan juga guru hendaknya selalu mencegah anak-anak dari akhlak yang buruk
sejak dini, sebagai bekal meletakkan dasar yang kuat bagi kehidupan di masa
datang. Akhlak buruk yang timbul pada diri anak bukanlah lahir dari fitrahnya,
melainkan karena kurangnya perhatian sejak dini dari orang tua. Jika semakin
dewasa nanti maka akan semakin sulit untuk meninggalkan akhlak buruk tersebut
karena sudah mengakar dalam dirinya dan menjadi kebiasaan yang sulit untuk
ditinggalkan. Padahal agama mengajarkan bahwa setiap manusia mempunyai fitrah
untuk melakukan kebaikan. Fitrah itu merupakan potensi yang perlu dikembangkan
melalui pendidikan.
Dewasa ini
sudah dan sedang terjadi perubahan proses pendidikan dari yang lebih
mementingkan kecerdasan otak kiri atau IQ ke arah mementingkan kecerdasan otak
kanan atau EQ atau kecerdasan emosional. Kecerdasan otak kiri menekankan pada
anak untuk menguasai kemampuan kognitif. Keberhasilannya dtentukan oleh
kemampuan anak membaca, menulis, dan berhitung pada usia dini. Kematangan
emosi-sosial anak terbentuk sejak usia dini menentukan keberhasilan anak di
sekolah dan di masyarakat, serta kehidupannya di masa selanjutnya. Kematangan
emosi ditandai antara lain oleh ketertarikan pada sesuatu di sekelilingnya,
mempunyai rasa percaya diri, mengetahui kapan dan bagaimana anak meminta
pertolongan dari guru atau orang-orang dewasa lainnya, kesabaran menunggu,
mematuhi instruksi, dan mampu bekerja sama dengan kelompok.
Orang
beranggapan keberhasilan akademik anak diukur dengan nilai angka dan ranking
bukan pada proses belajar, sehingga anak dipaksa untuk belajar keras. Akibatnya
waktu bermain anak tidak ada. Anak akan cepat bosan bahkan mogok belajar, prestasi
belajarnya menurun. Pada usia dewasa nanti menjadi sumber daya manusia yang
tidak bisa bekerja, atau tidak terampil. Anak tidak menghargai pekerjaan yang
memerlukan keterampilan, kerajinan, ketekunan, kerja keras dan cerdas, percaya
diri dengan kemampuan sendiri. Selain itu karena tujuannya mencetak anak pandai
di bidang akademik kognitif, maka materi pelajaran yang berkaitan dengan otak
kiri saja yang diperhatikan yaitu bahasa dan logis matematik. Padahal banyak
materi pelajaran yang berkaitan dengan otak kanan (kesenian, musik,) kurang
mendapat perhatian. Kalaupun ada perhatian, maka orientasinya juga lebih pada
kognitif berupa hafalan, tidak ada apresiasi dan penghayatan yang dapat
menumbuhkan semangat untuk belajar.
0 Comments
Post a Comment