BAB I
P E N D A H U L U A N
A.
Latar
Belakang Masalah
Eksistensi
mendahului esensi adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir),
menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru
setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai
eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan. Hal itu adalah
karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan
menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan
sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab
tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia).”[1]
Inilah prinsip
pertama dari eksistensialisme. Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang
menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu
subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu?
Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri
misalnya: kita lahir di mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan
berbahasa apa, dan macam-macam hal lainnya?.
BAB II
P E M B A H A S A N
A.
Pengertian Filsafat Islam
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia
merupakan serapan dari bahasa Arab, dan juga diambil dari bahasa Yunani, philosopia,
Philo = cinta, sopia = kebijaksanan. Jadi dilihat dari akar katanya, filsafat
mengandung pengertian ingin tahu lebih mendalam atau cinta kebijaksanaan.”2 Pengertian filsafat dari
segi istilah adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal untuk
mengetahui tentang hakikat segala seesuatu yang ada, seperti hakikat alam,
hakikat mansia, hakikat masyarakat, dan lain sebagainya[2].
Dengan demikian, muncullah filsafat alam, filsafat manusia, filsafat
masyarakat, dan lain sebagainya.
Adapun pengertian filsafat Islam adalah berpikir secara
sistematis, radikal dan universal tentang segala sesuatu berdasarkan ajaran
Islam. Filsafat Islam itu adalah filsafat yang berorientasi pada Al-Quran,
mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah[3].
Filsafat Islam
merupakan filsafat yang seluruh filosofnya adalah muslim. Para
filosofnya hidup dan bernafas dalam realita Al-Quran dan As-Sunah. Ada sejumlah perbedaan
besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semua filosof
muslim menggali kembali karya-karya filsafat Yunani, namun kemudian mereka
menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka,
bila dalam filsafat lain masih “mencari Tuhan”, dalam filsafat Islam justru
Tuhan “sudah ditemukan”.
B.
Pengertian
Manusia
Manusia adalah
“animal rationale”.Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati ->
tumbuhan -> binatang -> manusia.
Tumbuhan = benda mati + hidup —-> tumbuhan memiliki jiwa hidup.
Binatang = benda mati + hidup + perasaan —-> binatang memiliki jiwa perasaan. Manusia = benda mati + hidup + akal —-> manusia memiliki jiwa rasional.”[4]
Tumbuhan = benda mati + hidup —-> tumbuhan memiliki jiwa hidup.
Binatang = benda mati + hidup + perasaan —-> binatang memiliki jiwa perasaan. Manusia = benda mati + hidup + akal —-> manusia memiliki jiwa rasional.”[4]
Materi (”Hyle”,
“matter”) seakan-akan menyediakan “kemungkinan” (Yunani: “dynamis”,
Latin: “potentia”) untuk pengejawantahan bentuk dalam setiap individu
dengan cara yang berbeda-beda. Bentuk dalam hal makhluk hidup diberi nama
“jiwa” (Yunani: “psyche”, Latin: “anima”), yang berlaku sama saja untuk
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Hanya jiwa manusia yang mempunyai kedudukan
istimewa, karena manusia berkat jiwanya yang khas itu tidak hanya sanggup
“mengamati” dunia di sekitar secara inderawi, tetapi sanggup juga “mengerti”
dunia maupun dirinya. Di samping itu adalah karena jiwa manusia dilengkapi “nous”
(Latin: “ratio” atau “intellectus”) yang menerima, dan malahan
mengucapkan “logos” (sabda, pengertian) yang pada gilirannya menjelma
dalam sabda-sabda “jasmani” yang diberi nama bahasa.”[5]
Manusia adalah
makhluk yang berakal budi. Dengan akal budi itulah ia dapat berpikir dan
mengambil tindakan. Manusia adalah makhluk yang rasional. Puncak perbuatan
kesusilaan manusia terletak dalam “pikiran murni”. Kebahagiaan mnausia yang
tertinggi adalah “berpikir murni”. Tetapi, puncak itu hanya dapat dicapai oleh
para Dewa. Manusia hanya dapat mencoba mendekatinya dengan mengatur
keinginannya.
Manusia itu
bukan serigala, melainkan ia adalah makluk yang berpikir ( animal rationale).
Artinya, dengan pikirannya ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk dalam tindakannya. Dengan pikirannya pula, ia bisa mengatasi naluri
kebinatangannya dan bertindak lebih menusiawi. Berbekalkan akal budinya aksinya
bukan hanya merupakan actus hominis dalam arti gerakan-gerakan yang hanya
dikuasai oleh hukum-hukum biologis, melainkan merupakan actus humanus dalam
arti tindakannya sarat dengan pertimbangan-pertimbangan nilai[6].
Manusia atau
orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah
kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan
sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari
golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal
kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana,
dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau
makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras
lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan
bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya,
dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga
untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.”[7]
Penggolongan
manusia yang paling utama adalah berdasarkan jenis kelaminnya. Secara alamiah,
jenis kelamin seorang anak yang baru lahir entah laki-laki atau perempuan. Anak
muda laki-laki dikenal sebagai putra dan laki-laki dewasa sebagai pria. Anak
muda perempuan dikenal sebagai putri dan perempuan dewasa sebagai wanita.
C.
Pengertian
Jiwa
Bagi kebanyakan
manusia, kerohanian dan agama memainkan peran utama dalam kehidupan mereka.
Sering dalam konteks ini, manusia tersebut dianggap sebagai "orang
manusia" terdiri dari sebuah tubuh, pikiran, dan juga sebuah roh atau jiwa
yang kadang memiliki arti lebih daripada tubuh itu sendiri dan bahkan kematian.
Seperti juga sering dikatakan bahwa jiwa (bukan otak ragawi) adalah letak
sebenarnya dari kesadaran (meski tak ada perdebatan bahwa otak memiliki
pengaruh penting terhadap kesadaran)[8].
Keberadaan jiwa
manusia tak dibuktikan ataupun ditegaskan; konsep tersebut disetujui oleh
sebagian orang dan ditolak oleh lainnya. Juga, adalah perdebatan di antara
organisasi agama mengenai benar/tidaknya hewan memiliki jiwa; beberapa percaya
mereka memilikinya, sementara lainnya percaya bahwa jiwa semata-mata hanya
milik manusia, serta ada juga yang percaya akan jiwa kelompok yang diadakan
oleh komunitas hewani dan bukanlah individu. Bagian ini akan merincikan
bagaimana manusia diartikan dalam istilah kerohanian, serta beberapa cara
bagaimana definisi ini dicerminkan melalui ritual dan agama.
D. Filsafat Roh /
Nafsu Dan kematian
Bagi
kebanyakan manusia, kerohanian, nafsu dan agama memainkan peran utama dalam
kehidupan mereka. Sering dalam konteks ini, manusia
tersebut dianggap sebagai "orang manusia" terdiri dari sebuah tubuh,
pikiran, dan juga sebuah roh atau jiwa yang kadang memiliki arti lebih daripada
tubuh itu sendiri dan bahkan kematian. Seperti juga sering dikatakan bahwa jiwa
(bukan otak ragawi) adalah letak sebenarnya dari kesadaran (meski tak ada perdebatan
bahwa otak memiliki pengaruh penting terhadap kesadaran).
Bagian ini akan merincikan bagaimana manusia
diartikan dalam istilah kerohanian, serta beberapa cara bagaimana definisi ini
dicerminkan melalui ritual dan agama.”[9].
Subyektif individu berawal pada kelahirannya, atau dalam fase kehamilan
terdahulu, selama janin berkembang di dalam tubuh ibu. Kemudian kehidupan
berakhir dengan kematian individu. Kelahiran dan kematian sebagai peristiwa
luar biasa yang membatasi kehidupan manusia, dapat mempunyai pengaruh hebat
terhadap individu tersebut. Kesulitan selama melahirkan dapat berakibat trauma
dan kemungkinan kematian dapat menyebabkan rasa keberatan (tak mudah) atau
ketakutan (lihat pula pengalaman hampir meninggal). Upacara penguburan adalah ciri-ciri
umum masyarakat manusia, sering diinspirasikan oleh kepercayaan akan adanya
kehidupan setelah kematian. Adat kebiasaan warisan atau penyembahan nenek
moyang dapat memperluas kehadiran sang individu di luar rentang usia fisiknya.
(lihat kekekalan).
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan pembahasan diatas, maka
penuis dapat mengambil kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1.
Filsafat
Islam adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal tentang segala
sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Filsafat Islam itu adalah filsafat yang
berorientasi pada Al-Quran, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi
berdasarkan wahyu Allah
2.
Manusia
adalah “animal rationale”.Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda
mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia. Tumbuhan = benda mati + hidup
—-> tumbuhan memiliki jiwa hidup. Binatang = benda mati + hidup + perasaan
—-> binatang memiliki jiwa perasaan. Manusia = benda mati + hidup + akal
—-> manusia memiliki jiwa rasional.
3.
Keberadaan
jiwa manusia tak dibuktikan ataupun ditegaskan; konsep tersebut disetujui oleh
sebagian orang dan ditolak oleh lainnya. Juga, adalah perdebatan di antara
organisasi agama mengenai benar/tidaknya hewan memiliki jiwa; beberapa percaya
mereka memilikinya, sementara lainnya percaya bahwa jiwa semata-mata hanya
milik manusia, serta ada juga yang percaya akan jiwa kelompok yang diadakan
oleh komunitas hewani dan bukanlah individu.
4.
Bagi
kebanyakan manusia, kerohanian dan agama memainkan peran utama dalam kehidupan mereka.
Sering dalam konteks ini, manusia tersebut dianggap sebagai "orang
manusia" terdiri dari sebuah tubuh, pikiran, dan juga sebuah roh atau jiwa
yang kadang memiliki arti lebih daripada tubuh itu sendiri dan bahkan kematian.
B.
Saran
– saran
1.
Disarankan
kepada umat islam umumnya dan khususnya kepada mahasiswa STIT Almuslim untuk
memperdalam pengkajian ilmu tasawuf.
2.
Disarankan
kepada mahasiswa agar dapat
memperbanyak mebaca, karena dengan banyak membaca banyak ilmu yang diperoleh.
3.
Disarankan
kepada para mahasiswa untuk dapat menelaah islam secara mendalam, supaya dapat
menambah ilmu pengetahuan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Hallaj, Al-Tawasin,
diedit oleh Louis Massignon, Paris: Librare Paul
Guethner, 1913.
Al-Attar, Fariduddin, Para Auliya, diterjemahkan
oleh A. J. Arberry, Bandung:Penerbit Pustaka, 1983.
Abdul, Salah Sabur, Tragedi Al-Hallaj,
diterjemahkan oleh Abdul Hadi W. M., Bandung: Pustaka Pelajar, 1988.
Al-Wafa, Abu Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke
Zaman, diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’i Usmani, Bandung: Penerbit Pustaka,
1985.
Dahler,
Franz dan Eka Budianta. Pijar Peradaban Manusia Denyut Harapan Evolusi.
Cetakan Kelima. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2005.
Fridayanti.
“Tentang Manusia dalam Perspektif Ilmu Barat”. Dalam Sejarah Ilmu Pengetahuan,
2006.http://arc.itb.ac.id/~aris/PRIVAT/galileo.
Redaksi..
“Konsepsi Manusia: Tinjauan Umum pada Era Pramodernisme Modernisme dan
Posmodernisme”. Dalam Suluk Blogsome, 2005, http://suluk.blogsome.com.
Redaksi.2006.“Heidegger”.http://www.freewebs.com/payung/coretcoretkehidupanku.htm
Redaksi.
2006. “Pemikiran Jean-Paul Sartre dalam Existentialism and Humanism”.
Dalam Filsafat Kita, http://filsafatkita.f2g.net.
Smith,
Linda dan William Raeper. Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Cetakan
Kelima. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
[1]
Dahler, Franz dan Eka Budianta. Pijar Peradaban Manusia Denyut Harapan
Evolusi. Cetakan Kelima. (Yogyakarta : Kanisius, 2005 ), hal. 23.
2 Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Dalam Islam. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia ,
1989), hal. 19.
[3] Ibid.,
[4]
Fridayanti, “Tentang Manusia dalam Perspektif Ilmu Barat”. Dalam Sejarah
Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta :
Renika,2006 ), hal 19.
[6]Redaksi.2006.“Heidegger”.http://www.freewebs.com/payung/coretcoretkehidupanku.htm
[8] Endang Saifudin,. Ilmu, Filsafat dan Agama., ( Surabaya :
Bina Ilmu,1982 ),hal. 27
0 Comments
Post a Comment