Pengertian Pendidikan Anak
BAB III
HAKIKAT PENDIDIKAN
ANAK
A.
Pengertian Pendidikan Anak
Pendidikan berasal dari kata didik yang artinya ”Memelihara,
memberi latihan, dan pimpinan, kemudian kata didik itu mendapat awalan pe-
akhiran- an sehingga menjadi pendidikan yang artinya perbuatan mendidik.”[1]
Syaiful Djamarah dalam bukunya “Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam
Keluarga” mengemukakan bahwa ”Pendidikan adalah usaha-usaha untuk membina
pribadi muslim yang terdapat pada pengembangan dari segi spiritual, jasmani,
emosi, intelektual dan sosial.”[2]
Menurut M
Arifin, pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan
mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk
pendidikan formal maupun non formal.”[3]
Menurut Ahmad D. Marimba Pendidikan
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama.”[4] Menurut Soegarda Poerbakawatja pendidikan ialah semua
perbuatan atau usaha dari generasi tua untku mengalihkan pengetahuannya,
pengalamannya, kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda. Sebagai
usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun
rohani.”[5]
Anak adalah karunia Allah yang tidak dapat dinilai dengan
apapun. Ia menjadi tempat curahan kasih sayang orang tua. Namun sejalan dengan
bertambahnya usia sang anak, muncul “agenda persoalan” baru yang tiada kunjung
habisnya. Ketika beranjak dewasa anak dapat menampakkan wajah manis dan santun,
penuh berbakti kepada orang tua, berprestasi di sekolah, bergaul dengan baik
dengan lingkungan masyarakatnya, tapi di lain pihak dapat pula sebaliknya.
Perilakunya semakin tidak terkendali, bentuk kenakalan berubah menjadi
kejahatan, dan orangtua pun selalu cemas memikirkanya.[6]
Abdullah Nashih ‘ulwan, dalam bukunya “Tarbiyatul
Aulad” menjesaskan bahwa:
Hanya ada satu cara agar anak menjadi
permata hati dambaan setiap orangtua, yaitu melalui pendidikan yang bersumber
dari nilai-nilai Islam. Islam telah memberikan dasar-dasar konsep pendidikan
dan pembinaan anak, bahkan sejak masih dalam kandungan. Jika anak sejak dini
telah mendapatkan pendidikan Islam, Insya allah ia akan tumbuh menjadi insan
yang mencintai Allah dan Rasul-nya serta berbakti kepada orengtuanya.Upaya dalam
mendidik anak dalam naungan Islam sering mengalami kendala. Perlu disadari
disini, betapa pun beratnya kendala ini, hendaknya orangtua bersabar dan
menjadikan kendala-kendala tersebut sebagai tantangan dan ujian.[7]
Lebih lanjut Ahmad D. Marimba menjelaskan bahwa:
Dalam mendidik anak setidaknya ada dua
macam tantangan, yang satu bersifat internal dan yang satu lagi bersifat
eksternal. Kedua tantangan ini sangat mempengaruhi perkembangan anak.Sumber
tantangan internal yang utama adalah orangtua itu sendiri. Ketidakcakapan
orangtua dalam mendidik anak atau ketidak harmonisan rumah tangga. Sunatullah
telah menggariskan, bahwa pengembangan kepribadian anak haruslah berimbang
antara fikriyah (pikiran), ruhiyah (ruh), dan jasadiyahnya
(jasad).[8]
Tantangan eksternal pun juga sangat berpengaruh dan
lebih luas lagi cakupannya. Tantangan pertama bersumber dari lingkungan rumah.
Informasi yang yang didapat melalui interaksi dengan teman bermain dan kawan
sebayanya sedikit banyak akan terekam. Lingkungan yang tidak islami dapat
melunturkan nilai-nilai islami yang telah ditanamkan di rumah. Yang berikutnya
adalah lingkungan sekolah. Bagaimanapun juga guru-guru sekolah tidak mampu
mengawasi anak didiknya setiap saat. Interaksi anak dengan teman-teman
sekolahnya apabila tidak dipantau dari rumah bisa berdampak negatif. Sehingga
memilihkan sekolah yang tepat untuk anak sangatlah penting demi terjaganya
akhlak sang anak.
Lebih lanjut Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan
bahwa:
Anak-anak Muslim yang disekolahkan di
tempat yang tidak islami akan mudah tercemar oleh pola fikir dan akhlak yang
tidak islami sesuai dengan pola pendidikannya, apalagi mereka yang disekolahkan
di sekolah nasrani sedikit demi sedikit akhlak dan aqidah anak-anak Muslim akan
terkikis dan goyah. Sehingga terbentuklah pribadi-pribadi yang tidak menganal
islam secara utuh.[9]
[2] Syaiful Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua
dan Anak dalam Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004).hal. 78.
[6]
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil-Islam, Terj. Khalilullah
Ahmas Masjkur Hakim, Cet. 2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hal. 5.