Peran Edukasi Fatimah Az-Zahra Dalam Pendidikan
BAB IV
Peran Edukasi
Fatimah Az-Zahra Dalam Pendidikan
A. Fatimah Az-Zahra Sebagai Murid
Ayahanda Fatimah Az-Zahra hidup di tengah-tengah bangsa
yang pada waktu itu sedang diselimuti dekadansi sosial, kebodohan, tidak
mengenal agama, dan tidak mengenal tata kehidupan sosial dan kenegaraan. Terus
menerus bertikai antar sesama kabilah. Dari masyarakat yang begitu terbelakang
itu, beliau berhasil membentuk suatu generasi baru yang memiliki harga diri,
berakhlak mulia, beraqidah mendalam, beriman teguh, berakhlak luhur, serta tunduk
pada kebenaran. Semuanya itu merupakan masalah yang sebelumnya tidak pernah
bisa ditegakkan oleh orang lain. Rasulullah adalah guru pertama yang
mengajarkan peri kemanusiaan kepada umat manusia dan mendidik semua bangsa.
Beliau mempunyai kewibawaan yang amat disegani oleh orang-orang Arab yang waktu
itu terkenal dengan kekerasan, kekuatan dan keberaniannya.
Sayyidatina Fatimah Az Zahra r.a besar di bawah naungan
wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan jahiliyah, di
kala sedang hebatnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala. Ketika
masih kanak-kanak, Sayyidatina Fatimah Az Zahra r.a sudah mengalami
penderitaan, merasakan kehausan dan kelaparan. Dia berkenalan dengan pahit
getirnya perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun,
dia bersama ayah bundanya hidup menderita, dibuang ke daerah akibat pemboikotan
orang-orang kafir Quraisy terhadap keluarga Bani Hasyim. Setelah bebas dari
penderitaan 3 tahun diboikot, datang pula ujian berat atas diri Sayyidatina
Fatimah Az Zahra r.a, dengan wafatnya bunda tercinta, Sayyidatina Khadijah r.a.
Perasaan sedih selalu menyelubungi hidupnya sehari-hari dengan putusnya sumber
kecintaan dan kasih sayang ibu. Rasulullah Saw sangat mencintai puterinya ini.
Sayyidatina Fatimah Az Zahra r.a adalah puteri bungsu yang paling disayang dan
dikasihani junjungan kita Rasulullah Saw. Nabi Muhammad Saw merasa tidak ada
seorang pun di dunia, yang paling berkenan di hati beliau dan yang paling dekat
di sisinya selain puteri bungsunya itu.[1]
Berbagai cara ditempuh kaum musyrikin Quraisy untuk menekan
ayahandanya agar mau menghentikan dakwahnya. Dari Ibnu abbas diriwayatkan bahwa
Nabi masuk ke ka’bah dan mulai melakukan shalat. Maka, berkatalah Abu Jahal, “Siapa
yang mau berdiri ke tempat orang ini dan merusak shalatnya?” Berdirilah Ibnu Az
Zab’ari. Ia mengambil kotoran hewan dan darah, kemudian melemparkannya kepada
beliau. Fatimah datang menghilangkan kotoran itu dan mencaci mereka yang asyik
tertawa.
Kaum musyrikin melakukan perbuatan apa saja terhadap diri
Rasul baik dengan ejekan, cemoohan, penghinaan, atau perbuatan jahat lainnya.
Putri beliau, menyaksikan sendiri penganiayaan sekejam itu yang dialami oleh
ayahnya. Hal ini tidak hanya diketahuinya tetapi Fatimah juga ikut
merasakannya. Partisipasi wanita shalihah atau peranannya yang bersifat edukatif
dapat dilihat dari sifat-sifat ketaqwaan yang dimilikinya. Sifat taqwa yang
dimiliki wanita shalihah dapat melahirkan perbuatan atau tingkah laku yang
sesuai dengan nilai-nilai moral, karena inti dari taqwa itu sendiri adalah taat
kepada agama, sedangkan agama mengajarkan nilai-nilai moral.
Sesungguhnya Fatimah telah memiliki sifat-sifat ketakwaan
tersebut. Dia telah ikut memberikan pengorbanan dan memikul pemboikotan dan
kesulitan untuk membantu ayahandanya menyebarkan agama Allah, menyiarkan
kalimat tauhid, dan mengibarkan panji keadilan. Beliau selalu setia mendampingi
ayahnya untuk menyelamatkan manusia dalam memberi petunjuk kepada umat manusia
kepada tujuan-tujuan yang suci. Dengan demikian, Fatimah Az-Zahra telah
memberikan peranan penting sebagai seorang wanita shalihah yaitu ikut
menyebarkan nilai-nilai moral untuk bisa mewarnai kehidupan manusia.
B. Fatimah Az-Zahra Sebagai Guru
Guru dapat diartikan sebagai seorang yang
pekerjaannya mengajar”.[2]
“guru sebagai pendidik profesional, sebab secara implisit ia telah merelakan
dirinya menerima dan memikul sebagian tanggungjawab pendidikan yang terpikul
dipundak para orang tua”.[3]
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”.[4]
Pendidik/guru dalam Islam adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang palingbertanggung jawab adalah
orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan oleh dua hal
yaitu yang pertama, karena kodrat yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi
orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggung jawab
mendidik anaknya. Kedua, karena kepentinga kedua orangtua yaitu orangtua
berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya.[5]
Mendidik anak termasuk tugas yang sangat berarti dan
urusan penting yang berat yang diletakkan pada pundak Fatimah, karena ia memperoleh
lima orang anak: Hasan, Husain, Zainab, Ummu Kultsum, dan Muhsin yang meninggal
keguguran ketika ia masih berupa janin di dalam perut ibunya. Tinggallah
baginya dua anak laki-laki dan dua anak perempuan.
a. Kelahiran Hasan
“Hasan bin Ali bin Abu Thalib (Bahasa Arab: حسن بن علي بن أﺑﻲ طالب) (c. 625 – 669) adalah anak dari Ali bin Abi
Thalib dan Fatimah az-Zahra, dan cucu pertama dari Muhammad. Menurut hampir
seluruh sekte Syi'ah, Ia merupakan Imam kedua, sedangkan sekte lainnya menyebut
bahwa Imam kedua adalah saudaranya Husain bin Ali. Walaupun begitu, ia
merupakan salah seorang figur utama baik dalam Sunni dan Syi'ah karena ia
merupakan Ahlul Bait dari Nabi Muhammad Saw. Ia juga sangat dihormati kaum Sufi
karena menjadi Waliy Mursyid yang ke-2 setelah ayahnya terutama bagi tarekat
Syadziliyyah.”.[6]
b. Kelahiran Husain
Al Husain dilahirkan di Madinah tanggal 5 Sya’ban tahun ke-4
H. Dilahirkan menjelang fajar, putra Fatimah ini disambut dengan kegembiraan
bercampur kecemasan. Beberapa saat sesudah kelahirannya, Rasulullah Saw. yang semula berwajah berseri, mendadak nampak sedih. “Anak ini kelak akan
dibunuh oleh golongan angkara murka” ungkap Rasulullah. Seperti diketahui, apa
yang dikhawatirkan Rasulullah beberapa saat sesudah kelahiran al Husain
tersebut 56 tahun kemudian menjadi kenyataan.
Fatimah bukanlah wanita berpikiran cetak yang membayangkan
rumah sebagai lingkungan yang kecil dan sempit. Sebaliknya, ia menganggap
lingkungan rumah luas dan penting. Baginya, rumah adalah pabrik untuk
menghasilkan manusia-manusia pengemban risalah. Rumah adalah perguruan tinggi
untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran kehidupan. Rumah adalah markas untuk
melatih pengorbanan, yang akan dipraktikkan nanti dalam masyarakat di luar
rumah.
Fatimah tidak merasa kurang sebagai wanita. Baginya wanita
adalah wujud yang disucikan, yang mempunyai kedudukan tinggi dan posisi mulia.
Dan Allah telah menyerahkan kepadanya tanggung jawab yang paling sulit dan
tugas penting yang paling berat dalam kehidupan.
c. Kelahiran Zainab dan Ummu Kultsum
Sayyidah Zainab lahir pada tanggal “lima Jumadil Awal
tahun lima atau enam Hijriah. Berdasarkan hasil kajian, Sayyidah Zainab adalah
anak perempuan pertama Sayyidah Fathimah Zahra as.Ada juga yang mengatakan
bahwa Sayyidah Zainab lahir empat tahun sebelum Rasulullah saw. wafat”.[7]
Ketika Sayyidah Zainab lahir, Sayyidah Fathimah Zahra as. Berkata kepada Amirul
Mukminin as., “Karena ayahku tengah bepergian, tolong beri nama bagi anak ini.
“Imam Ali as. Menjawab, “Aku tidak mau mendahului ayahmu.”Setelah tiga hari
berlalu, Rasulullah saw. pulang dari perjalanan. Sebagaimana biasa, pertama
Rasulullah saw. datang ke rumah Sayyidah Fathimah Zahra as. Kemudian beliau
berkata, “Anak-anak Fathimah adalah anak-anakmu.
Karena itulah Fatimah memikul tanggung jawab pendidikan. Perkataan
“pendidikan anak” memang singkat dan sederhana, namun maknanya dalam, luas dan
sangat berarti. Pendidikan bukan hanya berarti seorang ayah memberikan makanan,
minuman, dan pakaian, dan berusaha mencari nafkah, sedangkan sang ibu
menyiapkan makanan, mencuci pakaian dan memperhatikan kebersihan anak, lalu tidak
ada tanggung jawab lain. Islam tidak merasa cukup dengan batasan ini. Bahkan,
ia menjadikan tanggung jawab kedua orang tua jauh lebih besar daripada itu
dalam pendidikan anak. Karena, kepribadian seorang anak yang tak berdosa ketika
dilahirkan, tergantung pada pendidikan, pengawasan, dan aturan orang tuanya. Setiap
perbuatan dan tingkah laku orang tua akan berpengaruh dalam jiwa seorang anak
yang halus. Si anak akan mengikuti mereka dan merefleksikan tingkah laku mereka
secara utuh bagaikan sebuah cermin.
Di rumah yang sederhana, Fatimah telah mendidik
anak-anaknya yang oleh sejarah diakui
sebagai manusia-manusia terbaik. Ia bersama suaminya menempatkan diri sebagai
teladan bagi anak-anak mereka. Kepada putra sulungnya, Hasan, Fatimah pernah
berkata, “Hasan, anakku, jadilah engkau seperti ayahmu, belalah kebenaran,
sembahlah Allah, Tuhan yang Maha Pengasih dan Pemberi Kebaikan. dan janganlah
engkau bergaul dengan orang-orang pendendam.[8]
Akan tetapi sangat disayangkan, sejarah tidak banyak
mencatat rincian dari metode yang lurus tersebut. Hal ini salah satunya disebabkan
oleh karena program pendidikan pada saat itu berlangsung tertutup di dalam
rumah, sehingga orang lain tidak mengamati secara rinci perilaku Ali dan
Fatimah Az-Zahra baik perkataan dan perbuatan terhadap mereka. Namun secara
garis besar dapat dikatakan bahwa metode Fatimah dalam pendidikan adalah metode
Islam itu sendiri. Secara singkat akan penulis tunjukkan beberapa pelajaran
penting yang bisa diambil dari dalam keluarga Fatimah dalam pendidikan
anak-anaknya antara lain:
a) Cinta dan kasih sayang.
Sebagian orang membayangkan bahwa masa pendidikan seorang
anak dimulai ketika ia sudah dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan yang
buruk, yang bagus dan yang jelek. Pendidikan sebelum masa itu tidak akan ada
hasilnya karena si anak belum dapat menangkap apa-apa dari sekelilingnya dan lingkungannya.
Pendapat tersebut jelas tidak benar. Pakar-pakar pendidikan menekankan bahwa
semua kejadian dan peristiwa yang terjadi di lingkungan seorang anak pada masa
dininya, juga cara perlakuan kedua orang tua , temasuk cara penyusuannya,
sangat berpengaruh terhadap anak dan perkembangan kepribadiannya di masa mendatang.
Ahli-ahli psikologi dan pendidikan telah menetapkan bahwa
di awal dan akhir masa kanak-kanak, seorang anak sangat membutuhkan cinta dan
perhatian orang lain. Ia menghasratkan cinta dan keterkaitan (kedekaatan) ibu
dan ayah kepadanya. Setelah itu, tidak penting lagi apakah ia hidup di istana
atau di gubuk yang kosong, memakai pakaian yang bagus atau jelek, dan memakan makanan
yang enak dan baik atau tidak, selama ia merasakan kehangatan, kelembutan dan
kasih sayang yang dapat memuaskan perasaannya.
Hati ibu yang penuh kasih sayang dan asuhannya yang hangat
serta cinta ayah yang tulus dan belas kasihnya akan memancarkan pada diri anak
sumber-sumber kebaikan, semangat tolong menolong, serta cinta dan sayang kepada
orang lain. Kasih sayang ini akan menyelamatkannya dari kelemahan dan ketakutan
akan kesendirian dan akan memberinya harapan dalam kehidupan. Sikap yang benar
dan cinta yang dalam dan murni ini akan menumbuhkan benih kebaikan dan
kebiasaan yang bagus pada diri anak. Cinta ini akan membuatnya berjiwa sosial,
suka menolong dan melayani orang lain, menunjukannya jalan kebahagiaan, dan mengeluarkannya
dari perilaku menarik diri dan lari dari kenyataan.
Sebaliknya seorang anak yang yang tidak mendapatkan cinta
dan kasih sayang akan tumbuh sebagai seorang anak yang penakut, pemalu, lemah,
penyendiri, pemurung, dan selalu bersedih. Ia akan berusaha menunjukkan bahwa
ia tidak membutuhkan masyarakat. Ia pun melakukan kejahatan, seperti mencuri
dan membunuh, untuk memberi balasan kepada masyarakat yang tidak memberinya
cinta, kasih sayang, agar masyarakat mengerti bahwa ia tidak lagi membutuhkan
cinta mereka yang tidak ia mereka berikan dahulu.
Ketika Nabi melewati rumah Fatimah dan mendengar Husain
menangis. Maka beliau mengatakan,”Apakah kamu tidak tahu bahwa tangisannya itu menyakitiku?
Nabi begitu mencintai Hasan dan Husain. Pada suatu hari beliau memasuki rumah
Fatimah sebagaimana yang beliau lakukan setiap hari sejak lahirnya anak-anak
itu. Beliau masuk dan melihat keduanya sedang tidur, sedang Hasan lapar dan
menangis. “Beliau tak mendapatkan makanan. Beliau tak sampai hati membangunkan orang-orang
yang paling beliau cintai itu. Dengan tenang dan tak beralas kaki beliau pergi
ke biri-biri yang ada di rumah itu, memerahnya lalu memberikan susu kepada anak
itu sehingga ia tenang.
Jadi, cinta dan kasih sayang termasuk kebutuhan yang paling
penting dalam pendidikan anak. Pelajaran ini telah dipraktekkan dengan sangat
cermat di dalam rumah Fatimah. Rasulullah telah mengajarkan hal itu kepada
putrinya dalam praktik nyata.
b) Menumbuhkan kepribadian
Para ahli psikologi mengatakan bahwa seorang pendidik harus
menumbuhkan pada anak sikap percaya diri, menghormati orang lain, dan
bercita-cita tinggi. Ia harus menghargi pribadi dan keberadaannya, agar ia jauh
dari perbuatan jelek dan tidak menyerah karena merasa hina dan rendah.
Sebaliknya jika si pendidik meremehkannya, tidak menghormatinya, dan menghancurkan
pribadinya, maka ia akan tumbuh menjadi seorang penakut, minder, dan tidak
percaya diri. Ia tidak berani melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, karena ia
merasa lemah dan tidak mampu mengerjakannya. Orang-orang demikian tidak akan memiliki
peran dalam kehidupan dan masyarakat, cepat tunduk karena merasa hina dan
rendah, dan segera menyerah karena mendapat kesulitan.
Menumbuhkan kepribadian dapat dilakukan dengan memberikan
dorongan-dorongan kepada anak agar mempunyai sifat-sifat yang terpuji dengan
menyebutnya di hadapan orang lain serta mengajarkannya untuk memiliki pribadi
kuat dan terhormat.
Nabi sedang berbicara di atas mimbar, sedang Hasan berada
di sisinya. Sekali waktu ia memandang orang-orang, sekali waktu ia memandang
Nabi. Lalu Nabi mengatakan, ‘Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin.’”
Fatimah dan kedua anaknya Hasan dan Husain, datang ke tempat Rasulullah. Lalu
ia berkata, “Wahai Rasulullah, kedua anakmu ini adalah anak-anakmu. Warisilah
mereka berdua sesuatu.”Maka Nabi mengatakan, “Untuk Hasan kewibawaanku dan
kedudukanku, sedangkan untuk Husain keberanianku dan kedermaawananku.
c) Menjadi teladan yang baik
Seorang wanita muslimah harus bisa menampilkan perilaku publik
maupun personal yang mencitrakan prinsip-prinsip agama dan dakwahnya. Masalah
ini sebenarnya adalah lanjutan dari kewajiban wanita muslimah. Mewujudkan
syarat-syarat keteladanan adalah tanda keikhlasan dan jalan mempengaruhi orang
lain. Oleh karena itu, tingkah laku seorang wanita muslimah harus bisa lebih
fasih dalam menyuarakan dakwah dan lebih kuat pengaruhnya daripada ucapan dan
penuturannya.
Seorang wanita muslimah harus bisa menjadi teladan pertama
bagi anak-anaknya yang cepat sekali meniru dan terpengaruh dengan tingkah
lakunya. Sebab anak adalah titipan terbesar setelah agama. “Kepada para wanita
hendaknya membentuk diri mereka dengan prinsip-prisnip kebaikan sehingga mereka
akan menjadi teladan yang baik dan ditiru anak.
Abdullah Nashih
Ulwan menjelaskan bahwa:
Anak adalah karunia
Allah yang tidak dapat dinilai dengan apapun. Ia menjadi tempat curahan kasih
sayang orang tua. Namun sejalan dengan bertambahnya usia sang anak, muncul
“agenda persoalan” baru yang tiada kunjung habisnya. Ketika beranjak dewasa
anak dapat menampakkan wajah manis dan santun, penuh berbakti kepada orang tua,
berprestasi di sekolah, bergaul dengan baik dengan lingkungan masyarakatnya,
tapi di lain pihak dapat pula sebaliknya. Perilakunya semakin tidak terkendali,
bentuk kenakalan berubah menjadi kejahatan, dan orangtua pun selalu cemas
memikirkanya.[9]
Mengingat betapa pentingnya
pendidikan anak, maka muncullah konsep pendidikan anak berupa kumpulan
pemikiran atau ide tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan anak oleh
Abdullah Nashih Ulwan. Beliau merupakan seorang tokoh pemikir Islam yang
berasal dari kota Halb Syiria yang mempunyi pandangan bahwa anak merupakan aset
yang berharga bagi orang tua, bangsa dan agama, dimana kemajuan atau kemunduran
bangsa dan agama di pengaruhi oleh kualitas anak-anak. Banyak kiranya orang tua
yang lalai dengan tugas mereka sebagai pendidik sehingga terciptalah anak-anak
yang berakhlak buruk yang merugikan bangsa dan agama.
Lebih lanjut Abdullah Nashih Ulwan,
menegaskan bahwa:
Hanya ada satu cara
agar anak menjadi permata hati dambaan setiap orangtua, yaitu melalui
pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Islam telah memberikan
dasar-dasar konsep pendidikan dan pembinaan anak, bahkan sejak masih dalam
kandungan. Jika anak sejak dini telah mendapatkan pendidikan Islam, Insya allah
ia akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah dan Rasul-nya serta berbakti
kepada orang tuanya. Upaya dalam mendidik anak dalam naungan Islam sering
mengalami kendala. Perlu disadari disini, betapa pun beratnya kendala ini,
hendaknya orang tua bersabar dan menjadikan kendala-kendala tersebut sebagai
tantangan dan ujian.[10]
Dalam mendidik anak setidaknya
ada dua macam tantangan, yang satu bersifat internal dan yang satu lagi
bersifat eksternal. Kedua tantangan ini sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sumber
tantangan internal yang utama adalah orang tua itu sendiri. Ketidakcakapan
orang tua dalam mendidik anak atau ketidak harmonisan rumah tangga.“Sunatullah
telah menggariskan, bahwa pengembangan kepribadian anak haruslah berimbang
antara fikriyah (pikiran), ruhiyah (ruh), dan jasadiyahnya
(jasad)”.[11]
Fatimah Az-Zahra telah menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang
baik dan sifat-sifat yang tepuji pada diri anak-anaknya sejak dini. Ketika
Hasan dan Husain jatuh sakit, Nabi bersama Abu Bakar dan Umar menjenguknya
kemudian Nabi berkata “Wahai Abal Hasan, jika engkau bernazar untuk kedua
anakmu, tentu Allah akan menyembuhkan mereka.” Lalu Ali berkata, “Aku akan berpuasa
selama tiga hari sebagai rasa syukur kepada Allah.”
Begitu juga yang diucapkan oleh Fatimah dan kedua
putranya. Akhirnya mereka berpuasa selama tiga hari tanpa ada makanan untuk
berbuka karena Allah telah menguji kesabaran mereka dengan mendatangkan fakir
miskin selama tiga hari berturut-turut ketika menjelang berbuka puasa. Fatimah
Az-Zahra telah memberikan teladan yang nyata bagi kedua putranya tentang pelajaran
mengutamakan orang lain atas diri sendiri.
d) Pelajaran iman dan taqwa
Yang dimaksud
dengan dasar-dasar keimanan ialah segala sesuatu yang ditetapkan melalui
pemberitaan secara benar, berupa hakikat keimanan dan masalah yang ghaib.
“Akidah Islam memiliki ciri khas yaitu keseluruhan bersifat ghaib. Karena Itu,
orangtua dan pendidik akan sedikit kebingungan; bagaimana menyampaikannya
kepada anak dan bagaimana anak akan menerimanya, bagaimana menjelaskannya dan
bagaimana memaparkannya”[12].
Hannan Athiyah
Ath-Thuri dalam bukunya Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-Kanak menjelaskan
bahwa pendidikan keimanan adalah “sinergi berbagai unsur aktifitas pedagogis;
pengaitan anak-anak dengan dasar-dasar keimanan, pengakrabannya dengan
rukun-rukun Islam, dan pembelajaran tentang prinsip-prinsip syariat islam”.[13]
Kewajiban
pendidik adalah menumbuhkan anak atas dasar pemahaman-pemahaman diatas, berupa
dasar-dasar pendidikan Iman dan ajaran Islam sejak masa pertumbuhannya.
Sehingga anak akan terikat dengan Islam, baik aqidah maupun ibadah, dan juga ia
akan selalu berkomunikasi dengannya dalam hal penerapan metode maupun
peraturan. Setelah mendapat petunjuk dan pendidikan ini, Ia hanya akan mengenal
Islam sebagai agamanya, Alquran sebagai imamnya, dan Rasulullah Saw. sebagai pemimpin
dan tauladannya.
Rasulullah menanamkan ajaran-ajaran agama di rumah Fatimah
sejak masa kanak-kanak yang paling awal dan masa penyusuan. Ketika Hasan
dilahirkan, beliau mengazaninya di telinga yang kanan dan mengiqamahinya di
telinga yang kiri. Ketika Husain dilahirkan, beliau juga melakukan hal yang
sama. “Abu Abdillah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. melakukan shalat, sedang Husain di sampingnya.
Rasulullah bertakbir, namun Husain tidak bertakbir. Sampai Rasulullah bertakbir
tujuh kali barulah Husain bertakbir.
Rumah memiliki peranan yang sangat penting untuk menjadi salah
satu media pendidikan anak. Sebab lingkungan pertama yang dilihat anak adalah
rumah dan keluarganya. Gambaran hidup yang pertama-tama terbentuk di alam
pikirannya adalah apa yang dilihatnya dari kondisi keseharian keluarga di dalam
rumah dan cara hidup mereka. Jiwa anak kecil sangat fleksibel, menyerap segala
sesuatu dan terpengaruh dengan segala pengaruh yang terjadi di lingkungannya
pertama ini. Fatimah, didikan wahyu yang tumbuh dalam asuhan kenabian ini
mengetahui metode-metode pendidikan Islam. Ia tidak mengabaikannya dan tidak
melupakan pengaruhnya terhadap anak, mulai dari menyusui anaknya dengan air
susunya sendiri sampai perilakunya, perbuatannya, dan perkataannya.
Fatimah mengetahui bahwa ia harus mendidik para pemimpin
yang akan dipersembahkannya kepada masyarakat sebagai teladan Islam yang hidup
sebagai gambaran, hakikat dan model Alquran yang bergerak. Jelas pekerjaan ini tidak
mudah. Fatimah tahu bahwa ia harus mendidik orang seperti Hasan dan Husain,
yang rela mengorbankan dirinya, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan penolong-penolongnya
di jalan Allah, demi membela agama dan mencegah kedzaliman, agar ia dapat
mengairi pohon Islam dengan darahnya. Fatimah bukanlah wanita berpikiran cetak
yang membayangkan rumah sebagai lingkungan yang kecil dan sempit. Sebaliknya,
ia menganggap lingkungan rumah luas dan penting. Baginya, rumah adalah pabrik
untuk menghasilkan manusiamanusia pengemban risalah. Rumah adalah perguruan
tinggi untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran kehidupan. Rumah adalah markas untuk
melatih pengorbanan, yang akan dipraktikkan nanti dalam masyarakat di luar
rumah.
Fatimah tidak merasa kurang sebagai wanita. Baginya wanita
adalah wujud yang disucikan, yang mempunyai kedudukan tinggi dan posisi mulia.
Dan Allah telah menyerahkan kepadanya tanggung jawab yang paling sulit dan
tugas penting yang paling berat dalam kehidupan.
C. Fatimah Az-Zahra Sebagai Masyarakat
Fatimah Az-Zahra adalah seorang wanita yang sedemikian tinggi
kemuliaan, agama dan kedudukannya di kalangan keluarga Nubuwwah. Jadi tidak
mengherankan kalau tidak sedikit tokoh orang terkemuka yang mengemukakan
keinginannya hendak mempersunting putri beliau. Dimulai oleh Abu Bakar Ash
Shidiq ra. Kemudian Umar bin Khatab, menyusul lainya lagi dari kalangan Quraisy
terkemuka. Semua mengajukan lamaran untuk memperistri Fatimah Az-Zahra akan
tetapi Rasulullah tidak mengabulkan keinginan mereka. Beliau hanya menjawab: Belum
tiba suratan takdirnya. Akhirnya Abu Bakar menyarankan Ali bin Abi Thalib untuk
meminang Fatimah. Mendengar saran Abu Bakar, Imam Ali tidak segera memberi tanggapan.
Baru beberapa saat kemudian ia berkata, “Hai Abu Bakar, sesungguhnya engkau
telah mengingatkanku pada sesutu yang sudah lama aku lupakan. “Demi Allah
memang minatku sangat besar kepada Fatimah, dan tidak ada yang menjadi
penghalang bagiku kecuali kemiskinanku” Setelah mendengarkan saran Abu Bakar
akhirnya Imam Ali memberanikan diri dan bertekad menghadap Rasulullah.
Rumah tangga Ali dan Fatimah merupakan contoh yang mengagumkan
dalam hal kemurnian, ketulusan dan kasih sayang. Mereka saling menolong dengan
serasi dan tulus dalam mengatur urusan rumah tangga dan melaksanakan
pekerjaan-pekerjaannya. Di awal kehidupan rumah tangganya, mereka meminta
keputusan Rasulullah dalam hal pengurusan rumah. Beliau memutuskan bahwa Fatimah
mengurus apa-apa yang ada di dalam rumah dan Ali mengurus yang ada di luarnya.
Fatimah dalam kehidupan rumah tangganya bersikap sebagai ibu
rumah tangga yang baik. Ia memperhatikan urusan rumah tangga sampai yang
sekecil-kecilnya. Ia mengurus semua kebutuhan dengan jerih payahnya sendiri. Ia
tidak mempunyai pembantu ataupun hamba sahaya. Ia tidak mengupah orang lain.
Seluruh hidupnya penuh dengan kerja keras dan perjuangan. Ia menepung gandum,
dan memutar gilingan dengan tangannya sendiri. Ia membuat roti dan menyap lantai
dan mengatur semua pekerjaan rumah tangganya dengan tenaganya sendiri.
Salah satu riwayat tentang hal itu mengemukakan: “Pada
suatu hari Rasulullah datang ke rumah Fatimah. Saat itu puterinya sedang menggiling
tepung sambil menangis, sedangkan pakaian yang dikenakannya sangat buruk dan
kasar. Melihat itu Rasulullah ikut menangis dan kemudian berkata: “Hai Fatimah,
terimalah kepahitan dunia sekarang ini untuk memperoleh kenikmatan di akhirat
kelak.
Ali berkata kepada seorang laki-laki dari bani Sa’ad:
“Maukah kamu saya ceritakan tentang saya dan Fatimah? Ia tinggal bersama saya
dan ia adalah keluarga Rasulullah yang paling dicintai oleh beliau. Namun, ia
mengambil air dengan qirbah (tempat air), sehingga menimbulkan bekas di
dadanya, ia menggiling dengan gilingan sehingga tangannya bengkak, ia membersihkan
rumah sehingga pakaiannya kotor, ia menyalakan api di bawah periuk. Ia
betul-betul capai dengan semua pekerjaan itu.
Putri Rasulullah ini tidak menganggap rendah pekerjaan di
dalam rumah. Ia tidak pula menolak melaksanakannya walaupun ia anak manusia
paling agung dalam Islam, bahkan di seluruh alam sampai Ali merasa kasihan
kepadanya dan memuji perbuatannya.
Fatimah hidup di rumah Ali dalam suasana yang sensitif
dan sangat mengkhawatirkan, ketika pasukan Islam senantiasa dalam keadaan siaga
dan terlibat dalam peperangan-peperangan yang membinasakan setiap tahun, di
mana suaminya ikut pada sebagian besarnya. Fatimah juga sangat mengerti tentang
tanggung jawabnya yang berat dan peranan serta pengaruhnya terhadap suaminya.
Sesungguhnya seorang wanita mempunyai pengaruh yang besar
terhadap suaminya. Ia dapat mengarahkan si suami ke mana saja ia sukai.
Kebahagiaan dan kesusahan seorang suami, kemajuan dan kemundurannya, ketenangan
dan kesedihannya, serta keberhasilan dan kegagalannya mempunyai kaitan yang
kuat dengan istrinya dan perlakuan istri terhadapnya di dalam rumah. Rumah
merupakan benteng tempat seorang suami berlindung dari keletihan-keletihan
kehidupan, kesulitan-kesulitan dunia, dan bencana-bencana masyarakat dan umat.
Di dalamnya ia beristirahat, mengembalikan kekuatannya, dan mempersiapkan bekal
untuk menghadapi episode berikut kehidupan. Dan istrilah orang pertama yang
bertanggung jawab terhadap tempat berlindung dan beristirahat itu. Karenanya
orang-orang mengatakan-sebagaimana keterangan dari Imam Musa bin Ja’far bahwa
jihad seorang istri adalah berlaku baik terhadap suami.
Fatimah Az-Zahra hidup di samping suaminya dengan
perasaan bahagia dan penuh ketentraman. Ia selalu riang. Tidak ada perselisihan
yang tak dapat diselesaikannya dengan baik. Ia menyadari dirinya sebagai istri
seorang pejuang Islam yang senantiasa sanggup berkorban. Seorang yang selalu
mengibarkan panji-panji perjuangan. Fatimah sadar bahwa dirinya harus dapat
menjadi istri yang sepadan dengan kedudukan suaminya sebagai pejuang Islam. Terhadap
suaminya ia bersikap seperti ibunya (Siti Khadijah r.a.) kepada Rasulullah. Ia
selalu menyertai beliau dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah Swt. Ia
menginsyafi bahwa dirinya harus sanggup memperteguh kesabaran menghadapi
kekerasan hidup dan berbagai macam kesulitan, seperti yang dilakukan suaminya
dalam menghadapi rintangan kaum musyrikin yang selalu menghancurkan agama
Islam. Kenyataan menunjukkan bahwa Fatimah sanggup menjadi istri yang demikian
itu. Ia dapat menyesuaikan hidupnya dengan tugas besar dan penting yang
dipikulkan Allah ke atas pundaknya.
Fatimah mengetahui bahwa panglima pasukan yang pemberani ini
(Ali) akan masuk ke medan perang dan mengalahkan musuh bila ia tenteram dan
tenang dengan istrinya serta bahagia di dalam rumah. Imam Ali, pemimpin
orang-orang yang berperang dan berkorban untuk agama tentu kembali ke rumah
dengan tubuh yang letih dan lelah. Ia mendambakan kehangatan, kasih sayang, dan
cinta kasih dari istrinya yang mulia ketika si istri membalut lukanya,
membersihkan darah dari tubuh dan pakaiannya, dan menanyakan berita-berita
peperangan.
Fatimah dilahirkan di tengah masyarakat yang tidak
mengenal nilai-nilai luhur ilahi, penuh dengan kebodohan dan khurafat. Tradisi
batil semacam membangga-banggakan diri, mengubur hidup-hidup anak perempuan,
pertumpahan darah dan peperangan menjadi budaya yang telah berakar pinak dalam
masyarakat Arab jahiliyah saat itu. Karena Rasulullah SAW pun akhirnya bangkit
menyuarakan pesan-pesan suci Islam, menentang tradisi jahiliyah dan
diskriminasi gender. Di tengah masyarakat terbelakang semacam itulah, kehadiran
Fatimah, putri Rasulullah menjadi tolak ukur perempuan muslim.[14]
Fatimah senantiasa memberikan semangat kepada suaminya, memuji
keberanian dan pengorbanannya, dan membantunya untuk menyiapkan diri untuk
menghadapi peperangan berikutnya. Tidak
pernah Fatimah keluar rumah tanpa izin suaminya. Tidak pernah ia membuat
suaminya marah. Ia sadar betul bahwa Allah tidak akan menerima perbuatan
seorang istri yang membuat marah suaminya sampai si suami ridha terhadapnya. Sebaliknya,
Fatimah juga tidak pernah marah terhadap suaminya. Ia tidak pernah berdusta di
rumahnya, tidak pernah berkhianat terhadapnya dan tidak pernah melawannya dalam
urusan apapun. “Demi Allah,” kata Imam Ali, “aku tidak pernah marah kepadanya
dan tidak pernah menyusahkannya sampai ia wafat. Ia juga tidak pernah membuatku
marah dan tidak pernah menentangku dalam urusan apapun.
Sesungguhnya Fatimah dan Ali dapat hidup dalam kehidupan yang
paling menyenangkan, akan tetapi riwayat telah menunjukkan bahwa kehidupan
Fatimah dan Ali sederhana sekali dan sering mengalami kesulitan. Semua itu
untuk memberikan contoh kepada kaum muslim tentang kehidupan sebuah masyarakat
Islam berdasarkan prinsip ajaran akhlak. Seorang pemimpin harus menjadi
tauladan, sebagai orang yang menolak kemewahan hidup duniawi. Rasulullah selalu
mengajarkan agar setiap orang yang bekerja untuk perbaikan masyarakat, setiap pendidik,
setiap penguasa agar terlebih dahulu memperbaiki, mengajar, dan memimpin
dirinya sendiri dan keluarganya sebelum mengajak orang lain dengan ucapan dan
peringatan. Tingkah laku akan lebih besar pengaruhnya daripada sekedar mengajak
orang lain.
Untuk menciptakan keluarga yang baik sangat diperlukan pengatur
yang mampu mengelola rumah tangga dengan baik. Dalam hal ini, Fatimah telah
dengan ikhlas melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri.
Terbentuknya masyarakat bermoral sangat tergantung pada kondisi keluarga yang
ada di dalamnya Apabila keluarga itu baik, maka akan tebentuk masyarakat yang
baik pula. Dengan sifat taqwa yang dimilikinya, Fatimah Az-Zahra telah
memberikan teladan kepada masyarakat untuk membentuk sebuah keluarga yang
sakinah demi terwujudnya masyarakat yang bermoral. Di sinilah letak peran
Fatimah Az-Zahra sebagai seorang istri yang menjadi teladan untuk menciptakan masyarakat
yang bermoral.
[1]
Ahlulbaitrasulullah, Sayyidatina Fatimah Az-Zahra ra, artikel diakses Tanggal 16 November 2015
dari http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.co.id html
[5]Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 74.
[9]
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil-Islam, Terj. Khalilullah
Ahmas Masjkur Hakim, Cet. 2, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992), hal. 5.