A.
Prinsip Demokrasi dalam Evaluasi
Pendidikan
Peranan pendidikan dalam
kehidupan kenegaraan akan banyak memberikan dimensi pembangunan karakter bangsa
(nations character building). Aktualisasi karakter masyarakat dapat
membentuk nilai-nilai budaya yang tumbuh pada komunitas lingkungan
sosial-politik, baik dalam bentuk berpikir, berinisiatif, dan aneka ragam hak
asasi manusia. Dengan demikian, pendidikan senantiasa melahirkan tata nilai
kehidupan masyarakat dalam sistem kenegaraan yang di anut oleh suatu
pemerintahan. Pada kondisi negara yang
memiliki heterogenitas masyarakat, cenderung menerapkan sistem demokrasi dalam
menjalankan roda pemerintahan. Konteks demokrasi secara sederhana menunjukkan
adanya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Prinsip utama dalam penerapan
alam demokrasi adalah adanya pengakuan atas kebebasan hak individual (human
right) terhadap upaya untuk menikmati hidup, sekaligus dalam mekanisme
menjalankan kewajiban sebagai warga negara. Sehingga, pada gilirannya dapat
membentuk kondisi community development pada nilai-nilai keberagaman,
baik berpikir, bertindak, berpendapat, maupun berkreasi. Sistem demokrasi merupakan suatu bentuk
tindakan yang menghargai perbedaan prinsip, keberagaman (heterogenitas)
nilai-nilai masyarakat dalam suatu negara[1].
Konsekuensi logis dari penerapan demokrasi adalah memberikan kebebasan
bertindak pada setiap orang sesuai dengan kehendaknya dalam batasan normatif
tertentu. Terbentuknya budaya demokrasi pada suatu negara banyak ditentukan
oleh penerapan sistem pendidikan yang berlaku, sehingga semakin demokratis
pelaksanaan pendidikan di suatu negara, akan memberikan implikasi pada
peningkatan taraf keperdulian masyarakat terhadap hak dan kewajibannya dalam
menggunakan pikiran, tenaga, dan suaranya. Impact yang sangat kuat dari
penerapan demokrasi pendidikan yaitu berkembangnya keberagaman pola pikir
masyarakat, kreativitas, dan daya inovasi yang tinggi.
Demokrasi dalam dunia
pendidikan memiliki konsekuensi bagi terbentuknya desentralisasi kewenangan, di
mana pengelolaan pendidikan akan banyak ditentukan oleh pelaksana langsung,
baik pengelola, tenaga kependidikan, maupun masyarakat dalam menciptakan isi
(materi) sistem pembelajaran, termasuk pengembangan kualitas peserta didik[2]. Di
sisi lain, demokrasi pendidikan akan berdampak pula pada aspek kurikulum,
efesiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan, serta pemerataan
terhadap perolehan pendidikan masyarakat. Demokrasi dalam sistem pendidikan
nasional di Indonesia, sebagaimana di atur dalam UU nomor 20 tahun 2003 BAB III
pasal (5) menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan[3].
Artinya bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk memperoleh pendidikan dalam
rangka mengembangkan diri dan meningkatkan pengetahuan, serta kemampuan
mereka. Letak geografis Negara Indonesia
yang merupakan negara maritim terbesar dan mempunyai keberagaman kondisi
masyarakat baik secara linguistik, budaya, agama, dan etnis, mengharuskan
penerapan sistem pendidikan yang demokratis.
Sejalan dengan adanya tuntutan
reformasi, hingga pada pemberlakuan otonomi daerah berdasarkan UU nomor 22 dan
25 tahun 1999, telah memberikan paradigma baru dalam sistem pendidikan yang
mengarah pada prinsip desentralisasi. Demokrasi pendidikan di Indonesia
mempunyai dua tugas utama, yaitu sebagai pengembangan potensi nyata yang
dimiliki oleh setiap daerah, dan pengembangan nilai-nilai hidup yang berlaku di
dalam masyarakat suatu daerah. Namun, koridor tugas pendidikan tersebut tetap
berpegangan pada koridor Negara kesatuan Republik Indonesia[4].
Demokrasi pendidikan dalam
pengertian yang luas adalah memberikan manfaat dalam praktek kehidupan dan
pendidikan yang mengandung tiga hal yaitu: Pertama, rasa hormat terhadap
harkat sesama manusia. Kedua, Setiap manusia memiliki perubahan ke arah
pikiran yang sehat. Ketiga, Rela berbakti untuk kepentingan /
kesejahteraan bersama.
Demokrasi pada prinsipnya ini
dianggap sebagai tiket untuk menjamin persaudaraan hak manusia dengan tidak
memandang jenis kelamin, umur. Warna kulit, agama, dan bahasa. Dalam pendidikan
antara satu dengan yang lainnya baik antara hubungan antara sesama peserta
didik atau peserta didik dengan gurunya yang saling menghargai dan menghormati
diantara mereka. Dari prinsip inilah timbul pandangan bahwa manusia itu harus
dididik, karena dengan pendidikan itu manusia akan berubah dan berkembang ke
arah yang lebih sehat, baik dan sempurna tentunya. Dalam hal ini diperlukan
sikap yang demokratis yaitu sikap yang tidak memaksakan kehendak terhadap orang
lain.
Dari pengertian demokrasi
disini tidaklah berarti bahwa setiap orang dibatasi oleh kepentingan
individu-individu lain. Atau dengan kata lain bahwa seseorang menjadi bebas
karena orang lain menghormati kepentingan. Dan dengan adanya norma-norma atau
aturan-aturan serta tata nilai yang terdapat dimasyarakat itulah yang membatasi
dan mengembalikan kebebasan setiap orang.
Acuan pemahaman demokrasi dan
demokrasi pendidikan dalam pandangan ajaran Islam bersumber dari Alquran.
1.
Surat
Asy-Syura ayat 38
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ) الشورى: ٣٨(
Artinya: Dan (bagi) orang-rang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka mereka dan mereka menafkahkan
sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. (Qs. Asy-Syura: 38).
Namun dalam prakteknya ternyata
demokrasi telah diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw. yang dikenal dengan istilah
musyawarah. Salah satu contoh dapat dikemukakan bahwa ketika Nabi Muhammad Saw.
menghadapi masalah strategi perang dan diplomasi dengan musuh, tergambar jelas
bagaimana Nabi Muhammad menyelesaikan masalah sosial politik yang sedang
dihadapi dan beliau selalu aspiratif dan dapat mentolierir adanya perbedaan
pendapat diantara para sahabat, tidak terkecuali berhadapan dengan musuh[5].
Sedangkan mekanisme pengambilan
keputusan terkadang beliau mengikuti mayoritas, dan ada pula mengambil
keputusan dengan pendapat sendiri tanpa mengambil saran sahabat. Dengan kata
lain Nabi Muhaammad Saw. tidak menentukan suatu sistem, cara dan metode
musyawarah secara baku, tetapi lebih bersifat variatif, fleksibel dan adaptif.
Firman Allah dalam surat
Ali-Imran ayat 159 sebagai berikut:
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ
حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ ) آل
عمران: ١٥٩(
Artinya: Maka disebabkan rahmat Allahlah kamu-kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu, kemudian apabila kamu membulatkan tekad maka bertawakkallah kepada
Allah, sesungguhnya allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadanya.(Qs.
Al-Imran:159).
Ayat diatas ditujukan kepada
Nabi Muhammad Saw. agar bermusyawarah dalam persoalan-persoalan yang dihadapi
dengan para sahabatnya atau anggota masyarakat. Hal ini merupakan bukti
keseluruhan dan kebijakan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Serta kemuliaan budi
pekertinya. Dari konsep musyawarah tersebuut ada nilai-nilai yang terdapat
dalam demokrasi yang menjadi prinsip daasar demokrasi. Nilai-nilai tersebut
diantaranya: Pertama, Prinsip
kebebasan, Kedua, Prinsip persamaan, Ketiga, Prinsip penghormatan
terhadap martabat manusia.
لاَ إِكْرَاهَ
فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدمِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ
وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ
لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ) البقرة: ٢٥٦(
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Qs.
Al-Baqarah:256).
Ayat diatas menjelaskan bahwa sungguh
telah jelas antara kebenaran dan kebatilan. Dan telah jelas sudah sisi
kebenaran bagi para pencari kebenaran. Dan kebenaran ini telah terbedakan dari
kesesatan. Sehingga tidak perlu lagi memaksa para ahli kitab dan orang-orang
kafir yang dikenai jizyah untuk memeluk agama Islam, agama yang benar. Dan
orang-orang yang berpaling dari kebenaran ini setelah jelas baginya, biarlah
Allah yang mengurusnya. Sungguh Allahlah yang akan mempersiapkan hukuman bagi
mereka di akhirat kelak.
[3] Undang-Undang Sisdiknas UU RI Nomor 20 Tahun 2003 dan Undang-Undang Guru
dan Dosen UU RI Nomor 14 Tahun 2005, (Jakarta: Asa mandiri, 2009 ), hal. 11.
0 Comments
Post a Comment