Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Prinsip-prinsip Filsafat Wujud


BAB I
P E N D A H U L U A N


A.   Latar Belakang Masalah
            Dalam wacana filsafat Islam, problematika seputar "wujud" merupakan tema yang paling krusial. Untuk menyoroti konsepsi tersebut, tulisan ini bersandar pada teori wujudiyyah yang disusun seorang filosof besar muslim yang terkenal dengan sebutan Mulla Sadra.
            Di antara tema-tema metafisika yang paling banyak melahirkan kontroversi filosofis adalah problema wujud. Sebab hakikatnya terasa sangat sulit untuk bisa dipahami. Hal ini lantaran wujud merupakan sesuatu yang tak mungkin bisa didefinisikan, mengingat untuk mendefinisikan suatu "objek", kita butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Dalam konteks wujud, apakah ada objek yang lebih bisa dipahami ketimbang konsepsi wujud?







BAB II
P E M B A H A S A N
   A. Hakikat Alam
            Dalam kaidah filsafat dikatakan bahwa antara sebab dan akibat harus memiliki kesejenisan (kesamaan) yang sangat kuat. Oleh karenanya Tuhan Maha Nonmateri dan Nondimensi sangatlah mustahil menyentuh (baca : mencipta) materi yang banyak dimensinya secara langsung. Sebab hal tersebut meruntuhkan kaidah di atas.”[1]
           Kalau kita berbicara mengenai warna saja, maka kita dapat melihat adanya beberapa warna yang saling berbeda di dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalau kita tanyakan, bagaimana Tuhan menciptakan mereka ? Maka akan ada dua kemungkinan : langsung atau tidak langsung. Kalau dikatakan langsung, sementara Tuhan tidak berdimensi, berarti sumber warna merah (contoh) juga merupakan sumber dari warna-warna yang lainnya. Ini menandakan tidak adanya kaitan antara sebab dan akibat.    Sementara kaidah mengatakan bahwa antara sebab dan akibat harus memiliki kaitan yang sangat erat. Sebab kalau tidak, maka bisa saja kita minum racun supaya sehat, mandi supaya kenyang atau pandai, tidur supaya jadi presiden, dan lain-lain. Dan kalau dikatakan langsung tapi masing-masing warna bersumber pada sumbernya sendiri-sendiri, maka jelas akan menimbulkan dimensi pada Tuhan. Di mana hal ini melazimkan adanya rangkapan pada Zat Tuhan. Sedang rangkapan menandakan keterbatasan masing-masing rangkapannya. Sementara gabungan dari yang terbatas - walau sangat banyak dan luas - merupakan keterbatasan pula. Sedang Tuhan jelas tidak terbatas.
           Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa materi atau alam sangatlah tidak layak untuk mendapatkan sentuhan langsung dari Tuhan. Sebagai gantinya, Tuhan mencipta makhluk lain yang nondimensi dan nonmateri. Makhluk inilah yang disebut sebagai makhluk Akal (bukan akal manusia) yang biasa dikenal dalam bahasa agama sebagai malaikatu al-muqarrabun (malaikat yang didekatkan). Sedang hakikat dan definisinya adalah suatu hakikat yang tidak berbentuk dan tidak berbeban. Mereka bukan hanya satu keberadaaan. Akan tetapi memiliki jumlah juga dan mereka bertingkat-tingkat. Ada yang sangat dekat (bukan tempat) dengan Tuhan, tapi ada pula yang agak jauh. Dan begitu seterusnya sampai mendekati alam barzakh.”[2]
           Alam Barzakh/Mitsal/Khayal, yaitu suatu hakikat yang berbentuk tapi tidak berbeban. Sebenarnya makhluk ini juga disebut makhluk Akal namun yang paling rendah. Karena 'kerendahannya' (bukan kerendahan akhlak) itulah ialah yang dapat menyentuh alam materi secara langsung dan menciptakannya dengan seizin Tuhan. Oleh karenanya ia disebut akal fa'al, yakni akal yang aktif yang secara langsung dalam pengadaan dan pengaturan alam materi.
           Para filosof berbeda pandangan perihal jumlahnya. Ada yang mengatakan bahwa ia hanya satu namun berdimensi banyak. Namun ada pula yang menyatakan ia memiliki jumlah yang banyak (Aqlu Al-'Aradhi). Sedang banyaknya dimensi atau jumlah tersebut sebanyak makhluk materi. Oleh karena itu masing-masing materi bersumber pada sumbernya sendiri-sendiri. Dalam bahasa agama makhluk ini disebut dengan malaikat penembus/pencabut nyawa, pemberi rezeki, pengatur hujan, peniup sangkakala, dan lain-lain.
           Alam materi, yakni suatu hakikat yang berbentuk dan sekaligus berbeban. Alam ini kedudukannya paling rendah (bukan akhlak). Oleh karenanya ia disebut dunia (dunya) yang berasal dari kata dani yang artinya rendah. Dalam filsafat tinggi rendahnya sesuatu tergantung sedikit banyaknya ia memiliki dimensi/rangkapan. Semakin sedikit maka akan semakin tinggilah kedudukannya.”[3]
           Begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu dalam filsafat akhlak dikatakan bahwa semakin banyak orang menyukai sesuatu dalam hatinya maka semakin banyak pula dimensi yang dimilikinya. Sehingga dengan itu maka akan semakin rendahlah kedudukannya di mata Allah. Namun sedikit maka akan semakin tinggilah kedudukannya. Apalagi ketika keinginannya hanya satu, yaitu Allah. Inilah yang diisyarati oleh Allah dalam Alquran surah 33 [Al-Ahzab] : 4 : "Allah tidak mencipta dua hati dalam diri seseorang."
B. Pengertian Wujud
            Wujud sering diartikan ada. Dan saya akan menggunakan kata itu untuk menunjuk kata wujud dalam istilah arabnya. Menurut Jam’ul jawami’ (selanjutnya akan disebut JJ)wujud sesuatu adalah ke-bendaan sesuatu itu sendiri (wujud asy-syai’ Ainuhu). Jadi, ketika sesuatu diberi sifat/predikat ada, itu hanyalah predikat yang bukan  sebenarnya. Artinya bukan sifat tambahan dari sesuatu itu sendiri. Sifat ADA hanyalah cerabutan dari benda itu yang dihasilkan oleh akal (zihn).
            Lebih jauh lagi, catatan kaki JJ oleh Asy-Syirbiny mengatakan bahwa pernyataan keberadaan sesuatu adalah sesuatu itu sendiri tidak mengindikasikan bahwa mafhum (konotasi) dan ma shodaq/mishdaq (denotasi) kata sesuatu dan ada itu sama. Perbedaan dalam konotasi bisa dilihat dengan jelas. Sedang perbedaan dalam denotasi itu dikarenakan denotasi kata sesuatu itu adalah hal yang diluar, sedang denotasi kata ada adalah makna abstrak mental. Karena ada adalah termasuk hasil akal yang kedua (Al-Ma’qulat Ats-Tsaniyah).”[4]
            Disini Mulla Sadra dalam masya’ir mengatakan bahwa wujud/ada yang sebenarnya bukanlah termasuk ma’qulat ats-tsaniyah. Wujud menurut dia adalah sesuatu itu sendiri (al-mahky ‘anhu). Tetapi disini Mulla Sadra juga mengatakan bahwa al-mahky ‘anhu itu adalah satu. Dan kata ada yang dipredikatkan pada segala sesuatu itu adalah ma’qulat ats-tsaniyah yang bukan wujud yang sebenarnya (hakikat al-wujud).
            Menurut para filosof, konsepsi wujud sedemikian terangnya, sehingga ia persis menyerupai matahari. Dan karena sedemikian terangnya, ia tak mungkin bisa dilihat manusia. Demikianlah wujud. Begitu jelasnya mafhum wujud, maka ia tak mungkin bisa didefinisikan lewat genus (jins) dan diferensia (fasl), yang secara otomatis berarti harus lebih terang ketimbang wujud itu sendiri. Secara konseptual, kata Sabzawari (w.1289), mafhum wujud adalah sesuatu yang sangat jelas dan bahkan aksiomatis. Tetapi realitas wujud adalah sesuatu yang sangat sulit bisa dipahami. Secara historis, tema wujud menjadi tema fundamental metafisika yang didiskusikan oleh hampir seluruh filosof klasik sejak Aristoteles. Karena itu kita akan dapati hampir seluruh buku-buku magnum opus filsafat, seperti as-Syifa karya Ibnu Sina,
            Hikmah al-Isyraq karya Suhrawardi; bahkan buku-buku kalam karya Khowajeh Nasiruddin Thusi menempatkan masalah itu sebagai tema pentingnya. Namun harus digaris bawahi di sini bahwa mereka masih "sekadar" menempatkan problematika wujud sebagai bagian dari tema-tema universalitas (kulliyyat) saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain seperti problematika substansi dan aksiden, unitas dan pluralitas, dan sebagainya. Sampai periode awal dari aktivitas ilmiah Sadra sekalipun, harus diakui bahwa wujud masih belum pernah terbuktikan sebagai fondasi dari apa yang disebut sebagai realitas. Ikhtilaf di kalangan para filosof masih berkisar di seputar masalah prinsipalita wujud dan mahiyah; mana lebih awal atau lebih prinsipiil, wujud atau mahiyah.
            Berdasarkan penghayatan spiritual yang sangat intensif dan upaya analisis intelektual yang sangat tajam, akhirnya Sadra melahirkan sebuah gagasan baru dalam filsafat bahwa wujud bukan hanya "lebih" prinsip daripada mahiyah, tapi ia juga merupakan fondasi dari semua yang disebut realitas; bahkan ia adalah realitas itu sendiri. Sejak itu, kata Rahman, wujudiyyah atau "eksistensialisme" lahir sebagai mazhab filsafat dalam komunitas Muslim.
           
C. Prinsip-prinsip Filsafat Wujud
            Untuk bisa memahami filsafat wujud, ada baiknya kita batasi pembahasan hanya pada teori Sadra yang dikenal sebagai filosof wujudiyyah di zamannya. Sayyed Hossein Nasr mengatakan, filsafat wujud Sadra berdiri di atas tiga prinsip dasar yang sangat fundamental. Dengan memahami ketiga prinsip ini, diharapkan kita akan dengan mudah memahami teori-teori filsafat metafisikanya, baik yang berkaitan dengan kosmologi, epistimologi, dan bahkan teologinya.
             Ketiga prinsip tersebut adalah sebagai berikut: wahdatul wujud, tasykikul wujud, dan asalatul wujud. Kita akan mengelaborasi ketiga prinsip ini secara sederhana. Secara historis, teori wahdatul wujud pada mulanya adalah teori yang disusun Ibnu Arabi. Ia lebih bernuansa sufistik ketimbang filosofis. Banyak penafsiran telah diberikan tentang teori ini, dari yang sangat ekstrem sampai moderat. Mungkin yang paling ekstrem adalah Ibnu Sab'in yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang eksis sementara selain Tuhan tak ada yang eksis. Ada lagi yang melihat bahwa seluruh yang maujud (existent) selain Tuhan hanyalah tajalliyat (manifestasi) dari Asma' dan Sifat-sifat Tuhan.”[5]
            Namun Sadra melihat bahwa realitas wujud meskipun satu, namun ia memiliki intensitas yang membentang dari yang namanya Wajib al-wujud (Allah SWT.) yang sifat wujudnya adalah Necessary, ke maujud-maujud lain yang bersifat contingent (mumkin al-wujud). Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu berbeda dengan sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar matahari tiada lain adalah matahari itu sendiri. Wujud Wajibul-wujud berbeda dengan wujud mumkinul-wujud, namun dalam masa yang sama entitas-entitas itu tiada lain adalah realitas Wajibul-wujud juga.
            Simplifikasi jenis wujud Allah ini kemudian melahirkan sebuah formula yang cukup signifikan dalam filsafat Sadra, yang disebutnya dengan istilah basitul haqiqah kullu syaiy ( bahwa wujud yang bersifat sederhana adalah wujud yang mencakup seluruh entitas yang disebut "sesuatu".) Karenanya mengikut formula ini, wujud manusia yang murakkab adalah bagian inheren dari wujud Allah yang basit.”[6]
            Prinsip Wahdatul-Wujud dalam filsafat Sadra ini yang melihat unitas wujud terbentang lebar pada segala apa yang disebut sebagai "sesuatu", mulai dari Wajibul- Wujud sampai ke mumkinul wujud (contingent beings) yang beraneka ragam dan bervariasi, akhirnya melahirkan prinsip lain yang dikenal dengan istilah tasykikul wujud atau graditas wujud yang sistematis. Prinsip ini pada perkembangannya melahirkan gagasan kosmologis Sadra yang spektakuler, yang tidak akan kita bahas di sini.
            Untuk bisa memahami teori ini, sejenak kita melihat logika Aristotelian tentang perbedaan antara dua jenis universal (kulli), antara kulli mutawati (univocally applicable) dan kulli musyakkak (equivocally atau ambiguosly applicable). Contoh yang pertama seperti manusia (universal) yang membawahi si Ahmad, Ali dan sebagainya, yang di antara individu-individu tersebut tak ada perbedaan dari sisi "human-ness (kemanusiaannya)". Contoh kulli kedua yakni kulli musyakkak seperti warna "putih" yang membawahi individu-individu "putih" yang ragamnya bergraditas; ada putih saju, putih kapas, dan sejenisnya.”[7]            Problemnya adalah kulli musyakkak yang membawahi suatu esensi dengan segala graditasnya ini apakah akan mengalami perubahan wujud ketika intensifikasi terjadi di dalam dirinya atau tidak? Dengan kalimat yang lebih sederhana, apakah ketika warna putih tertentu mengalami intensitas keputihannya, maka esensi "putih"nya juga berubah atau tidak berubah? Apakah perbedaan graditas dalam satu esensi akan menyebabkan esensi tersebut juga berubah atau tetap dengan esensinya dahulu.

            Ketika kita melihat di dunia realitas ini ada, misalnya, kursi, meja, si Amir, kuda, dan sebagainya, maka entitas-entitas itu tidak lebih dari sekadar limitation yang "membelah" bentangan wujud. Limitation itu penting untuk membentuk apa yang disebut sebagai maujud atau eksisten. Dan ia "berfungsi" untuk membedakan kepada kita karakter dan spesifikasi suatu maujud dari maujud yang lainnya. Karena dengan limitation itu, kita bisa mengenal suatu maujud dengan maujud lainnya; atau dengan limitation itu kita bisa mengenal satu form (bentuk spesifik) dari form yang lainnya. Dan form itu sendiri kemudian kita istilahkan sebagai mahiyah (what-ness) atau quiditas. Dengan demikian, apa yang kita sebut sebagai mahiyah sebenarnya tidak ada realitasnya. Ia hadir ke dalam pikiran kita, hasil dari observasi tentang bentangan wujud yang terbelah oleh form-form yang ada. Itulah kenapa Sadra berkata bahwa yang prinsip adalah wujud, sementara mahiyah adalah abstraksi akal kita semata-mata. Sabzawari berkata:







BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
  1. Materi atau alam sangatlah tidak layak untuk mendapatkan sentuhan langsung dari Tuhan. Sebagai gantinya, Tuhan mencipta makhluk lain yang nondimensi dan nonmateri. Makhluk inilah yang disebut sebagai makhluk Akal (bukan akal manusia) yang biasa dikenal dalam bahasa agama sebagai malaikatu al-muqarrabun (malaikat yang didekatkan).
  2. wujud sesuatu adalah ke-bendaan sesuatu itu sendiri (wujud asy-syai’ Ainuhu). Jadi, ketika sesuatu diberi sifat/predikat ada, itu hanyalah predikat yang bukan  sebenarnya.
  3. Tuhan adalah eksis sementara selain Tuhan tak ada yang eksis.









DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anshari., Endang Saefuddin,. Ilmu Filsafat dan Agama,   PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1991.

Asante., Molefi Kete, , Handbook of International and Intercultural Communication, California: sage Publ Inc,1989.

Bagus., Lorens,Metafisika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1991.

Berger., Charles R., , Handbook of Communication Science, California: Sage publ Inc, 1987.

Cobley., Paul, 1996, The Communication Theory Reader, London: Routledge.

DeFleur., Melvin L.,Understanding Mass Communication, Boston: Houghton Mifflin Company,1985.

Effendy., Onong Uchjana, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi,  Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Fisher., B. Aubrey, Interpersonal Communication: Pragmatics of Human Relation 2 nd ed., McGraw-Hill.1987.

Little John., Stephen W., Theories of Human Communication, Ohio: Charles E. Merril Company,1996.

Muhadjir., Noeng, 1998, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komparatif,  Rake Sarasin, Yogyakarta



               [1] Bagus., Lorens, Metafisika, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991 ), hal. 25
               [2] Anshari., Endang Saefuddin, Ilmu Filsafat dan Agama,  ( Surabaya:  PT. Bina Ilmu, 1991 ), ha;. 44..

               [3] Effendy., Onong Uchjana, , Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi,  ( Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000 ), hal 20
            [4] Dahler, Franz dan Eka Budianta. Pijar Peradaban Manusia Denyut Harapan Evolusi. Cetakan Kelima, ( Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2005 ), hal. 14.

               [5] Smith, Linda dan William Raeper. Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Cetakan Kelima, ( Yogyakarta: Kanisius. 2004 ), hal. 39.

               [6] Frederick Copleston,  Analisis Mazhab Eksistensialisme, dalam A History of Philosophy, Vol. IX hal. 340.
               [7] Ibnu Sina, Hubungan Esensi Dan Eksistensi , Jakarta: Gramedia, 2002 ), hal. 4