Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru


A.    Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru          


Sejak ditumpasnya peristiwa G 30 S/ PKI pada tanggal 30 Oktober 1965, bangsa Indonesia telah memasuki fase baru yang dinamakan Orde Baru (Orba). Orde Baru adalah:
Pertama, sikap mental yang positif untuk menghentikan dan mengoreksi segala penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 19445. Kedua, memperjuangkan adanya masyarakat yang adil dan makmur baik mateial dan spiritual melalui pembangunan. Ketiga, Sikap mental mengabdi kepada kepentingan rakyat dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen[1].

Dengan demikian Orba bukan merupakan golongan tertentu, sebab Orba bukan merupakan penyelewengan fisik. Perubahan Orde Lama (sebelum 30 September 1965) ke Orde Baru berlangsung melalui kerja sama erat antara pihak ABRI dan gerakan-gerakan pemuda yang disebut angkatan 1966. Para pemuda itu bergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Dalam KAMI yang memegang peranan penting khususnya adalah  Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang amat kuat serta mempunyai hubungan yang tidak resmi dan organisasi Islam lainnya. “Pada tahun 1966, mahasiswa mulai melakukan demonstrasi mmemprotes segala macam penyalahgunaan kekuasaan, harga yang meningkat dan korupsi yang merajalela”[2]. Protes itu berkembang dan berhulu protes terhadap Soekarno. Akhirnya pada tahun itu juga Soekarno didesak untuk menandatangani surat yang memerintahkan Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan guna keselamatan dan stabilitas negara serta pemerintah.
Dalam Pasal 4 TAP MPRS NO. XXVII /MPRS/1966 tersebut selanjutnya disebutkan tentang isi pendidikan, di mana untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, maka isi pendidikan adalah: “Petama, mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama. Kedua, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan. Ketiga, membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat”[3]. Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu agar pendidikan dapat dimiliki oleh sebuah rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.
Menurut UU NO. 2 tahun 1989 tersebut, pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur, memiliki keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan[4].

Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ini, mengusahakan:
Pertama, membentuk manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan  yang tinggi kualitasnya yang mampu mandiri. Kedua, Pemberi dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh, yang mengandung terwujudnya kemampuan bangsa menangkal setiap ajaran paham dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila[5].

Dengan landasan demikian, sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara swasta, menyeluruh dan terpadu. Swasta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat, dan berlaku di seluruh wilayah negara, menyeluruh dalam arti mencangkup semua jalur. Jenjang dan jenis pendidikan, dan terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.       
Ditengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah Indonesia tetap membina pendidikan agama. Pembinaan agama tersebut secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departemen Pndidikan dan Kebudayaan. “Oleh karena itu, dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta.”[6]
Maka sejak itulah terjadi semacam dualisme pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan agama  dan pendidikan umum. Di satu pihak Depag mengelola semua jenis pendidikan agama baik di sekolah-sekolah agama maupun di sekolah-sekolah umum. Keadaan ini sempat dipertentangkan pleh pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan adanya pendidikan agama, terutama golongan komunis, sehingga ada kesan seakan-akan pendidikan agama khususnya Islam, terpisah dari pendidikan.
Sehingga ada 2 cara untuk menghubungkan mata pelajaran agama dan mata pelajaran lain yakni: Pertama, cara Okasional (Korelasi) yaitu menghubungkan bagian dari satu pelajaran dengan bagian dari pelajaran lain bila ada kesempatan baik. Kedua, Cara Sistematis yaitu menghubungkan bahan-bahan pelajaran lebih dahulu menurut rencana tertentu sehingga bahan-bahan itu seakan-akan merupakan satu kesatuan yang terpadu.[7]
Pendidikan agama diatur secara khusus dalam UU NO. 4 tahun 1950 pada bab XII Pasal 20, yaitu:
Pertama, dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut. Kedua, Cara penyelenggaraan pelajaran agama di sekolah-sekolah negeridi atur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan bersama-sama dengan Menteri Agama.[8]

Dalam hubungan ini kementerian agama juga telah merencanakan rencana-rencana program pendidikan yang dilaksanakan dengan menunjukkan jenis-jenis pendidikan serta pengajaran Islam sebagai berikut:
Pertama, Pesantren klasik, semacam sekolah swasta keagamaan yang menyediakan asrama, yang sejauh mungkin memberikan pendidikan yang bersifat pribadi, sebelumnya terbatas pada pengajaran keagamaan serta pelaksanaan ibadah. Kedua, madin, yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri yang berusia 7 sampai 20 tahun. Ketiga, madrasah-madrasah Swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara modern yang bersamaaan dengan pengajaran agama juga diberikan pelajaran-pelajaran umum. Keempat, MIN, yaitu sekolah dasar negeri 6 tahun dimana perbandingan umum kari-kari 1:2. Kelima, Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada MIN 6 tahun, dengan menambahkan kursus selama 2 tahun, yang memberikan latihan keterampilan sederhana. Keenam, Pendidikan teologi agama tertinggi. Pada tingkat universitas diberikan sejak tahun 1960 pada IAIN. IAIN ini dimulai dengan dua bagian/ dua fakultas di Yogyakarta dan dua fakultas di Jakarta.[9]

Pada awal pemerintahan Orba, pendekatan legal formal dijalankan tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (keppres) NO. 34 tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) NO. 15 tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang sebelumnya dikelola oleh Menag.
Pada masa Orba lah tonggak baru kehidupan berpolitik dicanangkan dan itulah penentu garis perputaran roda pemerintahan di Indonesia sampai pada masa kini. Dan keuntungan yang diperoleh pendidikan Islam di Indonesia sangat besar dengan lahirnya Orba, yang telah bertekad mengadakan pembangunan masyarakat Indonesia secara lahir dan batin. Sehingga pendidikan agama menyerasikan pembangunan bidang jasmani dan rohani, material dan spiritual, antara bekal dunia dan ingin berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan sesama manusia dan dengan lingkungan hidupnya secara berimbang.  


               [1] Mustafa Abdullah Ali, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), hal. 137.

               [2] Ridwan Saidi, Pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa, (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hal. 54.
               [3] Abdullah Ali, Sejarah..., hal. 138.

               [4] Depag RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta:Dirgen Bimbaga Islam, 1991/1992), hal. 42.

               [5] Abdullah Ali, Sejarah..., hal. 39.
               [6] Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Bandung: Angkasa, 1981), hal. 64.

               [7] Abdullah Ali, Sejarah..., hal. 144.

               [8] Depag RI, Himpunan..., hal. 52.

               [9] Sregeg Wayan, Pendidikan Indonesia dalam Persepektif Sejarah, (Surabaya: Surabaya Post, 1985), hal. 88.