A.
Tokoh-tokoh
Pendidikan Islam di Indonesia
Adapun beberapa tokoh
pendidikan Islam di Indonesia
1.
Kyai Haji
Ahmad Dahlan (1869 – 1923)
K.H Ahmad
Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 M dengan nama kecilnya Muhammad
Darwis, putra dari KH.Abubakar Bin Kyai Sulaiman, Khatib di masjid besar
(Jami’) Kesulitan Yogyakarta, Ibunya adalah puteri Haji Ibrahim seorang
penghulu.[1]
2.
Kyai Haji
Hasyim Asy’ari (1871-1947)
K.H. Hasyim
asy’ari dilahirkan pada tanggal 14 Februari tahun 1981 M di Jombang Jawa Timur,
mula-mulai ia belajar agama Islam pada ayahnya sendiri Kyai Asy’ari Kemudian ia
belajar ke pondok pesantren Purbalinggo. Kemudian pindah lagi ke Plangitan,
Semarang, Madura, dan lain-lain. Maka di bawah pimpinan KH. Ilyas dimasukkan
pengetahuan umum ke dalam Madrasah Salafiyah, yaitu:
1)
Membaca dan
menulis huruf latin
2)
Mempelajari
bahasa Indonesia
3)
Mempelajari
ilmu bumi dan sejarah Indonesia
4)
Mempelajari
ilmu berhitung
Semuanya itu diajarkan dengan
memakai buku-buku huruf latin.[2]
3.
K. H. Abdul
Halim (1887 – 1962)
KH. Abdul
Halim lahir di Ciberelang, Majalengka pada tahun 1887 M. Dia adalah pelopor
gerakan pembaharuan di daerah Majalenga, Jawa Barat, yang kemudian berkembang
menjadi perserikatan Ulama, dimulai pada tahun 1911, yang kemudian berubah
menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) pada tanggal 5 April 1952 M/9 Rajab 1371 H.[3]
B.
Kerangka
Berfikir
Salah satu bagian dari penyelenggara negara yang
diotonomkan adalah pendidikan. Gelombang demokrasi dalam pendidikan menurut
adanya desentralisasi pengelolaan pendidikan. Beberapa dampak dari sentralisasi
pendidikan telah muncul di Indonesia uniformasi. Uniformasi itu mematikan
inisiatif dan kreativitas serta inovasi. Di tengah-tengah masyarakat yang
majemuk seperti Indonesia ini sangat perlu pula dihargai adanya sisi perbedaan
itu akan tumbuh kreativitas dan inovasi.
Selama ini pendidikan Islam terutama kelembagaan
madrasah secara full dan otonom berada di bawah pengolaan Departemen Agama.
Dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 salah satu bidang yang tidak
diotonomikan adalah agama, sedangkan pendidikan termasuk bagian yang
diotonomikan. Banyak pemikiran yang timbul di sekitar persoalan tersebut.
Pertama, ada pendapat yang menginginkan agar pendidikan agama dan keagamaan
tetap berada di bawah naungan Departeman Agama, untuk menjaga kemurnian visi
dan misi pendidikan agama. Dengan anggaran biaya Pemerintah Pusat. Kedua, ada
pemikiran yang menginginkan bahwa pendidikan agama dan keagamaan berada di
bawah naungan Pemerintah Daerah, dalam hail ini Dinas Pendidikan, agar
pendidikan agama dan keagamaan lebih berkembang. Ketiga, adanya keinginan
mencari konvergensi di antara keduanya, yaitu kebijakan tetap berada di tangan
Depertemen Agama, teknis operasional berada di tangan Pemerintah Daerah/Dinas
Pendidikan.
Pemikiran tentang pengelolaan lembaga pendidikan
Islam dalam hal ini madrasah telah lama muncul di Indonesia, jauh sebelum
lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 UU tentang sistem Pendidikan Nasional. Pada tahun
192 telah pernah keluar Surat keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang
tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan Pasal 33 Surat Keputusan
tersebut berbunyi: ruang lingkup pembidangan tugas dan tanggung jawab dalam
melaksakan pembinaan pendidikan dan latihan dimaksudkan dalam Pasal 1 Keputusan
presiden ini diatur sebagai berikut: pertama, Menteri Pendidikan dan
kebudayaan bertanggung jawab atas pembinaan dan pendidikan umum dan kejuruan, kedua,
Menteri Tenaga Kerja bertugas bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan
keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri. ketiga, Ketua
Lembaga Administrasi Negara bertugas bertanggung jawab atas pembinaan
pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Setelah mempelajari arus pemikiran dan aspirasi
yang berkembang selama proses dan pengumpulan bahan-bahan masukan bagi penyusun
konsep Undang-undang Sistem Pendidikan nasional yang kemudian malahirkan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 serta seperangkat Peraturan Pemerintah tentang
pendidikan, yang menyimpulkan bahwa madrasah tetap berada pengelolaannya di
bawah naungan Departemen Agama.
Perkembangan pendidikan di Indonesia juga banyak
diwarnai oleh pendidikan yang dikelola umat Islam. Ada tiga macam jenis
pendidikan Islam di Indonesia yaitu pendidikan di surau atau langgar,
pesantren, dan madrasah. Walaupun dasar pendidikan dan pengajarannya
berlandaskan ilmu pengetahuan agama Islam, mata pelajaran umum lainnya juga
mulai disentuh. Usaha pemerintah kolonial Belanda untuk memecah belah dan
Kristenisasi tidak mampu meruntuhkan moral dan iman para santri.
Tokoh-tokoh pergerakan nasional dan pejuang muslim pun
bermunculan dari lingkungan ini. Banyak dari mereka menjadi penggerak dan
tulang punggung perjuangan kemerdekaan. Rakyat Indonesia yang mayoritas adalah
kaum muslim ternyata merupakan salah satu unsur penting untuk menumbuhkan
semangat nasionalisme Indonesia. Para pemimpin nasional yang bercorak Islam
akan sangat mudah untuk memobilisasi kekuatan Islam dalam membangun kekuatan
bangsa
[1]
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. V, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 25.
0 Comments
Post a Comment