Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam


A.    Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam

Tugas pendidik yang utama adalah me­nyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. Realisasi tugas ini merupakan cerminan dari tujuan utama pendidikan Islam adalah berupaya menciptakan subyek didik untuk mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Jika pendidik belum mampu mewujudkan siswanya membiasakan diri dalam peribadatan secara tepat, maka ia sungguh mengalami kegagalan dalam tugasnya, sekalipun peserta didiknya memiliki prestasi akademis yang luar biasa. Hal itu mengandung arti bahwa adanya keterkaitan antara ilmu dan amal saleh.
Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikkan dengan guru (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri teladan oleh peserta didiknya.[1] Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekadar transformasi ilmu, tapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasi­kan ilmunya pada peserta didiknya. Pada tataran ini terjadi sinkro­nisasi antara apa yang diucapkan oleh guru (didengar oleh peserta didik) dan yang dilakukannya (dilihat oleh peserta didik).
Oleh karena itu, maka tugas pendidik dalam pendidikan Islam dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu:
Pertama, Sebagai pengajar (instruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian program dilakukan. Kedua, Sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian seiring dengan tujuan Allah Swt. menciptakannya. Ketiga, Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengerahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.[2]

Dalam tugas itu, seorang pendidik dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan.
Prinsip keguruan itu dapat berupa: Pertama, kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti memperhatikan: kesediaan, kemampuan, pertumbuhan dan perbedaan peserta didik. Kedua, membangkitkan gairah peserta didik. Ketiga,  menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik yang baik. Keempat, mengatur proses belajar mengajar yang baik. Kelima, memperhatikan perubahan-perubahan kecenderungan yang memengaruhi proses mengajar. Keenam, adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar-mengajar.[3]

Guru adalah figur seorang pemimpin. Guru adalah sosok arsitektur yang dapat membentuk jiwa dan watak anak didik. Guru mempunyai kekuasaan untuk membentuk dan membangun kepribadian anak didik menjadi seorang yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Guru bertugas mempersiapkan manusia susila yang cakap yang dapat diharapkan membangun dirinya dan membangun bangsa dan Negara. Jabatan guru memiliki banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas dalam bentuk pengabdian. Tugas guru tidak hanya sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan, dan kemasyarakatan.
Tugas guru sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Tugas guru sebagai pengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Tugas guru sebagai pelatih berarti mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik.
Tugas kemanusiaan salah satu segi dari tugas guru. Sisi ini tidak bisa guru abaikan, karena guru harus terlibat dengan kehidupan di masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai­-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Dengan begitu anak didik dididik agar mempunyai sifat kesetiakawanan sosial. Guru harus dapat menempatkan diri sebagai orang tua kedua, dengan mengemban tugas yang dipercayakan orang tua kandung/wali anak didik dalam jangka waktu tertentu. Untuk itu pemahaman terhadap jiwa dan watak anak didik diperlukan agar dapat dengan mudah memahami jiwa dan watak anak didik. Begitulah tugas guru sebagai orang tua kedua, setelah orang tua anak didik di dalam keluarga di rumah.
Di bidang kemasyarakatan merupakan tugas guru yang juga tidak kalah pentingnya. Pada bidang ini guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga Negara Indonesia yang baik. Memang tidak dapat dipungkiri bila guru mendidik anak didik sama halnya guru mencerdaskan bangsa Indonesia. Bila dipahami, maka tugas guru tidak hanya sebatas dinding sekolah, tetapi juga sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat.
Bahkan bila dirinci lebih jauh tidak hanya yang telah disebutkan. Menurut Syaiful Bahri Djamarah, bahwa guru dalam mendidik anak didik bertugas untuk:
Pertama, Menyerahkan kebudayaan kepada anak didik berupa kepandaian, kecakapan, dan pengalaman-pengalaman. Kedua, Membentuk kepribadian anak yang harmonis, sesuai cita-cita dan dasar Negara kita. Ketiga, Menyiapkan anak menjadi warga Negara yang baik sesuai Undang-Undang Pendidikan yang merupakan Keputusan MPR No. II Tahun 1983. Keempat, Sebagai perantara dalam belajar. Di dalam proses belajar guru hanya sebagai perantara/medium, anak harus berusaha sendiri mendapatkan suatu pengertian/insight, sehingga timbul perubahan dalam pengetahuan, tingkah laku dan sikap. Kelima, Guru adalah sebagai pembimbing, untuk membawa anak didik ke arah kedewasaan, pendidik tidak maha kuasa, tidak dapat membentuk anak menurut sekehendaknya. Keenam, Guru sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat. Anak nantinya akan hidup dan bekerja, serta mengabdikan diri dalam masyarakat, dengan demikian anak harus dilatih dan dibiasakan di sekolah di bawah pengawasan guru. Ketujuh, Sebagai penegak disiplin, guru menjadi contoh dalam segala hal, tata tertib dapat berjalan bila guru dapat menjalani lebih dahulu. Kedelapan, Guru sebagai administrator dan manajer. Di samping mendidik, seorang guru harus dapat mengedakan unison tata usaha seperti membuat buku kas, daftar induk, rapor, daftar gaji dan sebagainya, serta dapat mengkoordinasi segala pekerjaan di sekolah secara baik, sehingga suasana pekerjaan penuh dengan rasa kekeluargaan. Kesembilan, Pekerjaan guru sebagai suatu profesi. Orang yang menjadi guru karena terpaksa tidak dapat bekerja dengan baik, maka harus menyadari benar-benar pekerjaannya sebagai suatu profesi. Kesepuluh, Guru sebagai perencana kurikulum. Guru menghadapi anak-anak setiap hari, gurulah yang paling tahu kebutuhan anak-anak dan masyarakat sekitar, maka dalam penyusunan kurikulum, kebutuhan ini tidak boleh ditinggalkan. Kesebelas, Guru sebagai pemimpin (guidance worker). Guru mempunyai kesempatan dan tanggung jawab dalam banyak situasi untuk membimbing anak ke arah pemecahan soal, membentuk keputusan dan menghadapkan anak-anak pada problem. Keduabelas, Guru sebagai sponsor dalam kegiatan anak-anak. Guru harus turut aktif dalam segala aktifitas anak, misalnya dalam ekstrakurikuler, membentuk kelompok belajar dan sebagainya.[4]

Dengan meneliti poin-poin tersebut, tahulah bahwa tugas guru tidak ringan. Profesi guru harus berdasarkan panggilan jiwa, sehingga dapat menunaikan tugas dengan baik dan ikhlas. Guru harus men­dapatkan haknya secara proporsional dengan gaji yang patut diperjuangkan melebihi profesi-profesi lainnya, sehingga keinginan peningkatan kompetensi guru dan kualitas belajar anak didik bukan hanya sebuah slogan di atas kertas.
Mengenai tugas guru, ahli-ahli pendidikan Islam juga ahli pendidikan Barat telah sepakat bahwa tugas guru ialah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan dan lain-lain.
Dalam pendidikan di sekolah, tugas guru sebagian besar adalah mendidik dengan cara mengajar. Tugas pendidik di dalam rumah tangga sebagian be­sar, bahkan mungkin seluruhnya, berupa membiasakan, memberikan contoh yang baik, memberikan pujian, dorongan, dan lain-lain yang diperkirakan menghasilkan pengaruh positif bagi pendewasaan anak. Jadi, secara umum, mengajar hanyalah sebagian dari tugas mendidik.
Tugas guru selain mengajar ialah berbagai tugas yang sesungguhnya bersangkutan dengan mengajar, yaitu tugas membuat persiapan mengajar, tugas mengevaluasi hasil belajar, dan lain-lain yang selalu bersangkutan dengan pencapaian tujuan pengajaran. Ahmad Tafsir merinci tugas pendidik (termasuk guru) sebagai berikut:
Pertama, Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak-anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket, dan sebagainya. Kedua, Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak ber­kembang. Ketiga, Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, keterampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat. Keempat, Mengadakan evaluasi setiap waktu untuk mengetahui apakah per­kembangan anak didik berjalan dengan baik. Kelima, Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.[5]

Dalam tugas tersebut di atas tidak disebut dengan jelas tugas guru yang terpenting, yaitu mengajar. Sebenarnya, tugas itu terdapat secara implisit dalam tugas pada butir (2) dan (3). Sebenarnya, dalam teori pendidikan Barat, tugas guru tidak hanya mengajar, mereka bertugas juga mendidik dengan cara selain mengajar, sama saja dengan tugas guru dalam pendidikan Islam. Perbedaannya ialah tugas-tugas itu dikerjakan mereka untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan keyakinan filsafat mereka tentang manusia yang baik menurut mereka. Sikap demokratis, sikap terbuka, misalnya, dibiasakan dan dicontohkan mereka kepada murid. Hal itu kelihatan terutama dalam metode mengajar yang digunakan mereka, juga dalam perilaku guru-guru di Barat.
Jadi, perbedaannya bukan terletak pada tugas guru, melainkan pada sistem filsafat yang dianut, sistem filsafat orang Barat memang berbeda dari sistem filsafat pendidikan orang Islam.
Sesungguhnya tugas seorang pendidik muslim itu bukan hanya sekedar mengisi otak murid-muridnya dengan berbagai ilmu pengetahuan, kemudian selesai, akan tetapi ia harus melanjutkan kepada pendidikan yang sempurna yang berdiri di atas kejernihan aqidah dan akhlak, dari hal-hal yang dilarang oleh dien yang lurus. Maka seorang pendidik muslim yang sukses haruslah menjadikan perkataan dan tingkah laku murid-muridnya di dalam kelas bersandar kepada petunjuk Nabi yang benar.  Allah SWT. berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ال عمران : ٣١)  
Artinya: Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,      niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. (Qs. Ali Imran: 31.)   

Perjalanan hidup Rasulullah menunjukkan bahwasanya beliau adalah seorang pendidik yang bijaksana, seorang mu’allim, pemberi pengarahan, penasehat, orang yang belas kasih, dicintai, dan orang yang ikhlas. Maka seorang pendidik muslim haruslah mensifati dirinya dengan sifat-sifat ini terutama dalam hal keikhlasan. Ia harus mengikhlaskan amalnya hanya untuk Allah semata dan tidak melihat harta. Apabila ia diberi meskipun sedikit ia bersyukur dan apabila tidak diberi ia harus bersabar.[6]
Berdasarkan paparan para ahli yang telah diuraikan di atas, maka dapat diketahui bahwa tugas pendidik adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Tugas pendidik ini dapat dibagi menjadi tiga bagian pokok, yaitu: sebagai pengajar, sebagai pendidik, dan sebagai pemimpin. Tugas guru tidak hanya sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan.


[1] Tim Departemen Agama RI, Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PPPAI-PTU, 1984), hal. 149.
[2] Roestiyah NK., Masalah-masalah Ilmu Keguruan, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hal. 86.

[3] Zakiah Daradjat. Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 22.
[4] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Cet. III, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 36-41.

[5] Tafsir, Ilmu.…, hal. 78-79.
[6] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan Kepada Pendidik dan Orang Tua, (Solo: Pustaka Barokah, 2005),  hal. 27.