Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Wawasan keagamaan Ibnu Rusdy


B A B  I
P E N D A H U L U A N
Wawasan keagamaan Ibnu Rusdy

A. Latar belakang masalah

            Sejarah pemikiran dan filsafat Barat kerap menganggap Immanuel Kant (wafat:1804) sebagai puncak era Pencerahan yang terjadi di Eropa pada abad ke-18. Era Pencerahan sendiri merupakan puncak gelombang perubahan besar Revolusi (dalam bidang sains), Renaisans (seni dan filsafat), dan Reformasi (agama) yang terjadi pada abad ke-15 dan ke-16.[1]      Pada gilirannya, gelombang perubahan besar ini merupakan dampak langsung dari berbagai pengaruh dan interaksi budaya dan ilmu pengetahuan yang terjadi sepanjang abad ke-13 dan ke-14. Salah satu sumber yang memberikan pengaruh sangat besar bagi perubahan di Eropa adalah ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat yang datang dari dunia Islam.
            Makalah ini ingin menyoroti salah satu tokoh penting filsuf Muslim yang memberi kontribusi sangat besar bagi gerakan Renaisans dan Pencerahan di Eropa. Ibn Rusdy atau Averroes (wafat: 1198) adalah inspirasi bagi gerakan Renaisans awal di Eropa. Ia memainkan peranan penting dalam mempromosikan independensi akal-pikiran.





BAB  II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pencerahan

            Era Pencerahan dianggap sebagai sebuah masa ketika manusia Eropa-para intelektual dan filsuf berusaha mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika, dan estetika yang sepenuhnya dibangun berdasarkan rasionalitas yang tercerahkan.[2] Upaya ini merupakan sebuah respons yang benih-benihnya telah disemai oleh para tokoh Renaisans dan Reformasi abad ke-15 dan ke-16. Kaum ensiklopedis seperti Diderot dan Voltaire meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan pendidikan adalah cara terbaik mengatasi keyakinan-keyakinan akan mitos, takhayul, dan kebodohan. Para aktivis Pencerahan kerap memandang diri mereka sebagai intelektual bebas yang mendorong dunia ke arah kemajuan dan perubahan yang lebih baik.
            Dalam artikelnya berjudul Was ist Aufklärung? (Apakah Itu Pencerahan?), Immanuel Kant, tokoh penting Pencerahan itu, memberi definisi sangat jelas. Pada hematnya, pencerahan adalah: keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang diciptakannya sendiri. Sedangkan ketidakmatangan adalah ketidakmampuan seseorang menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain. Ketidakmatangan semacam ini terjadi bukan karena kurangnya daya pikir, tetapi karena kurangnya determinasi dan keberanian menggunakan pemahaman sendiri. Moto pencerahan, dengan demikian, adalah Sapere aude! Beranilah menggunakan pemahaman sendiri.
            Dari definisi ini kita melihat bahwa Kant menganggap pencerahan bukan semata-mata kondisi intelektual di mana seseorang merasa terbebaskan berpikir dan bertindak, tetapi yang terpenting adalah bahwa pencerahan itu berarti kematangan berpikir dan sanggup melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Yang dimaksud “bantuan orang lain” di sini adalah penggunaan otoritas luar secara berlebihan sehingga menghalangi seseorang berpikir independen. Inti pencerahan bukanlah pemikiran itu sendiri, tetapi bagaimana seseorang berani menggunakan akal-pikirannya.

B. Ibnu Rusdy Dan Pencerahan

            Ibnu Rusdy adalah model bagi independensi akal-pikiran sekaligus model bagi keberanian berpikir, khususnya dalam melawan pemikiran yang terlembaga dalam institusi agama.[3] Keberaniannya mengkritik kemapanan otoritas agama menginspirasi orang-orang Eropa abad ke-13 dan ke-14 melakukan hal yang sama kepada kuasa gereja yang saat itu mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan mereka.

            Ibnu Rusdy adalah pemikir yang berusaha menghidupkan tradisi pemikiran bebas dalam pengertian yang kemudian dikembangkan para filsuf pencerahan di Eropa. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Cordova, sebuah dinasti Islam di Spanyol. Ia hidup di penghujung “era keemasan Islam”, sekitar satu abad sebelum Baghdad jatuh (1258) atau empat abad sebelum Granada, benteng terakhir umat Islam di Spanyol, runtuh (1492).
            Ibn Rusdy hidup di tengah kecenderungan kaum Muslim yang semakin antipati terhadap pemikiran rasional. Pada masa ini, di belahan Timur dunia Islam (masyrik), filsafat Islam mengalami gempuran sangat keras dari ulama konservatif yang merasa terancam dengan dominasi “ilmu-ilmu klasik” (’ulum al-awail) yang datang dari Yunani. Para teolog yang didominasi kaum Ash’ariyah menyerang kecenderungan teologi rasional, khususnya yang dimotori kaum Mu’tazilah.

            Hidup di belahan barat (magrib) yang cukup jauh terpisah dari kemurungan peradaban Islam, Ibn Rushd melihat ada ketidakberesan dari perilaku kaum Muslim di Timur. Pada mulanya ia turut berempati kepada para ulama dan teolog yang berusaha “menghidupkan ilmu-ilmu agama” (ihya ’ulum al-din) sebagai respons dari gelombang Helenisme yang dimotori para filsuf Muslim dan kaum Mu’tazilah.
            Simpatinya kepada Abu Hamid al-Ghazali (wafat: 1111) disalurkannya dengan membuat sebuah talkhis (ringkasan) al-Mustashfa, salah satu karya penting al-Ghazali dalam bidang ushul fiqh. Namun, belakangan ia menyadari ada yang tidak beres dari al-Ghazali dan para teolog yang membabi-buta mengecam para filsuf Yunani dan filsuf Muslim lainnya.
            Sebuah peristiwa penting mengubah hidupnya. Dalam sebuah kesempatan, ia diperkenalkan Ibn Tufayl, filsuf Andalusia, kepada Khalifah Abu Yusuf Ya’qub, penguasa Marrakesh yang dikenal menggandrungi filsafat. Sang Khalifah bertanya kepada Ibn Rusdy tentang pandangan para filsuf Yunani mengenai penciptaan alam. Ibn Rusdy begitu malu dan gundah karena ia tak mampu menjawab pertanyaan itu. Karena peristiwa inilah kemudian ia bertekad mempelajari filsafat Yunani secara lebih serius.
            Ibnu Rusdy menulis banyak buku. Ia meninggalkan tak kurang dari 50 judul buku dari berbagai disiplin ilmu: filsafat, kedokteran, politik, fikih, dan masalah-masalah agama. Namun, sejauh menyangkut peran Ibn Rushd sebagai model pencerahan, tiga bukunya-Fashl al-Maqal, al-Kashf ’an Manahij al-Adillah dan Tahafut al-Tahafut (ditulis berturut-turut pada 1178, 1179, 1180)-merupakan karya terpenting. Ketiga buku ini memuat pandangan kontroversial Ibnu Rusdy yang pernah menggemparkan dunia Eropa pertengahan abad ke-13.[4]
C. Wawasan keagamaan Ibnu Rusdy

            Dalam kata pengantarnya, Zuhairi Misrawi mengklasifikasikan dengan baik seluruh isi buku. Ia menyebutkan, setidaknya terdapat empat hal dari pandangan-pandangan Ibnu Rusdy yang senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan.
            Pertama, pluralisme dalam ijtihad. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pintu ijtihad ditutup oleh sebagian kalangan dan dipersempit dari persoalan hukum hanya menjadi persoalan hukum agama. Akibatnya, sikap taklid terhadap warisan hukum-hukum fikih yang telah terkodifikasi menjelma begitu saja menjadi wawasan sosial dan pandangan hidup. Sikap taklid tersebut juga berawal dari kaburnya pemahaman tentang apa yang disebut agama (al-dîn) dan pemahaman agama (al-fikr al-dîny).

            Melihat fenomena ini, Ibnu Rusdy mencoba membuka kembali batas-batas yang selama ini dikekang. Dengan bersandar bahwa pemikiran keagamaan bisa berkembang sesuai dengan perubahan ruang dan waktu, ia mengudar artefak-artefak hukum fikih dari pelbagai mazhab, menganalisisnya dengan model pembacaan sosiologis-hermeneutis, menelisik akar perbedaan setiap mazhab dalam menggali dalil-dalil yang memproduk suatu hukum, kemudian menembus jantung hukum fikih itu sendiri, yaitu Al Quran dan sunah. Dari setiap ijtihad fikih, dua elemen penting yang patut diperhatikan adalah obyektifikasi dan pertimbangan dimensi moral etiknya.
            Kedua, Berkenaan dengan pendapat orang lain, Ibnu Rusdy membuang jauh-jauh klaim kebenaran dalam setiap pendapat dan selalu mengajak yang lain untuk menempatkan pendapat sesuai dengan konteksnya. Berijtihad berarti meniscayakan untuk membuka kritik dan pembenahan karena kebenaran tidak pernah final. Kesalahan yang terjadi dalam proses pergulatan akal jauh lebih baik dari sekadar menerima kebenaran dengan tanpa proses apa pun.
            kebebasan berpikir dan tradisi kritik. Ibnu Rusdy adalah maskot kebangkitan filsafat dan rasionalisme Islam. Meskipun hidup dalam situasi kegelapan dan terpasungnya kebebasan berpikir, Ibnu Rusdy justru dengan lantang mengatakan bahwa rasionalisme dan filsafat sejajar dengan syariat. Dengan filsafat, manusia mampu menemukan keagungan Tuhan melalui olah cakrawala atas semua ciptaan-Nya.
            Ibnu Rusdy menjadi orang yang pertama kali mengkaji, menganalisis, menjabarkan, serta mengomentari filsafat Aristoteles secara detail dan gamblang. Menurut Muhammad Arkoun, Ibnu Rusdy berhasil menyeimbangkan akal dan iman. Di hadapan keluhuran tradisi keagamaan dan tradisi filsafat, pandangan Ibnu Rusdy telah mengenalkan kepada kita mentalitas dan nalar abad pertengahan, baik dalam konteks Arab-Islam ataupun Latin-Yunani-Kristen. Nalar filsafat telah memainkan peran aktif dalam memelihara hak manusia untuk mengkritik dan bertanya.[5]
            Ketiga, dialog antaragama. Ibnu Rusdy mengatakan perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk melakukan dialog. Apabila kita menemukan kebenaran dari agama lain, kita patut menerima dan menghormatinya. Sebaliknya, jika kita menemukan kesalahan, maka kita patut memperingatkan dan memaafkannya. Memang, salah satu problem umat beragama adalah bagaimana berhubungan dengan umat agama lain. Dalam konteks Islam, fikih yang tersedia mempunyai dilemanya tersendiri sehingga baik secara eksplisit maupun implisit telah menebarkan kecurigaan terhadap agama lain.

            Dialog antarumat agama sekarang ini semakin dirasa penting seiring meluasnya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kuatnya kesadaran agama dalam masyarakat dapat menjadi faktor pemersatu sekaligus mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah. Sosiolog Muslim, Ibnu Khaldun, mengatakan, perasaan seagama memang diperlukan, tetapi tidak cukup untuk menciptakan perasaan memiliki kesatuan sosial (social belonging).
            Untuk itu, setiap pemeluk agama perlu mengungkapkan pandangannya secara tepat serta mendengarkan pandangan mitra dialog secara terbuka tanpa disertai dengan penilaian apriori. Melalui dialog, setiap pemeluk agama belajar dari pandangan dan pengalaman satu sama lain, karena salah satu fungsi utama agama dalam konteks sosial tidak lain adalah memberikan rasa aman kepada sesamanya.





B A B  III
P E N U T U P
A.Kesimpulan
1.     Era Pencerahan dianggap sebagai sebuah masa ketika manusia Eropa-para intelektual dan filsuf berusaha mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika, dan estetika yang sepenuhnya          dibangun berdasarkan rasionalitas yang tercerahkan.
2.     Ibnu Rusdy adalah model bagi independensi akal-pikiran sekaligus  model bagi keberanian berpikir, khususnya dalam melawan  pemikiran yang terlembaga dalam institusi agama.
3.     Ibnu Rusdy menjadi orang yang pertama kali mengkaji, menganalisis, menjabarkan, serta mengomentari filsafat                                     Aristoteles secara detail dan gamblang.
B. SARAN – SARAN
1.     Disarankan kepada umat islam umumnya dan khususnya kepada mahasiswa STIT Almuslim untuk memperdalam pengkajian ilmu filsafat.
2.     Disarankan kepada pihak STIT Almuslim agar dapat menyediakan staf pengajar yang ahli dibidang filsafat, karena dengan adanya staf pengajar yang ahli dapat meningkatkan kualitas para mahasiswa.
3.     Disarankan kepada para mahasiswa untuk dapat menelaah islam secara mendalam, supaya dapat menambah ilmu pengetahuan.









DAFTAR KEPUSTAKAAN

HAMKA, Tasauf : Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993.

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, , 1999.
Mulkhan, Abdul Munir, Revolusi Kesadaran Dalam  Serat-Serat Sufi, Jakarta:  Serambi, 2003.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Siregar, H. A. Rivay, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2000.

Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1998.

Al-Hallaj, Al-Tawasin, diedit oleh Louis Massignon, Paris: Librare Paul
Guethner, 1913.

Abdul, Salah Sabur, Tragedi Al-Hallaj, diterjemahkan oleh Abdul Hadi W. M., Bandung: Pustaka Pelajar, 1988.

Al-Wafa, Abu Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’i Usmani, Bandung: Penerbit Pustaka, 1985.
Dahler, Franz dan Eka Budianta. Pijar Peradaban Manusia Denyut Harapan Evolusi. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2005.
Fridayanti. “Tentang Manusia dalam Perspektif Ilmu Barat”. Dalam Sejarah Ilmu Pengetahuan, 2006.http://arc.itb.ac.id/~aris/PRIVAT/galileo.
Redaksi.. “Konsepsi Manusia: Tinjauan Umum pada Era Pramodernisme Modernisme dan Posmodernisme”. Dalam Suluk Blogsome, 2005, http://suluk.blogsome.com. 
Smith, Linda dan William Raeper. Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Kanisius. 2004.




            [1] HAMKA, Tasauf : Perkembangan dan Pemurniannya, ( Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993 ), hal 57.


[2]              Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, , 1999) hal 37
[3]           Siregar, H. A. Rivay, Tasawuf : Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hal 71.

[4]           Abdul, Salah Sabur, Tragedi Al-Hallaj, diterjemahkan oleh Abdul Hadi W. M., (Bandung: Pustaka Pelajar, 1988 ), hal 215.

[5] Muhammad Arkoun, Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Cetakan Kelima. (Yogyakarta: Kanisius. 2004),hal 201.