Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran Islam


BAB I

P E N D A H U L U AN


A.    Latar Belakang Masalah


Melihat persoalan semakin ruwet dan semakin susah mencari penyelesaian dengan nas-nas maka menjadi landasan utama kenapa aktivitas ijtihad di dalam Islam tidak boleh berhenti. Ijtihad adalah ruh yang menghidupi Islam secara terus-menerus. Tanpa ijtihad, seperti telah diteladankan Umar ibn Khattab dan lain-lainnya, Islam sudah semenjak lama menjadi benda hampa dan hiasan kuno yang hanya layak menjadi tontonan, bukan tuntunan. Untung saja para ulama aktif memeras akal budi dan berijtihad untuk mengatasi problem-problem zamannya.
Nabi Muhammad SAW sendiri sesungguhnya adalah seorang mujtahid ulung. Di tangan Nabi, Alquran menjadi lompatan dan pegangan memecahkan sejumlah kebuntuan sosial, politik, bahkan ekonomi. Nabi menjadikan Alquran terlibat dalam proses perubahan sosial, sehingga ia bukan sebagai kitab suci yang melangit tanpa bersentuhan dengan bumi.
Kini, ijtihad semakin niscaya, terutama di tengah problem kemanusiaan yang semakin kompleks. Problem kehidupan yang sedemikian struktural dan sistemik, tentu butuh ijtihad dosis tinggi dari para ulama. Kondisi ini tidak bisa dipasrahkan pemecahannya pada model lama seperti yang terbaca dalam sejarah. Ideologi keislaman konservatif yang terus merujuk ke model masa lalu, bukan saja menunjukkan watak tidak kreatif, melainkan juga tidak realistis. Tafsir-tafsir keagamaan klasik yang kerap di idealisasi sedemikian rupa bukanlah pemecahan yang arif. Tantangan kehidupan masa kini tidak akan persis sama dengan kehidupan abad pertengahan. Siapapun tahu, kekinian jauh lebih rumit dan dinamis ketimbang kesilaman.
Islam seharusnya dikembalikan ke posisi awalnya sebagai agama membebaskan, mencerahkan. Islam diharapkan cukup liberatif untuk mengatasi ketertindasan dan keterbelakangan. Islam mesti dibersihkan dari beban-beban sejarah masa lalu yang kelam. Agama yang telah mengalami manipulasi oleh elite sehingga tampak kacau, mesti dipulihkan kembali dengan (salah satunya) menyemarakkan aktivitas ijtihad. Ijtihad adalah cara untuk mengembangkan rasionalisme dalam Islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

P E M B A H A S A N

A.    Pengertian Ijtihad

Ijtihad menurut Arti asalnya adalah "bersungguh-sungguh". Atau "pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan  sesuatu yang sulit ." Atas dasar ini maka tidak  tepat  apabila  kata  "ijtihad"  dipergunakan   untuk melakukan sesuatu yang mudah/ ringan[1]. Sedangkan berdasarkan makna Terminlogi, para ulama ushul memandang bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kesungguhan dan kamantapan yang dimiliki seseorang ahli fiqh untuk menghasikan keyakinan tentang suatu hokum sedangkan definisi lain dari ijtihad yaitu mencurahkan segenap usaha untuk sampai kepada hukum syar’a dari dalil tafsili yang termasuk dalil syar’i.

Menurut Hasbi Ash Shaddiqi Ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan Zan. Sedangkan Al-Dahlawi menjelaskan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global kembali keempat macam dalil yaitu Kitab, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Dan Imam Khomeini mengatakan juga Ijtihad adalah keahlian atau kemampuan yang dengannya dia dapat menarik kesimpulan hukum dari dalil-dalil[2].

Dari keterangan di atas bahwa ijtihad bukan perbuatan yang dilakukan sekedar membuka-buka kitab tafsir atau hadis lalu dengan mudah ditarik sebuah kesimpulan hukum. Sebaliknya, dalam ijtihad dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan dengan mencurahkan segenap kemampuan dan usaha untuk mendapatkan hukum-hukum syariat. Hal ini menunjukkan bahwa maslah ijtihad bukan perkara yang mudah, tetapi ijtihad juga harus diupayakan pada setiap generasi, agar ajaran Islam tetap dinamis, tidak stagnan dan siap memberikan solusi atas segala problematika kontemporer.

B.    Dasar –Dasar Ijtihad

Para fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nas. Kebolehan ini di isyaratkan antara lain (Q.S. Al-Baqarah: 149)

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Artinya: Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. (Q.S. Al-Baqarah: 149)

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari masjidil haram, apabila akan shalat, dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada. Secara kodrati manusia mempunyai badan jasmani dan rohani. Badan rohani berfungsi untuk memhami apa yang dilihat oleh manusia dan dialami oleh akal pikiran sekaligus berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dialam raya ini. Walaupun tidak ada petunjuk dari agama, maka dengan akal itu manusia dapat memperoleh kebahagiaan hidup dan dapat berusaha menghindari bahaya.

Hadis lain juga yang mendukung akan persolan ini yaitu hadis nabi yang ketika mengutus Muadz bin Jabal menjadi Guburnur di Yaman, hadis ini tidak asing lagi bagi kita semua, “ Ketika itu Muads ditanya oleh Rasulullah : dengan apa engkau menentukan hukum, Muazd menjawab dengan kitab Allah, jawab Muadz, Rasulullah bertanya lagi kalau engakau tidak mendapat keterangan dari Al-Qur’an, Muadz menjawab saya mengambilnya dari sunnah Rasul, Rasulullah berkata lagi, kalau engakau tidak mendapi dari keterangan sunah Rasululah SAW, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa, Rasulullah menepuk Muadz bin Jabal menandakan persetujuannya.

Nabi sendiri memberikan kelonggaran dalam persolan agama, dengan cara ijtihad bahkan Nabi membrikan dorongan kepad mereka, jika ijtihad itu mengenai sasaran, maka orang yang berijtihad mendapat dua kebaikan dan apabila tidak, dia mendapat satu kebaikan.

C.    Syarat Mujtahid
Seorang mujtatahid untuk bisa berijtihad pada zaman sekarang yang serba modern ini, zaman yang semakin berkembang dan hukum islam yang semakin fleksibel seorang mujtahid di tuntut untuk bisa memenuhi syarat yang akan sampai pada derajat mujtahid, tapi dalam hal ini para ulama masih berbeda pendapat tentang pensyaratan terhadap seorang mujtahid, tapi semua itu bermuara/ mempunyai inti yang sama. Di bawah ini ada beberapa ulama-ulama terkemuka yang berargument mengenai pensyaratan terhadap sesorang mujtahid diantaranya adalah sebagai berikut[3]:
1.     Imam Ghazali
Imam ghozali dalam mensyaratkan terhadap seorang mujtahid ada dua syarat, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.      Seorang mujtahid harus mengetahui tentang hukum-hukum syara’, tidak hanya itu, seorang mujtahid juga di tuntut untuk mendahulukan sesuatu yang wajib di dahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang wajib di akhirkan.
b.     Seorang mujtahid harus adil dan juga harus menjauhi perbutan ma’siat yang bisa menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid. Syarat ini bisa untuk menjadi pegangan oleh para mujtahid, tapi kalau seorang mujtahid tidak ‘adil maka hasil ijtihadnya tidak syah atau tidak boleh untuk di jadikan sebuah pegangan oleh orang awam.
2.     Imam Syatibi
Menurut imam as-syatiby seorang yang ingin mencapai derajat mujtahid harus bisa memenuhi dua syarat di bawah ini:
  1. Bisa memahami tujuan syariat secara sempurna,
  2. Bisa menggali suatu hukum atas dasar pemahaman seorang mujtahid.
            Selain dari pendapat 2 ulama terkemuka tersebut para ulama ushul fiqih juga telah menetapkan syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang mujtahid sebelum melakukan ijtihad diantaranya adalah sebagai berikut[4]:
1.     Mengetahui Bahasa Arab.
Mengetahui bahasa yang baik sangatlah di perlukan oleh seorang mujtahid.Sebab Al-Qur’an di turunkan dengan bahasa arab, dan As-Sunnah juga di paparkan dengan bahasa arab, keduanya merupakan sumber utama hukum islam sehingga seorang mujtahid tidak mungkin bisa menggali sebuah hukum tanpa memahami bahasa arab dengan baik.Menurut al-syaukani(ahli ushul dari yaman)tuntutan bagi seorang mujtahid dalam menguasai bahasa arab seperti nahwu,shorof dan lain sebagainya.
2.   Mempunyai pengetahuan yang Mendalam tentang Al-Qur’an.
Maksudnya adalah mengetahui Al-Qur’an dengan segala ilmu yang terkait dengannya seperti nasih mansuh,’Am, khosh dan lain sebagainya.Mengenai ayat-ayat al-qur’an yang harus di hafal oleh seorang mujtahid yang berkaitan dengan hukum para ulama ushul fiqih masih berbeda pendapat. Dalam kaitan ini imam ghozali berpendapat bahwa ayat-ayat al-qur’an yang secara  rinci membicarakan tentang hukum hanya ada 500 ayat, namun bukan berarti ayat lainnya tidak mengandung hukum yang dapat di istimbatkan, karena setiap ulama  memahami al-qur ‘an secara seksama akan bisa beristimbath hukum dengan ayat yang mana saja.Denan demikian , jumlah ayat hukum yang di ketengahkan oleh imam al-ghozali tersebut hanyalah sebuah perkiraan dan hanya melihat pada ayat-ayat al-qur’an secara rinci saja. Oleh kerena itu untuk menghindari kesalah pahaman tersebut wahbah al-zuhaili mengemukakan bahwa seorang mujtahid di syaratkan memahami ayat-ayat hukum secara baik dan benar.
3.     Mempunyai Pengetahuan yang Memadai tentang As-Sunnah.
Pengetahuan tentang al-sunnah dan hal-hal yang terkait dengannya harus di miliki oleh seorang mujtahid. Sebab Al-sunnah merupakan sumber kedua hukum syara’ di samping al-qur’an yang sekaligus berfungsi sebagai penjelasnya. Pengetahuan tentang al-sunnah ini meliputi: dirayah, riwayah, asbab al-wurud, dan al-jarh wa al-ta’dil. Dalam kaitan ini seorang dititikberatkan kepada pemahaman hadits-hadits yang mengandung hukum. Disini para ulama berbeda pendapat tentang pensyaratan terhadap seorang mujtahid untuk menghafal seluruh hadits hukum yang jumlahnyappun masih di perselisihkan antara 3.000, 1.200, 500, dan 300 hadits. Dalm hal ini Sayyid muhammad Musa tidak mengharuskan bagi seorang mujtahid untuk menghafal seluruh hadits hukum, ia hanya mensyaratkan bagi seorang mujtahid untuk memiliki kemampuan dalam mambahas hadits-hadits hukum yang ada dalam kitab shoheh serta mampu melakukan penelitian terhadap kualitas hadits tersebut.
4.     Mengetahui Letak  dan Khilaf.
Pengetahuan tentang hal-hal yang telah di sepakati(ijma’) dan hal-hal yang masih di perselisihkan (khilaf) mutlak diperlukan bagib seorang mujtahid. Halz ini di maksudkan agar seorang mujtahid tidak menetapkan hukum yang dengan ijma’ para ulama sebelumnya, baik sahabat, tabi’in maupun generasi setelah itu. Oleh karena itu sebelum membahas suatu permasalahan, seorang mujtahid harus melihat dulu status persoalan yang akan di bahas,apakah persoalan itu sudah pernah muncul pada zaman dahulu apa belum ?, maka dapat di pastikan bahwa belum ada ijma’ terhadap masalah tesebut.
Selain mengetahui masalah yang telah di sepakati, seorang mujtahid juga harus mengetahui masalah yang masih di perselisihkan di kalangan fuqaha’. Hal ini dimaksudkan agar ia dapat memilahkan antara pedapat yang shoheh dan tidak shoheh, serta yang kuat dan yang lemah, dengan mencoba menelusuri metode yang di gunakan oleh para fuqaha’ tersebut.
5.     Mengatahui Tujuan dari Syariat Islam.
Pengetahuan tentang tujuan syari’at islam sangatlah di perlukan bagi seoarang mujtahid, hal ini di sebabkan karena semua keputusan hukum harus selaras dengan tujuan syari’at islam yang secara garis besar adalah untuk memberi rahmat kepada alam semesta, khususnya untuk kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu hukum yang di tetapkan seoarang mutahid harus mampu memelihara tiga tingkatan kemaslahatan manusia yaitu primer, skunder, dan tersier. Seperti menghilangkan kesulitan dan mencegah kesempitan, serta memilih kemudahan dan meninggalkan kesukaran. Jika kesukaran (masaqah) terpaksa di berlakukan dalam tuntutan syari’at islam, maka pada hakikatnya hal itu untuk menolak datangnya masaqah yang lebih besar.
6.     Memiliki Pemahaman dan Penalaran yang Benar.
Pemahaman dan penalaran yang benar merupakan modal dasar yang harus di miliki oleh seorang mujtahid agar produk  ijtihadnya bisa di pertanggung jawabkan secara ilmiah di kalangan masyarakat. Dalam kaitan ini mujtahid harus mengetahui batasan-batasan, argumentasi, sistematika, dan proses menuju konsklusi hukum agar pendapatnya terhindar dari kesalahan.
7.     Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqih.
Penguasaan secara mendalam tantang ushul fiqih merupakan kewajiban setiap mujtahid. Hal ini di sebabkan  karena  kajian ushul fiqih antara lain memuat bahasan mengenai metode ijtihad yang harus di kuasai oleh siapa saja yang ingin beristimbat hukum. Di samping mengkaji tentang kaidah kebahasaan seperti amar, nahi, ‘am, khos, juga mengkaji tentang metode maqasid al-syar’iah seperti ijma’, qiyas, istikhsan, maslakhah mursalah,’urf dan sebagainya. Oleh karena itu Fakhruddin Al-Razi menegaskan bahwa ilmu yang paling penting untuk di kuasai seorang mujtahid adalah ilmu ushul fiqih. Dalam kaitan ini Al-Ghozali juga mengatakan bahwa yang paling penting dari ilmu ijtihad adalah ushul fiqih
8.     Mengetahui tentang Manusia dan Lingkungan Sekitarnya.
               Seorang mujtahid di haruskan untuk mengetahui kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya, hal ini di sebabkan karena seseorang tidak mungkin memutuskan suatu hukum tanpa di pengaruhi oleh obyek hukum baik individu maupun masyarakat. Oleh karaena itu sebelum beristimbat hukum, maka harus mengetahui dahulu segi kejiwaan, kebudayaan,kemasyarakatan, perekonomian, politik, dan sesuatu yang terkait dengan manusia saat itu. Selain itu dalam konteks kebudayaan dewasa ini mujtahid di tuntut untuk mengetahui ilmu pendidikan, sejarah, hukum negara, biologi, matematika, kimia, dan lain sebagainya. Berbagai disiplin ilmu ini sangat diperlukan bagi seorang mujtahid agar hukum yang di tetapkan tidak melenceng dari sebenarnya. Seperti seorang mujtahid yang akan menetapkan hukum bayi tabung, maka diperlukan pengetahuan tentang kedokteran dengan berbagai spesialisnya, etika, kejiwaan, serta disiplin ilmu lainnya yang terkait.
9.     Niat dan I’tiqad yang benar.
Seorang mujtahid harus niat ikhlas dengan mencari ridho allah SWT, hal ini di sebabkan karena seorang mujtahid yang mempunyai niat  tidak ikhlas sekalipun daya pikirnya tinggi, maka peluang untuk membelokan jalan pikirannya sangat besar sehingga berakibat kesalahan produk ijtihadnya. Bahkan lebih dari itu dia akan mempertahankan hasil ijtihadnya sekalipun ada pendapat lain yang lebih kuat dalinya. Padahal para imam mujtahid terdahulu telah memeberi contoh untuk menerima pendapat orang lain secara obyektif. Dalam hal ini mereka mengatakan “pendapat kami adalah sebuiah kebenaran yang mengandung kesalahan dan pendapat orang lain adalah sebuah kesalahan yang mengandung kebenaran,.
Persyaratan diatas merupakan persyaratan kepribadian yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Disamping persyaratan tersebut para ulama ushul fiqih juga memberi persyaratan lain seperti dewasa, beragama islam, dan sehat pikirannya. Pesyaratan yang terakhir ini disebut dengan “ Assyurut ammah” atau syarat-syarat umum. Dewasa merupakan persyaratan yang harus dipenuhi seseorang yang akan beristimbath hukum karena anak kecil masih belum memiliki kecakapan bertindak hukum, sehingga perbuatan yang ia lakukan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Demikian pula seorang mujtahid harus beragama islam, karena hukum yang digali adalah hukum islam, sehingga selain umat islam jika beristimbath hukum islam dikhaw atirkan akan membawa kesesatan. Selanjutnya, seorang mujtahid juga harus dalam kondisi sehat pikirannya, sebab seseoarang yang kondisi akalanya tidak sehat justru akan memberi informasi yang diluar kontrol akalnya. Itulah syarat yang harus dipenuhi oleh seoarang mujtahid, sehingga hasil ijtihadnya dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan standar keilmuan yang ada.
D.    Hukum Ijtihad
Hukum ijtihad, Ulama berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara' maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib'ain, wajib kifayah, sunat atau haram, bergantung pada kapasitas orang tersebut.[5]
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukmnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib'ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang telah terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu  lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad, maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
Ketiga, hukum berijtihad mejadi sunat jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dialkukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qathi',baik dalam Al-Quran maupun al-Sunah; atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijmak.
E.    Ijtihad Sumber Dinamika
Dewasa ini umat islam dihadapkasn dengan sejumlah peristiwa yang menyangkut aspek kehidupan. Tantangan umat sekarang ada dua macam, taqlid kepada barat dan taqlid kepada masa lalu.
Melihat persoalan-persoalan diatas, uamt islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu dengan cara melakukan ijtihad. Ijtihad itu penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Kepentingannya disebabkan oleh hal-hal berikut:[6]
1.     Jarak entara kita antara kita dengan masa tasyiri semakin jauh. Jarak yang jauh ini memungkinkan terlupakan beberapa nass, khsusunya dalam as-sunnah yaitu masuknya hadist-hadist palsu dan perubahan pemahaman terhadap nass. Oleh karena itu pera mujtahid dituntut secara bersungguh-sungguh menggali ajaran agama islam yang sebenarnya melalui kerja ijtihad.
2.     Syariat disampaikan dalam Al-Qur’an dan sunnah secara komprehensif: memerlukan penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh. Didalamnya terdapat yang ‘am dan khas, mutlaq da muqayyad, hakim dan mahkum, nasikh dan mansukh, serta yang lainya yang memerlukan penjelasan rapa mujtahid.
Dilihat dari fungsinya, ijtihad berperan sebagai penyalur kreatifitas pribadi atau kelompok dalam merespon peristiwa yang di hadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Dalil-dalil Qully dan maqasyid as-syari’at yang merupakan aturan-aturan pengarah dalam hidup. Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh islam yang dinamis menerobos kejumudan dan kebekuan memperoleh manfaat yang besar dari ajaran islam mencari pemecahan islami dari masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad juga adalah saksi bagi kehidapan islam atas agama-agama lainnya (ya’lu wala yu’la ‘alaih).
F.     Ijtihad Nabi Saw
Pembicaraan mengenai ijtihad Rasulullah Saw di kalangan para ulama ternyata sangat pelik dan berbelit-belit. Secara umummereka menyepakati dalam urusan keduniawiyaan (al mashalih ad dunyawiyati) pengaturan taktik dan keputusan yang berhubungan dengan persengketaan (al aqdiah wa al kushumah). Akan tetapi perbedaan pendapat mereka mengenai ijtihaj Rasulullah Saw dalam hukum agama.
Dalam menanggapi ijtihad dalam hukum agama ulama berbeda pendapat sebagai berikut:[7]
Pertama, ahli ushul fiqh membolehkan karena ini pernah di lakukan oleh Rasulullah Saw.
Kedua, pengikut Hanifah berpendapat Rasulullah Saw diperintah untuk berijtihad setelah beliau menunggu wahyu untuk menyelesaikan peristiwa yang terjadi, beliau khawatir peristiwa itu lenyap begitu saja.
Ketiga, kebanyakan pengikut As Syariah, ahli kalam, kebasnyakan pengikut uktazilah tidak setuju ijtihad Rasulullah daslam urusan hukum agama.


















BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan pembahasn diatas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
A.    Kesimpulan
1.     Ijtihad menurut Arti asalnya adalah "bersungguh-sungguh". Atau "pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan  sesuatu yang sulit ." Atas dasar ini maka tidak  tepat  apabila  kata  "ijtihad"  dipergunakan   untuk melakukan sesuatu yang mudah/ ringan.
2.     Dasar hukum ijtihad adalah apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nas. Kebolehan ini di isyaratkan antara lain (Q.S. Al-Baqarah: 149).
3.     Imam ghozali dalam mensyaratkan terhadap seorang mujtahid ada dua syarat, diantaranya adalah sebagai berikut:Seorang mujtahid harus mengetahui tentang hukum-hukum syara’, tidak hanya itu, seorang mujtahid juga di tuntut untuk mendahulukan sesuatu yang wajib di dahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang wajib di akhirkan. Seorang mujtahid harus adil dan juga harus menjauhi perbutan ma’siat yang bisa menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid. Syarat ini bisa untuk menjadi pegangan oleh para mujtahid, tapi kalau seorang mujtahid tidak ‘adil maka hasil ijtihadnya tidak syah atau tidak boleh untuk di jadikan sebuah pegangan oleh orang awam
4.     Hukum ijtihad, Ulama berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara' maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib'ain, wajib kifayah, sunat atau haram, bergantung pada kapasitas orang tersebut.
5.     Dewasa ini umat islam dihadapkasn dengan sejumlah peristiwa yang menyangkut aspek kehidupan. Tantangan umat sekarang ada dua macam, taqlid kepada barat dan taqlid kepada masa lalu.
6.     Pembicaraan mengenai ijtihad Rasulullah Saw di kalangan para ulama ternyata sangat pelik dan berbelit-belit. Secara umummereka menyepakati dalam urusan keduniawiyaan (al mashalih ad dunyawiyati) pengaturan taktik dan keputusan yang berhubungan dengan persengketaan (al aqdiah wa al kushumah). Akan tetapi perbedaan pendapat mereka mengenai ijtihaj Rasulullah Saw dalam hukum agama
B.    Saran – Saran
1.     Disarankan kepada umat Islam umumnya dan khususnya kepada mahasiswa STAI Almuslim untuk memperdalam pengkajian ilmu Ushul Fiqh.
2.     Disarankan kepada mahasiswa supaya dapat memperbanyak telaah Ushul Fiqh, karena dengan banyak telaah banyak ilmu yang kita dapatkan.
3.     Disarankan kepada Mahasiswa/i agar dapat mengabdikan ilmunya kepada masyarakat.





DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwâfaqât f Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Jawa Timur: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.

Mu’allim,Amir dan Yusdani, Ijtihad Dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2004.

Saiban, Metode Ijtihad Ib DR. Ibnu Rusydy, Jakarta: Kutub Minar, 2005.

Abd. Hakim Atang, Jaih Mubarok, Metodologi Study Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000

Jaih Mubarak, dkk, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosbakarya. Kharisma, 2000.

Hanafie, Ushul Fiqh, cet. XII, Jakarta: Widjaya, 2003.


Abd. Hakim Atang, Jaih Mubarok, Metodologi Study Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000.



[1] Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwâfaqât f Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.), hal. 49.

[2] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, (Jawa Timur: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 94.
               [3] Mu’allim,Amir dan Yusdani, Ijtihad Dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hal. 47.
               [4] Saiban, Metode Ijtihad Ib DR. Ibnu Rusydy, (Jakarta: Kutub Minar, 2005), hal. 27-28.
               [5] Abd. Hakim Atang, Jaih Mubarok, Metodologi Study Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hal. 39.
               [6] Jaih Mubarak, dkk, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosbakarya.
Kharisma, 2000), hal. 46.
               [7] A. Hanafie, Ushul Fiqh, cet. XII (Jakarta: Widjaya, 2003), hal. 29.

0 Comments