BAB I
P E N D A H U L U AN
A. Latar
Belakang Masalah
Melihat persoalan semakin ruwet dan semakin susah
mencari penyelesaian dengan nas-nas maka menjadi landasan utama kenapa
aktivitas ijtihad di dalam Islam tidak boleh berhenti. Ijtihad adalah ruh yang
menghidupi Islam secara terus-menerus. Tanpa ijtihad, seperti telah
diteladankan Umar ibn Khattab dan lain-lainnya, Islam sudah semenjak lama
menjadi benda hampa dan hiasan kuno yang hanya layak menjadi tontonan, bukan
tuntunan. Untung saja para ulama aktif memeras akal budi dan berijtihad untuk
mengatasi problem-problem zamannya.
Nabi Muhammad SAW sendiri sesungguhnya adalah seorang
mujtahid ulung. Di tangan Nabi, Alquran menjadi lompatan dan pegangan
memecahkan sejumlah kebuntuan sosial, politik, bahkan ekonomi. Nabi menjadikan
Alquran terlibat dalam proses perubahan sosial, sehingga ia bukan sebagai kitab
suci yang melangit tanpa bersentuhan dengan bumi.
Kini, ijtihad semakin niscaya, terutama di tengah
problem kemanusiaan yang semakin kompleks. Problem kehidupan yang sedemikian
struktural dan sistemik, tentu butuh ijtihad dosis tinggi dari para ulama.
Kondisi ini tidak bisa dipasrahkan pemecahannya pada model lama seperti yang
terbaca dalam sejarah. Ideologi keislaman konservatif yang terus merujuk ke
model masa lalu, bukan saja menunjukkan watak tidak kreatif, melainkan juga
tidak realistis. Tafsir-tafsir keagamaan klasik yang kerap di idealisasi
sedemikian rupa bukanlah pemecahan yang arif. Tantangan kehidupan masa kini
tidak akan persis sama dengan kehidupan abad pertengahan. Siapapun tahu,
kekinian jauh lebih rumit dan dinamis ketimbang kesilaman.
Islam seharusnya dikembalikan ke posisi awalnya sebagai
agama membebaskan, mencerahkan. Islam diharapkan cukup liberatif untuk
mengatasi ketertindasan dan keterbelakangan. Islam mesti dibersihkan dari
beban-beban sejarah masa lalu yang kelam. Agama yang telah mengalami manipulasi
oleh elite sehingga tampak kacau, mesti dipulihkan kembali dengan (salah
satunya) menyemarakkan aktivitas ijtihad. Ijtihad adalah cara untuk
mengembangkan rasionalisme dalam Islam.
BAB II
P E M B A H A S A N
A. Pengertian
Ijtihad
Ijtihad menurut Arti asalnya adalah
"bersungguh-sungguh". Atau "pengerahan segala kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit ."
Atas dasar ini maka tidak tepat apabila
kata "ijtihad" dipergunakan
untuk melakukan sesuatu yang mudah/ ringan[1].
Sedangkan berdasarkan makna Terminlogi, para ulama ushul memandang bahwa
ijtihad adalah pengerahan segenap kesungguhan dan kamantapan yang dimiliki
seseorang ahli fiqh untuk menghasikan keyakinan tentang suatu hokum sedangkan
definisi lain dari ijtihad yaitu mencurahkan segenap usaha untuk sampai kepada
hukum syar’a dari dalil tafsili yang termasuk dalil syar’i.
Menurut Hasbi Ash Shaddiqi
Ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’
dengan jalan Zan. Sedangkan Al-Dahlawi menjelaskan ijtihad adalah mencurahkan
kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang
terperinci, yang secara global kembali keempat macam dalil yaitu Kitab, Sunnah,
Ijma' dan Qiyas. Dan Imam Khomeini mengatakan juga Ijtihad adalah keahlian atau
kemampuan yang dengannya dia dapat menarik kesimpulan hukum dari dalil-dalil[2].
Dari keterangan di atas bahwa
ijtihad bukan perbuatan yang dilakukan sekedar membuka-buka kitab tafsir atau
hadis lalu dengan mudah ditarik sebuah kesimpulan hukum. Sebaliknya,
dalam ijtihad dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan dengan mencurahkan segenap
kemampuan dan usaha untuk mendapatkan hukum-hukum syariat. Hal ini menunjukkan
bahwa maslah ijtihad bukan perkara yang mudah, tetapi ijtihad juga harus
diupayakan pada setiap generasi, agar ajaran Islam tetap dinamis, tidak stagnan
dan siap memberikan solusi atas segala problematika kontemporer.
B. Dasar –Dasar Ijtihad
Para fuqaha boleh melakukan ijtihad
apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nas.
Kebolehan ini di isyaratkan antara lain (Q.S. Al-Baqarah: 149)
وَمِنْ حَيْثُ
خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِن
رَّبِّكَ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Artinya: Dan dari mana saja kamu
keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. (Q.S. Al-Baqarah:
149)
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa
orang yang berada jauh dari masjidil haram, apabila akan shalat, dapat mencari
dan menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya
berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada.
Secara kodrati manusia mempunyai badan jasmani dan rohani. Badan rohani
berfungsi untuk memhami apa yang dilihat oleh manusia dan dialami oleh akal
pikiran sekaligus berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dialam raya
ini. Walaupun tidak ada petunjuk dari agama, maka dengan akal itu manusia dapat
memperoleh kebahagiaan hidup dan dapat berusaha menghindari bahaya.
Hadis lain juga yang mendukung
akan persolan ini yaitu hadis nabi yang ketika mengutus Muadz bin Jabal menjadi
Guburnur di Yaman, hadis ini tidak asing lagi bagi kita semua, “ Ketika itu
Muads ditanya oleh Rasulullah : dengan apa engkau menentukan hukum, Muazd
menjawab dengan kitab Allah, jawab Muadz, Rasulullah bertanya lagi kalau
engakau tidak mendapat keterangan dari Al-Qur’an, Muadz menjawab saya
mengambilnya dari sunnah Rasul, Rasulullah berkata lagi, kalau engakau tidak
mendapi dari keterangan sunah Rasululah SAW, Muadz menjawab saya akan
berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa, Rasulullah menepuk
Muadz bin Jabal menandakan persetujuannya.
Nabi sendiri memberikan
kelonggaran dalam persolan agama, dengan cara ijtihad bahkan Nabi membrikan
dorongan kepad mereka, jika ijtihad itu mengenai sasaran, maka orang yang
berijtihad mendapat dua kebaikan dan apabila tidak, dia mendapat satu kebaikan.
C.
Syarat Mujtahid
Seorang mujtatahid untuk bisa
berijtihad pada zaman sekarang yang serba modern ini, zaman yang semakin
berkembang dan hukum islam yang semakin fleksibel seorang mujtahid di tuntut
untuk bisa memenuhi syarat yang akan sampai pada derajat mujtahid, tapi dalam
hal ini para ulama masih berbeda pendapat tentang pensyaratan terhadap seorang
mujtahid, tapi semua itu bermuara/ mempunyai inti yang sama. Di bawah ini ada
beberapa ulama-ulama terkemuka yang berargument mengenai pensyaratan terhadap
sesorang mujtahid diantaranya adalah sebagai berikut[3]:
1. Imam Ghazali
Imam ghozali dalam mensyaratkan
terhadap seorang mujtahid ada dua syarat, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Seorang mujtahid harus
mengetahui tentang hukum-hukum syara’, tidak hanya itu, seorang mujtahid juga
di tuntut untuk mendahulukan sesuatu yang wajib di dahulukan dan mengakhirkan
sesuatu yang wajib di akhirkan.
b. Seorang mujtahid harus adil
dan juga harus menjauhi perbutan ma’siat yang bisa menghilangkan sifat keadilan
seorang mujtahid. Syarat ini bisa untuk menjadi pegangan oleh para mujtahid,
tapi kalau seorang mujtahid tidak ‘adil maka hasil ijtihadnya tidak syah atau
tidak boleh untuk di jadikan sebuah pegangan oleh orang awam.
2. Imam Syatibi
Menurut imam as-syatiby seorang yang
ingin mencapai derajat mujtahid harus bisa memenuhi dua syarat di bawah ini:
- Bisa memahami tujuan syariat secara sempurna,
- Bisa menggali suatu hukum atas dasar
pemahaman seorang mujtahid.
Selain dari pendapat 2 ulama terkemuka tersebut para ulama ushul fiqih
juga telah menetapkan syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang mujtahid
sebelum melakukan ijtihad diantaranya adalah sebagai berikut[4]:
1. Mengetahui Bahasa Arab.
Mengetahui bahasa yang baik sangatlah
di perlukan oleh seorang mujtahid.Sebab Al-Qur’an di turunkan dengan bahasa
arab, dan As-Sunnah juga di paparkan dengan bahasa arab, keduanya merupakan
sumber utama hukum islam sehingga seorang mujtahid tidak mungkin bisa menggali
sebuah hukum tanpa memahami bahasa arab dengan baik.Menurut al-syaukani(ahli
ushul dari yaman)tuntutan bagi seorang mujtahid dalam menguasai bahasa arab
seperti nahwu,shorof dan lain sebagainya.
2.
Mempunyai pengetahuan yang Mendalam tentang Al-Qur’an.
Maksudnya adalah mengetahui Al-Qur’an
dengan segala ilmu yang terkait dengannya seperti nasih mansuh,’Am, khosh dan
lain sebagainya.Mengenai ayat-ayat al-qur’an yang harus di hafal oleh seorang
mujtahid yang berkaitan dengan hukum para ulama ushul fiqih masih berbeda
pendapat. Dalam kaitan ini imam ghozali berpendapat bahwa ayat-ayat al-qur’an
yang secara rinci membicarakan tentang
hukum hanya ada 500 ayat, namun bukan berarti ayat lainnya tidak mengandung
hukum yang dapat di istimbatkan, karena setiap ulama memahami al-qur ‘an secara seksama akan bisa
beristimbath hukum dengan ayat yang mana saja.Denan demikian , jumlah ayat
hukum yang di ketengahkan oleh imam al-ghozali tersebut hanyalah sebuah
perkiraan dan hanya melihat pada ayat-ayat al-qur’an secara rinci saja. Oleh
kerena itu untuk menghindari kesalah pahaman tersebut wahbah al-zuhaili
mengemukakan bahwa seorang mujtahid di syaratkan memahami ayat-ayat hukum
secara baik dan benar.
3. Mempunyai Pengetahuan yang
Memadai tentang As-Sunnah.
Pengetahuan tentang al-sunnah dan
hal-hal yang terkait dengannya harus di miliki oleh seorang mujtahid. Sebab
Al-sunnah merupakan sumber kedua hukum syara’ di samping al-qur’an yang
sekaligus berfungsi sebagai penjelasnya. Pengetahuan tentang al-sunnah ini
meliputi: dirayah, riwayah, asbab al-wurud, dan al-jarh wa al-ta’dil. Dalam
kaitan ini seorang dititikberatkan kepada pemahaman hadits-hadits yang
mengandung hukum. Disini para ulama berbeda pendapat tentang pensyaratan
terhadap seorang mujtahid untuk menghafal seluruh hadits hukum yang
jumlahnyappun masih di perselisihkan antara 3.000, 1.200, 500, dan 300 hadits.
Dalm hal ini Sayyid muhammad Musa tidak mengharuskan bagi seorang mujtahid
untuk menghafal seluruh hadits hukum, ia hanya mensyaratkan bagi seorang
mujtahid untuk memiliki kemampuan dalam mambahas hadits-hadits hukum yang ada
dalam kitab shoheh serta mampu melakukan penelitian terhadap kualitas hadits
tersebut.
4. Mengetahui Letak dan Khilaf.
Pengetahuan tentang hal-hal yang telah
di sepakati(ijma’) dan hal-hal yang masih di perselisihkan (khilaf)
mutlak diperlukan bagib seorang mujtahid. Halz ini di maksudkan agar seorang
mujtahid tidak menetapkan hukum yang dengan ijma’ para ulama sebelumnya, baik
sahabat, tabi’in maupun generasi setelah itu. Oleh karena itu sebelum membahas
suatu permasalahan, seorang mujtahid harus melihat dulu status persoalan yang
akan di bahas,apakah persoalan itu sudah pernah muncul pada zaman dahulu apa
belum ?, maka dapat di pastikan bahwa belum ada ijma’ terhadap masalah tesebut.
Selain mengetahui masalah yang telah
di sepakati, seorang mujtahid juga harus mengetahui masalah yang masih di
perselisihkan di kalangan fuqaha’. Hal ini dimaksudkan agar ia dapat memilahkan
antara pedapat yang shoheh dan tidak shoheh, serta yang kuat dan yang lemah,
dengan mencoba menelusuri metode yang di gunakan oleh para fuqaha’ tersebut.
5. Mengatahui Tujuan dari
Syariat Islam.
Pengetahuan tentang tujuan syari’at
islam sangatlah di perlukan bagi seoarang mujtahid, hal ini di sebabkan karena
semua keputusan hukum harus selaras dengan tujuan syari’at islam yang secara
garis besar adalah untuk memberi rahmat kepada alam semesta, khususnya untuk
kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu hukum yang di tetapkan seoarang
mutahid harus mampu memelihara tiga tingkatan kemaslahatan manusia yaitu
primer, skunder, dan tersier. Seperti menghilangkan kesulitan dan mencegah
kesempitan, serta memilih kemudahan dan meninggalkan kesukaran. Jika kesukaran
(masaqah) terpaksa di berlakukan dalam tuntutan syari’at islam, maka pada
hakikatnya hal itu untuk menolak datangnya masaqah yang lebih besar.
6. Memiliki Pemahaman dan
Penalaran yang Benar.
Pemahaman dan penalaran yang benar
merupakan modal dasar yang harus di miliki oleh seorang mujtahid agar
produk ijtihadnya bisa di pertanggung
jawabkan secara ilmiah di kalangan masyarakat. Dalam kaitan ini mujtahid harus
mengetahui batasan-batasan, argumentasi, sistematika, dan proses menuju
konsklusi hukum agar pendapatnya terhindar dari kesalahan.
7. Memiliki pengetahuan tentang
Ushul Fiqih.
Penguasaan secara mendalam tantang
ushul fiqih merupakan kewajiban setiap mujtahid. Hal ini di sebabkan karena
kajian ushul fiqih antara lain memuat bahasan mengenai metode ijtihad
yang harus di kuasai oleh siapa saja yang ingin beristimbat hukum. Di samping
mengkaji tentang kaidah kebahasaan seperti amar, nahi, ‘am, khos, juga mengkaji
tentang metode maqasid al-syar’iah seperti ijma’, qiyas, istikhsan, maslakhah
mursalah,’urf dan sebagainya. Oleh karena itu Fakhruddin Al-Razi menegaskan
bahwa ilmu yang paling penting untuk di kuasai seorang mujtahid adalah ilmu ushul
fiqih. Dalam kaitan ini Al-Ghozali juga mengatakan bahwa yang paling penting
dari ilmu ijtihad adalah ushul fiqih
8. Mengetahui tentang Manusia
dan Lingkungan Sekitarnya.
Seorang mujtahid di haruskan untuk mengetahui kehidupan manusia dan lingkungan
sekitarnya, hal ini di sebabkan karena seseorang tidak mungkin memutuskan suatu
hukum tanpa di pengaruhi oleh obyek hukum baik individu maupun masyarakat. Oleh
karaena itu sebelum beristimbat hukum, maka harus mengetahui dahulu segi
kejiwaan, kebudayaan,kemasyarakatan, perekonomian, politik, dan sesuatu yang
terkait dengan manusia saat itu. Selain itu dalam konteks kebudayaan dewasa ini
mujtahid di tuntut untuk mengetahui ilmu pendidikan, sejarah, hukum negara,
biologi, matematika, kimia, dan lain sebagainya. Berbagai disiplin ilmu ini
sangat diperlukan bagi seorang mujtahid agar hukum yang di tetapkan tidak
melenceng dari sebenarnya. Seperti seorang mujtahid yang akan menetapkan hukum
bayi tabung, maka diperlukan pengetahuan tentang kedokteran dengan berbagai
spesialisnya, etika, kejiwaan, serta disiplin ilmu lainnya yang terkait.
9. Niat dan I’tiqad yang benar.
Seorang mujtahid harus niat ikhlas
dengan mencari ridho allah SWT, hal ini di sebabkan karena seorang mujtahid
yang mempunyai niat tidak ikhlas
sekalipun daya pikirnya tinggi, maka peluang untuk membelokan jalan pikirannya
sangat besar sehingga berakibat kesalahan produk ijtihadnya. Bahkan lebih dari
itu dia akan mempertahankan hasil ijtihadnya sekalipun ada pendapat lain yang
lebih kuat dalinya. Padahal para imam mujtahid terdahulu telah memeberi contoh
untuk menerima pendapat orang lain secara obyektif. Dalam hal ini mereka
mengatakan “pendapat kami adalah sebuiah kebenaran yang mengandung kesalahan
dan pendapat orang lain adalah sebuah kesalahan yang mengandung kebenaran,.
Persyaratan diatas merupakan
persyaratan kepribadian yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Disamping
persyaratan tersebut para ulama ushul fiqih juga memberi persyaratan lain
seperti dewasa, beragama islam, dan sehat pikirannya. Pesyaratan yang terakhir
ini disebut dengan “ Assyurut ammah” atau syarat-syarat umum. Dewasa merupakan
persyaratan yang harus dipenuhi seseorang yang akan beristimbath hukum karena
anak kecil masih belum memiliki kecakapan bertindak hukum, sehingga perbuatan
yang ia lakukan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Demikian pula
seorang mujtahid harus beragama islam, karena hukum yang digali adalah hukum
islam, sehingga selain umat islam jika beristimbath hukum islam dikhaw atirkan
akan membawa kesesatan. Selanjutnya, seorang mujtahid juga harus dalam kondisi
sehat pikirannya, sebab seseoarang yang kondisi akalanya tidak sehat justru
akan memberi informasi yang diluar kontrol akalnya. Itulah syarat yang harus
dipenuhi oleh seoarang mujtahid, sehingga hasil ijtihadnya dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan standar keilmuan yang ada.
D.
Hukum Ijtihad
Hukum ijtihad, Ulama berpendapat, jika
seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu
masalah yang berkaitan dengan hukum syara' maka hukum ijtihad bagi orang itu
bisa wajib'ain, wajib kifayah, sunat atau haram, bergantung pada kapasitas
orang tersebut.[5]
Pertama, bagi seorang muslim yang
memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang
terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian
hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukmnya dalam
nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib'ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang
memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang
telah terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid
lainnya, maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. Artinya, jika semua mujtahid
tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa.
Sebaliknya jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad, maka gugurlah
tuntutan ijtihad atas diri mereka.
Ketiga, hukum berijtihad mejadi sunat
jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram
dialkukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qathi',baik
dalam Al-Quran maupun al-Sunah; atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah
ditetapkan secara ijmak.
E.
Ijtihad Sumber Dinamika
Dewasa ini umat islam dihadapkasn
dengan sejumlah peristiwa yang menyangkut aspek kehidupan. Tantangan umat
sekarang ada dua macam, taqlid kepada barat dan taqlid kepada masa lalu.
Melihat persoalan-persoalan diatas,
uamt islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu dengan cara melakukan
ijtihad. Ijtihad itu penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang.
Kepentingannya disebabkan oleh hal-hal berikut:[6]
1. Jarak entara kita antara kita
dengan masa tasyiri semakin jauh. Jarak yang jauh ini memungkinkan terlupakan
beberapa nass, khsusunya dalam as-sunnah yaitu masuknya hadist-hadist palsu dan
perubahan pemahaman terhadap nass. Oleh karena itu pera mujtahid dituntut
secara bersungguh-sungguh menggali ajaran agama islam yang sebenarnya melalui
kerja ijtihad.
2. Syariat disampaikan dalam
Al-Qur’an dan sunnah secara komprehensif: memerlukan penelaahan dan pengkajian
yang sungguh-sungguh. Didalamnya terdapat yang ‘am dan khas, mutlaq da
muqayyad, hakim dan mahkum, nasikh dan mansukh, serta yang lainya yang memerlukan
penjelasan rapa mujtahid.
Dilihat dari fungsinya, ijtihad
berperan sebagai penyalur kreatifitas pribadi atau kelompok dalam merespon
peristiwa yang di hadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Dalil-dalil Qully dan
maqasyid as-syari’at yang merupakan aturan-aturan pengarah dalam hidup. Ijtihad
diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh islam yang dinamis menerobos kejumudan
dan kebekuan memperoleh manfaat yang besar dari ajaran islam mencari pemecahan
islami dari masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad juga adalah saksi bagi
kehidapan islam atas agama-agama lainnya (ya’lu wala yu’la ‘alaih).
F.
Ijtihad Nabi Saw
Pembicaraan mengenai ijtihad Rasulullah
Saw di kalangan para ulama ternyata sangat pelik dan berbelit-belit. Secara
umummereka menyepakati dalam urusan keduniawiyaan (al mashalih ad
dunyawiyati) pengaturan taktik dan keputusan yang berhubungan dengan
persengketaan (al aqdiah wa al kushumah). Akan tetapi perbedaan pendapat
mereka mengenai ijtihaj Rasulullah Saw dalam hukum agama.
Dalam menanggapi ijtihad dalam hukum
agama ulama berbeda pendapat sebagai berikut:[7]
Pertama, ahli ushul fiqh membolehkan
karena ini pernah di lakukan oleh Rasulullah Saw.
Kedua, pengikut Hanifah berpendapat
Rasulullah Saw diperintah untuk berijtihad setelah beliau menunggu wahyu untuk
menyelesaikan peristiwa yang terjadi, beliau khawatir peristiwa itu lenyap
begitu saja.
Ketiga, kebanyakan pengikut As
Syariah, ahli kalam, kebasnyakan pengikut uktazilah tidak setuju ijtihad
Rasulullah daslam urusan hukum agama.
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan pembahasn diatas, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1. Ijtihad
menurut Arti asalnya adalah "bersungguh-sungguh". Atau
"pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit ." Atas dasar ini
maka tidak tepat apabila
kata "ijtihad" dipergunakan
untuk melakukan sesuatu yang mudah/ ringan.
2. Dasar
hukum ijtihad adalah apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang
terdapat dalam nas. Kebolehan ini di isyaratkan antara lain (Q.S. Al-Baqarah:
149).
3. Imam
ghozali dalam mensyaratkan terhadap seorang mujtahid ada dua syarat,
diantaranya adalah sebagai berikut:Seorang mujtahid harus mengetahui tentang
hukum-hukum syara’, tidak hanya itu, seorang mujtahid juga di tuntut untuk
mendahulukan sesuatu yang wajib di dahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang
wajib di akhirkan. Seorang mujtahid harus adil dan juga harus menjauhi perbutan
ma’siat yang bisa menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid. Syarat ini
bisa untuk menjadi pegangan oleh para mujtahid, tapi kalau seorang mujtahid
tidak ‘adil maka hasil ijtihadnya tidak syah atau tidak boleh untuk di jadikan
sebuah pegangan oleh orang awam
4. Hukum
ijtihad, Ulama berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa,
atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara' maka
hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib'ain, wajib kifayah, sunat atau haram,
bergantung pada kapasitas orang tersebut.
5. Dewasa
ini umat islam dihadapkasn dengan sejumlah peristiwa yang menyangkut aspek
kehidupan. Tantangan umat sekarang ada dua macam, taqlid kepada barat dan
taqlid kepada masa lalu.
6. Pembicaraan
mengenai ijtihad Rasulullah Saw di kalangan para ulama ternyata sangat pelik
dan berbelit-belit. Secara umummereka menyepakati dalam urusan keduniawiyaan (al
mashalih ad dunyawiyati) pengaturan taktik dan keputusan yang berhubungan
dengan persengketaan (al aqdiah wa al kushumah). Akan tetapi perbedaan
pendapat mereka mengenai ijtihaj Rasulullah Saw dalam hukum agama
B.
Saran
– Saran
1.
Disarankan
kepada umat Islam umumnya dan khususnya kepada mahasiswa STAI Almuslim untuk
memperdalam pengkajian ilmu Ushul
Fiqh.
2.
Disarankan
kepada mahasiswa supaya dapat memperbanyak telaah Ushul Fiqh, karena dengan
banyak telaah banyak ilmu yang kita dapatkan.
3.
Disarankan
kepada Mahasiswa/i agar dapat
mengabdikan ilmunya kepada masyarakat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ibrahim
bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwâfaqât fỉ Ushûl
al-Fiqh, Beirut:
Dar al-Ma’rifah, tt.
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Jawa Timur:
PT Logos Wacana Ilmu, 1999.
Mu’allim,Amir
dan Yusdani, Ijtihad Dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta: UII
Press, 2004.
Saiban, Metode Ijtihad Ib DR. Ibnu Rusydy, Jakarta: Kutub
Minar, 2005.
Abd. Hakim
Atang, Jaih Mubarok, Metodologi Study Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000
Jaih Mubarak,
dkk, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosbakarya. Kharisma, 2000.
Hanafie, Ushul
Fiqh, cet. XII, Jakarta: Widjaya, 2003.
Abd. Hakim
Atang, Jaih Mubarok, Metodologi Study Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000.
[1] Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwâfaqât
fỉ Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
tt.), hal. 49.
[2] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad
Al-Syaukani, (Jawa Timur: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 94.
Kharisma, 2000), hal. 46.
0 Comments
Post a Comment