BAB I
P EN D A H U L U A N
A.
Latar
Belakang Masalah
Islam adalah agama yang benar dan berasal dari Allah.
Agama yang bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu.
Dan ruang lingkup keberlakuan ajaran islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
adalah untuk semua umat manusia, dimanapun mereka berada. Islam dapat diterima
oleh seluruh manusia di muka bumi ini. Islam dapat menjadi pedoman hidup dan
menyelesaikan persoalan kehidupan masyarakat modern.
Hukum sebagai salah satu aspek hidup dan kehidupan
manusia menurut teori hukum islam essensinya adalah religius. Sejak awal mula
sejarah islam hukum bersumber pada Syari’ah (wahyu Allah dan sunnah Nabi
Muhammad SAW.). dan setelah Nabi wafat hukum islam yang ditetapkan dinamakan
fiqh.
Dan dalam pembahasan hukum islam, terdapat masa-masa
dimana terdapat penetapan hukum islam. Melalui makalah ini penulis akan
membahas lebih lanjut mengenai Hukum Islam pada masa Tabi’in.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ijtihad Pada Masa Tabi’in
Periode ini terjadi kurang lebih pada abad II H. setelah
berakhir masa shahabat, muncul masa Tabi’in. Generasi tabi’in ini terdiri atas
murid-murid para shahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada pendapat
para shahabat. Secara garis besar, para tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:
- Mereka mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat
shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in
dari pendapat seorang shahabat. Hal itu jika pendapat yang diutamakannya
itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
- Mereka sendiri berijtihad. Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hukum Islam sesungguhnya secara professional dimulai pada periode tabi’in ini.[1]
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin
meningkat. Para sejarawan bahkan menyebutnya dengan periode ijtihad dan masa
keemasan fiqih Islam. Setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan
memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Di
Mekah muncul tokoh seperti Atha bin Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin
Musayyab, Urwah bin Zubair, di Bashrah muncul Muslim bin Yasar, Muhammad bin
Sirin, dan lain-lain.
B.
Wawasan Hukum Zaman Tabi'in
Antara Islam sebagai agama dan hukum terdapat
kaitan langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal di
Madinah nabi SAW. Yang melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan
yang bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah bahkan justru dasar-dasarnya
telah diletakkan dengan kokoh pada periode yang pertama itu.
Dasar-dasar itu memang tak semuanya
langsung bersifat kehukuman atau legalistik sebab selalu dikaitkan dengan
ajaran moral dan etika maka sejak nabi di Makkah mengajarkan tentang cita-cita
keadilan sosial yang antara lain mendasari konsep-konsep sebagai berikut :
- Tentang harta yang halal dan yang haram
- Keharusan menghormati hak milih sah orang
lain
- Mengurus harta anak yatim secara benar
- Perlindungan terhadap kaum wanita dan janda[2]
Pada masa para sahabat yang kemudian
disusul masa para tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan nabi itu berhasil
digunakan atau diamalkan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik imperium
Islam yang meliputi daerah antara nil sampai amodaria, dan kemudian segera
melebar dan meluas sehingga membentang dari semenanjung liberia sampai lembah
sungai indus.
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa
mengatakan secara benar bahwa letak kekuasaan Islam sifatnya yang akomodatif
terhadap setiap perkembangan zaman dan peralihan tempat (.(صحيح لكل الزمان والمكان Penetapan hukum
(Al-tasyri') Islam merupakan merupakan salah satu berbagai segi yang amat
penting yang disusun oleh tugas suci Islam dan yang memberi gmabaran segi
ilmiah dari tugas suci tersebut[3].
Penetapan hukum keagamaan murni seperti hukum ibadah tak pernah timbul kecuali
dari wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Baik dari kitab ataupun sunnah, atau
dengan suatu ijtihad yang keluar dari lingkaran tugas penyampaian (tabligh)
dan penjelasan (tabyin) tidaklah nabi berbicara atas kemauan sendiri,
tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya seperti firman Allah (QS.
Al-Najm/53:34).
C.
Penetapan Hukum Islam pada Masa Tabi’in
Setelah masa kholifah yang ke empat
berakhir, fase selanjutnya adalah zaman Tabi’in yang pemerintahnnya dipimpin
Bani Umayyah.[4] Secara historis, masa
Tabi’in merupakan masa yang dipenuhi dengan permasalahan. Perkembangan wilayah
politik Islam yang semakin luas, kehidupan masyarakat yang semakin maju dan
kompleks. Dalam hal ini, pemeluk Islam bukan hanya dari bangsa Arab, tetapi
sudah berbaur dengan bangsa lain yang berbeda-beda bahasa dan tradisinya. Perkembangan
ini menyebabkan pengetahuan umat Muslim terhadap sumber ajaran Islam, yaitu
al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab, tidak lagi sesempurna generasi sebelumnya.
Di samping itu, permasalahan kehidupan yang memerlukan jawaban hukum semakin
meningkat yang lebih menuntut pelaksanaan ijtihad.
Dalam melakukan ijtihad, para ulama
Tabi’in mengikuti cara yang telah dirintis sebelumnya oleh para Sahabat.
Meliputi:
- al-Qur’an
- Sunnah
- Mereka mengikuti ijma’ Sahabat. Apabila tidak
ditemukan dalam ijma’, mereka berpedoman kepada hasil ijtihad pribadi dari
Sahabat yang dianggap kuat dalilnya.
- Di samping itu, mereka menggunakan ra’yu
sebagaimana yang dilakukan Sahabat. Dalam penggunaan ra’yu, mereka
menggunakan qiyas, jika mereka menemukan padanan masalahnya dengan apa
yang terdapat dalam nash. Apabila tidak mungkin, mereka menempatkan
kepentingan umum atau kemaslahatan sebagai rujukan dalam ijtihad[5].
Di antara faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi perkembangan hukum Islam pada masa ini, yaitu sebagai berikut:
- Perpecahan di kalangan umat Islam
Pada awal masa ini, umat Islam
mengalami berbagai gejolak politik yang menyebabkan munculnya
golongan-golongan. Pemberontakan yang paling serius adalah pemberontakan yang
dilakukan oleh kelompok Khawarij, Syi’ah, dan kelompok Abdullah bin Zubair.
Persaingan dan pertikaian terus-menerus antar golongan yang saling bertentangan
tersebut dalam memperebutkan kedudukan politik mengakibatkan kekacauan dalam
pemahaman keagamaan.
- Penyimpangan para khalifah Bani Umayyah
Para khalifah Umayyah memperkenalkan
sejumlah praktek yang lazim berlaku di negeri-negeri non-Muslim pada waktu itu,
seperti Byzantium, Persia dan India. Banyak dari praktek-praktek tersebut
jelas-jelas bertentangan dengan fiqh pada periode sebelumnya. Sebagai contoh,
bait al-mal digeser menjadi kepemilikan pribadi para khalifah dan keluarganya,
dan pajak yang tidak diperbolehkan Islam diberlakukan untuk meningkatkan
keuntungan mereka. Musik, gadis-gadis penari, tukang sulap, para ahli nujum,
secara resmi diperkenalkan sebagai bentuk hiburan istana kekhalifahan
Pada kekuasaan Yazid sebagai putra
mahkota yang ditetapkan oleh khalifah Muawiyah pada tahun 679 M, khalifah
diubah menjadi jabatan turun-temurun. Ikatan fiqh-negara dihancurkan dan faktor
pemersatu madzhab yang cukup penting pun lenyap. Akibatnya, sebagian khalifah
berupaya memanipulasi fiqh untuk menghukumi penyimpangan-penyimpangannya. Untuk
memberantas smua itu, dan memelihara fiqh otentik untuk generasi berikutnya,
para ulama mulai mengumpulkan dan menghimpun fiqh yang berasal dari periode
sebelumnya.
- Persebaran para ulama ke daerah-daerah luar
Banyak dari para ulama pada masa ini
yang melarikan diri dari pusat-pusat pemerintahan Bani Umayyah untuk
menghindari konflik, kekacauan, serta pertikaian dari berbagai golongan. Hal
ini mengakibatkan rusaknya prinsip ijma’. Seiring dengan tersebarnya para ulama
ke seluruh pelosok wilayah Muslim yang letaknya berjauhan antara satu dengan
yang lain, maka kesepakatan pandangan tentang hukum menjadi mustahil untuk
disatukan. Hal seperti ini pada akhirnya memicu tumbuhnya ijtihad-ijtihad
individual dari para ulama ketika mereka berhadapan dengan keanekaragaman adat
istiadat, cara hidup dan permasalahan baru di wilayah mereka. Dan pada
perkembangan berikutnya, kondisi di atas mempengaruhi lahirnya berbagai madzhab
di masa Tabi’in.
- Maraknya praktik pemalsuan hadits
Periwayatan hadits-hadits meningkat
ketika kebutuhan informasi juga meningkat. Karena negara telah berhenti
bersandar pada Sunnah Nabi Saw, para ulama dengan beragam kapasitasnya bergerak
mencari laporan-laporan individual tentang Sunnah yang diriwayatkan oleh para
Sahabat dan murid-muridnya untuk membuat ketentuan hukum. Pada saat yang sama
berkembang fenomena baru, yaitu untuk pertama kalinya hadits-hadits palsu, baik
yang berupa ucapan maupun tindakan dinisbahkan kepada Nabi Saw.
Dengan adanya peristiwa ini, untuk
pertama kalinya mulai dilakukan upaya pengumpulan hadits dan mulai berkembang
ilmu tentang kritik hadits, yang kemudian membantu para ulama dalam melakukan
ijtihad. Dengan cara inilah, bangunan fiqh yang salah disusun, dan lebih jauh
lagi, ditopang dengan keputusan-keputusan fiqh yang dibuat oleh para ulama yang
telah menolak hadits-hadits yang benar sebab ketentuan-ketentuan fiqh itu hanya
mereka ketahui lewat para pembuat hadits di wilayahnya.[6]
D. Kelompok Rasionalis (Ahlu
Al-ra’yi) dan Kelompok Tradisionalis (Ahlu Al-hadits)
Dalam situasi dan kondisi yang penuh pergolakan dan kekacauan inilah,
para tokoh di kalangan Tabi’in berusaha mengembangkan metodologi hukum Islam
yang secara umum dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
- Kelompok Rasionalis (ahlu al-ra’yi)[7]
Aliran ini aliran rasional berkembang di Irak. Secara umum, yang
dimaksud dengan aliran rasional (ahlu al-ra’yi) adalah aliran ijtihad
yang berpandangan bahwa hukum syara’ merupakan sesuatu yang dapat ditelaah
esensi-esensi yang mendasari ketentuan-ketentuan doktrinnya yang mengacu pada
kemaslahatan kehidupan manusia. Dalam hal ini, para mujtahid rasionalis
mengkaji illat untuk setiap norma hukum dengan melihat pada sisi yang
memungkinkannya untuk memperoleh illat sebanyak-banyaknya, sehingga mereka
dapat leluasa melakukan kajian analogis dengan memelihara kepentingan kehidupan
manusia dan masyarakat secara keseluruhan. Tradisi kajian hukum seperti ini
telah dimulai oleh Umar bin Khattab di Madinah, dan Kemudian kajian hukum
seperti ini juga diikuti oleh Abdullah bin Mas’ud yang mengembangkannya di
Irak, setelah diutus oleh khalifah Umar untuk menjadi wazir Kufah yang
sekaligus menjadi guru tempat berlajar dan bertanya bagi penduduknya. Kelompok rasionalis
(ahlu al-ra’yi) lebih berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan mashlahah
dalam kehidupan manusia.
Dalam metodologinya, kelompok
rasionalis (ahlu al-ra’yi) berani mengembangkan alternatif-alternatif
hukum sebelum ditetapkan dengan mengangkat pertanyaan-pertanyaan antisipatif.
Mereka sangat selektif dalam pemakaian hadits, dengan meneliti rangkaian
sanadnya, ke tsiqahan dan jumlah perawinya. Kelompok ini memiliki corak kajian
yang anthroposentris dengan penggunaan qiyas, istihsan, maslahah-nya. Hal ini
disebabkan oleh adanya beberapa asumsi dasar dalam pandangan mereka, antara
lain yaitu,
a). nash-nash syari’ah sifatnya
terbatas, sedang peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa
berkembang. Oleh sebab itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada
nash-nya, ijtihad didasarkan kepada ra’yu.
b). setiap hukum syara’ dikaitkan
dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang
mujtahid ialah menemukan illat ini. Oleh karena itu, ijtihad merupakan upaya
menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena illat-nya, atau membatalkan
berlakunya satu hukum karena diduga tidak ada illat-nya.
Kelompok rasional (ahlu al-ra’yi)
dalam proses ijtihad lafdzi, senantiasa berusaha memberikan makna terhadap
nash-nash hukum dalam konotasi yang realistik.
- Kelompok Tradisionalis (ahlu al-hadits)[8]
Aliran ini berkembang di Hijaz, Makkah
dan Madinah. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya ulama
tradisionalis (ahlu al-hadits) di Irak dan ulama rasionalis (ahlu al-ra’yi)
di kawasan Hijaz. Aliran tradisional (ahlu al-hadits), yaitu mereka yang
dalam ijtihad fiqhnya senantiasa merujuk nash-nash al-Qur’an dan Sunnah, serta
tidak mau melangkah jauh dari keduanya, tidak senang melakukan kajian nalar
rasional, dan sangat berhati-hati dalam berfatwa.
Mereka berpendapat bahwa yang berhak
menetapkan hukum itu hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Di samping itu, ketentuan-ketentuan
hukum hanya terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Maka, berbagai persoalan
aktual harus senantiasa dikembalikan pada keduanya. Untuk itulah mereka
memperluas pemakaian hadits, termasuk hadits-hadits ahad sejauh memenuhi
persyaratan sebagai sebagai hadits yang ma’bul bih. Tradisi kajian hukum dengan
prinsip di atas telah dimulai oleh para sahabat yang berpikir idealistik dan
amat berhati-hati dalam berfatwa mengenai soal hukum, antara lain adalah
Abdullah bin Umar, ‘Aisyah, dan Ibnu Abbas. Kemudian diikuti oleh para Tabi’in
yang mayoritas berdomisili di Madinah, antara lain Sa’id ibnu Musayyab dan
tokoh-tokoh lainnya.
Dalam metodologinya lebih berorientasi
untuk memahami kemauan-kemauan syara’ dengan doktrin-doktrin syariahnya serta
berusaha untuk mengaplikasikan doktrin tersebut dalam kehidupan sosial. Dalam
melakukan ijtihadnya, kelompok tradisionalis (ahlu al-hadits) hanya
bertumpu kepada qiyas untuk ijtihad aqli-nya, dan beberapa kaidah dalam ijtihad
lafdzi. Secara tegas, mereka menyatakan bahwa ijtihad adalah qiyas, dengan
alasan bahwa Allah telah menentukan semua ketentuan hukum untuk
perbuatan-perbuatan mukallaf.
Dalam proses ijtihad lafdli, kelompok
tradisional (ahlu al-hadits) senantiasa memberikan makna apa adanya
sesuatu apa yang dikehendaki nash itu sendiri.
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan uraian
yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis dapat mengambil beberapa
kesimpulan dan saran – saran sebagai berikut:
A. Kesimpulan
A. Kesimpulan
1.
Kegiatan
melakukan ijtihad pada masa ini semakin meningkat. Para sejarawan bahkan
menyebutnya dengan periode ijtihad dan masa keemasan fiqih Islam. Setiap kota
memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada
perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan.
2.
Antara Islam sebagai agama dan hukum terdapat kaitan langsung yang tidak
mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal di Madinah nabi SAW. Yang
melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman
telah ada sejak di Makkah bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan
kokoh pada periode yang pertama itu.
3.
Setelah masa kholifah yang ke empat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman
Tabi’in yang pemerintahnnya dipimpin Bani Umayyah. Secara historis, masa
Tabi’in merupakan masa yang dipenuhi dengan permasalahan. Perkembangan wilayah
politik Islam yang semakin luas, kehidupan masyarakat yang semakin maju dan
kompleks.
B. saran - saran
1. Disarankan kepada para mahasiswa/I untuk
memperdalam ilmu pengetahuan terutama tentang ushul fiqh, karena dengan
mempelajari ushul fiqh kita akan mengenal secara detail tentang sumber hokum
islam.
2. Disarankan kepada para
mahasiswa/I untuk memperbanyak membaca, karena dengan banyak membaca banyak
ilmu yang kita dapatkan.
3. Disarankan kepada mahasiswa
untuk dapat menjadi tauladan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf
Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987.
Saifudin
Zuhri, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009.
Irsyad
al-Fuhul dalam Yusuf Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1987.
Ibnu Rachman, Hukum
Islam, Yogyakarta: Philosophy Press, 2001.
Ibrahim Husein,
Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1991.
Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Muh Zuhri, Hukum
Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
0 Comments
Post a Comment