A. Integrasi
Ilmu
Pemikiran tentang
integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh
kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara
totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju
dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan
menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu,
atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan[1].
Disamping
itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat
dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus
ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan
diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang
sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah
SWT, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains
yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama.
“Tidaklah mengherankan jika
kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang
sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang
digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya
malapetaka yang merugikan manusia”.[2] Dipandang dari sisi aksiologis ilmu
dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. “Artinya ilmu dan teknologi menjadi
instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan
teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia
dan bukan sebaliknya”[3].
Untuk
mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan
ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut
tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter
koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan
terus-menerus tanpa kenal henti. “Bukan masanya sekarang disiplin ilmu-ilmu agama (Islam) menyendiri dan
steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan
begitu pula sebaliknya”[4]. Setelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad
XIII-XIX, justru pihak Barat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari Islam sehingga ia
mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum (sains) berkembang pesat
sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran, yang pada akhirnya
muncullah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.
Tidak
hanya sampai di sini tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun
sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo
(L. 1564 M) yang dipandang sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan
mendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena mengeluarkan pendapat yang
bertentangan dengan pandangan Gereja. “Galileo memperkokoh pandangan Copernicus
bahwa matahari adalah pusat jagat raya berdasarkan fakta empiris melalui
observasi dan eksperimen. Sedangkan Gereja memandang bahwa bumi adalah pusat
jagat raya (Geosentrisme) didasarkan pada informasi Bibel”[5].
Pemberian
hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja
menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin
agama. “Kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga
semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun
menuju ilmu pengetahuan sekuler”[6].
Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala yang bersifat
religius dan mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan
realitas sosial didemitologisasikan dan disterilkan dari sesuatu yang bersifat
ruh dan spirit dan didesakralisasi (di alam ini tidak ada yang sakral).
Sekularisasi
ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi rasionalisme dan
empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang
obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan. Sedangkan empirisme
memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman). Sekularisasi
ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai atau netral,
nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya. “Memasukkan nilai ke
dalam ilmu, menurut kaum sekular, menyebabkan ilmu itu “memihak”, dan dengan
demikian menghilangkan obyektivitasnya”[7].
Kondisi
inilah yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha keras dalam
mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan
adalah islamisasi ilmu pengetahuan. Upaya “islamisasi ilmu” bagi kalangan
muslim yang telah lama tertinggal jauh dalam peradaban dunia moderen memiliki
dilema tersendiri. Dilema tersebut adalah apakah akan membungkus sains Barat
dengan label “Islami” atau “Islam”? Ataukah berupaya keras menstransformasikan
normativitas agama, melalui rujukan utamanya Alquran dan Hadis, ke dalam
realitas kesejarahannya secara empirik? . Kedua-duanya sama-sama sulit jika
usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar kritik epistemologis. Dari
sebagian banyak cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang
islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut adalah: Ismail Raji Al-Faruqi, Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide:
“Islamisasi ilmu” tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat
langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekulerisme telah membuat sains
sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran
kalangan yang mengusung ide “Islamisasi ilmu” masih terkesan sporadis, dan
belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan tetapi, tema ini sejak
kurun abad 15 H., telah menjadi tema sentral di kalangan cendekiawan muslim.
Tokoh
yang mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang
hijrah ke Amerika Serikat, Isma’il Raji Al-Faruqi. Upaya yang dilakukan adalah
dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini
dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman. Upaya yang
lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi
Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan
perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Alquran, menjadikan Al-qur’an
sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam
dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang
terkandung dalam Al-qur’an dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil
‘alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan
hasil dari objektivikasi ajaran Islam.
Masalah
yang muncul kemudian adalah apakah integrasi/islamisasi ilmu pengetahuan
keislaman, dengan ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap tegak diatas
prinsip–prinsip tanpa mengacu pada pendekatan teologi normatif. Moh. Natsir
Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan
islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai
berikut:
Pertama, Dalam pandangan Islam, alam semesta
sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value)
dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang inheren dalam
dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci
(baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan. Kedua, Ilmu
pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas
fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan
akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena
yang diteliti. Ketiga, Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu
tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan
al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta
dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat
makna-makna atau nilai. Keempat, Dalam pandangan Islam realitas itu
tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis.
Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui sejumlah
kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transenden[8].
Azyumardi
Azra, mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan
hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum sebagai berikut:
Pertama: Restorasionis, yang mengatakan bahwa
ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Cendekiawan
yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (w. 1398 M) dari Andalusia.
Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari
nabi saja. Begitu juga Abu Al-A’la Maududi, pemimpin jamaat al-Islam Pakistan,
mengatakan ilmu-ilmu dari barat, geografi, fisika, kimia, biologi, zoologi,
geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada
Allah swt. dan Nabi Muhammad saw. Kedua: Rekonstruksionis interprestasi
agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam. Mereka
mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat revolutif,
progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) mengatakan firman
Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal al-Din al-Afgani menyatakan bahwa Islam memiliki semangat
ilmiah. Ketiga: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang
berasal dari al-ayah al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah
berarti kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan[9].
Integrasi
adalah “upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan
pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan
(sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme)”[10].
Model integrasi adalah “menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai grand theory
pengetahuan. Sehingga ayat-ayat qauliyah dan qauniyah dapat dipakai”[11].
Integrasi yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan
keilmuan umum dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikan–keunikan antara
dua keilmuan tersebut.
Terdapat
keritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan
sains:
Pertama, Integrasi yang hanya cenderung
mencocok-cocokkan ayat-ayat Alqur’an secara dangkal dengan temuan-temuan ilmiah.
Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana integrasi yang menghasilkan
kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah. Atau
bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin
muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri. Tapi ada kelemahan dari
integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh sains[12].
Kedua, Berkaitan dengan pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah
(Teologis). Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah
dan qauliyah tetapi juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan
hukum alam, ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah
berkenaan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai
humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal)[13].
Amin
Abdullah memandang, integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan
memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya
ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas
yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah
adalah:
Usaha memahami
kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Sehingga
setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial,
humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri, maka dibutuhkan
kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling
keterhubungan antara disiplin keilmuan[14].
Pendekatan
integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan dan
peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan umum dan Islam
sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel, linear dan sirkular.
Pendekatan paralel
masing-masing corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada
hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lainnya. Pendekatan Linear,
salah satu dan keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan berat
sebelah. Pendekatan Sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami
keterbatasan, kekurangan dan kelemahan pada masing-masing keilmuan dan
sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh
tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki
kekurangan yang melekat pada diri sendiri[15].
Pendekatan
integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan
antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan
integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi
dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang
natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. “Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai
perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal,
sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang”[16].
Contoh
konkrit dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang
prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan.
Islam menyediakan etika
dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mudarabah) dan kerja
sama (al-Musyarakah). Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika
agama menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non
muslim, bahkan arti agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang
integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat
memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti: psikologi, sosiologi,
antropologi, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional,
hukum dan peradilan dan seterusnya[17].
Perbedaan
pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal
hubungan antara keilmuan umum dengan keilmuan agama. Kalau menggunakan
pendekatan islamisasi ilmu, maka terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan
antara ilmu umum dengan ilmu agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi
lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum
juga telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan,
sambil mencari letak persamaan, baik metode pendekatan (approach) dan
metode berpikir (procedure) antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai
keilmuan Islam ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling
bekerja sama tanpa saling mengalahkan.
Dari
uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan
ilmu-ilmu keislaman ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif
ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Dari
perspektif ontologis, bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan
pemahaman yang timbul dari hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan
menyeluruh tentang ayat-ayat Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang
terhimpun di dalam Alqur’an maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat
alam raya ini. Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat
tersebut, maka hasil kajian / pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau
diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang
memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah swt.
Dari perspektif
Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui
usaha yang sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan,
pendengaran dan hati yang diciptakan Allah SWT. terhadap hukum-hukum alam dan
sosial (sunnatullah). Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber
dari segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dari
perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan
kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan
sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menghancurkan
kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya
akan dimintai pertanggung jawaban di sisi-Nya.
[2] urman Said, Wahyuddin Halim, Muhammad Sabri, Sinergi Agama dan
Sains, (ed) (Cet I; (Makassar: Alauddin Press, 2005), hal. xxxvi.
[4] M. Amin Abdullah, dkk., Islamic Stadies dalam Paradigma
Integrasi-Interkoneksi, Cet I; (Yogyakarta: Penerbit Suka Press, 2007), hal. 33.
[5] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan
Politik, (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. 3.
[6] Ibid., hal. 129-133.
[9] Azyumardi Azra, Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam Zainal Abidin
Bagir (ed) Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) hal. 206- 211.
[10] Kuntowijoyo, Islam..., hal. 57-58.
[11] Ibid., hal. 59.
[12] Zainal Abidin Bagir (ed), Integrasi Ilmu dan Agama,
Interprestasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) hal. 50-51.
[13] Kuntowijoyo, Islam..., hal. 51.
[14] M.Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif, Cet.I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. VII-VIII.
[15] Ibid., hal. 219 – 223.
[17] M.Amin Abdullah, Islamic..., hal. 105.
0 Comments
Post a Comment