Kedudukan Advokat Syari’ah


A.     Kedudukan Advokat Syari’ah

Secara sosiologis hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan. Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa hukum bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kepastian dan keterlibatan tetapi juga norma-norma yang mampu mendinamisasi pemikiran dan merekayasa prilaku masyarakat dalam mencapai cita-citanya.
Kedudukan pengacara dalam kehidupan dan perkembangan hukum adalah sangat penting dan dapat menentukan perubahan di dalam masyarakat sebagaimana Wiiliam M. Evan berpendapat: “Law is above all and primarily the culture of the lawyers and aspecially of the law makers, that is, of those lawyers who, ehether as legislators, jurist, or judges, have control of the accepted mechanism of legal change”. (Wujud hukum yang terpenting dan paling utama merupakan kultur para pengacara dan lebih khusus lagi merupakan para legislator, para pengacara ataupun para hakim, di mana mereka itulah yang mengendalikan mekanisme perubahan hukum).
Sebenarnya, Undang-Undang Dasar 1945 telah menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3)). Pada prinsipnya negara hukum menuntut adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di depan hukum (equality before the law). Hal ini berarti setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta diperlakukan yang sama di mata hukum. Oleh karena itu, untuk memberikan landasan yang kokoh demi tegaknya negara hukum, maka pemerintah Republik Indonesia telah mensahkan Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang penataan peraturan advokasi berstatus menggantikan peraturan lama yang merupakan warisan kolonialis yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, sekaligus sebagai pegangan yang kokoh dalam pelaksanaan tugas dan pengabdian advokat dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya bagi advokat Syari’ah.
Undang-Undang telah mengatur secara komprehensif berbagai ketentuan yang melingkupi profesi advokasi dengan tetap berpegang pada prinsip kebebasan advokat sebagaimana dalam pengangkatan, pengawasan, penindakan serta ketentuan bagi pengembangan organisasi advokasi yang kuat di masa mendatang.
Dalam hal ini, dengan disahkannya Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003, berarti telah memberikan kebebasan kepada lulusan Fakultas Syari’ah untuk berparstisipasi menjadi advokat (penasehat hukum) dalam sebuah peradilan hukum. Walaupun sebelumnya lulusan Fakultas Syari’ah tidak dapat berparstisipasi sebagai advokat di lingkungan peradilan, namun lain halnya setelah disahkannya Undang-Undang tersebut.
Menurut Undang-Undang yang baru ini lulusan Fakultas Syari’ah dapat menjadi advokat. Hal ini dapat dilihat sebagaimana termuat dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “orang yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat”. Memang dalam Pasal 3 ayat (1) juga disebutkan persyaratan menjadi advokat, disebutkan berijazah sarjana yang berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1).
Walaupun kedua pasal ini tidak menyebutkan lulusan Fakultas Syari’ah atau lulusan dari Perguruan Tinggi Agama Islam, namun dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat Pasal 2 ayat (1) telah dijelaskan yang dimaksud dengan “berlatarbelakang pendidikan hukum” adalah lulusan Fakultas Hukum, Fakultas Syari’ah, Perguruan Tinggi Hukum Militer, dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.[1]
Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa dengan keluarnya Undang-Undang tentang advokat ini, maka telah memberi kesempatan yang luas kepada lulusan Fakultas Syari’ah untuk menjadi advokat di semua lingkungan peradilan, baik di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer maupun Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi tentunya setelah lulus ujian dari pendidikan khusus dan ujian dari organisasi advokat sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 ayat (1).
Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa “yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatarbelakang pendidikan hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat”. Selanjutnya dalam pasal 3 ayat (1) juga disebutkan bahwa “untuk dapat diangkat menjadi advokat harus memenuhi beberapa persyaratan yang di antaranya adalah telah lulus ujian yang diselenggarakan oleh organisasi advokat”.[2]
Dilihat dari profesi dan fungsinya, kedudukan advokat syari’ah sederajat dengan advokat umum, karena kedua jenis advokat ini sama-sama membela klien untuk menerima sanksi hukum yang sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Namun terjadi pebedaan kedua dalam lapangan peradilan, karena advokat syari’ah hanya dibolehkan membela klien yang melanggar hukum syari’at seperti jinayat, munakahat dan muamalat.
Namun demikian dalam Undang-Undang Advokat yang baru memberikan kedudukan yang sama antara advokat syari’ah dengan advokat umum. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Andi Nuzul bahwa dalam konsensus calon advokat/pengacara dari kalangan sarjana hukum (SH) akan diuji dengan hukum syari’ah, dan kalangan sarjana syari’ah akan diuji hukum perdata, hukum pidana, dan hukum acara.[3]
Berdasarkan konsensus di atas, maka dapat dipahami bahwa anggapan sarjana syari’ah hanya boleh menjadi pengacara di lingkungan pengadilan agama saja keliru, karena kalau hanya untuk itu, tidak perlu diuji dalam bidang hukum pidana dan perdata bagi sarjana syari’ah, tetapi hanya cukup dengan ujian hukum acara saja.


[1]UURI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, hlm. 20

[2]Ibid., hlm. 21
[3]Andi Nuzul, Sarjana Syari’ah dalam RUU Advokat, hlm. 22

0 Comments