A. Yurisdiksi Advokat Syari’ah dan Kemaslahatannya
Pengacara atau disebut advokat, bersama dengan hakim, jaksa, notaries,
dan ilmuan hukum merupakan profesi hukum konvensional, selain itu terdapat
profesi hukum modern antara lain konsultan hukum yang tidak tampil di
pengadilan, melainkan hanya menjadi adviser terhadap perusahaan-perusahaan
pejabat, pejabat pemerintah yang bertugas di bidang hukum dan profesi hukum
lainnya di luar yudikatif.
Sebenarnya putusan hakim yang dijatuhkan kepada orang yang tidak
didamping atau diwakili oleh seorang pengacara akan berbeda aplikasi hukumnya
dibandingkan dengan hukum-hukum yang dijatuhkan kepada orang yang didampingi
pengacara, karena putusan tersebut dikaji lebih jauh dan secara cepat
berkembang menjadi putusan hukum (yurisprudensi).
Dalam rangka menyikap pemberlakuan Undang-Undang tentang profesi advokat
pada saat sekarang ini masih dalam tahap penerapan Undang-Undang yang merupakan
suatu lus consituantum, maka sudah selayaknya kalangan praktisi di
bidang hukum maupun akademisi melalui lembaga pendidikan tinggi hukum
memberikan masukan sebanyak-banyak dalam dimensi yang berbeda-beda sehingga
menjadi landasan hukum yang mengatur profesi advokat yang benar-benar melalui
tahapan uji public dan shaih di tengah-tengah masyarakat.
Diakui atau tidak, di antara sekian banyak profesi bidang hukum secara
langsung maupun tidak langsung, advokat atau pengacara merupakan jenis profesi
yang paling banyak menimbulkan kontroversi. Situasi ini tidak hanya dirasakan
di negara berkembang seperti Indonesia
yang hingga saat belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Sebagai penyandang profesi, seorang advokat memerlukan landasan
intelektualitas, di mana yang bersangkutan harus menguasai ilmu pengetahuan
tertentu di bidang hukum melalui proses pendidikan hukum. Wujud yang diatur
oleh standar kualifikasi tidak selalu berupa tindakan fisik, tetapi juga bersifat
psikis. Standar yang berwujud psikis biasanya disebut dengan etika profesi
sebagai prinsip yang harus ditegakkan.
Dalam etika profesi terdapat dua prinsip yang harus ditegakkan, yaitu
profesi pada umumnya dan profesi luhur.[1]
Perbedaan profesi pada umumnya dengan profesi luhur terletak pada unsur
pengabdian pada masyarakat, sedangkan profesi luhur pada hakikatnya merupakan
suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat dan motivasi utamanya bukan untuk
memperoleh nafkah dari pekerjaannya.
Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda sebagai berikut:
Artinya: Apabila seorang hakim berijtihad namun
salah, maka ia mendapat satu pahala, dan apabila betul, maka mendapat dua
pahala (H. R. al-Bukhari)
Untuk profesi pada umumnya termasuk profesi advokat paling tidak ada dua
prinsip yang wajib ditegakkan, yakni: pertama, prinsip agar menjalankan
profesi secara bertanggung jawab. Kedua, hormat terhadap orang lain.
Pengertian bertanggungjawab menyangkut baik terhadap pekerjaan itu sendiri,
maupun hasilnya dalam arti yang bersangkutan harus menjalankan pekerjaannya
dengan sebaik mungkin dengan hasil yang berkualitas. Selain itu dituntut
tanggungjawab agar dampak pekerjaan tidak sampai merusak lingkungan hidup
dengan menghormati orang lain.
Untuk profesi luhur (officium nobile) bagi seorang advokat
terdapat dua prinsip, yaitu: pertama, mendahulukan kepentingan orang
yang dibantu, khususnya klien, dan kedua mengabdi pada tuntutan profesi.
Seperti seorang advokat tidak boleh mengelabui hakim dengan menyatakan orang
yang dibelanya tidak bersalah demi untuk memenangkan perkara dan mendapatkan
bayaran dari kliennya. Untuk melaksanakan profesi luhur secara baik, dituntut
moralitas yang tinggi dari pelakunya. Tiga ciri moralitas yang tinggi, pertama,
berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan profesi, kedua,
sadar akan kewajibannya ketiga, memiliki idealisme yang tinggi.[3]
Di sisi lain, advokat atau pengacara merupakan penasehat hukum yang izin
prakteknya diterbitkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia . Setelah diangkat, ia
diwajibkan mengangkat sumpah jabatan. Seorang advokat atau pengacara dapat
berbicara di manapun di seluruh nusantara, di semua lingkungan peradilan, baik
pada peradilan umum maupun pada peradilan agama, bahkan pada pengadilan militer
dan pengadilan tata usaha negara sekalipun.
Sebagaimana diketahui aturan hukum yang mengatur mekanisme kerja tentang
profesi advokat baru pertama kali secara nasional diatur dalam bentuk
Undang-Undang. Selama ini aturan hukum yang mengatur dan dipakai sebagai acuan
bagi advokat/penasehat hukum ada beberapa aturan peninggalan colonial, seperti Reglement
op de rechterlijke Organisatie en het beleid der Justitie in Indonesia (St
1847 Nomor 23 jo St Nomor 57 Pasal 185 sampai 192) dengan segala perubahan dan
penambahannya.[4]
Dalam perkara perdata untuk pengadilan negeri (landraad) diatur dalam Pasal 123
(Stb. 1848 No. 16 jo. 1926 No. 559 dan Stb 1941). Selain itu dikenal pula
istilah “zaakwaaenemers” dalam Stb. 1927 No. 496 tentang pengaturan
mengenai bantuan hukum dan mewakili para pihak dalam perkara perdata di
pengadilan Negeri.[5]
Sebagian kalangan hukum menilai bahwa aturan ini sudah sewajarnya untuk diganti
dengan alasan untuk penyesuaian dengan keadaan tuntutan masyarakat yang ada
pada saat sekarang.
Dalam hal Undang-Undang Dasar 1945 telah menentukan secara tegas bahwa Indonesia
adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3). Maka pada prinsipnya negara hukum
menuntut adanya jaminan, kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality
before law). Hal ini menandakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di depan hukum.
Oleh karena itu, untuk memberikan landasan yang kokoh bagi tegaknya
negara hukum, maka Pemerintah Indonesia telah mensahkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang
advokat menggantikan ketentuan-ketentuan perundang-undangan warisan kolonial
yang diskrimiatif dan tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang
berlaku, sekaligus untuk memberikan landasan yang kokoh bagi pelaksanaan tugas
pengabdian advokat dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam Undang-Undang ini diatur secara komprehensif berbagai ketentuan
penting yang melingkupi profesi advokat dengan tetap mempertahankan prinsip
kebebasan advokat seperti pengangkatan, pengawasan, dan penindakan serta
ketentuan bagi pengembangan organisasi advokat yang kuat di masa yang akan
datang.
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa dasar hukum advokat untuk
pertama kalinya disahkan oleh pemerintah adalah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 yang
menggantikan hukum sebelumnya, yaitu aturan hukum yang dikeluarkan oleh
pengadilan Belanda.
Sebenarnya, seorang pengacara praktek menurut SEMA Nomor 8 Tahun 1987
dapat beracara di semua lingkungan peradilan, dan untuk beracara di luar
wilayah hukum Pengadilan Tinggi di mana ia terdaftar, seorang pengacara praktek
harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Tinggi dalam
wilayah hukum di mana ia ingin beracara. Berbeda dengan advokat, kewenangan
yang dimiliki oleh seorang pengacara praktek tergantung pada izin praktek, oleh
karena itu, bila izin itu telah habis masa berlakunya, maka ia tidak dapat lagi
beracara di muka pengadilan sebelum memperbaharuinya.
[1]Frans Magnis Suseno, Etika Sosial, Jakarta : Gramedia, 1991, hlm. 70
[3]Dardji Darmodihardjo, Op. cit., hlm. 276
[4]Abdullah Ghofar, Op. cit., hlm. 13
0 Comments
Post a Comment