BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Umat Islam dewasa ini tengah dihadapkan pada masalah-masalah yang
rumit. Salah satu diantaranya adalah ideologi, yaitu sekularisme. Sekularisme
akhir-akhir ini menjadi hangat dibicarakan karena ia menyangkut dan telah
melanda kehidupan kebanyakan umat dan negara Islam, sebagai umat yang memiliki
pedoman dan tuntunan hidup yang sempurna. Namun demikian, perubahan-perubahan
yang terjadi di dalam masyarakat atau negara Islam dewasa ini, khususnya
pengaruh serta akibat dari merembesnya faham ini terhadap integritas umat
Islam, telah menghadapkannya kepada sebuah problema serius dan membahayakan.
Sekularisme, dalam artian pemisahan agama dari negara, pertama kali tumbuh dan berkembang di
negara-negara Eropah seperti Inggris pada abad ketujuh belas, kemudian menyebar
dan menyusup ke kawasan-kawasan lain di luar Eropah seperti Jordania.
Sekularisme pada mulanya lahir sebagai alternatif final dari pergulatan antara
kekuasaan gereja yang sakral dan abadi serta memiliki otoritas mutlak, di satu
pihak, dengan kekuasaan negara yang bersifat temporer dan memiliki derajat yang
lebih rendah ketimbang gereja di pihak
lain. AI-lmaniah (الإمانية)”[1] merupakan
terjemahan ke dalam Bahasa Arab yang salah dari kata sculerism dalam
Bahasa Inggris, atau scularit/Sculaique dalam Bahasa Perancis, adalah
suatu istilah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kata ilmu.[2] Supremasi
gereja serta peranannya yang meliputi berbagai aspek kehidupan umat
Kristen Eropa Abad Pertengahan,
menimbulkan berbagai kontradiksi.
Pertentangan antara negara dengan agama disebabkan oleh tirani gereja
yang intens terhadap kehidupan politik di masa itu. Karenanya timbullah
reaksioner sekuler. Reaksi-reaksi itu dalam tahap awalnya, abad ke-17 dan ke-18
tergolong moderat. Karena hanya menekankan pada pemisahan negara dan gereja
saja, yakni tidak merampas agama Masehi sebagai agama sekaligus dengan nilai-nilai yang dimilikinya, serta menuntut
penundukkan ajaran-ajaran Masehi pada akal, prinsip-prinsip alam dan perkembangannya.
Demikianlah pemisahan ini dikenal dengan Sekularisme.
Selanjutnya dunia ilmupun keluar dari agama, karena kontroversial
Gereja sendiri terhadap ilmu pengetahuan, selain itu sebagai reaksi logis atas
intimedasi dari mahkamah agama yang dinamakan “Inkuisisi” (Inkuisition) yang
telah memakan begitu banyak korban dikalangan para ilmuan yang dianggap
memusuhi Tuhan.[3]
Para ilmuan Eropa akhirnya melepaskan diri
dari belenggu Gereja ketika mereka menemukan jalan untuk mengadakan penelitian
alam. Sehingga berkat penemuan-penemuan ilmiah telah membuat mereka semakin
jauh dari gereja dan kekuasaannya, bahkan memperolok-olokannya. Semakin banyak
penemuan ilmiah semakin banyak pula cercaan terhadap Gereja. Sehingga pada
saatnya Nietzche melengkapi cercaan itu dengan
lantang “The God was Death”.[4]
Kiranya kemajuan negara-negara Eropa yang begitu
pesat telah memberi pengaruh kuat bagi usaha-usaha pembaharuan di Kesultanan
Turki Usmani. Kondisi Turki Usmani memang sangat menuntut diadakannya
pembaharuan, kenyataannya tidak ada alternatif lain kecuali bertumpu pada
Westernisme.[5]
Westernisme, proyeksi modernitas Barat kepada masyarakat non-Barat yang kelak
diterapkan di Turki Usmani sejak abad 19, melalui pergolakannya yang rumit
akhirnya Mustafa Kemal Ataturk, mengantarkan kesultanan Republik Turki Usmani
dan sesudah itu, secara radikal, Kemal melucuti segala institusi dan
lambang-lambang integritas kekhalifahan Usmani atau jelasnya Daulah Islamiyah
dan dengan paksa digantikan dengan Sekularisme.
Sebenarnya gerakan sekularisme Kemal dengan segala akibat-akibtanya, tidak saja
menimbulkan dilema internal, tapi juga negeri-negeri muslim lainnya yang
memperhatikan dan siap mengikuti jejak dan inisiatif Turki, karena disamping pemegang
kekhalifahan, juga letak geografisnya serta posisinya sebagai pemimpin dunia
Islam dalam perseteruannya dengan Barat, memang sangat menentukan dan
dinanti-nantikan. Kepadanya banyak bergantung dunia Islam, baik dari segi
peradaban dan alam pikiran, maupun siasat dan keagamaan. Nasib tragisnya, tentu
karena dunia Islam sedang mencari bimbingan dari Turki, sementara Turki mencari
perlindungan dari Barat.[6]
Bagi penulis setelah mencermati gerakan tersebut seseksama mungkin,
maka judul untuk skripsi adalah “Gagalnya Sekularisme Mustafa Kamal At-Taturk”
(Analisis Historis Pemikiran Mustafa Kamal at-Taturk), Tentunya dalam skripsi
ini tidak akan dibahas semua apa yang dilakukan oleh Kemal dalam sejarah
hidupnya keseluruhan, karena ini memerlukan jangkauan yang lebih luas dari apa
yang telah digariskan. jadi penulis
membatasi diri pada seputar perkembangan sekularisme Kemal pada
fase-fase yang penting seperti, sedikit pada pra-revolusi tahun 1908 dan lebih
banyak pada paska revolusi. Dan terutama sekali tidak dapat diabaikan pada
fase-fase pra- dan pasca terbentuknya Republik Turki.
B. Rumusan Masalah
Dari paparan formulasi di atas, kiranya dapat ditarik suatu rumusan
masalah, antara lain:
1. Bagaimanakah sekulerisme di Turki menurut Mustafa
Kamal.
2. Dasar pemikiran apa yang digunakan oleh Mustafa
Kamal dalam pembaharuan di Turki.
3. Bagaimanakah konsepsi Islam tentang sekulerisme
menurut Mustafa Kamal.
C. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari
kesalahfahaman dalam mengartikan judul skripsi ini, penulis merasa perlu
memberikan penjelasan terhadap beberapa istilah yang terdapat dalam skripsi
ini, dengan istilah-istilah sebagai berikut:
1.
Gagalnya
Kata gagal dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan tidak berhasil.[7]
Adapun gagal yang penulis maksudkan dalam pembahasan skripsi ini kegagalan kaum sekuler dalam menciptakan pemisahan
antara agama dan negara di Turki.
2.
Sekulerisme
Sekulerisme berasal dari bahasa
Inggris yang diIndonesiakan, dalam bahasa Inggeris disebutkan dengan perkataan
secularism yang diartikan dengan Modern, kebarat-baratan dan sebagainya.[8]
Adapun sekuler yang penulis maksudkan dalam pembahasan skripsi ini ialah ide-ide
barat yang dikembangkan oleh Musatafa Kamal dalam pemerintahan Turki.
D. Tujuan Pembahasan
4. Untuk mengetahui bagaimanakah sekulerisme di Turki
menurut Mustafa Kamal.
5. Untuk mengetahui dasar pemikiran yang digunakan
oleh Mustafa Kamal dalam pembaharuan di Turki.
6. Untuk mengetahui bagaimanakah konsepsi Islam
tentang sekulerisme.
E.
Landasan
Teori
Kata sekularisasi berasal dari kata Latin “saeculum”, yang berarti
“dunia”, yaitu dunia seperti apa adanya beserta keseluruhan nilai-nilai yang
sering disebut nilai duniawi. Dalam konteks pemikiran ini dunia dan nilai dunia
dipisahkan sama sekali dari agama, dan sebagai demikian dinilai baik. Jadi
bukan hal yang jahat atau tercela. Dari kata dasar, “saeculum” dibentuk kata
“saecularis” atau “sekular” yang berarti “serba duniawi” dalam arti yang baik.
Lebih lanjut dari kata yang sama muncul pengertian “sekularisme” dan
“sekularisasi”. Yang pertama termasuk golongan ideologi, dan yang kedua berupa suatu
gerakan.[9]
Sejak abad yang lalu hingga dewasa ini terdapat dua macam sekularisme,
yaitu sekularisme ekstrim dan yang moderat. Tetapi dalam kenyataan sebagaimana
terungkap dalam buku-buku dan karangan pengertian sekularisme hampir selalu
diambil dalam arti yang ekstrim atau negatif.
Sekularusme ekstrim ialah pandangan hidup atau ideologi yang
mencita-citakan otonomi nilai duniawi
lepas dari campur tangan Tuhan dan pengaruh agama. Dalam kerangka ini
dapat dimasukkan semua pandangan hidup atheis, yang secara prinsipal –
metodelogi tidak dimasukkan pengertian Tuhan yang trensenden dalam teori dan
praktek.[10]
Sekularisme yang moderat ialah pandangan hidup (ideologi) yang mencita-citakan otonomi nilai duniawi dengan
mengikutsertakan Tuhan dan agama. Maka jenis pandangan hidup yang theis
dapat dimasukkan dalam katagori ini. Apalagi pandangan hidup yang berdasarkan
atas ajaran agama. Dua jenis sekularisme tersebut dijabarkan dalam usaha
konkrit atau gerakan yang disebut sekularisasi. Jadi kalau sekularisme adalah
suatu ideologi, maka sekularisasi adalah suatu gerakan sosial. Sekularisasi
ialah suatu gerakan sosial yang diarahkan kepada terwujudnya otonomi dunia dan
nilai duniawi dengan mengikutsertakan agama dan nilai-nilai keagamaan. Gerakan sekular yang tidak mengikutsertakan
Tuhan dan nilai-nilai keagamaan disebut
dengan istilah sekularisme dalam arti peyoratif (negatif). Maka anggapan umum dewasa
ini ialah, sekularisasi mempunyai nilai positif dan dapat diterima, sedangkan
sekularisme mempunyai arti negatif dan harus ditolak. Dalam semua gerakan penduniawian (sekularisasi) faktor kekuatan
alam dan kemampuan manusia memegang peranan utama. Faktor-faktor keagamaan yang
bersifat mitologis disingkirkan jauh-jauh. Tetapi nilai-nilai religius yang
telah dibersihkan dari unsur-unsur takhayul dan mitologis dipersilahkan
memberikan pengaruh baiknya.[11]
Demikian misalnya
gambaran tentang Tuhan Allah yang kurang sesuai baginya. Citra Allah yang palsu
itu harus dibetulkan; dibersihkan dari unsur-unsur antropomorfis dan mitologis
itu. Dan baru setelah manusia mempunyai gambaran yang benar tentang Allah,
barulah ia mempersilahkan berkarya dan memainkan peranan dan kewenangan-Nya
untuk menciptakan masyarakat manusia yang manusiawi. Dengan demikian alam
fikiran dan parktek dari manusia sekular ada pembedaan tegas (bukan penolakan)
antara nilai duniawi dan nilai supra duniawi yang sejati. Sekali lagi, kata
“dibedakan” tidak sama dengan “disingkirkan” atau dihapuskan dari dunia. Bahkan
nilai-nilai empiris itu diberi tempat terhormat sebagaimana mestinya. Seperti
halnya dunia supra empiris mempunyai tempat dan otonomi sendiri, demikian pula
dunia empiris ini mempunyai tempat dan otonomi sendiri.[12]
F. Metode Pembahasan
Metode
pembahasan yang penulis gunakan adalah metode analisis
historis, dengan menganalisa literatur
sejarah Turki, sekularisme dan juga sekularisme dalam dasar pemikiran
Kemal Attaturk. Metode tersebut penulis pikir sangat relevan dengan inti masalah dengan tidak mengabaikan sejarah
masa lalu dan juga sejarah masa depan yang dicatat oleh para cendekia yang
terhimpun dalam berbagai buku dan thesis, dengan demikian penulis pun tidak bisa melepaskan
diri dari penganalisaan dimaksud.
Adapun
teknik memperoleh dan mengumpulkan literatur yaitu dengan mengumpulkan data-data atau literatur yang
sinkron dengan inti pembahasan yang berada pada Pustaka. Setelah semua
literatur yang berhubungan dengan
pembahasan dimasud terkumpul, maka penulis berusaha menganalisa dengan seobyektif mungkin tanpa terkontaminasi oleh
pemikiran tokoh tersebut, dan kemudian menyusunnya dalam uraian yang sistematis
dan terarah.
[1]sebagain orang membaca
dengan “Almaniah” bukan Ilmaniah karena
dinisbatkan kepada alam dan pengungkapan dengan
A ini populer di beberapa kamus,
dimana sebagain mengambilnya dari yang lain.
[2]Yusuf Qardhawi, Sekular
Extrim, Pustaka Al Kautsar,
Cet. I, Jakarta ,
2000, hal. 1
[4]Paul Strathern, 90 Menit
Bersama Nitzsche, Erlangga, Jakarta ,
2001, hal. 8.
[5]Secara umum
perubahan-perubahan kebudayaan yang terjadi selama periode waktu yang lama
dengan mengadopsi dari kebudayaan dan
pemikiran Barat.
[6]Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta ,
Cet. XII, 1996, hal. 147
[7]Sulchan
Yassin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Psutaka Amanah, t.t., hal. 146
[9]Hassan Shadily, Ensiklopedi
Islam Indonesia, Jakarta :
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1983, hal. 253
[10]Hendro Puspito, Sosiologi
Agama, Yokyakarta: Kanisius, 1983, hal. 136
0 Comments
Post a Comment