A.
Peran Pesantren dalam
Kegiatan Dakwah
Pesantren merupakan
lembaga dakwah tertua di Indonesia yang dikembang untuk melakukan penyiaran
agama Islam. Pesantren memiliki
kaitan erat dengan pendidikan Islam, sehingga mengandung arti sebagai jalan
untuk menanamkan pengetahuan agama pada
diri seseorang agar menjadi pribadi yang Islami. Karena itu lembaga pesantren dalam
pendidikan Islam dianggap sebagai sarana untuk memahami, menggali, dan
mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.
Dalam pendidikan agama pesantren berfungsi sebagai pemberi jalan atau cara yang sebaik mungkin dalam mentransfer ilmu agama terutama
menyangkut nilai-nilai yang terdapat dalam Islam, khususnya
dalam pelaksanaan kegiatan dakwah mempunyai pola sebagai berikut:
1.
Memberikan Contoh Teladan
Kata teladan dalam al-Qur'an indentik dengan kata uswah yang kemudian diberi sifat hasanah di
belakangnya yang berarti contoh teladan
yang baik. Kata uswah dicontohkan
pada Nabi Muhammad SAW dan Nabi
Ibrahim, "Dalam diri rasulullah itu kamu dapat menemukan teladan yang
baik."(Q.S. 33: 21). Metode teladan ini dianggap penting karena aspek
agama yang mengandung akhlak yang
termasuk dalam kawasan afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku (behaviroral).[1] Tentang
keteladan Nabi Ibrahim dijelaskan Allah;
قد كانت لكم اسواة
حسنة...(الممتحنة: ٤)
Artinya:
"Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu…" (Q.S. 60: 4).[2]
Dalam surat al-Ahzab ayat 21 juga dijelaskan
sebagai berikut:
لقد كان لكم فى رسول
الله اسوة حسنة ... (الأحواب: ٢١)
2. Kisah-Kisah
Dalam al-Qur'an banyak diceritakan
cerita-cerita atau kisah-kisah, bahkan
secara khusus terdapat
nama surat
al-Qashash. Kisah atau cerita sebagai suatu metode dakwah ternyata mempunyai
daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari sifat alamiyah manusia yang menyenangi cerita itu, dan menyadari
pengaruhnya besar tehadap perasaan.[4] Oleh
karena itu Islam mengangkat cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik berdakwah.
Mengungkapkan berbagai jenis cerita seperti, cerita sejarah faktual yang menampilkan suatu contoh
kehidupan manusia dimaksudkan agar
kehidupan manusia bisa seperti pelaku
yang ditampilkan oleh contoh tersebut. Atau kisah kehancuran umat masa
lalu, dimaksudkan supaya manusia sekarang tidak mengikuti perbuatan umat masa
lalu tersebut.
3. Memberikan Nasihat
Al-Qur'an juga menggunakan kalimat yang menyentuh
hati untuk mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya. Inilah yang
kemudian dikenal dengan nasihat. Tetapi nasihat yang disampaikannya
ini selalu disertai dengan panutan atau teladan dari sipemberi atau penyampai
nasihat itu. Ini menunjukkan bahwa antara satu metode yakni nasihat dengan
metode lain yang dalam hal ini keteladanan bersifat saling melengkapi.
Dalam pesantren nasihat itu terkait dengan para
nabi kepada kaumnya. Sebagai contoh nabi Shaleh ketika meninggalkan kaumnya
berkata:
فتولى عنهم وقال ياقوم
لقد ابلغتكم رسالة ربي ونصحت لكم ولكن لاتحبون النصحين (الأعراف: ٧۹)
Artinya: "Maka
Saleh meninggalkan mereka seraya berkata: Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu
amanah Tuhanku, dan aku telah memberi nasihat kepadamu, tetapi kamu
tidak menyukai orang-orang yang memberi
nesihat." (Q. S 7: 79).[5]
Demikian juga dengan nabi Syu'aib kepada kaumnya;
فتولى عنهم وقال يقوم لقد ابلغتكم رسالت
ربي ونصحت لكم فكيف اسى على قوم كافرين (الأعراف: ۹۳)
Artinya:
"Maka Syu'aib meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku,
sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanah-amanah Tuhanku dan aku
telah memberi nasihat kepadamu" (Q.S. 7: 93).[6]
Perbedaan
terletak pada yang memberi nasihat, yaitu Syu'aib, sedangkan ayat sebelumnya adalah Shaleh. Hal serupa juga terdapat dalam Q. S.
28; 20; 7; 29; dan 79.
Dari
ayat-ayat di atas terlihat bahwa al-Qur'an
secara eksplisit menggunakan nasihat
sebagai salah satu cara
untuk menyampaikan suatu ajaran. Al-Qur'an berbicara tentang penasihat,
yang dinasihati, obyek nasihat, situasi nasihat
dan latar belakang nasihat.
Karena itu sebagai metode pengajaran nasihat dapat diakui kebenarannya.[7]
4. Membiasakan
Pesantren juga memberikan pendidikan melalui
kebiasaan yang dilakukan secara bertahap.
Dalam hal ini termasuk
merubah kebiasaan-kebiasaan yang negatif. Al-Qur'an menjadikan kebiasaan
itu sebagai salah satu teknik dalam pendidikan.
Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik
menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa
terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan. Selain itu al-Qur'an juga menciptakan agar
tidak terjadinya kerutinan yang
kaku dalam bertindak, dengan cara terus menerus mengingatkan tujuan
yang ingin dicapai dengan kebiasaan itu,
dan dengan menjalin hubungan yang dapat
mengalirkan bekas cahaya ke dalam hati sehingga tidak
gelap gulita.
Karena itu pesantren menggunakan kebiasaan
tidak terbatas yang baik dalam bentuk perbuatan melainkan
juga dalam bentuk perasaan
dan pikiran. Dengan kata lain pembiasan yang ditempuh pesantren juga
menyangkut segi pasif dan aktif. Kedua
segi ini tergantung pada kondisi sosial
ekonomi, bukan menyangkut kondisi
kejiwaan yang berhubungan erat
dengan akidah atau etika.
Sedangkan yang bersifat aktif atau
menuntut pelaksanaan, ditemukan pembiasaan
secara menyeluruh.[8]
5. Metode
Hukum dan Ganjaran
Bila teladan dan nasihat tidak mampu, maka pada waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan
di tempat yang benar, tindakan
tegas itu adalah hukuman.[9] Tahapan memberi
hukuman ini terdapat pro kontra, setuju
dan menolak. Kecenderungan metode pendidikan modern memandang tabu terhadap hukuman itu,
tetapi dalam dunia pesantren memandang bahwa hukuman
bukan sebagai tindakan yang pertama kali yang harus dilakukan oleh
seorang pendidik, dan bukan pula cara
yang didahulukan, akan tetapi nasehatlah yang paling didahulukan
Islam menggunakan seluruh teknik pendidikan. Tidak
membiarkan satu jendela pun yang tidak dimasuki
untuk sampai ke dalam jiwa. Islam menggunakan contoh teladan dan nasihat
seta tarhib dan targhib,
tetapi di samping itu juga menempuh cara menakut-nakuti dan mengancam
dengan berbagai tingkatannya, dari ancaman sampai pada pelaksanaan ancaman itu.[10]
Dengan demikian, keberadaan hukuman dan ganjaran
diakui dalam Islam dan digunakan dalam rangka membina umat manusia dalam kegiatan
dakwah. Hukuman dan ganjaran ini diberlakukan kepada sasaran pembinaan yang
lebih bersifat khusus. Hukuman untuk orang yang melanggar dan berbuat jahat,
sedangkan pahala untuk orang yang
patuh dan menunjukkan perbuatan baik.
6.
Khutbah
Ceramah atau khutbah termasuk cara yang paling
banyak di gunakan dalam menyampaikan atau mengajak orang lain mengikuti ajaran
yang telah ditentukan.[11] Dalam
al-Qur'an kata-kata khutbah adalah:
وعباد الرحمن الذين يمشون على الارض هونا
واذا خاطبهم الجهلون قالواسلما (الفرقان: ٦۳)
Artinya:
Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan
di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) Keselamatan (Q.S. 25:
63).
Khutbah disebut juga tabligh atau
menyampaikan sesuatu ajaran, khususnya
dengan lisan diakui keberadaannya, bahkan telah dipraktekkan oleh Rasulullah
dalam mengajak umat manusia ke jalan Tuhan.[12] Cara ini banyak digunakan termasuk dalam
pengajaran, karena metode ini paling murah, mudah dan tidak banyak memerlukan
peralatan. Model ini juga dipergunakan
seorang guru dalam mengajar murid-murid di lembaga pesantren.[13]
7. Metode
Diskusi
Pesantren juga menggunakan metode ini dalam
mendidik dan mengajarkan manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian,
dan sikap pengetahuan mereka terhadap
sesuatu masalah.[14] Perintah
Allah dalam hal ini, agar kita mengajak ke jalan yang benar dengan hikmah dan mau'izhah yang baik
dan membantah mereka dengan berdiskusi yang baik.
ولا تجادلوا اهل الكتاب
الا بالتي هي احسن...(العنكبوت: ٤٦)
Artinya: "Dan
janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara
yang paling baik…(Q.S. 29: 45).[15]
Diskusi yang baik adalah tidak memonopoli pembicaraan, saling
menghargai pendapat orang lain, kedewasaan
pikiran, emosi, berpandangan luas dan lain-lain.
Dari sejumlah cara berdakwah di atas pesantren juga menggunakan metode perintah dan larangan, metode pemberian suasana
(situasional), metode mendidik
kelompok (mutual education), metode instrinsik, metode bimbingan dan
penyuluhan, metode perumpamaan, metode taubat dan ampunan dan metode penyajian.
Namun demikian dalam penerapan kegiatan tersebut terdapat beberapa
faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya, antara lain:
a.
Tujuan Yang Hendak Dicapai
Setiap melaksanakan kegiatan dakwah tentunya mempunyai tujuan yang
berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Misalnya pada tujuan pengajaran tafsir
al-Qur'an dan hadits berbeda dengan tujuan pengajaran akhlak. Pelajaran tauhid
berbeda tujuannya dengan pelajaran fiqh, demikian juga sebaliknya.
Oleh sebab itu, karena tujuan umum maupun tujuan khusus dari
masing-masing kegiatan memiliki perbedaan dan tekanannya masing-masing, maka
implikasinya dalam kegiatan hendaklah mampu melihat perbedaan-perbedaan
tersebut dan membawanya ke dalam situasi pemilihan sistem yang dianggap paling
tepat dan serasi untuk diterapkan.[16]
Berdasarkan keterangan di atas, menandakan bahwa penerapan kegiatan
dakwah harus disesuaikan dengan materi dakwah yang akan diberikan, karena hanya
dengan cara demikian barulah tujuan yang dikehendaki akan tercapai.
b.
Kemampuan Da’i
Efektif tidaknya suatu kegiatan dakwah juga sangat dipengaruhi oleh
kemampuan da’i yang melaksanakannya. Di samping kepribadian da’i memang cukup
dominant pengaruhnya, misalnya seorang da’i A oleh karena mahir dan cerdik
dalam berbicara sehingga setiap pendengar menjadi terkesan dan terpukau dengan
pembicaraannya, maka ceramah menjadi pilihan utama di samping cara lain sebagai
pendukungnya. Akan tetapi ceramah tersebut akan menjadi tidak efektif bagi
seorang da’i yang pendiam dan tidak menguasai teknik-teknik berceramah yang
baik.[17]
Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat dipahami bahwa kemampuan da’i sangat
berperan untuk memilih materi yang sesuai dengan materi ceramah yang diberikan.
Jika metode yang digunakan tidak sesuai, maka proses pelaksanaan dakwah tidak
akan berhasil. Oleh karena itu, kemampuan da’i memegang peranan penting dalam
menciptakan keberhasilan dakwah.
c.
Mustami’
Hal yang perlu diperhatikan pula dalam berdakwah adalah mustami’,
karena da’i berhadapan dengan makhluk hidup yang bernama mustami’ itu, dengan
potensi dan fitrah yang dimilikinya memberi kemungkinan sekaligus harapan untuk
berkembang dengan baik ke arah yang lebih sempurna.[18]
Pada fitrahnya memang setiap individu telah diberikan hidayah kebaikan
(berupa ketauhidan dan keimanan) oleh Allah SWT. Akan tetapi iman dan tauhid
itu dapat saja berubah ke arah kelunturan apabila tidak disiram dan dipupuk
dengan bimbingan ke jalan menuju ke arah keimanan dan Islam. Dalam hal ini berhadapan
dengan mustami’ yang masing-masing memiliki perbedaan kemampuan,
kecerdasan, karakter, latar belakang sosial ekonomi dan perbedaan tingkat usia
antara satu dengan yang lain selamanya siswa berbeda dalam kelas. Oleh karena
itu untuk mendukung hal tersebut diperlukan kearifan dalam penyampaian dakwah sesuai
dengan firman Allah dalam surat
an-Nahlu ayat 25 sebagai berikut:
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم
بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين (النحل: ١٢٥)
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. Q. S. an-Nahlu: 125)[19]
Dari gambaran ayat di atas, maka diketahui bahwa usaha untuk
mensukseskan kegiatan harus ditempuh dengan cara mendidik manusia sebijaksana
mungkin. Hal ini merupakan usaha untuk meningkatkan keberhasilan proses dakwah
dalam kehidupan manusia.
d.
Situasi dan Kondisi
Situasi dan kondisi di mana berlangsungnya kegiatan dakwah juga harus
diperhatikan dan dipertimbangkan dalam berdakwah.
Situasi dan kondisi yang dimaksud, yaitu termasuk kondisi lapangan,
apakah berada di pasar atau di samping bioskop dan sebagainya. Demikian juga
keadaan da’i dan pendengar saat mana waktu akan memberikan ceramah apakah da’i dalam
keadaan lelah sehingga ceramah pada saat itu perlu dipertimbangkan dan diganti
dengan da’i lain yang dianggap lebih tepat. Ini berarti da’i perlu
mempertimbangkan situasi dan kondisi jika dakwah ingin berhasil secara optimal.[20]
Berdasarkan gambaran di atas, dapat dipahami bahwa situasi dan kondisi
merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi proses dakwah, karena
keberhasilan dakwah sangat bergantung
pada situasi dan kondisi. Apabila situasi dan kondisi tidak dipengaruhi oleh
kebisingan atau rasa lelah yang menimpa da’i, maka kegiatan dakwah akan
berhasil dengan baik.
[1]Muhammad Quthb, Sistem Pemikiran Islam, (Bandung: Al-Ma'arif,
1984), hal. 183.
[2]Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1990),
hal. 923
[4]Istilah ini dalam al-Qur'an
disebut Qasas berarti berita yang berurutan. Qasas al-Qur'an adalah
pemberitaan Qur'an tentang hal
ikhwal umat yang telah lalu, nubuwat
(kenabian) yang terdahulu dan
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
Al-Qur'an banyak mengandung
keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak
setiap umat. Ia menceritakan keadaan
mereka dengan cara yang menarik dan mempesona. Lihat, Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur'an,
terj. Mudzakir
AS , (Jakarta :
Litera Antar Nusa, 2000), hal. 436.
[5]Departemen Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahnya, hal. 179
[7]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), hal. 100.
[8]Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1982), hal. 176.
[9]Muhammad Bukhari, Sistem dan
Model Pendidikan Klasik, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1987), hal. 54.
[10]Hukuman dikenal dengan azab yang disebutkan 373 kali dalam al-Qur'an.
Jumlah yang besar ini menunjukkan
perhatian al-Qur'an yang amat besar
terhadap masalah hukuman ini, dan
meminta perhatian manusia. Sedangkan kata ganjaran (ajrun) sebanyak 105
kali, inipun termasuk jumlah besar. Berkenaan dengan hukuman ini dijumpai dalam ayat-ayat: "Bila kamu
tidak patuh, seperti dulu kamu pernah tidak patuh, Dia
akan menghukummu dengan
siksaan yang pedih." (Q.S. 48: 16).
"Bila mereka tidak patuh,
maka Allah akan menghukum mereka
dengan hukuman yang pedih
di dunia dan akhirat." (
Q. S. 9: 74 ).
Mengenai dengan anjuran
adalah: "Mereka itu
balasannya ialah ampunan dari
Tuhan mereka dan surga yang didalamnya
mengalir sungai-sungai, sedangkan mereka kekal
di dalamnya, dan itulah
sebaik-baik pahala orang-orang beriman". (Q. S. 3: 135).
[11]AM. Romli, Dakwah dan
Siyasah, (Jakarta :
Bina Rena Parawira, 2003), hal. 7.
[13]Zamaskuri Zarkashi, Pedoman Para Da'i, (Jakarta : Bulan Bintang, 19 85), hal. 52.
[14]Al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Fjohar
Bahri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 26.
[16]Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Dinamika Pengajaran Pesantren, (Surabaya : Pustaka Rizki
Putra), 1990. hal. 7
[17]Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Cet. V, (Bandung : Remaja Rosda
Karya, 2000), hal. 33
[18]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1992), hal. 39
[19]Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, hal. 421
[20]Amir Yusuf Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995), hal. 43
0 Comments
Post a Comment