A. Sebab-sebab
Timbulnya Sekularisme
Sekularisme
merupakan salah satu gagasan barat yang bertujuan untuk menghancurkan Islam
melalui pendekatan rasionalistik. Mereka mencoba menawarkan ide pemisahan
antara agama dan Negara agar kedua hal tersebut tidak bisa saling mengisi satu
sama lain, sehingga propaganda-propaganda barat dengan mudah dapat dimasukkan
ke kalangan umat Islam.
Kalau kita melihat
secara serius bahwa dewasa ini pengaruh Barat memang telah banyak mempengaruhi
dunia Islam, sehingga dikhawatirkan akan terjadi penghancuran Islam dari dalam
tubuh Islam itu sendiri. Animo ini dapat dibuktikan dengan besarnya aktifitas Barat
yang digunakan dikalangan Islam, seperti mendukung gerakan sekularisme.
Disadari atau tidak, mendukung sekularisme sama halnya dengan menghancurkan
Islam dari dalam.
Sikap menentang sekutu menyebabkan Sultan mengirimnya ke Anatolia Timur dengan
tugas melucuti angkatan bersenjata Kerajaan yang masih melakukan perlawanan
terhadap pendudukan sekutu itu. Kedatangannya ke Anatolian memang amat
dibutuhkan oleh berbagai kelompok perlawanan yang dibentuk menjelang akhir
tahun 1918. Kelompok perlawanan itu terdiri dari perwira-perwira cadangan,
Guru-guru dan pegawai-pegawai negeri. Mereka
memegang posisi pemimpin dalam organisasi perlawanan itu, bekerjasama
dengan pemimpin beraliran tradisional, menerbitkan surat kabar, membuka cabang-cabang di
kota-kota kecil dan mengadakan kontak dengan kesatuan-kesatuan tentara. Mustafa
kamal sampai di Antolia empat tahun setelah penyerbuan Yunani tahun 1919. Ia
tidak melaksanakan tugas yang dibebankan padanya, ia bekerja keras membentuk
kader-kader bagi tentara nasional.[1]
Pertemuannya dengan
pemimpin-pemimpin setempat menghasilkan kesepakatan membentuk sebuah Negara
Turki yang merdeka. Sultan yang mengetahui kegiatannya memanggilnya ke
Istambul, tetapi ia menolak sehingga dipecat oleh sultan. Kemudian ia bergabung
dengan perkumpulan Pembela Hak yang menyelenggarakan dua kali konferensi, di
Erzurum (23 Juli 1919) dan Sivas (4-1 September 1919), dalam konferensi pertama
ia dipilih sebagai ketua, konferensi kedua berhasil merumuskan Piagam Nasional
(Milli Misak) yang menegaskan bahwa kemerdekaan dan integritas nasional akan
ditegakkan melalui suatu pemerintahan yang dipilih oleh suatu “Kongres
Nasional”. Sultan memberi tanggapan dengan memberikan pemilihan umum dan
parlemen bersidang 20 Januari 1920.
Namun sebagian
anggota berpandangan nasional memperkuat posisi Mustafa Kamal di Istambul.
Inggeris yang merasa berharap dengan anggota-anggota parlemen yang agresif,
menangkap mereka dan membuang ke Malta . Sebagai reaksi, Mustafa
Kamal di Ankara, menyelenggarakan pemilihan umum guna membentuk Majelis
Nasional Agung (MNA). Majelis dalam sidangnya yang pertama memutuskan
dibentuknya suatu pemerintahan di Ankara
dan menetapkan majelis itu sendiri sebagai wakil tertinggi bagi seluruh rakyat
Turki.[2]
Akan tetapi,
Sultan menyatakan MNA illegal. Ia mengirim pasukan guna menangkap anggotanya,
tetapi mereka tidak terlalu bergerak karena simpati dengan gerakan nasionalis
itu. Sementara sultan, menandatangani perjanjian sevres (10 Agustus 1920) yang
menciutkan wilayah kerajaan Utsmani, sehingga yang tinggal hanyalah Istambul
dan daerah sekiratnya beserta Anatolia Utara. Wilayah selebihnya diserahkan
kepada sekutu dan penguasa di Istambul. Kontak senjata pertama terjadi dengan
Yunani. Dalam perang 1920 pasukan Turki menderita kekalahan, namun dalam perang
berikutnya, di bawah colonel Ismet, pasukan Turki berhasil menahan dan kemudian
memukul kaum penyerbu itu di lembah Inonu.
Perang yang cukup
menentukan terjadi tahun 1922. dipimpin oleh Mustafa Kamal sendiri, 20 Agustus
1922, pasukan Yunani dipaksa mundur ke sebelah barat. Kemenangan tersebut
disambut MNA dengan memberinya gelar Ghazi. Lebih dari itu, pihak
tertentu sekutu mulai berbeda pendapat. Perancis mulai mengakui pemerintahan di Ankara , sementara Inggeris belum mengubah
sikapnya. Pengakuan Perancis itu mempertebal semangat kaum nasionalis dalam
perang yang belum selesai dengan Yunani. Perang tahap terakhir September 1922, dimenangkan Angkara, sehingga
seluruh Anatolia dikuasai. Kontak senjata
dengan Inggeris yang menguasai wilayah Turki di Eropa, tampaknya akan
berlangsung, tetapi Inggeris menyetujui gencatan senjata (11 Oktober 1922).
Bulan Oktober 1922 pihak sekutu mengundang Sultan Muhammad Wahid al-Din
(1918-1922) menghadiri konferensi Lausanne .
Undangan itu di Ankara
dipandang sebagai penghinaan, karena sultan dianggap sebagai penguasa tanpa
Negara.
Oleh karena itu,
Mustafa Kamal mengusulkan agar kesultanan dihapuskan. Undang-Undang tentang
penghapusan kesultanan itu diterima oleh MNA 1 November 1922. Majelis mengambil
seluruh kekuasaan sultan, dan 17 November, sultan melarikan diri ke Malta .
Kemenakannya, Abdul Majid, diangkap sebagai pemimpin baru tapa memiliki
kekuasaan politik. Hapusnya kesultanan itu menghadiri dualisme pemerintahan
yang berlangsung semenjak terbentuknya pemerintahan tandingan di Ankara , 1920. konferensi Lausanne yang dibuka 20
November 1922 dihadiri di Ankara.
Persetujuan
dicapai 23 Juli 1923; Turki memperoleh kembali seluruh Asia Kecil dan Ihrace
bagian Timur. Wilayah ini sesuai dengan apa yang diputuskan dalam konferensi Sivas . Kesempatan kini
terbuka bagi Mustafa Kamal untuk melaksanakan ide-ide pembaharuan. Perkumpulan
Pembela Hak yang selama ini menjadi alat perjuangan diubah menjadi partai
politik dengan nama Partai Rakyat (kelak Partai Republik Rakyat), satu-satunya
partai politik selama Mustafa Kamal masih hidup. Dalam sidang pertamanya, 11
Agustus 1923, MNA yang disempurnakan itu merubah perjanjian Lausanne . Keputusan lain adalah
diproklamirkannya Ankara
sebagai Ibukota Negara (13 Oktober 1923), dinyatakan Turki sebagai republik (30
Oktober 1923).[3]
Dengan demikian
Turki menjadi Negara Islam pertama yang menetapkan republic sebagai bentuk
Negara. Satu keputusan politik penting lainnya yang menyangkut institusi
khalifah. Institusi yang merupakan simbol
Pan Islamisme itu dipandang bertentangan dengan nasionalisme yang hendak
ditegakkan. Di samping itu, khalifah Abdul Majid bertindak seolah-olah ia masih
memiliki kekuasaan politik, maka tanpa menghiraukan suara-suara di dalam dan di luar negeri yang ingin tetap
dipertahankannya khalifah, Mustafa Kamal mengemukakan “perlunya agama
Islam dibersihkan dan diangkat dengan cara menyelamatkan sebagai alat politik
selama berabad-abad”. Pernyataan itu dibahas partai Rakyat dan menghasilkan
rumusan tentang pema’zulan khalifah, penghapusan khalifah dan pembuangan
seluruh keluarga Utsmani dari Turki.
Usul tersebut
diajukan Partai Rakyat dalam sidang MNA
3 Maret 1924. Hari itu juga majelis menyetujuinya. Mustafa menjadikan Turki
sebuah Negara sekuler, yaitu menghilangkan kekuasaan agama dibidang politik dan
pemerintahan, merupakan prinsip yang dianut Mustafa kamal (Kamalisme). Ini baru
tercapai tanhun 1937, setahun sebelum tokoh ini meninggal, namun langkah ke
arah itu telah diambil sebelumnya. Menyusul penghapusan institusi khalifah,
kementerian Syari’ah dan Auqaf dihapuskan. Sistem pendidikan disatukan di bawah
kemeterian pendidikan. Tak lama setelah itu Kantor Syaikhul Islam dihapuskan
pula dan sekolah-sekolah agama ditutup. Hukum sipil berdasarkan syari’ah
diganti dengan hukum sipil ala Swiss. [4]
[1]Muhammad Rashid Feroza, Islam and
Secularism in Post Kemalist Turkey, Islamabad :
Islamic Turkey Research Institute, 1976, hal. 45
[3]E. I. J. Resenthal,Islam in Modern
National State, Combridge: The University Press, 1965, hal. 22
0 Comments
Post a Comment