A.
Fungsi Guru dalam Mengimplementasikan PAI Dalam KTSP
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2003 tentang
Guru dan Dosen, kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi
pelajaran secara luas dan mendalam”. [1] Kemampuan dasar ketiga
ini menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugas keguruannya secara profesional, dalam arti mampu membuat
keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggung jawabkan
berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.
Dalam versi yang-berbeda, kompetensi pendidik dapat dijabarkan dalam
beberapa kompetensi sebagai berikut:
“Pertama, mengetahui hal-hal yang perlu diajarkan, sehingga ia harus belajar
dan mencari informasi tentang materi yang diajarkan. Kedua, menguasai
keseluruhan bahan materi yang akan disampaikan pada peserta didiknya. Ketiga,
mempunyai kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan menghubungkannya
dengan konteks komponen-komponen lain secara keseluruhan melalui pola yang
diberikan Islam tentang bagaimana cara berpikir (way of thinking) dan cara hidup (way of life) yang perlu dikembangkan melalui proses edukasi. Keempat,
mengamalkan terlebih dahulu informasi yang telah didapat sebelum disajikan pada
peserta didiknya. Kelima, mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang
sedang dan sudah dilaksanakan. Keenam, memberi hadiah (tabsyir/reward) atau hukuman sesuai
dengan usaha dan upaya dicapai peserta didik dalam rangka memberikan persuasi
dan motivasi dalam proses belajar. Kompetensi pendidik yang tidak kalah
pentingnya adalah memberikan uswah
hasanah dan meningkatkan kualitas dan profesionalitasnya
yang mengacu pada masa depan tanpa melupakan peningkatan kesejahteraan,
misalnya gaji, pangkat, kesehatan, kepada peserta didik dan lingkungannya”.[2]
Guru sebagai tenaga profesional di
bidang kependidikan, di samping memahami hal-hal yang bersifat filosofis dan
konseptual, juga harus mengetahui dan melaksanakan hal-hal yang bersifat
teknis. Hal-hal yang bersifat teknis ini, terutama kegiatan mengelola dan
melaksanakan interaksi belajar-mengajar. Di dalam kegiatan mengelola interaksi
belajar mengajar, guru paling tidak harus memiliki dua modal dasar, yakni
kemampuan mendesain program dan keterampilan mengomunikasikan program itu
kepada anak didik. Dua modal ini telah terumuskan di dalam sepuluh kompetensi
guru, dan memang mengelola interaksi belajar mengajar itu sendiri merupakan
salah satu kemampuan dari sepuluh kompetensi guru. Sehubungan dengan itu, maka
pada pembahasan tentang pengelolaan interaksi belajar mengajar berikut ini akan
diuraikan “sepuluh kompetensi guru” sebagai sumber dan dasar umum atau sarana
pendukung serta microteaching sebagai
program latihan dan “beberapa komponen keterampilan mengajar” sebagai kegiatan
pelaksanaan interaksi belajar-mengajar.
Dalam pendidikan guru dikenal adanya “Pendidikan Guru Berdasarkan
Kompetensi”. Mengenai kompetensi guru ini, ada berbagai model cara
mengklasifikasikannya. Untuk program S1 salah satunya dikenal adanya “sepuluh
kompetensi guru” yang merupakan profil kemampuan dasar bagi seorang guru.
Sepuluh kompetensi guru itu meliputi:
Menguasai bahan, mengelola program belajar
mengajar, mengelola kelas, menggunakan media/sumber, menguasai landasan
kependidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai prestasi siswa
untuk kepentingan pengajaran, mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan
penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah serta memahami
prinsip-prinsip dan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran”. [3]
Kemampuan profesional ini mencakup
(1) Penguasaan pelajaran yang terkini
atas penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan
bahan yang diajarkan tersebut,
(2) Penguasaan dan penghayatan atas landasan
dan wawasan kependidikan dan keguruan,
4. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar
berhasil dalam berhubungan dengan orang lain. Guru yang efektif adalah guru
yang mampu membawa siswanya dengan berhasil mencapai tujuan pengajaran.
Mengajar di depan kelas merupakan perwujudan interaksi dalam proses komunikasi.
Menurut Undang-undang Guru dan Dosen kompetensi sosial adalah “kemampuan guru
untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta
didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”.[5]
Kemampuan sosial bagi pendidik adalah
menyangkut kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial selaras dengan ajaran
dakwah Islam. Sikap gotong-royong, tolong-menolong, egalitarian (persamaan
derajat antara manusia), sikap toleransi dan sebagainya juga perlu dimiliki
oleh pendidik muslim Islam dalam rangka transinternalisasi sosial atau transaksi sosial antara pendidik dan
peserta-peserta didik.
Dalam kompetensi sosial ini termasuk
keterampilan dalam interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
Kompetensi sosial guru adalah salah satu daya atau kemampuan guru untuk
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang baik serta
kemampuan untuk mendidik, membimbing masyarakat dalam menghadapi kehidupan di
masa yang akan datang. Untuk dapat melaksanakan peran sosial kemasyarakatan,
guru harus memiliki kompetensi (1) aspek normatif kependidikan, yaitu untuk
menjadi guru yang baik tidak cukup digantungkan kepada bakat, kecerdasan, dan
kecakapan saja, tetapi juga harus beritikad baik sehingga hal ini bertautan
dengan norma yang dijadikan landasan dalam melaksanakan tugasnya, (2)
pertimbangan sebelum memilih jabatan guru, dan (3) mempunyai program yang
menjurus untuk meningkatkan kemajuan masyarakat dan kemajuan pendidikan.
Arikunto mengemukakan kompetensi sosial “mengharuskan guru memiliki
kemampuan komunikasi sosial baik dengan peserta didik, sesama guru, kepala
sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan anggota masyarakat”.[6]
Berdasarkan uraian di atas, kompetensi sosial guru tercermin melalui
indikator (1) interaksi guru dengan siswa, (2) interaksi guru dengan kepala
sekolah, (3) interaksi guru dengan rekan kerja, (4) interaksi guru dengan orang
tua siswa, dan (5) interaksi guru dengan masyarakat.
Menjadi guru adalah pilihan yang
terbaik dalam posisi sosial seseorang. Guru memang pahlawan tanpa jasa; guru
digugu dan ditiru. Posisi guru di masa reformasi ini telah diberikan perhatian
yang cukup lumayan, karena aspirasi guru secara tertulis diakomodasi dalam UU
Guru dan Dosen No. 14.
Secara tertulis untuk bentuk perhatian
terhadap guru terutama dalam kaitan kesejahteraan guru telah ada, namun
realisasinya memerlukan waktu dan membaiknya ekonomi nasional. Kelak menjadi
guru adalah pilihan utama dari profesi lainnya. Kalau saja bangsa ini sejak
awal kemerdekaan menjadikan pendidikan sebagai “panglima” dalam pembangunan
atau dalam kalimat yang lunak menjadikannya sebagai prioritas selain bidang
politik, ekonomi, maka nasib bangsa hari ini akan berkata lain. Diharapkan ke
depan tidak lagi mengalami setback, keberpihakan kepada guru bukan hanya basa
basi (lipservice), tetapi karena belajar dari kesalahan prioritas pembangunan
selama beberapa dekade yang lalu.
Dalam KTSP guru juga diberi kebebasan
untuk memamfaatkan berbagai metode pembelajaran. Guru perlu memanfaatkan
berbagai metode pembelajaran yang dapat membangkitkan minat, perhatian, dan
kreativitas peserta didik. Karena dalam KTSP guru berfungsi sebagai fasilitator
dan pembelajaran berpusat pada peserta didik, metode ceramah perlu dikurangi.
Metode-metode lain seperti diskusi, praktek, dan tanya-jawab perlu
dikembangkan.[7]
Pembelajaran yang dilakukan melalui
diskusi, misalnya, dapat melibatkan partisipasi dari semua peserta didik. Semua
peserta didik dapat berbicara,
mengemukakan pendapatnya masing-masing. Guru dalam hal ini hanya mengarahkan
bagaimana diskusi berjalan. Kegiatan pembelajaran tidak selalu berlangsung di
dalam kelas. Kegiatan dapat dilakukan di luar kelas (perpustakaan, kantin,
taman, dsb), di luar sekolah (mengunjungi lembaga bahasa, televisi, penerbit).
Beragamnya tempat pembelajaran dapat membuat suasana belajar yang tidak
membosankan.
Kegiatan pembelajaran dapat juga
melibatkan orang tua dan masyarakat. Sekolah dapat mengundang orang yang
mempunyai profesi tertentu untuk berbicara dan berdialog dengan peserta didik.
Sebagai contoh, dalam pelajaran fiqih, kalau ada orang tua peserta didik yang
berfrofesi sebagai ulama, guru dapat
mengundang orang yang bersangkutan untuk berdiskusi tentang fiqih. Kegiatan
seperti ini akan berguna untuk peserta didik, guru, dan orang tua. Mereka dapat
saling belajar dan proses pembelajaran menjadi menarik dan bersifat
kontekstual.
Kalau memungkinkan, kegiatan
pembelajaran dapat dilakukan dengan
kunjungan peserta didik kepada orang dengan profesi tertentu , misalnya ahli
fiqh atau ahli tajwid, untuk menggali informasi tentang fiqh atau tajwid.
Kegiatan ini akan membuka wawasan peserta didik dan guru akan profesi yang
berkaitan dengan fiqh dan tajwid
sehingga diharapkan muncul sikap positif terhadap pentingnya fiqh dan tajwid
dalam kehidupan.
Dalam konteks Pendidikan Agama Islam
(PAI), guru berada di garda terdepan. Guru diberi tugas untuk mengembangkan
Standar Isi kurikulum. Pengalaman yang selama ini bergulat dengan anak didik
menjadi modal utamanya dalam mengimplementasikan semangat Standar Isi ini. Di
tengah persyaratan formal sebagai standar minimal seperti stratifikasi guru
dalam bentuk sebuah ijazah sesuatu yang perlu dipenuhi. Tetapi, selembar ijazah
belum cukup menjamin keberhasilan dalam membawa misi Standar Isi PAI. Sikap
keingintahuan terhadap segala hal, melakukan langkah-langkah yang kreatif serta
tidak kenal menyerah dan putus asa menghadapi kendala di lapangan sangat
diperlukan. Guru harus berusaha menjadi guru ideal, di samping menjadi contoh
moralitas yang baik, diharapkan ia memiliki wawasan keilmuan yang luas sehinga
materi PAI dapat ditinjau dari berbagai disiplin keilmuan yang lain. Memahami
psikologi anak didik sangat diperlukan pula.
Belajar PAI di sekolah bagi anak didik
bukan saja belajar tentang yang boleh dan tidak boleh, tetapi mereka belajar
adanya pilihan nilai yang sesuai dengan perkembangan anak didik. Guru dalam
mentransfer nilai tidak hanya diberikan dalam bentuk ceramah, tetapi juga
terkadang dalam bentuk membaca puisi, bernyanyi, mendongeng dan bentuk lainnya,
sehingga suasana belajar tidak monoton dan terasa menyenangkan. Guru, tidak
cukup menyampaikan istilah-istilah Arab kepada anak didik, atau memiliki
kemampuan bahasa Arab, tetapi juga diperlukan kemampuannya dalam bahasa
Inggris, sehingga kesan guru sebagai kaum yang dimarginalisasi dan hanya bisa
menyampaikan ini halal dan ini haram berkurang. Kemudian Guru PAI diharapkan
mengikuti perkembangan metode pembelajaran mutakhir untuk menggunakan media
teknologi informasi dalam pembelajarannya. Melalui alat teknologi ini,
pembelajaran yang efisien dapat dicapai. Dengan demikian, Standar Isi yang
komprehensif dan implementatif belumlah cukup, tetapi juga memerlukan guru-guru
yang memiliki kriteria-kriteria di atas.
[1] Tanpa Nama, Undang-undang
Republik Indonesia No. 14 Tahun 2003,
Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2006), hal. 1.
[2] Saefuddin AM, Desekularisasi Pemikiran: Landasan
Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 130.
[3] Sardiman, A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar,
Cet. XII, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 163-181.
[4] Ibid., hal. 182.
[5] Ibid., hal. 183.
[6]Arikunto, Kompetensi Guru, (Online), diakses melalui situs: http://rastodio.com/pendidikan/pengertian-kompetensi-guru.html, 22 Juli 2010.
[7]
Masnur Muslich, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dasar Pemahaman
dan Pengembangan, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 11
5
0 Comments
Post a Comment