Fungsi Pendidikan Tauhid
A.
Fungsi Pendidikan Tauhid
Menurut ibnu taimiyah, sebagaimana yang dikutib oleh
masjid ‘irsan al-kaylani,[1]
tugas pendidikan islam pada hakikatnya tertumpu pada dua aspek, yaitu
pendidikan tauhid dan pendidikan pengembangan tabiat peserta didik. Pendidikan
tauhid dilakukan dengan pemberian pemahaman terhadap dua kalimat syahadat;
pemahaman terhadap jenis-jenis tauhid (rubuhiyah, uluhiyah, dan sifat
dan asma’); ketundukan, kepatuhan, dan keikhlasan menjalankan islam; dan
menghindarkan dari segala bentuk kemusyrikan. Sedang pendidikan pengembangan
tabiat peserta didik adalah mengembangkan tabiat itu agar mampu memenuhi tujuan
penciptaannya, yaitu beribadah kepada Allah Swt. Dan menyediakan bekal untuk
beribadah, seperti makan dan minum. Menurut Ibnu Taimiyah, manusia yang
sempurna adalah mereka yang senantiasa beribadah, baik beribadah diniyyah
maupun beribadah kawniyah. Ibadah diniyyah adalah ibadah yang berhubungan
dengan pencipta (ta’abbdudi) dan sesama manusia (ijtima’i).
sedangkan ibadah kawniyah adalah ibadah yang berhubungan dengan ketundukan dan
kepatuhan manusia kepada Allah Swt. Setelah memahami hukum-hukum alam dan
huku-hukum sosial kemasyarakatan.
Fungsi merupakan bentuk operasional dari sebuah tujuan, sehingga
kita dapat melihat fungsi pendidikan tauhid dalam keluarga dengan menganalisis
tujuan dari pendidikan tauhid. M. Saleh menyebutkan
bahwa pendidikan tauhid dalam keluarga adalah berfungsi untuk: Pertama, Memberikan ketentraman dalam hati anak. Kedua, Menyelamatkan anak dari dari kesesatan
dan kemusyrikan., Ketiga, Membentuk perilaku dan kepribadian anak, sehingga
menjadi falsafah dalam kehidupannya.[2]
Dari penjelasan yang diuraikan oleh Yunus, dapat dilihat bahwa pendidikan tauhid dalam
keluarga memiliki beberapa fungsi agar: Pertama, Anak dapat beribadah kepada
Allah secara ikhlas. Kedua, Anak dapat
mengetahui makna dan maksud beribadah kepada Allah. Ketiga, Anak dapat
menjauhi hal-hal yang dilarang Allah seperti syirik dan semua hal yang dapat
menghancurkan ketauhidan.[3]
Keluarga merupakan tempat pertama kali anak menerima pendidikan
tauhid. Dengan menanamkan kepada anak bahwa dirinya selalu berada dalam
perlindungan dan kekuasaan Allah yang Maha Esa. Sehingga dengan proses yang
panjang anak akan selalu mengingat Allah Swt. Allah berfirman :
الَّذِينَ
آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ
تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (الرعد : ٢٨)
Artinya: (yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(Qs. Ar-Ra'd:28).
Pendidikan tauhid dalam keluarga juga membuat anak mampu
memiliki keimanan berdasarkan kepada pengetahuan yang benar, sehingga anak
tidak hanya mengikuti saja atau “taklid buta”. Dengan mengajarkan ketauhidan yang bersumber
dari Al-Quran dan Al-Hadits, maka ketauhidan yang terbentuk dalam jiwa anak
disertai dengan ilmu pengetahuan yang berdasarkan kepada argumen-argumen dan
bukti-bukti yang benar, serta dapat dipertanggung jawabkan.
Keyakinan yang disertai ilmu pengetahuan akan membuat
keyakinan itu semakin kokoh, sehingga akan terpancar melalui amal perbuatan
sehari-hari. Maka benar jika
keimanan itu tidak hanya diucapkan, kemudian diyakini namun juga harus
tercermin dalam perilaku seorang muslim. Ketauhidan yang telah terbentuk
menjadi pandangan hidup seorang anak akan melahirkan perilaku yang positif baik ketika sendirian maupun ada orang lain,
karena ada atau tidak ada yang melihat, anak yang memiliki ketuhidan yang benar
akan merasakan bahwa dirinya selalu berada dalam penglihatan dan pengawasan
Allah, sehingga amal dan perilaku positif yang dilakukan benar-benar karena
mencari ridha Allah Swt.
Akhirnya, dapat dilihat bahwa pendidikan tauhid dalam
keluarga sangatlah penting dan harus segera dilakukan oleh para orang tua,
karena fungsinya yang sangat besar dalam membentuk pribadi muslim yang benar,
dan bertakwa kepada Allah Swt, yang dihiasai dengan akhlak dan perilaku
positif, sehingga anak-anak yang bertauhid juga akan melakukan hal-hal yang
positif. Hal-hal yang
dapat bermanfaat baik untuk dirinya, keluarganya, masyarakatnya, agamanya,
bahkan dunia. Aktivitas yang timbul dari anak yang bertauhid hanyalah mencari
ridha
Allah Swt, bukan mencari sesuatu yang bersifat duniawi.
[1]
Majid ‘Irsan al-Kaylan, al-fikr al- Tarbawi ‘inda ibn Taymiyah, (Al-Madinah
al- Munawwarah: Maktabah Dar al-Tarats, 1986), hal.
91-103.
[2] Ibid., hal. 28.
[3] Yunus,
Metodik...., hal. 38.