Larangan Mengawini Wanita Musyrikah
A.
Larangan Mengawini Wanita Musyrikah
Perkawinan
(pernikahan) merupakan sarana untuk melahirkan generasi umat manusia yang
mempunyai tugas kekhalifahan untuk memakmurkan bumi. Selain itu, pernikahan
juga bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang rukun, penuh cinta dan kasih
sayang (sakinah, mawaddah wa al-rahmah)." Kehidupan seperti ini
merupakan kebutuhan yang telah menajadi fitrah atau naluri setiap manusia. Oleh karena itu, Islam
memberikan perhatian yang cukup besar terhadap masalah perkawinan ini, termasuk
pernikahan antar umat yang berbeda agama atau pernikahan lintas agama.
Pernikahan
lintas agama yang dimaksud adalah pernikahan yang dilakukan antara seseorang
yang beragama Islam (Muslim atau Muslimah) dengan orang non-Muslim, baik yang
dikategorikan sebagai orang musyrik maupun ahli kitab. Masalah pernikahan
lintas agama ini selalu menjadi bahan perdebatan dikalangan ulama, hal ini
karena perbedaan perspektif dalam memahami ayat-ayat atau teksteks agama yang
melarang pernikahan orang Muslim dengan orang musyrik. Meskipun pernikahn lintas agama ini
tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang, namun fenomena semacam ini terns
berkembang.
Perkawinan beda
agama pada dasarnya dilarang oleh agama Islam, meskipun secara tekstual ada
ayat al-Qur'an yang membolehkannya sebagaimana yang tercantum dalams
surat al-Maidah ayat 5 sebagai berikut:
الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ
لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا
آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي
أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي
الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ) المائدة: ٥(
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.(Qs. Al-Maidah: 5 )
Menurut para ulama ayat ini
merupakan dispensasi bersyarat; yakni boleh seorang pria muslim menikah dengan
wanita ahlul kitab dengan syarat kualitas iman pria tersebut sudah kuat.
Artinya iman mereka sudah berkualitas. Sebab dari pernikahan ini mengandung
resiko yang sangat besar, yaitu dapat menyeret pria muslim pindah agama dan
terjadi perceraian.[1] Pelarangan ini merupakan tindakan
preventif agar tidak terjadi pemurtadan dan perceraian.Walaupun di akui
dari pernihan ini bisa dijadikan strategi da'wah untuk mengajak
wanita musrikah menganut ajaran Islam. Tetapi pada kenyataannya strategi
ini digunakan oleh kaum kristiani untuk menikahi wanita muslimah. Dan akhirnya
terjadilah pengkristenan muslim lewat pernikahan.
Tetapi jika
pria muslim melakukan tindakan yang sama seperti kaum kristiani tersebut,
dikhawatirkan muslim itu menjadi murtad atau keluar dari Islam disebabkan
terpengaruh oleh istrinya. Selain itu pun anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan ini
akan menjadi masalah dalam hukum kewarisan. Sebab itulah para ulama melarang
pernikahan ini guna mencegah terjadinya resiko yang lebih besar meskipun ada
sedikit manfaatnya. Dalam kaidah fiqih dijelaskan bahwa mencegah datangnya
madarat yang lebih besar itu harus di utamakan ketimbang mengambil maslahat
yang sedikit.
Perkawinan beda
agama pada dasarnya dilarang oleh agama Islam, meskipun secara tekstual ada
ayat al-qur'an yang membolehkannya. Namun menurut para ulama ayat ini merupakan
dispensasi bersyarat; yakni boleh seorang pria muslim menikah dengan wanita
ahlul kitab dengan syarat kualitas iman pria tersebut sudah kuat. Artinya iman
mereka sudah berkualitas. Sebab dari pernikahan ini mengandung resiko yang
sangat besar, yaitu dapat menyeret pria muslim pindah agama dan terjadi
perceraian.”[2] Tetapi jika
pria muslim melakukan tindakan yang sama seperti kaum kristiani tersebut,
dikhawatirkan muslim itu menjadi murtad atau keluar dari Islam disebabkan
terpengaruh oleh istrinya. Selain itu pun anak-anak yang dihasilkan dari
pernikahan ini akan menjadi masalah dalam hukum kewarisan. Sebab itulah para
ulama melarang pernikahan ini guna mencegah terjadinya resiko yang lebih besar
meskipun ada sedikit manfaatnya. Dalam kaidah fiqih dijelaskan bahwa mencegah
datangnya madarat yang lebih besar itu harus di utamakan ketimbang mengambil
maslahat yang sedikit. Agama Islam tidak memperkenankan
pria muslim kawin dengan wanita musyrik,sebagaimana dijelaskan dalam firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221:
وَلاَ
تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ
الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ
وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ... )البقرة: ٢٢١(
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.....(Qs.
Al-baqarah: 221).
Nash
diatas dengan jelas melarang mengawini wanita musyrik.Demikian juga pendapat
para ulama menegaskan demikian. Larangan perkawinan antar
pemeluk agama yang
berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh
harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan
langgeng dan tenteram jika
terdapat kesesuaian pandangan
hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan
agama, perbedaan budaya, atau
bahkan perbedaan tingkat
pendidikan antara suami dan istri
pun tidak jarang mengakibatkan
kegagalan perkawinan. Memang
ada ayat yang membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan perempuan Ulul-Kitab (Ahli
Al-Kitab) sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 5
sebagai berikut:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ
لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ
أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ
بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ) المائدة: ٥(
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang
merugi.(Qs. Al-maidah:5)
M. Hasbi
Ash-Shiddiqey dalam Tafsir An-Nuur menjelaskan bahwa:
(Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik) artinya yang enak-enak
(Dan makanan-makanan orang-orang yang diberi kitab) maksudnya sembelihan
orang-orang Yahudi dan Nasrani (halal bagi kamu dan makananmu) yang kamu
sajikan kepada mereka (halal pula bagi mereka. Dan wanita-wanita yang merdeka
di antara wanita-wanita mukmin serta wanita-wanita merdeka dari kalangan
orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu) halal pula kamu kawini (apabila
kamu telah membayar maskawin mereka) atau mahar (dengan maksud mengawini
mereka) sehingga terpelihara kehormatan (bukan dengan maksud berzina) dengan
mereka secara terang-terangan (dan bukan pula untuk mengambil mereka sebagai
gundik) atau melakukan perzinaan dengan mereka secara sembunyi-sembunyi. (Dan
siapa yang kafir terhadap iman) artinya murtad (maka sungguh telah hapuslah
amalnya) amal saleh sebelum itu hingga tidak dianggap diberi pahala (dan ia di
akhirat termasuk orang-orang yang merugi) yakni jika ia meninggal dalam keadaan
demikian itu[3].
Kebolehan yang dimaksud dalam ayat diatas itu bukan
saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga
karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi
Allah pembawa ajaran agama. Sehingga,
pria yang biasanya lebih kuat dari wanita jika beragama Islam dapat mentoleransi dan
mempersilakan Ahl Al-Kitab
menganut dan melaksanakan syariat
agamanya. Untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut
mengenai hukum perkawinan lintas agama.
1). Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa
perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak
haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani),
sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka
yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut
mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai
seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang
yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada
nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut
mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah
yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan
dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim,
karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan
perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan
mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan
menghalalkan daging babi.[4]
2). Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan
lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah
hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di
wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh
menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si
isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama
ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak
melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan
pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika
dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka
diharamkan.
3).
Mazhab Syafi’i.
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat
bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita
ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani
keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya,
sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab
ini adalah :
1).
Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel , dan bukan bangsa lainnya.
2).
Lafal min qablikum
(umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua
kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel .
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah
wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum
diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya
orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak
termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan
bunyi ayat min qoblikum tersebut.[5]
4.
Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan
beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan
bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah
perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam
Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi
dan Nasrani dari Bangsa Israel .
Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani
sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.[6]
Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa Perkawinan lintas
agama antara muslim dan muslimah dengan non muslim musyrik pada hakikatnya
diharamkam menurut ajaran Islam (Jumhur Ulama). Namun terdapat perbedaan
pendapat jika perkawinan itu antara seorang muslimah dengan ahli kitab (Yahudi
dan Nasrani). Sedangkan antara seorang muslim dengan seorang perempuan ahli
kitab sebagian pendapat membolehkan karena laki-laki berperan dan dapat
memengaruhi perempuan dalam suatu keluarga. Penulis sependapat dengan Putusan
MUI tahun 1980 yang berpendapat seperti di atas.[7]
[1]
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur.an di bawah Naungan
Al-Qur.an, Jil IX, Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hal. 454.
[7]
Asnawi Ihsan, Warna-Warni Hukum Perkawinan Beda Agama, http://
asnawiihsan. blokspot.com/2007/03/, di akses pada 1 Mei 2008.