A. Pengertian
Keharmonisan Rumah Tangga
Menggapai keharmonisan hidup
berumah tangga dan kemesraan di dalamnya adalah impian setiap manusia, terutama
kita, umat Islam. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk itu. Ada sebagian orang
yang memulainya dengan berpacaran terlebih dahulu sebelum menikah. Alasannya :
untuk lebih mengenal lebih dalam calon pasangan masing-masing. Padahal, pacaran
sebelum menikah akan mengubur objektivitas, karena setiap orang yang melakukan
hanya ingin memperlihatkan hal-hal yang baik kepada pacarnya, dan hanya ingin
melihat yang baik dari pacarnya.
Perbedaan dan perselisihan itu
sendiri bukanlah suatu aib yang harus dibuang jauh-jauh dan dihindari. Ia
bukanlah perbuatan maksiat dimana orang yang melakukannya dicatat sebagai orang
berdosa dan tercela, tentu saja selama perbedaan tersebut bukan dalam masalah
akidah dan yang berhasil mengatasi dengan baik segala permasalahan dan perbedaan
yang muncul di antara mereka, dan mereka pun terus langgeng dalam ikatan
perkawinannya. Namun, ada pula pasangan yang terhempas gagal ketika ada yang
dapat dilakukan selain berpisah.’
Saling memahami, adalah kata
kunci dari sekian banyak tips dan kiat untuk membina keluarga yang sakinah,
mawaddah, wa rahmah. Tiada artinya memiliki berbagai macam keahlian dan
ketrampilan tentang dunia keluarga apabila tidak ada kemauan untuk saling
memahami pasangan masing-masing. Sering dengan itu, juga tidak begitu
bermanfaat jika hanya satu pihak saja yang mau memahami pasangannya, sementara
pihak lain tidak mau tahu.
Adalah Rasulullah, sebelum
menikah dengan Aisyah Radhiallahu Anha, beliau mempunyai kegemaran
beribadah dan bermunajat kepada Tuhannya, Dan, kegemaran ini tetap berlanjut
setelah menikah dengan Aisyah. Banyak sekali waktu Aisyah yang tersisih oleh
kegemaran Nabi ini. Akan tetapi, Aisyah berusaha memahami, bahwa suaminya
memang sudah memiliki kegemaran tersebut semenajak sebelum menikah dengannya. Ketika
Aisyah menyampaikan suara hatinya yang seolah merasa diambil waktunya oleh
kegemaran Nabi dalam beribadah ini, beliau bersabda ”Wahai Aisyah, biarkanlah
aku beribadah kepada Tuhanku”.
Artinya, adalah suatu
kewajaran apabila sepasang suami istri telah mempunyai suatu kebiasaan atau
hobi tersendiri sebelum menikah. Jangan sampai, hanya menahan diri dari
meneruskan suatu kegemaran demi pasangannya, justru hal tersebut akan
menggagngu keharmonisan rumah tangga. Sebaliknya, jangan sampai menerlantarkan
pasangan demi melanjutkan suatu kegemaran. Sebab hal ini lebih tidak baik lagi.
Yang terpenting dalam hal ini
adalah, saling memahami antara suami-istri.1
Kedudukan rumah tangga dalam
penyususnan masyarakat dan negara, adalah sangat penting sekali. Rumah tangga
bagi negara merupakan inti semisal bibit dari pohon. Bila bibit itu sehat dan
terpelihara dengan baik, akan tumbuhlah pohoh kuat dan serta berbuah lezat dan
lebat.
Bila diibaratkan, rumah tangga
adalah dua sisi dari keping yang sama. Ia bisa menjadi tambang derita yang
menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga yang mencerahkan. Kedua sisi itu
rapat berimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang pada waktu tertentu,
sedang sisi lainnya datang kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya
mengajak tertawa. Tentu saja, siapapun berharap bahwa rumah tangga yang
memancarkan pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang
benar-benar menghadirkan atmosfer surga, keindahan dan keagungan adalah
rumah tangga seorang nakhoda yang pandai menyiasati perubahan.
Bila rumah tangga yang teratur
rapi dengan diliputi oleh suasana mawaddah (cinta dan kasih sayang) pasti akan
dapat mempertinggi mutu nilai penghidupan dan kehidupan masyarakat, yang
berarti pula dapat memperkokoh terbinanya suatu negara yang adil dan makmur dan
bahagia dengan tercapainya kesejahteraan di tengah masyarakat manusia. Sebab
dari rumah tangga orang mulai mengenal adat, peraturan, kesopanan, dan Undang-Undang.
Untuk keutuhan sebuah rumah
tangga, tentu saja setiap pasangan suami istri itu mempuyai keinginan untuk
memperoleh anak atau keturunan yang didambakannya. Apabila meraka memperoleh
keturunan maka pasangan tersebut akan memperoleh kebahagiaan yang tidak dapat
digambarkan. Semua rasa cinta dan kasih sayang akan tercurah kepada anak-anak
mereka, anak-anak yang lahir akan dibesarkan dan dididik dalam lingkungan
keluarga yang Islami yang dihiasi dengan akhlak-akhlah yang mulia yang
berdasarkan kepada Al-qur’an dan hadits.
Demikian pula pendidikan,
agama dan kekuasaan. Dari rumah tangga pula timbul perasaan yang halus dan
hidup sumber daripada perikemanusiaan. Biarpun di tengah-tengah masyarakat
telah timbul beberapa ideologi beraneka ragam namun rumah tangga tetap
merupakan faktor utama dan memgang peranan penting dalam kehidupan masyarakat
manusia.2
Demikian pula rumah tangga
yang sejahreta akan menjadi tempat beristirahat satu-satunya, dan tempat untuk
menikmati kesenangan, hidup, meskipun tempat penginapan dan rumah makan telah
tersedia dimana-mana. Jadi rumah tangga yang sejahtera memegang peranan yang
penting sekali dalam penghidupan ummat manusia yang masih tetap memegang
perikemanusiaan.
Islam sebagai agama yang
lengkap yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Rasul terakhir, mengatur hidup dan
kehidupan manusia agar memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di
akhirat kelak dan rumah tangga adalah pemegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat.
Untuk kepentingan rumah
tangga, Islam telah menentukan beberapa peraturan yang sangat lengkap dan rapi,
sampai kepada soal-soal yang sekecil-kecilnya. Seluruh tanggungjawab di dalam
rumah tangga dan ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban diterangkan dan
dijelaskan dari sejak masa lamaran hingga meniggal. Kesemuanya telah diatur
serapi-rapinya oleh Islam.
Islam pun memandang rumah
tangga bukanlah sekedar soal perseorangan, rumah tangga dipandang merupakan
soal masyarakat dan negara.
Islam meletakkan dasar-dasar
pembentukan rumah tangga sebagai berikut
1. Rumah tangga dibentuk
atas dasar suka sama suka dan tidak ada paksaan. Jadi dalam pembentukan rumah
tangga antara suami dan istri di dasarkan pada saling suka sama suka. Islam
tidak mengajarkan secara paksaan. Orang lain hanya dapat memberikan pandangan
tentang bagaimana orang baik dan yang mana perlu ditinggalkan dalam menyusun
rumah tangga itu. Tetapi
keputusan ada pada yang berkepentingan yaitu pada calon suami dan calon istri.
2. Demikian pula untuk
langsung terus berumah tangga tidak ada paksaan. Suami boleh melakukan thalaq
dengan diatur waktu dan tempatnya serta syaratnya, demikian pula istri boleh
menuntut cerai atau fasakh yang dengan diatur waktu dan tempat serta syaratnya
pula.
3. Terhadap harta benda
masing-masing, istri dan suami tetap memilikinya. Masing-masing mempunyai hak
yang sama dalam hak asasi dan hak miliknya.
Orang yang telah
bersuami-istri bertujuan mendapatkan ketenangan dalam hidupnya, mendapatkan
ketenangan dalam hidupnya, mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya. Demikian
sunnah perkawinan yang telah berjalan sejak manusia ada, yaitu Adam dan
istrinya Hawa.3
Bagi orang Muslim akan
menghiasi rumah tangganya dengan kasih sayang dan cinta mencintai. Antara suami
istri bergaul dengan saling menghormati. Anak sebagai keturunan yang diharap
menjadi penerus perjuangan, dididik dengan baik, dikenalkan dan diresapkan ajaran
agama. Dalam rumah tangga Muslim, biasa terdengar ayat suci Al-qur’an dibaca
dengan hati yang tenang, atau anak-anak belajar dengan rajin. Demikian, dari
suara Al-qur’an timbul ketenangan dan kebahagiaan. Saling cinta mencintai dan
saling menyayangi antara suami dan istri adalah merupakan jembatan menuju
kepada kesejahteraan keluarga.
Firman Allah SWT dalam surat
Ar Ruum ayat 21:
ومن أياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل
بينكم مودة ورحمة إن فى ذلك لأيات لقوم يتفمرون ) الروم: ٢١(
Artinya : Dan
diantara kekuasaan-Nya ialah; Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantara kamu kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang
yang berfikir. (Qs.Ar - Ruum : 21
1 Makmun
Mubayidh, Saling Memahami Dalam Bahtera Rumah Tangga, Cet 1,
(Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2005), hal. 1-3
2 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang
Tua dan Anak Dalam Keluarga,Cet.1, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta , 2004), hal 16-18
0 Comments
Post a Comment