Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Solusi Memulihkan BUMG Mati Suri


Kehendak pemerintah untuk menumbuhkan BUMG di tahun 2016 masih harus terhambat banyak hal. Tahun 2016 adalah masa ketika ribuan Gampong melahirkan BUMG-nya sekaligus tahun ketika ribuan BUMG mati suri di tahun yang sama. Apa saja kendala yang membuat nafas BUMG terhenti?

Data dari Bepermasdes Jawa Tengah akhir tahun 2016 lalu menyebut, dari 1800 Gampong di Jawa Tengah, telah berdiri 1.700 BUMG. Tetapi dari 1700 BUMG itu hanya 900 BUMG yang masih aktif. Keaktifannya pun tidak terukur alias dikawatirkan hanya sekedar aktif. Sisanya, mati suri karena perlbagai sebab.

Kabar kematian BUMG juga bertiup dari Kutai Timur. Di sini, dari 135 BUMG yang terdaftar di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Gampong (BPMPD), Kutai Timur, hanya 45 BUMG saja yang masih bernafas. BUMG yang masih hidup itu sebagian besar juga dalam kondisi yang rawan mati suri. Sementara 90-an BUMG lainnya jelas tak berkutik karena mati suri.

Di Kabupaten Gunungkidul Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Gunungkidul mencatat dari 12 Gampong yang memproklamirkan diri sebagai Gampong wisata, hanya 60 persen yang bertahan. Yang hidup inipun sebagian hanya aktif tetapi tidak menghasilkan income yang bisa menghidupi aktivitas usaha.

Beberapa sebab kematian BUMG ini beragam. Di Jawa Tengah, dana yang terbatas menjadi salahsatu sebab utama BUMG tak bergerak. Di tahun 2016, dana untuk mendirikan BUMG memang masih kecil dari pemerintah pusat bahkan bagi sebagian besar Gampong dana yang mereka alokasikan untuk mendirikan BUMG masih terlalu kecil untuk menjadi modal bagi lahirnya sebuah usaha yang sustain dan produktif.

BUMG adalah lembaga usaha yang menjadikan modal sebagai salahsatu nadi untuk hidup dan berkembang. Penyiapan dana untuk usaha tidak bisa disamakan dengan dana untuk program pembangunan yang selama ini dijalankan oleh pemerintah Gampong. Unit usaha sangat memperhitungkan situasi pasar, musim dan kualitas ide bisnis serta bagaimana tim manajemen menjalankan program usaha secara terstruktur.

Sementara di berbagai Gampong, dana untuk pendirian BUMG dan pendirian usaha seringkali tidak memiliki patokan waktu yang jelas kapan mencair. Sehingga seringkali ide usaha yang sudah dirancang secara manis mengalami kegagalan bahkan sebelum didirikan karena keterbatasan dana. Mislanya BUMG yang memutuskan mendirikan usaha toko grosir. Ibarat bikin toko, kedatangan pengunjung toko ditentukan salahsatunya kelengkapan item produk yang dijual toko itu, selain harga dan sistem pelayanan yang hebat. Bagaimana toko BUMG bisa menarik pengunjung datang jika hanya ada beberapa biji barang di rak toko Anda?

Di Kutai Timur, bukan hanya masalah dana yang mencekik leher manajemen BUMG hingga tak bisa bernafas tetapi juga krisis SDM berkualitas. BUMG yang seharusnya dikelola orang-orang Gampong yang memiliki kapabilitas bisnis. Tetapi sangat tidak mudah mencari SDM unggul dari Gampongnya. Akhirnya BUMG berdiri hanya asal berdiri dan prosesnya didirikan oleh perangkat Gampong dan beberapa gelintir tokoh masyarakat yang secara kualitas tidak memiliki kapabilitas usaha.

Di Gunungkidul, tantangan besar BUMG adalah pada keyakinan warga yang masih meragukan BUMG bisa menghasilkan income dan meningkatkan kesejahternaan warga. Alhasil kehadiran BUMG di Gampong mereka tidak mendapatkan sambutan yang hangat dari warga. Seakan-akan BUMG lahir begitu saja dan akhirnya gampang ditebak: mati suri. Padahal Kabupaten Gunungkidul adalah salahsatu kabupaten yang memiliki destinasi wisata cukup ramai di Yogyakarta.

Keterbatasan pemahaman para perangkat Gampong mengenai bagaimana membangun unit usaha BUMG harus menjadi salahsatu perhatian penting. Mau tidak mau, untuk menghidupkan BUMG, perangkat Gampong harus belajar mengenai logika unit usaha yang jauh berbeda dari logika mengelola lembaga administrasi.

Salahsatu pemahaman penting adalah mengenai alokasi dana untuk mengembangkan BUMG. Harus dipahami bahwa berdiri dan berkembangnya sebuah BUMG sangat dipengaruhi jumlah modal dan kapan modal harus siap. Tanpa kejelasan seperti itu usaha mendirikan BUMG hanya akan berakhir dengan mati suri.

Dominasi perangkat Gampong dalam proses melahirkan BUMG juga faktor yang harus menjadi perhatian penting. Banyak BUMG gagal berkembang karena campur-tangan kepala Gampong yang terlalu berlebihan dan merasa paling paham mengelola usaha. Di sisi lain banyak warga Gampong yang belum memahami BUMG sebagai lembaga usaha yang bersifat profesional. Sebagian mereka masih berpikir BUMG adalah lembaga penyalur dana hibah saja.
Sosialisasi mengenai BUMG pada masyarakat adalah salahsatu faktor yang menentukan hidup dan matinya BUMG. Partisipasi masyarakat pada proses pendirian BUMG adalah kuncinya. Tanpa pemahaman yang menyeluruh mengenai konsepsi BUMG sebagai lembaga usaha maka BUMG bakal kekurangan daya dukung sosial. Akibatnya BUMG kesulitan meyakinkan warga Gampong sebagai lembaga yang bisa meraksasa. Sebaliknya, BUMG diaggap tidak cukup menarik bagi warga, terutama anak muda.

Maka solusi untuk menghidupkan BUMG mati suri adalah melakukan beberapa pendekatan itu sekaligus. BUMG harus di re-sosialisasi pada warga sebagai lembaga yang berfungsi mendongkrak ekonomi Gampong sehingga membutuhkan partisipasi warga.

Pengurus BUMG juga harus memiliki kapabilitas manajemen untuk mengelola usaha secara profesional dan bukan ditunjuk karena mantan calon kepala Gampong yang kalah dalam pemeilihan sehingga menjadi cara meredam gejolak politik oposisi. Tentu saja harus ada hitungan yang jelas mengenai apa dan bagaimana unit usaha bakal didirikan dalam bentuk bisnis plan yang jelas. Hanya dengan cara inilah BUMG bisa bernafas lalu berlari.