Dilema Gampong Pande


Saya membaca status Tuanku Muhammad kemarin, beliau anggota DPRK kota Banda Aceh yang mengunjungi dan berziarah ke makam-makam cagar budaya yang berada dalam komplek pembangunan IPAL di Gampong Pande.

Oleh karena itu, saya ingin sedikit memberi pandangan dari sisi lain, selain perlindungan cagar budaya di kawasan tersebut.

Supaya proyek yang sedang dikerjakan tidak terhenti, maka anggaran IPAL tersebut dialih penggunaan kepada fasilitas kepentingan cagar budaya di tempat yang telah dibebaskan untuk pembangunan IPAL, yang fungsinya kemudian untuk kepentingan kebudayaan Islam. Anggaran tesebut juga dipakai untuk relokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kota Banda Aceh.

Mengingat, kawasan muara Krueng Aceh adalah satu-satunya tempat wisata pantai paling indan dan banyak di kunjungi oleh warga Banda Aceh dan sekitarnya, dan wisatawan dari Malaysia, kususnya pada hari Ahad sore. Maka, lokasi IPAL dan TPA tidak layak berada di kawasan tersebut.

Suguhan panorama sunset dan tarik pukat darat merupakan daya tarik bagi wisatawan. Bayangkan betapa butanya Pemko Kota Banda Aceh, membiarkan warga kota dan wisatawan manca negara berwisata ke kawasan sampah dan penampungan taik. Keindahan ciptaan tuhan telah di nodai oleh tangan zalim penguasa.

Lingkungan muara sungai Krueng Aceh sisi baratnya merupakan tempat paling eksotis yang tersisa di kota banda Aceh. Lingkungan indah inilah yang dijadikan oleh Pemko Banda Aceh menjadinya tempat paling jorok dan kotor di Banda Aceh. Sedangkan sisi timurnya telah dibangun pelabuhan pendaratan ikan (TPI).

Saya bukan warga asli Banda Aceh. Tetapi, saya berasal dari Lhokseumawe, begitu juga dengan Pak Walikota Banda Aceh, beliau bukan asli Banda Aceh, tetapi beliau berasal dari Meuloboh, Aceh Barat. Terlepas dari mana asal kita, mari sama-saama kita menjaga marwah dan yang terbaik untuk kota Banda Aceh sebagai kota Provinsi.

0 Comments