Buku cerita Jet Star yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, merupakan salah satu fiksi ilmiah karangan anak bangsa, ikut mewarnai alam pikiran saya. Buku itu saya baca ketika SD.
Buku itu bercerita tentang super hero cilik asli Indonesia. Bocah SD yang beruntung menjadi pahlawan cilik di kotanya, setelah seseorang memberikannya helm sepeda. Inti kekuatan sang bocah ada di helm, bukan di sepeda.
Hingga suatu hari, setelah dia sukses menjadi hero yang tidak dikenal, dia sangat penasaran dengan isi helm tersebut. Bocah itu mengoprek helm itu. Sial, di dalam helm, ia hanya menemukan kabel-kabel yang saling melilit dan dilas di papan DC.
Karena perbuatan itulah, kekuatan hero yang ada padanya dicabut oleh kakek Taro.
Setiap kali berlibur ke rumah Mak Cik di Gampong Raya Tambo, Peusangan, saya selalu menyempatkan diri mengayuh sepeda sport milik sepupu. Sepeda bergigi itu mampu memenuhi imaji saya menjadi seorang super hero.
Pernah suatu kali, saya mengayuh sepeda itu dari Gampong Raya ke tepi laut di Bugak, dan Bugak-Gampong Raya. Di bawah terik matahari dan di bulan Ramadan. Ketika sepupu menawarkan agar saya menuntun saja sepeda itu sembari duduk di belakang sadel sepeda motor, saya menolak.
Saya tidak pernah terbuka pada siapapun tentang mimpi-mimpi kecil itu. Semua aksi petualangan imajinatif, hanya saya ingat dan khalayalkan saja.
Putra saya Nyak Rafa Al-Asraf, memiliki kegemaran yang sama. Membaca buku. Sejak pandemi Covid-19, sudah lima seri buku Why dia baca tuntas. Tiga di antaranya hadiah dari Yah Wa Hendra Syah. Buku tersebut merupakan eksiklopedia kecil yang menarik bagi Rafa. Gambarnya menarik, penjelasannya ringan serta gemar menyematkan istilah ilmu pengetahuan di dalamnya.
Setiap kali menemukan kata-kata baru, Rafa selalu bertanya kepada saya atau kepada Uminya--Mutia Dewi. Banyak yang dapat kami jelaskan tanpa harus membuka google. Tapi tidak jarang pula kami harus bertanya kepada mesin pencari itu.
Hal yang menarik dari Rafa adalah, dia secara terbuka mengatakan dirinya sedang mengkhayal tentang sesuatu.
"Bi, Abang lagi mengkhayal jadi ........., jangan Abi ganggu."
Maka dalam tiap kesempatan bermain, dia kerapkali bicara dengan dirinya sendiri. Memeragakan pertarungan dengan monster, berceramah, serta aksi kejar-kejaran super hero dengan bandit-bandit kota.
Ketika melihat saya menenteng buku Biografi Mukhlis Takabeya: Petarung dari Selatan, Rafa menyelutuk "Abi, kapan Abi menulis buku tentang Abang?"
"Nanti kalau Abang sudah besar, tulislah sendiri," jawab saya sekenanya saja.
"Abang mau Abi yang menuliskan, biar abang yang cerita," katanya.
"Emang Abang mau cerita apa?"
"Banyaklah, Bi. Tulis saja dulu."
Saya menyanggupinya. Dengan harapan dia akan melupakan permintaan itu.
Dua hari lalu, sebelum kami pulang ke Bireuen menjenguk Mamak, Rafa melihat lagi buku biografi itu.
"Bi, kapan Abi tulis buku tentang Abang."
Saya terkejut. Istri juga terkejut. Kemudian kami tertawa.
"Insyaallah, Nak. Doakan saja, Semoga Allah memberikan kesempatan itu," kata saya sembari mengedipkan mata. []
Optimum Prime, Bireuen, Senin (22/6/2020)
Dua hari lalu, sebelum kami pulang ke Bireuen menjenguk Mamak, Rafa melihat lagi buku biografi itu.
"Bi, kapan Abi tulis buku tentang Abang."
Saya terkejut. Istri juga terkejut. Kemudian kami tertawa.
"Insyaallah, Nak. Doakan saja, Semoga Allah memberikan kesempatan itu," kata saya sembari mengedipkan mata. []
Optimum Prime, Bireuen, Senin (22/6/2020)
Penulis: Muhajir Juli
0 Comments
Post a Comment