Sejak kecil saya menyukai sinema Bollywood. Walau banyak hal yang tidak masuk akal di dalam adegannya. Seperti aktor utama yang sangat kuat. Satu orang bandit ditinju 20 lainnya ikut tersungkur.
Film India juga semakin menarik karena nyanyian dan tariannya yang melibatkan banyak orang. Kami dulu menyebutkan tarian satu kampung. Sedih atau gembira India di dalam film tetap joget.
Bila aktor utama ingin bernyanyi, tiba-tiba saja para penari muncul dari berbagai arah. Sungguh luar biasa. Di film itu, tukang panci pun tiba-tiba akan sangat pandai menari.
Hingga kini saya masih menyukai film-film Bharat. Bila dulu hanya sinema produksi Bollywood, berkat hadirnya internet kini saya bisa menonton film Kollywood dan Tollywood, dua industri film di India yang mewakili kultur Hindustan bagian selatan. Hindustan yang ditampilkan masih "organik". Ku'èh, tidak peduli, kumuh, dll. Setiap kali menonton film-film itu saya selalu teringat Aceh. Apalagi film bertema hukum dan politik. Persis Aceh. Dalam konteks lebih besar serupa dan sama dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Politik dengan langgam "kanan" menempatkan Tuhan sebagai sesuatu yang terancam eksistensinya, serta citra bersih politisi kotor dan birokrat kotor yang mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok religius radikal.
Pada suatu ketika di masa kecil dulu, kekaguman saya terhadap aktor utama--aneuk muda-- sempat pudar beberapa saat. Saya sempat mencoba mengangumi aktor antagonis yang lazim dinamakan Tuan Takur.
Takur adalah orang kaya, jahat, rakus, memiliki organisasi gangster, bekerjasama dengan polisi jahat dan sangat membenci aktor utama.
Saya mengagumi Takur, merenungi fasilitas hidup yang dimiliki. Meja makannya penuh makanan serta apapun yang ingin dia miliki selalu biaa dicapai. Semua orang tunduk padanya. Padahal Takur hanya sendiri. Dikelilingi seratusan centeng buta huruf, aparatur desa yang jahat, birokrat dan politisi lokal jahat, serta perwira polisi korup.
Tapi kekaguman itu sementara saja. Bila tidak salah, hanya pada lima film saya menyukainya. Mungkin, kekaguman itu lebih karena faktor hidangan di meja makan yang serba wah. Ayam panggang, kambing guling, dan ragam kuliner lainnya. Kontras dengan menu di piring aneuk muda yang hanya roti kering, segelas susu dan air putih. Ketika makan kerap dilatari dengan musik sedih.
Kekaguman itu sirna karena di semua film, pada akhirnya Takur kalah. Mati di tangan anak muda yang mengamuk. Ketika anak muda mengamuk di ujung film, tak satu tinju gangster pun bisa menjamah tubuhnya. Tak satu peluru polisi jahat mengenai tubuhnya. Polisi yang dilatih menembak secara periodik, ternyata jauh lebih bodoh ketimbang anak muda kampung tak berpendidikan tinggi yang mengamuk karena sudah tidak tahan, bersebab terus-menerus dizalimi.
Film India seringkali menceritakan orang kaya sebagai orang bermasalah. Pelit, jahat, rakus dan sewenang-wenang. Apakah demikian perilaku umum orang kaya di India? Atau sekadar dramatisasi agar film menarik. Tapi citra di film akan membekas pada siapapun, apalagi kepada anak-anak.
Saya kembali teringat ketika beberapa kali mendengar ceramah bila yang paling lama masuk surga adalah orang kaya. Karena harus mempertanggungjawabkan tiap rupiah hartanya. Bahkan sering juga saya mendengar bila harta akan membuat manusia lalai, sehingga tidak penting menjadi kaya, yang penting taqwa.
Sepintas ceramah itu merupakan hal yang benar. Tidak ada bengkok-bengkoknya. Tapi bila ditelisik lebih jauh, menunjukkan penceramahnya orang yang bermasalah. Yaitu kekurangan pengetahuan tentang Islam tapi nekat bicara hanya karena ia memiliki masalah dengan kekayaan dan orang kaya. Mungkin dia penceramah yang miskin. Karena pernyataan mengutuk kekayaan tidak pernah saya dengar dari pemilik lembaga pendidikan Islam yang kaya raya. Bahkan mereka memotivasi siapapun agar rajin berusaha dan rajin belajar. Karena dengan ilmu dan usaha keras, akan menghasilkan buah berupa kekayaan.
Orang Islam harus kaya agar bisa naik haji, bisa membangun masjid, agar dapat menyekolahkan anak-anaknya ke berbagai lembaga pendidikan besar dan ternama. Agar bisa ini dan bisa itu. Orang alim harus kaya agar tidak diperalat oleh politisi populis kanan. Orang alim harus kaya agar mampu memberi, bukan meminta. Orang Islam harus kaya agar bisa unggul dari agama lain di bidang apapun.
Hanya saja, kita kerap hanya mau mendengar apa yang ada di dalam pikiran kita. Kebenaran harus sesuai dengan apa yang kita inginkan. Padahal kebenaran dan keinginan kita dua hal berbeda. Kebenaran dan pendapat kita dua hal yang bisa jadi sama bisa jadi tidak sama.
Kemiskinan merupakan pintu gerbang kekufuran. Karena miskin akan membatasi kita dari segala hal. Bahkan untuk bisa dekat dengan Ilahi, kita butuh fasilitas. Tuhan tidak meminta uang, tapi guru ngaji harus kita beri upah. Lembaga pendidikan yang bagus harganya mahal.
Orang jahil tidak mungkin jujur. Karena untuk membentuk kejujuran kita harus memiliki ilmu.
Penulis: Muhajir Juli
0 Comments
Post a Comment