Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kita yang Maling, Orang Lain Disalahkan

Kita yang Maling, Orang Lain Disalahkan


Tiap kali terjadi pertikaian, kita selalu mencari kambing hitam.

Dulu, setelah gempa dan tsunami, warga dunia mengumpulkan uang dan mengirimkannya ke Aceh. Mereka turun tangan untuk menyelamatlan masa depan orang Aceh yang terancam lapar karena konflik dan bencana alam. Tapi, begitu tiba di Aceh, uang itu dikorupsi oleh petinggi mulai dari bawah hingga ke atas. Masyarakat ribut. Gaduh di desa-desa.

"Jangan ribut, mari berdamai. Tujuan kafir memberikan uang ini kepada kita dengan tujuan umat Islam di Aceh berkonflik dengan sesamanya," ujar mediator kelas kecamatan yang dihadirkan untuk melerai.

Para pencuri selalu mencari kambing hitam. Mencari alasan agar ketudakjujurannya yang terbongkar, tidak dinisbatkan kepada dirinya. Kejahatan yang dia lakukan, selalu dialamatkan kepada orang lain sebagai penyebabnya. Di Aceh, perilaku itu sudah jamak dilakukan.

Ketika Pemerintah Indonesia memberikan DD, juga dikorupsi oleh elit-elit kampung. Ketika masyarakat protes, yang disalahkan adalah komunis, Jokowi dan pihak-pihak lain di Jakarta.

Begitu juga ketika terjadi konflik antar kelompok di interen agama. Yang dituduh sebagai penyebabnya adalah kelompok lain. "Konflik kita karena banyak penyusup di organisasi kita. Mereka ingin menghancurkan kita. Merusak kita." Demikianlah kalam-kalam itu disampaikan.

Tapi, sampai konflik terjadi berjilid-jilid, tidak seorangpun yang dituduh sebagai penyusup di tempat mereka berhasil ditangkap. Dan, menyalahkan orang lain terus diulang berjilid-jilid, bertahun-tahun.

Kita ingin dipuji, bahkan ketika melakukan kesalahan, masih tetap ingin dipuji.

Kita ingin suci, bahkan ketika sudah melakukan perbuatan keji, masih saja ingin terlihat suci.

Dan kita akan bergembira, melihat orang-orang jahil bertikai karena membela aku dan kamu, yang terus memelihara sengketa atas satu tujuan: Dipuja sebagai satu-satunya sumber kebenaran.

Kawan, percayalah, ketika dua orang mengaku paling dekat dengan Tuhan, tapi terus bertikai dan saling menyalahkan, tanpa berhasil berdamai, ketahuilah bila Tuhan tidak berada di dekat mereka. Hati mereka dengan Tuhan teramat jauh. Mereka teutabéng dari nur Ilahi.

Penulis: Muhajir Juli