Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Ayah, Rindu Yang Tak Pernah Habis

Ayah, Rindu Yang Tak Pernah Habis


Sebagai anak sulung, saya teramat dekat dengan ayah. Kedekatan yang mungkin tidak dirasakan oleh adik-adik saya. Saya masih teringat cerita ayah saat kami berdua mencari batang bambu kecil untuk membuat layang-layang. Saat itu, saya masih duduk di kelas tiga Sekolah Dasar. Kami berdua menyusuri hutan yang letaknya tidak jauh dari perkampungan. Katanya, "Saat ayah tahu kau telah lahir. Ayah sedang di kebun. Buru-buru ayah pulang dengan berlari. Tak sabar ingin segera melihatnya. Kau anak pertama ayah."

Ketika saya mendengar cerita tersebut, saya hanya tertawa. Namun rasanya sangat berbeda saat sekarang ini saya mengenangnya. Ada tetesan yang tertahan, menggelayut di pelupuk mata. 

Ayah saya adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ayah teramat ramah. Bahkan ayah terkesan lebih banyak berbicara daripada ibu. Hal yang jarang terjadi mungkin dalam keluarga lain, dimana ayah lebih terlihat banyak diam. 

Ayah selalu berusaha membuat suasana rumah menjadi lebih menyenangkan bagi kami, anak-anaknya. Setiap malam selesai mengajarkan saya dan kedua adik saya mengaji, kami duduk melingkar, mendengarkan cerita ayah. 

Ayah membuat jadwal cerita seperti jadwal film di televisi untuk stok satu minggu, dan menempelkannya di dinding. Saat itu kami belum punya televisi. Namun saya akui, cerita-cerita ayah jauh lebih menarik dari film-film animasi di televisi. 

Entah dari mana ayah mendapatkan ide cerita sebanyak itu. Saya tidak pernah melihat ayah membaca buku. Tetapi rangkaian kata-kata yang keluar dari mulutnya, gaya tangannya, suara-suara binatang dalam tokoh cerita mampu diaplikasikan dengan sangat sempurna. Kami selalu menunggu cerita-cerita pada malam berikutnya. 

Jika semua judul yang ditempelkan di dinding itu telah tamat, Ayah segera menggantinya dengan judul-judul cerita yang baru lagi. Tiap sore kami membacanya dan membayangkan kira-kira seperti apa jalan ceritanya.

Ada cerita haru, cerita perjuangan, kisah kasih orang tua, tentang kesabaran, kebijaksanaan, tentang kesetiaan, tentang pengorbanan dan kadang-kadang juga lucu, semua dikemas apik dalam genre yang mudah dimengerti anak-anak. Sebagian cerita dari ayah masih saya ingat sampai sekarang dan kadang-kadang saya ceritakan kembali pada anak-anak saya.

Cerita-cerita ayah yang dulu saya dengar bagaikan warisan yang tak pernah habis dan hilang. Ia bagaikan referensi abadi dalam menjalani kehidupan. Cerita-cerita sederhana yang maknanya selalu mampu dipahami berbeda seiring bertambahnya usia. 

Dan begitu haru ayah saya saat memberinya buku pertama saya dan mengatakan padanya:

"Terima kasih, ayah. Berkat ayah yang rajin bercerita, sayapun jadi senang melakukannya. Walau dengan cara yang sedikit berbeda."
Ayah, jaga dirimu baik-baik!

Dariku, 

Anakmu yang suka mendengar cerita.

Penulis: Ismi Marnizar