Bagiku, Mungkin Itulah Syurga

Bagiku, Mungkin Itulah Syurga
Suatu hari seorang ibu mengejek saya karena satu postingan saya tentang daster. Kejadiannya sudah lama seiring dengan status saya tersebut yang juga sudah cukup lama. Dalam postingan itu, saya mengatakan bahwa saya tidak memiliki daster satupun, karena suami saya tidak menyukainya. Beliau yang dalam kesehariannya memakai pakaian tersebut mungkin merasa muak dengan saya, begitu.

"Idiih... Daster aja ngga boleh pakek. Si Wendah istri Ruben (koreksi jika salah) yang tajir melintir aja pakek daster kemana-mana. Ini sok-sok-an. Emang elu siapa?"

Begitulah kira-kira gambaran ejekannya.

Padahal, kenapa ia harus tersinggung? Kalau suaminya tidak protes, silakan pakai. Dasterpun sekarang kece-kece. Berbeda dengan mata suami saya, baginya, daster tetaplah daster sekece apapun modelnya.

Ia tidak pernah meminta saya memasak yang enak. Ia tidak pernah menuntut rumah agar selalu rapi. Ia tidak pernah melarang apapun hobi saya asalkan masih dalam bingkai syariah. Ia tidak menuntut saya selalu cantik dan wangi. Ia tidak mengeluh walaupun pekerjaan rumah tangga keteteran sepanjang hari dan malam. Hanya satu hal yang ia minta, JANGAN PAKAI DASTER! Bila satu saja permintaannya itupun tidak mampu saya penuhi, sungguh nakal rasanya saya.

Dihari yang lain, saya berjumpa kembali dengan ibu yang mengejek saya setelah baru saja selesai membeli lauk di pinggiran jalan.

"Suami saya paling tidak mau makan lauk yang dijual begini. Harus saya yang masak. Bumbunya harus pas. Bukan asal jadi begini." Katanya menunjuk bungkusan lauk yang saya jinjing.

Apakah saya harus mengejeknya juga, seperti ia mengejek "daster" saya?

Penulis: Ismi Marnizar

0 Comments