Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Prestasi Tertinggi Seorang Perempuan Adalah "Pelayan". Benarkah?

Prestasi Tertinggi Seorang Perempuan Adalah "Pelayan". Benarkah?

"Untuk apa ber-IPK tinggi dan lulus Cumlaude, kalau menanak nasi saja tidak bisa?" Begitulah salah satu ejekan yang sering terlontar kepada perempuan. Cerdas di bidang akademik dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial seolah tidak berarti apa-apa jika belum mampu melayani suami dan anak-anak dengan segala pekerjaan domestik rumah tangga. Stereotip ini telah mengakar kuat, mendarah daging dalam kultur kehidupan sehingga prestasi tertinggi bagi mereka yang memiliki anak perempuan adalah menikah, memiliki anak, patuh pada suami. Menguburkan impian dan cita-cita tinggi yang meluap-luap. Mengenyampingkan hobi dan bakat, patuh dalam keterpaksaan dan memberontak dalam diam. 

Ketika perempuan memilih bekerja, beban yang dihadapi justru mengganda. Beban pekerjaan dan beban rumah tangga. Perempuan dianggap durhaka saat prestasi kerja menjulang, sementara pekerjaan rumah keteteran. Padahal siapa yang mewajibkan segala pekerjaan rumah tangga terbeban kepadanya? 

Tidak cukup sampai di situ, perempuan juga diwajibkan untuk tampil menarik di depan suami kalau tidak ingin suaminya tertarik kepada wanita lain. Sementara suami, jangankan mandi, menyikat gigi saja terkadang malas. Seandainya pun ia tertarik pada wanita lain, mana mungkin wanita lain tersebut tertarik padanya? 

Perempuan selalu dianggap makhluk kelas dua yang hanya wajib patuh dan taat. Padahal sabda suami bukanlah suatu kebenaran mutlak. Suami adalah manusia biasa yang sering salah dalam ucapan, perkiraan maupun perbuatan. 

Kita para istri sering kali di suguhi bayangan-bayangan dosa bila tidak taat sehingga tidak berani membantah bahkan sekedar mengemukakan pendapat. Kita merasa berdosa ketika suami pulang bekerja tidak tersedia makanan, padahal sebelumnya kita telah melakukan pahala yang lebih besar, mengantar anak tetangga ke IGD misalnya. 

Ya, begitulah nasib perempuan. Maka perasaan orang tua kedua mempelai sangat berbeda saat menikahkan anaknya. Orang tua dari mempelai laki-laki teramat senang, sudah ada yang melayani anaknya. Semantara orang tua mempelai perempuan senantiasa dibayangi gelisah. Apakah anak saya mampu melayani suaminya dengan baik? Mampukah ia memberikan keturunan? Belum lagi bayangan kekerasan dan penerimaan dari keluarga besan. Lalu bila keluarganya berantakan, tentu yang selalu disalahkan juga pihak perempuan. 

Tulisan ini lahir dari sebuah pernyataan yang terlontar dari mulut anak saya kemarin pagi: "Akak mau jadi Scientist, Mak. Nanti kan, akak mau menciptakan sesuatu yang belum pernah orang temukan."
Bagus, Nak! 

Berdo'alah yang rajin dan belajarlah yang kuat. Sesungguhnya dunia begitu adil bagi laki-laki dan perempuan. 

Kota Sabang, menunggu fajar 

Ismi Marnizar