Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Sultan Dalang penyerangan Kutaraja

Sultan Dalang penyerangan Kutaraja


Sultan Aceh,yang pada waktu itu berkedudukan di Kutaraja(tahanan di kp keudah,red) dianggap oleh Belanda melanggar janji setianya kepada raja Belanda karena haus akan kekuasaan. 

Beberapa ulèebalang serta rakyat menganggap bahwa Sultan adalah pahlawan mereka,dan  karena itu mereka membantu dan mendukungnya. 

Menurut Belanda,atas prakarsa Sultan telah diadakan suatu permufakatan oleh pihak  ulama di hulu Pidie untuk memulai kembali penyerangan secara besar besaran terhadap Belanda.
Dari Kutaraja, Sultan Aceh rupanya masih terus mengadakan hubungan dengan para  pejuang Aceh.

Belanda menuduh bahwa penembakan yang terjadi di Kutaraja pada tahun 1907 dan penyerangan atas Seudu dan Peukan Bada diatur oleh Sultan. 

Belanda kemudian dengan ketetapannya tanggal 24 Desember 1907 membuang Sultan ke Ambon.Ketika Belanda menggeledah tempat kediaman Sultan Muhamad Daud Syah,telah ditemukan surat menyurat yang berhubungan dengan usaha mencari bantuan dari pihak Jepang.

Sejak tanggal 10 Juni 1908, Van Daalen  digantikan oleh Letnan Kolonel H.N.A. Swart, yang sebelumnya menjadi Gubernur Militer dan Sipil di Sulawesi.

Swart terus melakukan pengejaran terhadap para pejuang Aceh yang jumlahnya ditaksir Belanda 5 atau 6 ribu orang lagi,tersebar luas, dan siap untuk mati syahid melawan Belanda. Rupanya pengaruh perang sabil melalui hikayat perang sabil masih tetap membara di dada mereka.

Terutama di daerah daerah Pasè dan Keureutoe tampak kegiatan kegiatan gerilya yang antara lain dipimpin oleh Teungku di Aceh.
Pada permulaan 1908 terdapat kegelisahan dalam masyarakat di sekitar Aceh Utara sehingga sejumlah rakyat mengungsi ke LhökSemawè atau meninggalkan tempat-tempat yang dekat dengan bivak pasukan Belanda sebab pejuang pejuang Aceh di bawah pimpinan Teungku di Paya Baköng dan Teungku di Barat mulai melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Pergolakan-pergolakan di daerah Pidie dihadapi oleh Schmidt dengan pasukan marsosenya. Pada bulan September 1909 Teungku di Buke't dan Teungku Chi' Maye't syahid (keduanya putra Teungku Chi' di Tiro Muhamad Saman). 

Beberapa di antara kekalahan pada pihak  pejuang Aceh ialah berdamainya Teungku Banta dengan 100 orang pengikutnya (Juni 1908) dan Teuku Ben Biang Pidie dengan 160 orang pengikutnya bersama 17 senapan (Juli 1908).

Kendatipun ada kekalahan-kekalahan itu para pejuang Aceh terus juga bertempur sehingga cukup banyak pemimpin yang gugur seperti
Teungku di Kunat (November 1909),Teungku di Reubèe (Desember 1909), Habib Ahmad (Mei  1910), Teungku Saleh,Teungku Kalipah,Teungku Ma'at (Maret 1911), dan Teungku di Barat  (Februari 1912).

Selain itu, karena tekanan senjata Belanda, berdamai pula Teungku di Pidie di Aceh Barat, Keujeurun Pameue (Maret 1911),Habib Musa dan Teungku Mat Aceh (1913).

Penulis: Adi Fa