Fenomena Sage
Tahun 2000 dikenal dengan tahun Milenium, pada saat itu saya berusia 14 tahun. Milenium adalah hitungan per seribu tahun. Milenium ke-1 dihitung dari tahun 1-1000 Masehi. Milenium ke-2 dari tahun 1001-2000 M. Milenium ke-3 dari tahun 2001-3000 M. Artinya sekarang ini kita berada dalam periode Milenium ke-3 berdasarkan hitungan kalender Masehi.
Saya ingat sekali apa yang terjadi pada momen lebaran tahun 2000 itu. Hampir semua orang mengenakan pakaian berwarna abu-abu silver yang mereka sebut dengan Warna Milenium. Berjumpa teman di masjid, berjumpa tetangga, berjumpa penjual jajanan di pasar, berkunjung ke rumah guru-guru, hampir semua orang yang kami temui mengenakan warna milenium. Dan kami bangga karena kekompakan itu seolah sangat menikmati fenomena yang terjadi.
Dan fenomena keseragaman warna kembali terjadi di tahun 2023 ini dengan tren Sage. Warna hijau sage sendiri sebenarnya telah lama ada, kenapa baru sekarang menjadi tren, mungkin karena namanya terdengar keren. Kita kan, suka dengan istilah yang aneh-aneh, istilah-istilah asing yang seolah terkesan kece, padahal warna Sage kalau disederhanakan penyebutannya, menjadi "warna ijo supak" kalau orang Aceh bilang. Dulu ngga ada orang yang suka warna ijo supak, semenjak berubah nama, jadi naik kelas dia. Ada-ada aja.
Dan sekarang banyak teman-teman yang merasa menyesal telah menyiapkan warna sage untuk sarimbit lebaran. Menyesal bukan karena tidak suka dengan warnanya, bukan pula karena seragam se-indonesia raya, tapi menyesal karena komentar-komentar julid dari orang-orang yang (kebetulan) tidak membeli warna Sage. Si julid merasa beruntung. Padahal bisa jadi ketika dia mau beli, warna tersebut habis. Imbasnya adalah teman-teman yang terlanjur memilikinya merasa malu dan tidak jadi bergembira menyambut lebaran.
Ayolah, apa salahnya kita berseragam kompak? Apa salahnya kita terlibat dalam suatu fenomena? Apa salahnya kalau warna pakaian kita sama yang mungkin akan menjadi sejarah dalam dunia fashion? Bahkan negeri Upin Ipin juga tergila-gila sama warna sage tahun ini.
Tak perlu murung, tak perlu menyesal. Saya juga sudah beli. Biarkan Si Julid rugi sendiri karena nama dia tidak tercatat dalam sejarah Fenomena Sage.
Salam ijo supak, ya...
Eh, salam kompak..
Sumber: Facebook Ismi Marnizar
Saya ingat sekali apa yang terjadi pada momen lebaran tahun 2000 itu. Hampir semua orang mengenakan pakaian berwarna abu-abu silver yang mereka sebut dengan Warna Milenium. Berjumpa teman di masjid, berjumpa tetangga, berjumpa penjual jajanan di pasar, berkunjung ke rumah guru-guru, hampir semua orang yang kami temui mengenakan warna milenium. Dan kami bangga karena kekompakan itu seolah sangat menikmati fenomena yang terjadi.
Dan fenomena keseragaman warna kembali terjadi di tahun 2023 ini dengan tren Sage. Warna hijau sage sendiri sebenarnya telah lama ada, kenapa baru sekarang menjadi tren, mungkin karena namanya terdengar keren. Kita kan, suka dengan istilah yang aneh-aneh, istilah-istilah asing yang seolah terkesan kece, padahal warna Sage kalau disederhanakan penyebutannya, menjadi "warna ijo supak" kalau orang Aceh bilang. Dulu ngga ada orang yang suka warna ijo supak, semenjak berubah nama, jadi naik kelas dia. Ada-ada aja.
Dan sekarang banyak teman-teman yang merasa menyesal telah menyiapkan warna sage untuk sarimbit lebaran. Menyesal bukan karena tidak suka dengan warnanya, bukan pula karena seragam se-indonesia raya, tapi menyesal karena komentar-komentar julid dari orang-orang yang (kebetulan) tidak membeli warna Sage. Si julid merasa beruntung. Padahal bisa jadi ketika dia mau beli, warna tersebut habis. Imbasnya adalah teman-teman yang terlanjur memilikinya merasa malu dan tidak jadi bergembira menyambut lebaran.
Ayolah, apa salahnya kita berseragam kompak? Apa salahnya kita terlibat dalam suatu fenomena? Apa salahnya kalau warna pakaian kita sama yang mungkin akan menjadi sejarah dalam dunia fashion? Bahkan negeri Upin Ipin juga tergila-gila sama warna sage tahun ini.
Tak perlu murung, tak perlu menyesal. Saya juga sudah beli. Biarkan Si Julid rugi sendiri karena nama dia tidak tercatat dalam sejarah Fenomena Sage.
Salam ijo supak, ya...
Eh, salam kompak..
Sumber: Facebook Ismi Marnizar