Catatan Kehidupan Masa Lalu, Diantara Desingan Peluru


Catatan Kehidupan Masa Lalu, Diantara Desingan Peluru

Terlahir sebagai anak sulung dari keluarga sederhana. Tak lantas menghalangi Aku mendapatkan pendidikan yang layak. Saat itu suasana di tanak kelahiranku sangat kacau serba tak menentu. Semenjak Aceh diberlakukannya status Darurat Militer oleh pemerintah pusat. Kehidupan kami semakin terjepit. Perekonomian yang kian sulit membuat hidup kami bertambah morat-marit. Akhirnya, hal inilah yang membuat keluarga kami harus terpisah. Ayah bekerja sebagai supir angkutan truk antar-provinsi memutuskan mencari rezeki di Medan.


Gesekan yang terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah. Menimbulkan kontak senjata dimana-mana. Nanggroe semakin tak aman. Mengantisipasi Adik lelakiku bergabung dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka atau menjadi korban salah tangkap. Ayah memutuskan membawanya ikut serta ke kota yang terkenal dengan kemegahan kerajaan Melayu Deli. Saat itu tinggallah Aku, Mamak, Adik perempuan beserta Nenek.

Pada masa itu, banyak perempuan yang harus pasrah ditinggal. Mereka "dipaksa" merelakan lelakinya diambil dan tak pernah kembali lagi. Bahkan hebatnya perempuan di masa itu menjadi malaikat pelindung bagi keluarga. Tak ayal masa konflik melahirkan perempuan-perempuan gagah. Bukan gagah dalam arti kata kekar berotot. Tapi mereka siap masuk hutan untuk sekedar mengambil jenazah lelakinya.

Penebangan pohon-pohon dipinggir jalan bahkan pembakaran sekolah yang dilakukan orang tak dikenal. Menimbulkan kerusakan yang menyebabkan banyaknya pelajar yang tak dapat bersekolah. Bersyukur sekolahku yang berada dekat pusat kabupaten selamat dari pembakaran OTK tersebut. Kondisi ini lagi-lagi membuatku kesulitan pergi ke sekolah. Jarak antara rumah dan sekolah berkisar 8 Km. Melihat kondisi yang semakin tak menentu, Mamak memintaku untuk tinggal bersama dengan Bunda Lina. Setelah pindah pun, kesulitan sepertinya tak kunjung pergi dari kehidupanku.

Kericuhan yang terjadi membuat masyarakat enggan melakukan aktifitas diluar ruangan. Mereka lebih memilih berdiam diri di dalam rumah. Tak ada satu pun kenderaan yang beroperasi. Dimana dulunya aku masih bisa berangkat ke sekolah dengan menumpangi Labi-labi (Red: Angkutan umum yang ada di Aceh). Hal ini mengharuskan Aku berjalan kaki dari perumahan BTN ke salah satu SMA yang berada di Cot Gapu.

Rutinitas tersebut kulakukan dengan penuh keiklasan. Aku tak mau menyerah pada konflik yang terjadi di Aceh saat itu. Terkadang heran dengan pihak-pihak yang bertikai. Saling melakukan pembenaran terhadap apa yang mereka lakukan. Tanpa mereka sadari tindakan tersebut malah menimbulkan banyak korban jiwa dari pihak sipil yang seharusnya mendapatkan perlindungan.

Ditempat berbeda, Mamak selalu dirundung kekhawatiran memikirkan nasib anak-suami yang tak berada disisi. Strok ringan yang diderita menambah kegundahannya. Beliau hanya bisa berserah pada yang maha kuasa, sembari berharap keajaiban dari Allah terhadap kedamaian di Tanoh Serambi Mekah.

Oleh karena itu ketika peristiwa penandatangan MoU yang dimotori oleh sebuah organisasi di bawah pimpinan Martti Ahtisaari Crisis Management Initiative (CMI) disambut gembira oleh seluruh masyarakat Aceh. Meskipun pada saat itu, banyak yang menanggapi dingin Sebab sebelumnya pada masa permerintahan Megawati Soekarno Putri pernah diadakan perundingan serupa. Tetapi pada saat itu gagal total. Bahkan konflik bersenjata semakin tajam antara GAM dan Pemerintahan RI.

Efek dari kondusifnya situasi dan kondisi keamanan di Aceh aktivitas masyarakat semakin terlihat. Denyut kehidupan semakin normal. Aktivitas ibadah di mesjid-mesjid dan meunasah-meunasah kelihatan semakin mantap dibandingkan pada masa lalu. Begitupun warung-warung kopi tempat kebanyakan masyarakat berinteraksi sesamanya sambil minum kopi sudah buka sampai larut malam bahkan ada yang sampai pagi. Hal yang jarang ditemukan pada masa konflik terutama di daerah yang rawan.

Penulis : Dian Andayani (Alumni SMP Negeri 1 Juli)

0 Comments