HUKUMAN FISIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
HUKUMAN FISIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Pelaksanaan hukuman fisik mempunyai hikmah dan tujuan tersendiri. Menurut Islam, hukuman terhadap yang melakukan pelanggaran mempunyai tujuan pendidikan. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Hajar bahwa Pemberian hukuman dalam Islam adalah sebagai tuntunan dan bimbingan dan bukan sebagai hardikan atau balas dendam[1].
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pemberian hukuman fisik adalah untuk tuntunan dan bimbingan supaya yang telah melakukan pelanggaran atau yang bersalah mau menyadari atau menginsafi perbuatan yang telah dikerjakannya. Dengan adanya suatu kesadaran tersebut akan tercipta proses belajar yang baik, apabila pemberian hukuman terhadap semua pelaku pelanggaran dan kejahatan telah dilaksanakan dengan baik.
Pemberian hukuman bukanlah suatu balas dendam dari seorang pendidik kepada anak didiknya, tetapi pemberian hukuman dalam arti luas dapat dipahami adalah untuk memperbaiki dan sekaligus sebagai pendidikan bagi anak didik. Dengan ada nya pemberian hukuman terhadap anak didik di sekolah ataupun anak dalam lingkungan keluarga yang melakukan pelanggaran maka jiwanya akan terdidik untuk tidak lagi melakukan pelanggaran. Dan pendidik hendaknya bijaksana dalam menggunakan cara hukuman yang sesuai, tidak bertentangan dengan tingkat kecerdasan anak, pendidikan, dan pembawaannya. Di samping itu, hendaknya ia tidak segera menggunakan hukuman, kecuali setelah menggunakan cara-cara lain. Hukuman adalah cara yang paling akhir.
Secara umum pemberian hukuman adalah untuk membersihkan kesalahan seseorang yang telah melakukan pelanggaran, serta menghambat orang lain, baik individu maupun kelompok untuk melakukan aksi pelanggaran dan kejahatan yang dapat mengakibatkan kerugian dipihak pelaku pelanggaran sendiri dan orang lain pada umumnya.
Di samping itu pemberian hukuman juga bertujuan untuk menjaga ketertiban umum dan mendidik masyarakat secara keseluruhan bahwa segala bentuk perbuatan yang merugikan orang atau pihak lain dan menyimpang dari norma-norma yang berlaku akan dikenakan suatu hukuman yang setimpal.
A. Deskripsi Umum tentang Hukuman Fisik Dalam Islam
Dalam Islam ada beberapa jenis hukuman fisik, dan pelaksanaan hukumannya juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pelaksanaan hukuman tersebut mempunyai cara tertentu dan tergantung pada keadaan baik pelaku maupun tingkat pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya.
Jenis-jenis hukuman fisik tersebut antara lain adalah hudud. Salah satu jenis hukuman fisik adalah hudud. Kata hudud bentuk jamak dari kata hadd. Adapun istilah menurut syara : Hadd adalah pemberian hukuman dalam rangka hak Allah[2]. kesalahan-kesalahan yang dikenakan hukuman hadd adalah kesalahan-kesalahan yang terdiri dari Berzina, menuduh, mencuri, mabuk, mengacau, murtad dan memberontak[3].
Terhadap pelaku dalam masalah ini dikenakan hukuman fisik sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya :
1. Hukuman rajam.
Hukuman fisik jenis ini dikenakan bagi mereka yang melakukan zina jika keduanya adalah janda dan duda, maka hukumannya adalah rajam. Hal ini sebagaimana ketentuan hukum yang diterangkan dalam firman Allah SWT :
Artinya:
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya), kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, kurunglah mereka (wanita-wanita itu) sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya". (An-Nisa' :15).[4]
Pada ayat lain Allah SWT, berfirman tentang hukuman zina dan merupakan jawaban dari ayat di atas tadi, yaitu Allah memberikan jalan lain kepada mereka yang berada dalam kurungan dan ayat tersebut adalah :
Artinya:
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman". (An-Nur : 2).[5]
Dengan demikian, Islam mengakui adanya hukuman fisik dalam bentuk rajam, yang dikenakan bagi orang-orang yang melakukan hubungan luar nikah. Beratnya hukuman fisik ini dimaksudkan untuk memberi pelajaran bagi pelakunya agar tidak lagi melakukan perbuatan zina.
2. Hukuman potong tangan.
Hukuman fisik jenis ini dikenakan terhadap pencuri. Adapun firman Allah tentang hal tersebut adalah sebagai berikut :
Artinya:
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (Al Ma-idah : 38).[6]
Pada ayat lain Allah berfirman bahwa bagi orang yang membuat kerusakan di muka bumi di kenakan hukuman mati atau disalib ataupun dipotong tangan atau kakinya secara silang atau diusir, firman allah SWT :
Artinya:
"Sesungguhnya pembelaan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan atau kaki mereka dengan bertimpal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka mendapat siksaan yang besar". (Al-Ma-idah : 33).[7]
Adanya hukuman fisik yang berat bagi pencuri dimaksudkan agar menyadarkan si pelaku agar tidak lagi mencuri, karena merugikan orang lain dan mengurangi semangat bekerja dan berusaha.
3. Hukuman dera.
Hukuman fisik jenis ini dikenakan bagi pemabuk berupa delapan puluh atau empat puluh pukulan. Hal ini seirama dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim adalah sebagai berikut :
Artinya:
"Dari 'Ali, ra. : Rasulullah Saw : Rasulullah telah menghukum empat puluh kali pukulan, Abu Bakar juga empat puluh kali pukulan dan Umar delapan puluh kali pukulan, dan semua itu adalah sunnah dan hukuman ini (empat puluh kali pukulan) adalah hukuman yang lebih saya sukai". (HR. Muslim).[8]
4. Hukumuan Qisas
Hukuman fisik jenis qishash ini dimaksudkan untuk menyadarkan sipelaku agar tidak melakukan pembunuhan. Adapun dasar hukuman qishash atau memberi amnesti adalah bersumber dari firman Allah SWT bunyinya adalah sebagai berikut :
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita, maka barang siapa yang dapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang amat pedih". (Al-Baqarah : 178).[9]
Dari ayat di atas jelas bahwa hukuman qishash telah diwajibkan atas orang-orang yang beriman yang telah melakukan pembunuhan sesama dengan orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita, kecuali bagi barang siapa yang telah mendapat ampunan dari saudaranya.
Selanjutnya dalam sabda Rasulullah SAW juga dijelaskan pula masalah hak wali untuk membalas atau memberi hukuman kepada orang yang telah membunuh saudaranya, adapun bunyi hadits tersebut adalah sebagai berikut :
Artinya:
"Dari Abi Hurairah, ra. Berkata : Bersabda Rasulullah SAW : Barang siapa terbunuh saudaranya, maka ia boleh memilih diantara salah satu di antara kedua alternatif, apakah ia meminta tebusan atau menuntut. (HR. Turmuzi).[10]
Jadi dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang memberi ampunan terhadap pelaku pembunuhan seseorang adalah walinya (wali yang terbunuh).
5. Hukuman Tazir
Hukuman fisik jenis tazir merupakan tindakan edukatif terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi hadd dan kifaratnya. Hakim yang dimaksud di sini adalah orang yang menerapkan hukum-hukum Islam, melaksanakan hukuman-hukuman haddnya dan mengikat dirinya dengan ajaran-ajaran Islam.
Adapun hukuman tazir adalah hukuman dalam bentuk kurungan (penjara) terhadap pelaku tuduhan palsu. Ini adalah hukuman pada asal mula disyariatkan hukuman tazir, yang diterapkan oleh Nabi SAW. Akan tetapi hukuman kurungan seperti yang dilakukan oleh Nabi SAW. Tadi adalah sebagai tindakan preventif sampai perkara menjadi jelas.
B. Hukuman Fisik dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Anak
Hukuman fisik dapat juga disebut dengan kata iqab. Secara kata bahasa kata iqabberakar dari kata yang terdiri dari huruf ?-?-?yang artinya menggiring, menggantikan efek dan bekas.[11] Kata ini mempunyai tendensi kepada siksaan atau azab seperti halnya kata 'uqubah dan mu'aqabah.[12].
Dengan memahami makna dasar dari kata hukuman fisik atau 'iqab dan pemakaiannya dalam ayat al-Qur'an seperti pada surat Al-Hajj ayat 60 dapat dipahami bahwa efek yang diganti itu bisa jadi sama, ini berarti bahwa hukuman dalam al-Qur'an ada yang bersifat telah ditentukan, pasti dan mesti mengikuti apa yang telah di tetapkan. Hukuman seperti ini ditemukan dalam makna qisas pada surat al-Maidah ayat 33 sebagai berikut :
Artinya:
"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau di salib, atau di potong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya) yang demikian itu sebagai suatu penghinaan buat mereka didunia, dan diakhirat mereka beroleh siksaan yang besar" (QS. Al-Maidah : 33)[13].
Dapat dilihat bahwa hukuman bagi orang yang menentang Rasul dan membuat kerusakan di bumi ini telah ditetapkan dan tidak boleh diganti kecuali hanya memilih alternatif yang ada dalam ayat tersebut.
Adapun hukuman dalam dunia pendidikan tergolong dalam jenis hukuman yang bersifat tidak tentu atau pasti. Bentuknya dapat dipilih atas dasar kebijaksanaan dan pertimbangan yang berhak melakukankannya, sebagaimana di jelaskan dalam surat ali-Imran ayat : 137 sebagai berikut :
Artinya :
"Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan" (QS. Ali-Imran: 137).[14]
Dari ayat tersebut dapat diperoleh suatu jenis hukuman lain yang bersifat tidak pasti dan tidak tentu, bentuknya dapat dipilih.
Abdullah 'Ulwan[15]menyatakan bahwa pemberian hukuman dalam Islam bertujuan memelihara kebutuhan-kebutuhan asasi yang harus dipenuhi manusia, yaitu:
1. Memelihara agama.
2. Memelihara jiwa
3. Memelihara nama baik
4. Memelihara akal
5. Memelihara harta benda.
Dengan demikian, hukuman fisik itu diberikan bukan atas dasar balas dendam dan emosional tetapi didasari oleh rasa kasih sayang yang tulus dan penuh pengertian, sehingga anak menyadari kesalahannya. Prinsip tersebut mendapatkan perhatian dalam al-Qur'an sebagimana termaktub dalam surat An-Nahl ayat 126.
Artinya :
"Jika kamu memberi balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar". (QS. An-Nahl: 126)[16]
Al-Alusi [17] dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat di atas menunjukkan adanya larangan melakukan pembalasan dalam menghukum seseorang. Bersikap sabar dalam hal ini lebih dianjurkan. Namun demikian, bersikap sabar disini bukan berarti pasrah dan menerima begitu saja perlakuan seseorang melainkan bersikap hati-hati dan bijaksana serta penuh perhatian dan pemikiran dalam mengambil suatu keputusan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-A'raf : 167
Artinya :
"Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaannya. Dan sesungguhnya Dia adalah maha pengampun lagi maha penyayang". (QS.Al-A'raf : 167)[18]
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa eksistensi Tuhan sebagai penghukum dan pengampun adalah sama. Ini menunjukkan bahwa hukuman fisik itu harus duluan diberikan kepada anak sebagai balasan atas kesalahannya. Anak bisa diperbaiki tingkah lakunya dengan kasih sayang, dan itu sendiri dianjurkan oleh Rasulullah dalam sabdanya : [19]
Artinya :
"Telah berkata kepada 'Abdullah, telah berkata kepada ku bapakku, telah berkata kepada 'Utsman bin Muhammad dan saya mendengarkan dari 'Utsman bin Muhammad telah berkata kepada Jarir bin Layts dan 'Abdul Mulk bin Sa'id bin Jubair dari ibn 'Akramah dari ibn 'Abbas yang dirafakan kepada Nabi Muhammad SAW bersabda: "Bukan dari golongan kami, barang siapa yang belum menghormati orang dewasa dan tidak menyayangi anak kecil, serta tidak menyuruh kepada kebaikan dan tidak mencegah kemungkaran"(HR. Ahmad).
Dalam konteks tersebut, Ibnu Sina sebagaimana dikutip oleh Ali al-Jumbulati[20]menyatakan bahwa kewajiban pertama bagi orang tua adalah mendidik anak dengan sopan santun, membiasakan dengan perbuatan yang terpuji sejak mulai di sapih, sebelum kebiasaan jelek mempengaruhinya. Selain itu, hukuman fisik yang diberikan hendaklah dengan porsi yang cukup dan penuh kebijaksanaan, karena sikap yang demikian itu akan menciptakan tingkah laku anak yang baik.
Adapun tujuan lain dari pemberian hukuman fisik terhadap anak dalam pendidikan Islam dapat merujuk pada ayat 10 dari surah Ar-Rum.
Artinya :
"Kemudian, akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya".[21] (QS. Ar-Rum : 10)
Ayat ini secara implisit mengungkapkan bahwa pemberian hukuman dimaksudkan agar anak yang melakukan pelanggaran atau berbuat tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku, merasakan betapa pedihnya hukuman itu, sehingga mereka sadar dan patuh pada norma-norma tersebut. Ayat ini dipertegas kembali dengan firman-Nya dalam QS al-An'am : 42.
Artinya :
"Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian kami siksa mereka dengan menimpakan kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka merendahkan diri". (QS. Al-An'am : 42).[22]
Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa pemberian hukuman yang bertujuan agar anak sadar dan patuh terhadap norma-norma yang ditetapkan, baru dapat dilaksanakan jika anak telah memperoleh penjelasan-penjelasan tentang norma-norma yang harus ia taati. Menurut Jhon Dewey sebagaimana yang dikutip oleh Ali Jumbulati [23], agar sikap patuh bisa bertahan, maka perlu adanya pembiasaan melalui perbuatan yang berproses yang mengandung keutamaan-keutamaan sebagai contoh kongkrit yang telah diberikan oleh Rasulullah dalam pembiasaan shalat bagi anak, sebagaimana sabdanya.
Artinya :
"Dari Umar bin Syuaib, dari bapaknya, ia berkata Rasulullah saw, bersabda : "Suruhlah anak-anakmu shalat waktu berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika meningaglkannya di waktu berumur sepuluh tahun, dan pisahkan lah tempat tidur mereka." (HR. Abu Daud)[24]
Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasul dalam membiasakan anak untuk rajin shalat melalui tiga tahapan :
1. Tahap pemberian contoh dari orang tua, yaitu anak sebelum berusia tujuh tahun.
2. Tahap perintah untuk melaksanakan shalat, ketika ia berumur tujuh tahun.
3. Tahap pemberian hukuman bila ia melalaikannya, ketika ia berumur sepuluh tahun.
Dengan adanya sikap patuh dari anak terhadap norma-norma yang berlaku, lebih lanjut diharapkan anak tidak mau melanggar dan mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang pernah ia perbuat. Dalam QS. An-Nur : 17 dinyatakan :
Artinya :
"Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama lamanya jika kamu orang-orang yang beriman" (QS. An-Nur : 17)[25]
Dalam persepsi Abdullah[26] anak yang sudah sadar atas kesalahan dan berakhlak baik menandakan bahwa pemberian hukuman itu berhasil. Untuk itu menurutnya anak harus kembali diperlakukan dengan lemah lembut. Tujuan tersebut akan dicapai, bila orang tua dalam memberikan hukuman memperhatikan tiga hal berikut ini :
1. Hukuman harus dirasakan oleh yang diawali sebagai larangan, membahayakan dan tidak diinginkan.
2. Hukuman harus cukup aversif agar menghasilkan eliminasi/hilangnya prilaku yang tidak diinginkan.
3. Yang diawali masih terkunci dalam hubungan karena tergantung pada orang tua untuk menyediakan apa yang dibutuhkan.[27]
Penerapan hukuman fisik terhadap anak sebagai usaha paedagogis dalam aplikasinya mempunyai pengaruh terhadap pendidikan dan pembinaan kepribadian anak. Pembinaan tersebut menuntut orang tua agar memahami betul hukum-hukum dasar perkembangan anak, demi keberhasilan usahanya.
Perlunya mengaksentuasikan bahasan ini karena kepribadian adalah milik seseorang yang paling berharga dan memberi ciri khas kepada dan menentukan keunikan setiap orang. Dalam kepribadian setiap orang tersembunyi potensi-potensi untuk dikembangkan dan digunakan dalam hidupnya. Kepribadian seseorang itu tidak hanya dibawa dari sejak kecil, tetapi ia juga tumbuh dan berkembang dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Meskipun semua orang mempunyai kepribadian, akan tetapi tidak semuanya memiliki watak atau karakter, yang terbentuk karena pembawaan dan pengaruh lingkungan. Kepribadian itu bisa mencakup atas merangkum aspek temperamen dan watak seseorang.[28]Bagi All Port sebagaimana dikutip Alisuf [29]kepribadian itu adalah "organisasi atau susunan yang dinamis dari pada sistim psikofisik dalam diri individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang khas terhadap lingkungannya".
Hakikat kepribadian "jiwa yang tenang" sebagaimana kepribadian yang lain tidak statis tetapi dinamis. Untuk itu, agar kepribadian tersebut lebih lebih dominan dalam diri anak, orang tua dituntut senantiasa memperhatikan faktor ekstern, faktor lingkungan baik yang hidup maupun yang mati seperti sikap orang tua, suasana keluarga dan bentuk rumah, dan faktor intern, baik yang bersifat kejiwaan atau kebutuhan kejiwaaan berwujud pikiran, perasaan dan sebagainya. Keadaan jasmani berwujud susunan saraf, panjang dan pendeknya tubuh dan sebagainya. Perlunya perhatian tersebut karena kedua faktor itu mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak pada masa selanjutnya.
Dalam psikologi perkembangan, belum disepakati faktor manakah yang lebih dominan. Kaum nativistik berpendapat bahwa kepribadian itu semata-mata ditentukan oleh unsur pembawaan. Berbeda dengan kaum empiristik berpendapat bahwa perkembangan kepribadian keseganan itu, kebanyakan orang mesti dipaksa, diawasi, diarahkan dan diancam atau dibujuk dengan hukuman agar mereka mengeluarkan tenaga secukupnya untuk mau dan dapat bertindak sesuai dengan yang berkehendaki.
Kepribadian sebagai salah satu goal dalam penerapan hukuman dalam tipologi Carl Jung, seorang psikoanalisa dari Swiss, terbagi menjadi dua tipe, yaitu apa yang disebut Introvertion dan Exstroversion (dikenal juga TermatipeIntrovert dan Ekstrovert).[30]
Orang yang introvert lebih banyak dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia didalam dirinya sendiri, pikiran, perasaan dan tindakan-tindakannya sangat subjektif, sehingga penyesuaiannya dengan dunia luar kurang baik, jiwanya tertutup, sukar bergaul, sukar berhubungan dan orang lain, kurang dapat menarik hati orang lain.
C. Bentuk Hukuman Fisik Dalam Pendidikan Islam
Bentuk hukuman yang dapat diterapkan dalam mendidik anak dalam berdasarkan al-Quran, akan diperoleh bentuk yang sangat bervariasi, seperti dera seratus kali bagi orang yang berzina, potong tangan bagi yang mencari, diasingkan dari kampungnya bagi penzina dan seterusnya. Bila bentuk yang bermacam-macam itu diklasifikasikan akan diperoleh dua bentuk utama yaitu hukuman jasmaniah dan hukuman rohaniah. Contoh hukuman jasmaniah seperti yang terdapat dalam QS. al-Maidah ayat 33. Sedangkan contoh hukuman rohaniah seperti terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 10.
Ditinjau dari masa atau kapan hukuman itu diberikan, bagi Schaefer[31]ada tiga bentuk hukuman yang dapat dipergunakan sesudah dilakukannya suatu perbuatan salah oleh si anak yaitu:
1. Membuat anak itu melakukan suatu perbuatan yang tidak menyenangkan.
2. Mencabut dari anak tersebut sesuatu kegemarannya atau sesuatu kesempatan yang menggembirakannya.
3. Menimpakan kesakitan berbentuk kejiwaan dan jasmani terhadap anak.
Disamping itu, peringatan atau teguran dan hal yang serupa merupakan bentuk hukuman yang dapat diterapkan sebelum terjadinya suatu kesalahan yang dilakukan anak. Ibnu Sina sebagaimana dikutip oleh Ali Jumbulati[32]menyatakan, jika terpaksa mendidik anak dengan kekerasan, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman terlebih dahulu, jangan menindak anak dengan kekerasan tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan kadang-kadang dengan muka masam.
Dari keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa secara general(umum), hukuman berupa kata-kata teguran misalnya lebih baik dilakukan dari alternatif pilihan lainnya. Tetapi ini tidak bisa diartikan bahwa orang tua mempunyai kebebasan yang mutlak dalam menggunakan kata-kata. Dalam memberi peringatan atau teguran, orang tua tidak boleh menggunakan kata-kata yang mendiskriditkan anak, seperti kata saya jijik melihatmu kata-kata yang sedemikian itu akan menghilangkan paling tidak menjatuhkan harga diri anak dan ia akan kecewa. Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Fathiyah[33]menyatakan bahwa orang tua hendaklah berhati-hati dalam menggunakan hukuman sebagai metode pendidikan, ia tidak boleh berlaku kasar dalam membina mental anak. Begitu juga tidak boleh menyebarluaskan kesalahan mereka, karena hal ini dapat menjadikannya bersikap menentang ataupun mempertahankan dirinya.
Selanjutnya menerapkan bentuk hukuman apa yang akan diberikan kepada anak, orang tua hendaknya harus memperhatikan dua prinsip berikut ini:
1. Hukuman profosional, maksudnya berat atau ringan hukuman itu tergantung kepada bentuk perlanggaran dan frekuensinya. Jadi seorang anak usia tujuh tahun yang memecahkan piring ketika makan, dilarang makan untuk satu hari adalah suatu contoh hukuman yang tidak proposional. Sebab, bertanya hukuman tidak sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya. Bahkan Rasulullah sendiri dalam menyingkapi masalah ini, ia lebih cenderung tidak memberi hukuman apabila frekuensinya masih bisa ditolerir. Dengan alasan bahwa setiap benda itu mempunyai ajal sebagaimana ajalnya manusia.[34]
2. Hukuman diberikan setelah ada penjelasan. Ini berarti menuntut orang tua agar memberikan pendidikan mengenai masalah syariat, adab atau akhlak, sehingga anak mengerti alasan atau argumentasi orangtuanya ketika terpaksa memberikan hukuman atau balasan kepadanya.[35]Hal itu juga telah dipertegas dalam QS. Al-Isra ayat 15.
Artinya:
"Dan sesungguhnya kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul". (Q.S. al-Isra' : 15).
Perlunya penjelasan sebelum pelaksanaan hukuman agar anak lebih berhati-hati dalam bertindak sehingga terhindar dari kesalahan yang mengakibatkan ia terhukum.
D. Urgensi Hukuman Fisik Dalam Pendidikan Islam.
Pelaksanaan hukuman fisik mempunyai urgensi atau kepentingan tersendiri dalam pendidikan Islam. Urgensi hukuman fisik dalam pendidikan Islam dapat dilihat dari adanya syarat-syarat pelaksanaan hukuman. Para ahli telah menentukan syarat hukuman fisik sebagai berikut:
1. Sebelum berumur 10 tahun anak-anak tidak boleh dipukul.
2. Pukulan tidak boleh lebih dari tiga kali, yang dimaksud dengan pukulan di sini adalah lidi atau tongkat kecil bukanlah tongkat besar.
3. Diberikan kesempatan kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang dia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya (menjadi malu).[36]
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa syarat pelaksanaan hukuman terhadap anak adanya suatu batasan, baik dari segi umur yang bersalah maupun hukumannya atau pukulan yang dilaksanakannya. Di samping itu juga diberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan tobat supaya pukulan dapat ditiadakan.
Akibat urgensi hukuman fisik dalam pendidikan Islam, Ramli Maha mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan hukuman badan, di antaranya :
a. Sebelum melaksanakan hukuman, dipelajari terlebih dahulu dengan jelas duduk perkara kesalahan si murid. Dalam hal ini hendaklah guru jangan cepat terpengaruh oleh laporan-laporan yang diterima.
b. Kalau telah jelas anak bersalah, ditempuh cara-cara lain terlebih dahulu seperti teguran-teguran atau nasehat-nasehat, di samping memberikan pengarahan atau bimbingan, jika memang tidak mungkin ditempuh, jika telah terpaksa gunakanlah hukuman sebagai alat terakhir.[37]
c. Apabila menjatuhkan hukuman, hukumlah secara adil dan bijaksana sehingga prinsip individual difference dapat dilaksanakan dalam penerapan hukuman. Yang paling penting lagi, hukuman fisik harus diimbangi dengan nasehat-nasehat sehingga perbaikan dapat tercapai melalui hukuman.
d. Jangan melaksankan hukuman jika guru marah atau sangat emosi, karena tindakan demikian biasanya merugikan bahkan dapat menimbulkan korban di pihak murid.
e. Di samping itu hindarilah berbagai macam hukuman yang tidak baik dilaksnakan, yaitu :
- Hukuman mekanis
- Hukuman badan
- Hukuman yang dapat menggangu emosi
- Hukuman dengan nilai angka
- Hukuman yang motifnya balas dendam.
Akhirnya jika mungkin, jarang-jaranglah menghukum jika tidak mungkin meniadakannya sama sekali. Berilah hukuman seringan-ringannya, dan memberi maaf atas kesalahan murid kadang-kadang lebih efektif dari pada hukuman. Kesemuanya ini tergantung sekali kepada kebijaksanaan dan kepribadian guru.[38]
M. Ngalim Purwanto, mengemukakan syarat-syarat pelaksanaan hukuman fisik dalam pendidikan sebagai berikut :
a. Tiap-tiap hukuman hendaklah dapat dipertanggung jawabkan. Ini berarti bahwa hukuman itu tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang, biarpun dalam hal ini seorang guru atau orang tua agak bebas menetapkan hukuman mana yang akan diberikan kepada anak didiknya, tetapi dalam pada itu diikat oleh rasa kasih sayang kita kepada anak-anak, oleh peraturan-peraturan hukum, oleh batas-batas yang ditentukan oleh pendapat umum.
b. Hukuman fisik sedapat-dapatnya bersifat memperbaiki. Yang berarti ia harus mempunyai nilai mendidik (normatif) bagi si terhukum : memperbaiki moral dan kelakuan anak-anak.
c. Hukuman fisik tidak boleh bersifat ancaman atau balas dendam yang bersifat perorangan. Hukuman yang demikian tidak memungkinkan adanya hubungan antara pendidik dan yang dididik.
d. Jangan menghukum di waktu marah, sebab, jika demikian, kemungkinan besar hukuman itu tidak adil, atau terlalu berat.
e. Tiap hukuman harus diberikan secara sadar dan sesudah diperhitungkan atau dipertimbangkan lebih dahulu.
f. Bagi si terhukum (anak), hukuman itu hendaklah dapat dirasakannya sendiri sebagai kedurhakaan atau penderitaanya yang sebenarnya. Karena hukuman itu anak merasa menyesal dan merasa untuk sementara waktu ia kehilangan kasih sayang pendidiknya.[39]
Dengan demikian hukuman fisik merupakan hal urgensi dalam proses pendidikan Islam, sehingga terdapat syarat-syarat pelaksanaan hukuman. Penerapan hukuman fisik mempunyai syarat-syarat yang berhubungan dengan pendidikan. Hal ini menunjukkan hukuman fisik merupakan hal yang urgen dalam pendidikan Islam.
E. Pro dan Kontra Tentang Adanya Hukuman Badan
Banyak pendapat mengenai keberadaan hukuman fisik sebagai salah satu teknik pendidikan. Pendapat yang pro mengatakan bahwa hukuman fisik merupakan salah satu teknik yang efektif dalam pendidikan. Hukuman merupakan salah satu upaya untuk membuat si terhukum menjadi jera dan tidak lagi melakukan perbuatan melanggar hukum. Akan tetapi sebagian pendapat tidak mengakui atau kontra terhadap keberadaan hukuman badan. Hukuman fisik tidak dianggap sebagai salah satu teknik pendidikan. Hukuman fisik lebih terfokus untuk penerapan hukum, tanpa memiliki implikasi pendidikan. Hukuman yang diberikan terhadap anak didik yang bersalah atau yang melakukan pelanggaran bukanlah merupakan balas dendam, tetapi pemberian hukuman benar-benar bertujuan : Untuk memperbaiki watak dan kepribadian anak didik, meskipun hasilnya belum tentu dapat diharapkan.[40]
Bagi kebanyakan ahli pendidikan Islam, diantaranya Ibnu Sina, Al-Abdari dan Ibnu Khaldun melarang pendidik menggunakan metode hukuman kecuali dalam keadaan sangat darurat. Dan hendaknya jangan melakukan pukulan, kecuali setelah mengeluarkan ancaman, peringatan, dan memerintah orang-orang yang disegani untuk mendekatinya, untuk mampu mengubah sikapnya.[41]
Ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya menetapkan bahwa sikap keras yang berlebihan terhadap anak berarti membiasakan anak bersifat penakut, lemah dan lari dari tugas-tugas kehidupan. Antara lain Ibnu Khaldun berkata,[42]"pendidik yang bersifat keras, baik itu terhadap anak didik (murid), hamba sahaya, atau pembantu, maka pendidik itu telah menyempitkan jiwanya dalam hal perkembangan, menghilangkan semangat, menyebabkan malas, dan menyeretnya untuk brerdusta karena takut terhadap tangan-tangan keras dan kejam singgah dimukanya. Hal itu berarti telah mengajarkan anak untuk berbuat makar dan tipu daya yang berkembang menjadi kebinasaannya. Dengan demikian rusaklah makna kemanusiaan yang ada padanya"
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukuman fisik merupakan satu alternatif pendidikan Islam. Imam Abu Hanifah sependapat dengan adanya hukuman fisik berupa hukum rajam bagi penzina.[43]Dengan demikian, sebagian imam mazhab mengakui adanya hukuman fisik sebagai upaya mendidik pribadi muslim.
Pendapat di atas menunjukkan pro terhadap hukuman badan. Bahkan hukuman fisik bisa dilakukan untuk memperbaiki kepribadian anak, karena dengan adanya hukuman, sikap dan kepribadian anak akan terbimbing kearah yang positif. Dengan demikian berarti sudah jelas bahwa pemberian hukuman terhadap anak didik adalah untuk mendidik, karena pemberian hukuman mencakup perbaikan watak dan kepribadian anak didik. Hukuman sebagai alat untuk mendidik bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan dikerjakan oleh pendidik, hal ini karena bisa menimbulkan beberapa akibat seperti dikemukakan oleh beberapa ahli tentang akibatnya dari beberapa teori yang diterapkan, antara lain :
1. Menimbulkan perasaan dendam kepada si terhukum. Ini adalah akibat hukuman yang sewenang-wenang dan tanpa tanggung jawab. Akibat inilah yang harus dihindari oleh pendidik.
2. Menyebabkan anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Inipun akibat yang tidak baik, bukan yang diharapkan oleh si pendidik. Memang biarpun hukuman itu baik kadang-kadang bisa juga menimbulkan hal-hal yang tidak disukai.
3. Memperbaiki tingkah laku si pelanggar, misalnya suka bercakap-cakap di dalam kelas, karena mendapat hukuman, mungkin pada akhirnya berubah juga kelakuannya.
4. Mengakibatkan si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, oleh karena kesalahannya dianggap telah dibayar dengan hukuman yang dideritanya.
5. Akibat lainnya ialah : Memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikannya..[44]
Dari kutipan di atas terlihat beberapa akibat dari penerapan teori hukuman, yang di antaranya ada akibat positif dan negatif, seperti yang tertulis pada poin nomor dua yaitu menyebabkan anak menjadi lebih pandai menyembunyikan kesalahan, ini merupakan suatu akibat yang jelas tidak baik (negatif). Hal ini mengakibatkan adanya pendapat yang pro dan yang kontra terhadap hukuman badan.
Sebagian ulama bukannya tidak mengakui adanya hukuman badan, akan tetapi tidak menganggap hukuman fisik merupakan salah satu teknik pendidikan Islam. Pendapat ini terutama dipegang oleh ulama klasik seperti Abdul Qadir Jailani.
Tanpa adanya suatu sanksi hukuman baik terhadap anak didik di sekolah maupun masyarakat yang telah melakukan kesalahan, maka akan menimbulkan suatu malapetaka yang dapat merusak masa depan anak didik itu sendiri dan masyarakat pada umumnya, hal ini karena hukuman itu merupakan pengontrol dan pengawas masyarakat dari berbagai pelanggaran dan kejahatan yang terjadi.
Secara panjang lebar, Ibnu Khaldun menjelaskan akibat negative yang timbul dari perilaku keras dan kejam terhadap anak. Ibnu Khaldun berkata, "Sesungguhnya siapa saja yang memperlakukan orang lain dengan kekerasan, ia telah menjadikan orang itu sebagai beban orang lain. Karena ia menjadi tidak mampu melindungi kehormatan dan keluarganya karena kekosongan semangat pada saat ia berhenti mencari keutamaan akhlak yang mulia. Dengan demikian, berbaliklah jiwa dari tujuan dan kadar kemanusiaannya."
Tidak adanya konsep khusus dalam pemberian hukuman, tetapi tergantung kepada keadaan anak didik seperti tingkat usia dan pelanggaran yang telah dilakukannya. Setiap hukuman yang diberikan harus adil, maka untuk itu seorang guru/pendidik harus memperhatikan dua hal utama sebagaimana tersebut dalam Didaktik/metodik adalah : Pertama sifat dan beratnya pelanggaran ketertiban misalnya pelanggaran karena kesilapan dan karena sengaja. Kedua keadaan si pelanggar itu, misalnya cara memarahi murid yang biasa berkelakuan baik akan berlainan dengan memarahi murid yang sering melakukan pelanggaran.[45]
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa guru dituntut untuk dapat memperhatikan sifat dan beratnya pelanggaran, serta cara memberi hukuman yang tepat. Ini bertujuan adalah untuk benar-benar dapat membersihkan si pelanggar dari noda kesalahan yang dilakukan. Di samping itu juga dapat mengontrol anak didik lainnya yang belum pernah melakukan pelanggaran dan sekaligus dengan pemberian hukuman tersebut kiranya dapat dijadikan sebagai penghambat bagi teman-temannya yang ingin melakukan pelanggaran.
Dengan mengetahui keutamaan hukuman fisik sebagai salah satu alternatif teknik pendidikan Islam, para guru yang melakukan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan agama lebih terfokus pada penerapan hukuman fisik dalam menerapkan pendidikan kepada anak didik. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan aktivitas pendidikan Islam melalui upaya perbaikan dengan penerapan hukuman fisik.
[1]Ibnu Hajar, Sejarah Pendidikan Umum/Islam, (Darussalam Banda Aceh: Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, 1988), hal. 67.
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 9, Terjemahan: Moh. Nabhan Husain, Cet. I, (Bandung: Al-Maarif, 1984), hal. 13.
[3] Ibid, hal. 13
[4] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang : Asy Syifa', 1999), hal. 118.
[5] Ibid, hal. 543.
[6] Ibid., hal. 165.
[7] Ibid, hal. 164.
[8]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz II, (Bairut: Dar al-Fikr,1993), hal. 117.
[9]Departemen Agama RI., Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pembinaan Kitab Suci Al-Quran, 1986), hal. 43.
[10] Turmizi, Sunan Turmuzi, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 430.
[11]Hans Wehr, a Dictionary of Modern Written Arabic, (London: Mac Donald dan Evans LTD, 1980), hal. 108.
[12]Al-Raghib, al-Isfahani, Mu'jam Mufradat Al fadz al-Qur'an, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), hal. 352.
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang : Asy Syifa', 1989), hal. 164.
[14]Ibid, hal. 98.
[15]Abdullah 'Ulwan, Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam, (Beirut : Dar al-Salam, tt), hal. 753.
[16]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang : Asy Syifa', 1989), hal. 421.
[17]Ali Alusi al-Badadi, Ruh al-Ma'ani, Jilid 10, (Beirut : Dar ihya wa al-Tirats al-'Arabiy, t.th), hal. 225.
[18]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang : Asy Syifa', 1989), hal. 249.
[19]Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), hal. 267.
[20]Ali al-Jumbulati, Dirasah Muqarah fi al-Tarbiyah al-Islamiyah atau Perbandingan Pendidikan Islam, Terjemahan M. Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 157.
[21]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang : Asy Syifa', 1989), hal. 642.
[22]Ibid, hal. 193.
[23]Ali al-Jumbulati, Perbandingan�, hal. 158.
[24]Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz I, (Bandung : Dahlan, tt), hal. 133.
[25]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang : Asy Syifa', 1989), hal. 546.
[26]Abdullah 'Ulwan, Tarbiyah Al-Awlad fi al-Islam, (Beirut : Dar al-Salam, t.t), hal. 768.
[27]Tomas Gordon, Mengajar Anak Berdisiplin Diri di rumah dan di Sekolah, Terjemahan S. Suprayitna dan Amitya Kumara, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal. 32.
[28]Detrus Sardjonoprijo , Psikologi Kepribadian , (Jakarta: Rajawali, 1995), hal. 89.
[29]M. Alisuf Basri , Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), hal. 91.
[30]Ibid, hal. 98.
[31]Charles Schaefer, Bagaimana Membimbing, Mendidik dan Mendisiplinkan Anak Secara Efektif, terjemahan R. Turman Sirait, (Jakarta: Restu Agung, 1997), hal. 105.
[32]Ali al-Jumbulati, Perbandingan�, hal. 124.
[33]Fathiyah Hasan Sulayman, Madzahib al-Tarbiyah, Baths fi al-Madzahib al-tarbawiy 'inda al-Ghazali, (Mesir: Maktabah Nahdlah, 1994), hal.35
[34]Muhammad Fauzil Adhim, Bersikap Terhadap Anak, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), hal. 111.
[35]Ibid, hal. 103.
[36]Mohd. �Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terjemahan: H. Bustami A. Gani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 149
[37]Ramli Maha, Didaktik/Metodik, (Darussalam Banda Aceh: Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, 1983), hal. 86-87.
[38]Ibid, hal. 87.
[39]M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Cet. XVI, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 191-192.
[40]Ibid, hal. 239.
[41]Abdullah Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Terjemahan: Jamaludin Miri LC, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hal. 314.
[42]Ibid, hal. 314.
[43]Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa�, 1995), hal. 620.
[44]Ibid, hal. 240.
[45]Team Pengajar Didaktik/Metodik, Didaktik Metodik, (Darussalam Banda Aceh: Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, 1987), hal. 66.