Berhujjah Dengan Mafhum Mukhalafah
BAB I
P E N D A H U L U AN
A. Latar
Belakang Masalah
Perbedaan penemuan hukum (istinbat
al-ahkam) terjadi akibat beberapa faktor, baik internal maupun eksternal.
Salah satu faktor penyebab perbedaan tersebut, secara internal, adalah
perbedaan metode ulama Usul dalam memahami makna nass, al-Qur’an dan Hadis,
melalui lafaz (turq dilalah al-alfaz).
Ada dua metode (manhaj) yang berkembang tentang lafaz tersebut -
juga dikenal sebagai dua aliran besar dalam Usul al-Fiqh - yaitu, Metode
Hanafiyah dan Metode Mutakallimin yang masing-masing memiliki rumusan
tersendiri. Dengan demikian, perbedaan persepsi dalam penemuan hukum, seperti
telah diungkapkan, terkesan wajar dan dianggap lumrah. Tulisan ini akan
membahas konsep lafaz yang dirumuskan oleh Syafi’iyah dan Jumhur Ulama.
BAB II
P E M B A H A S A N
A. Dilâlah Manthuq
Kalangan ulama
Syafi’iyah[1],
dilâlah lafal nash dibagi kepada dua
macam, yaitu dilâlat
al-mantûq (دلالـة الـمـنطوق) dan dilâlat al-mafhûm (دلالـة
الـمـفـهـوم). Yang dimaksud
dengan dilalat al-mantuq[2]
ialah : “Dilalat mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum
(pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh
lafal.” Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu
ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara
tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ
الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ
الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم
مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم
بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ
إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً) النساء:
٢٣(
Artinya: Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Berdasarkan ayat
ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjuk-kan secara jelas bahwa haram
menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang
sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu ; mantûq
sarih dan mantuq gairu sharih.
- Mantûq Sarih
Menurut Wahbah
Zuhaili[3] yang dimaksud dengan mantûq sharih ialah
penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal
nash. Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di
istilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah[4].
- Mantûq Ghairu Sarih
Mantuq gairu sharih
ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan terbagi menjadi dua macam:
- Penunjukannya itu dimaksud oleh pembicara
a). Dilalah iqtidha’
Dikalangan ulama
Hanafiyah disebut dilalah iqtidha’ atau iqtidha’ al-nash. Yaitu suatu dilâlah
(petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan
kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash. “Diharamkan
atas kamu bangkai, darah dan daging babi…”
Pengertian ayat ini
belum jelas. Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata
dari luar teks. Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau
memanfaatkan darah dan daging babi. Sebab keharaman tanpa hubungan dengan
perbuatan manusia tidak ada manfaatnya.
- Dilalah ima’
“Penyertaan sifat
dengan hukum dalam bentuk seandainya sifat itu bukan yang menjadi ‘illat untuk
hukum tersebut, maka penyertaan itu tidak ada artinya.” Umpamanya sabda Nabi
kepada seorang Arab pedesaan yang melaporkan kepada beliau bahwa ia telah
menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan. Nabi bersabda, “Merdekakanlah
hamba sahaya”. Jadi perbuatan mencampuri istri di siang hari bulan Ramadhan
menjadi illat untuk hukum yang disebutkan.
- Penunjukannya itu tidak dimaksud oleh
pembicara
Hanya terbatas pada
satu bentuk yang disebut “dilalah isyarah” dalam pandangan ulama Hanafiyah.[5]
B. Dilâlah Mafhum
“Penunjukan lafaz
yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak
berlakunya hukum yang disebutkan” Atau defenisi lain: “Apa yang dapat dipahami
dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan” Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah
penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas
pemahaman dibalik yang tersurat.
Contohnya Q.S
al-Isra’ (17): 23:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا
أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا
قَوْلاً كَرِيماً) الإسراء: ٢٣(
Artinya: Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia.( Qs. al-Isra’: 23:)
Hukum yang tersurat
dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar “uf” dan
menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum
yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul
orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
Dilālat al-mafhūm ini dibagi
kepada dua macam:
- mafhūm muwāfaqah
Ialah Penunjukkan
lafal atas suatu ketetapan yang disebutkan oleh nash berlaku pula atas sesuatu
yang tidak disebutkan, karena antara keduanya yang disebutkan dan yang tidak
disebutkan terdapat persamaan ‘illat. Tegasnya, mafhūm muwāfaqah itu
adalah ketentuan hukum atas sesuatu yang tidak disebutkan bersesuaian dengan
ketentuan hukum yang disebutkan oleh nash.
Dari segi kekuatan berlakunya hukum pada apa yang
tidak disebutkan mafhūm muwāfaqah terbagi dua:
a). Mafhūm Aulawi
berlakunya hukum
pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat atau lebih pantas
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkna dalam lafaz.
Contohnya seperti Q.S al-Israa’ (17): 23 di atas: sifat menyakiti dalam
“memukul” lebih kuat dari sifat menyakiti dalam ucapan kasar “uf’.
b). Mafhūm Musawi
Berlakunya hukum
pada peristiwa yang tidak disebutkan dalam manthuq. Contohnya Q.S an-Nisa’(4):
10:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى
ظُلْماً إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَاراً وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً)
النساء: ١٠(
Artinya: Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).( Q.S an-Nisa’: 10).
Manthuq ayat ini
menunjukkan haramnya memakan harta anak yatim secara aniaya. Ada yang tersirat
dibalik manthuq tersebut, yaitu haramnya “membakar” harta anak yatim, karena
“meniadakan harta anak yatim” itu terdapat dalam “memakan” yang juga dalam
“membakar” harta. Jadi, hukum pada yang tersirat kekuatannya sama dengan hukum
pada yang tersurat.
Para ulama sepakat
tentang bolehnya berhujjah dengan mafhum muwafaqah, namun mereka berbeda dalam
hal sandaran hukum yang tidak disebutkan itu.
- Kelompok ulama yang berpendapat bahwa
penemuan hukum yang tidak disebutkan itu adalah semata-mata dari pemahaman
lafaz, bukan melalui qiyas. Alasannya bahwa untuk qiyas tidak
dipersyaratkan adanya alas an hukum pada yang tidak disebutkan harus lebih
serasi dibandingkan dengan alasan pada hukum yang disebutkan.
- Kelompok ulama yang mengatakan berlakunya
hukum pada apa yang tidak disebutkan adalah melalui qiyas. Alasannya bahwa
berlakunya hukum pada kejadian yang tidak disebutkan (tersirat) adalah
karena kesamaan alasan hukum pada hukum yang tersirat dengan hukum yang
tersurat. Hal ini dinamakan ‘illat yang sama dalam kedua alasan hukum tersebut.
c). Mafhūm Mukhālafah.
Ialah penunjukkan
lafal atas sesuatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan merupakan lawan atau
kebalikan dari apa yang disebutkan oleh nash. Disebut dengan mukhlāfah karena
hukum yang tidak disebutkan berlawan dengan hukum yang disebutkan.
Mafhūm mukhālafah ini
terdiri dari lima macam berikut ini:
1) Mafhūm sifat
Menetapkan hukum
yang dikaitkan dengan sifat yang terdapat pada lafal dan menetapkan sebaliknya
bila berlawanan dengan sifat dimaksud. Contohnya, dalam surat An-Nisa’(4): 25:
وَمَن
لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلاً أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ
فَمِن مِّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللّهُ
أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ
أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ
مُسَافِحَاتٍ وَلاَ مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ
بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ
ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَن تَصْبِرُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ
وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ) النساء:
٢٥(
Artinya: Dan
barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu;
sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain , karena itu kawinilah mereka
dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut,
sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula)
wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka
telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji
(zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut
kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan
kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Qs.
An-Nisa’: 25).
Mantuq dari ayat
ini ialah boleh menikahi hamba sahaya mukmin bila tidak mampu menikahi wanita
merdeka mukmin. Mafhūm sifatnya dari ayat ini ialah tidak boleh
menikahi hamba sahaya yang tidak mukmin.
2) Mafhūm syarat
Menetapkan hukum
kebalikan dari yang disebutkan yang dikaitkan dengan syarat. Tegasnya bila
syarat terpenuhi maka berlaku hukum dan bila tidak terpenuhi maka tidak dapat
ditetapkan hukum sebaliknya. Contohnya firman Allah dalam surat al-Thalaq
(65): 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ
وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ
فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ
فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى) الطلاق:
٦(
Artinya: Tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(Qs.
al-Thalaq: 6).
Mantuq ayat ini
menetapkan bahwa wajib memberi nafkah bagi perempuan yang dicerai dengan syarat
bila ia dalam keadaan hamil. Mafhūm syarat ayat ini tidak wajib memberi nafkah pada
isteri yang diceraikan bila ia tidak sedang dalam keadaan hamil.
3) Mafhūm al-gayah/
limit waktu
Menetapkan hukum
yang dikaitkan dengan hinggaan atau limid waktu. Tegasnya, menetapkan lawan
hukum bagi sesuatu yang tidak disebutkan melalui batasan yang terdapat pada
mantuq. Contohnya ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 230:
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ
حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن
يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ
يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ) البقرة:
٢٣(
Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah
talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
(Qs. al-Baqarah:230).
Mantuq ayat ini
ialah tidak boleh menikahi isteri yang telah ditalak tiga sampai ia menikah
dengan laki-laki lain. Mafhūm al-gayahnya bila bekas isteri itu telah menikah
dengan laki-laki lain dan bercerai dengan laki-laki itu serta habis masa
iddahnya, maka ia boleh menikah kembali dengan bekas isterinya tersebut.
4) Mafhūm al-Adad
Penetapan hukum
yang merupakan kebalikan dari ketentuan hukum yang disebutkan dengan dikaitkan
dengan jumlah atau bilangan. Contohnya dalam surat al-Nur (24): 2:
Mantuq ayat ini
adalah wajib hukumnya mencambuk pezina baik laki-laki maupun perempuan sebanyak
seratus kali. Mafhm adadnya ialah tidak sah cambukan terhadap pezina tersebut
bila cambukannya itu lebih atau kurang dari seratus kali.
5) Mafhūm laqab
Menetapkan atau menyebutkan suatu ketentuan hukum atas
suatu nama atau jenis tertentu dan tidak berlakunya hukum itu untuk sebaliknya
(orang lain). Misalnya, dalam Firman Allah surat Ali Imran ayat 97:
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّـنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَن
دَخَلَهُ كَانَ آمِناً وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ
إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ)
آل عمران: ٩٧(
Artinya: Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah . Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.(Qs.
Ali Imran: 97).
Mantuq ayat ini menjelaskan
bahwa mengerjakan haji itu adalah pergi ke baitullah di Makkah al-Mukarramah.
Mafhûm laqabnya adalah tidak sah dan tidak diterima pergi menunaikan haji ke
tempat lain selain ke Baitullah.
C. Berhujjah Dengan Mafhum
Mukhalafah
Di kalangan ulama
sepakat untuk dapat beramal dan berhujah dengan mafhūm sifat,
syarat, adat dan gayah, kecuali mafhūm laqab. Karena menurut mereka mafhūm laqab tidak
mungkin kita menghasilkan ketentuan hukum kebalikannya. Ulama berbeda pendapat
tentang kekuatan hukum yang ditetapkan melalui beberapa bentuk mafhum dalam
kaitannya dengan teks hukum.[6]
1. Jumhur ulama berpendapat
bahwa nash-nash hukum memberi petunjuk tentang hukum atas sesuatu kejadian bila
dikaitkan kepada sifat, syarat, bilangan atau batas waktu, mempunyai kekuatan
untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan atau
batas waktu tersebut. Begitu pula nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam
menetapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat sifat, syarat, bilangan
atau batas waktu yang sudah berlalu. Alasan kalangan jumhur ulama:
a. Yang mudah dipahami dari
ungkapan bahasa Arab dan tradisi penggunaan ‘ibaratnya adalah bahwa mengaitkan
sesuatu dengan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu. Untuk menunjukkan
berlakunya hukum bila terdapat kaitan tersebut ; juga menunjukkan tidak berlakunya
hukum tersebut bila kaitan itu tidak terdapat dalam satu keadan.
b. Kaitan yang terdapat dalam
nash syara’ baik dalam bentuk sifat, syarat, bilangan atau batas waktu,
bukanlah tanpa arti. Ia mempunyai maksud tertentu, yaitu menetapkan hukum dalam
kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan adanya
maksud lain dari kaitan tersebut. Dalam keadaan demikian memang tidak berlaku
mafhm mukhalafah.
2. Kalangan Hanafiyah
berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukkan hukum pada suatu kejadian bila
dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan atau batas waktu maka mempunyai
kekuatan hukum terhadap kejadian yang disebutkan sifat, syarat, bilangan atau
limit waktu itu saja secara manthuq. Adapun nash hukum yang tidak ditemukan
sifat, syarat, bilangan dan batas waktu maka tidak dapat diketahui hukumnya
dari mafhum mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil lain. Hal ini berarti
kita tidak dapat menetapkan hukum apapun hanya melalui mafhûm mukhâlafah saja. Adapun yang menjadi
alasan dari kalangan Hanafiyah adalah:
a. Tidaklah umum dalam ungkapan
bahasa arab bahwa mengaitkan hukum dengan sifat, syarat, bilangan atau limit
waktu berarti menunjukkan berlakunya hukum ketika ada kaitannya itu, dan hukum
tidak berlaku bila kaitan itu tidak ada. Cukup banyak ungkapan bahasa arab yang
dikaitkan dengan salah satu dari kaitan itu (sifat, syarat, bilangan dan limit
waktu) tetapi tidak mengandung daya mahfûm (tersirat). Mantuq ayat ini, larangan riba’ diberi kaitan
dengan sifat berlipat ganda. Meskipun demikian riba’ tetap saja haram sekalipun
dilakukan tidak dengan cara berlipat ganda.
b. Banyak nash syara’ yang
menunjukkan suatu hukum yang diberi kaitan dengan suatu kait, namun hukum itu
tetap saja berlaku meskipun kaitan itu tidak ada. Shalat dalam perjalanan tetap
dapat diqashar meskipun orang yang melakukannya tidak lagi dalam keadaan takut
diserang dalam peperangan, padahal kebolehan qashar shalat itu diberi syarat
kalau takut mendapat serangan dari orang-orang kafir.
Bila mengamalkan
mafhûm mukhâlafah dari ayat ini tentu tidak boleh lagi mengqashar shalat di
waktu tidak ada lagi peperangan. Qashar shalat masih berlaku meskipun
peperangan tidak ada lagi, berarti mafhûm mukhlâfah tidak diamalkan dalam
pemahaman ayat ini.
D. Syarat-Syarat Mafhum
Mukhalafah
Ulama yang
membolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah mengemukakan beberapa syarat
dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Syarat tersebut:
- Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan
dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Yang
disebutkan, hanya kata-kata yang kasar mafhum mukhalafahnya boleh
memukuli. Tetapi mafhum ini berla¬wanan dengan mafhum muwafaqahnya, yaitu
tidak boleh memukuli.
- Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal
yang biasanya terjadi.
- Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan
untuk menguatkan sesuatu keadaan.
- Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri
sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.[7]
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan pembahasn diatas, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:
A.
Kesimpulan
1. Kalangan Ulama Ushul terdapat
perbedaan dalam memahami dan melihat lafal nash dan cara penunjukkan dilalahnya
dalam kaitannya dengan kesimpulan hukum yang akan diambil atau ditetapkan.
Perbedaan ini bukan saja dari segi penyebutan istilah yang digunakan, tetapi
juga mereka berbeda dalam hal pengamalan atau penerapannya.
2. Jika kalangan Hanafi membagi
dilalah lafal nash kepada empat macam bentuk dilâlah, yaitu ; ‘ibârat nash,
isyârat al-nash, dilâlat al-nash dan iqtidlâ’ al-nash, maka kalangan Syafe’i
membaginya kepada dua macam, yaitu ; dilâlat manthûq dan dilâlat mafhûm.
Dilihat mafhûm dibagi pula kepada dua macam yaitu ; mafhûm muwâfaqah dan mafhûm
mukhâlafah. Sebetulnya bila dicermati antara istilah yang digunakan oleh Hanafi
dan Syafe’i, sekalipun berbeda, tetapi dari segi maksudnya ada kesamaannya.
Jika Hanafi menyebut dilâlat ‘ibârat al-nash, maka Syafe’i menyebutnya dengan
dilâlat manthûq.
3. Adapun dilâlat isyârat al-nash, dilâlat al-nash dan iqtidlâ’
al-nash pada dasarnya sama dengan mafhûm. Hanya saja Syafe’i membedakan atau
membagi dilâlat mafhûm kepada muwâfaqah dan ‘mukhâlafah. Terhadap mahfûm
mukhâlafah ini memang terjadi perbedan pendapat antara Hanafi dan Syafe’i,
terutama di dalam kehujahan dan pengamalannya, seperti telah diuraikan di atas.
B.
Saran
– Saran
1.
Disarankan
kepada umat Islam umumnya dan khususnya kepada mahasiswa STAI Almuslim untuk
memperdalam pengkajian ilmu Ushul
Fiqh.
2.
Disarankan
kepada mahasiswa supaya dapat memperbanyak telaah Ushul Fiqh, karena dengan
banyak telaah banyak ilmu yang kita dapatkan.
3.
Disarankan
kepada Mahasiswa/i agar dapat
mengabdikan ilmunya kepada masyarakat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Din Sya’ban,
Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir; Dar al-Ta’lif, 1965.
Wahbah Zuhaili,
Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I, Damaskus; Dar al-Fikr, 1986.
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta; PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
http://ridwan
202.wordpress.com/2008/08/14/mantuq-dan-mafhum-dalam-ilmu-ushul-fiqh/
[2] Ibid., hal. 377.
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta; PT. Logos Wacana
Ilmu, 2001), hal. 145.

Post a Comment for "Berhujjah Dengan Mafhum Mukhalafah"