Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Konsep Pembelaan Dalam Syariat Islam


BAB DUA
KONSEP PEMBELAAN DALAM SYARI'AT ISLAM


A.     Definisi dan Fungsi Advokat Syari�ah
Secara etimologi advokat berasal dari kata advocate, yang artinya penganjur atau penyokong.[1]Sedangkan secara terminologi adalah orang yang melaksanakan tugas advokasi yaitu serangkaian kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memfasilitasi dan memperjuangkan hak-hak maupun kewajiban seorang klien atau kelompok berdasarkan aturan hukum yang berlaku.[2]Akan tepapi menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat diartikan sebagai orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik, di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.[3]
Namun demikian Abdullah Ghofar memberikan definisi advokat adalah �kegiatan advokasi adalah kegiatan atau upaya yang dilakukan oleh seseorang advokat atau penasehat hukum untuk melaksanakan azas kebenaran, persamaan dihadapan hukum, azas fairness (azas kejujuran), azas kepastian berdasarkan hukum guna memperjuangkan hak-hak dan kewajiban pihak yang didampinginya (kliennya) dalam rangka mewujudkan kesetaraan hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak.[4]
Dalam perkembangan dewasa ini, advokat sering disebut sebagai pengacara. Penyebutan istilah tersebut dikarenakan kedua memang bekerja pada lapangan hukum, khususnya legitasi. Perbedaan istilah di antara mereka lebih bersifat dengan kompetensi saja. Dalam hal ini pengacara wilayah bantuan hukum yang ditanganinya adalah satu wilayah pengadilan tinggi, sedangkan advokat meliputi seluruh wilayah Indonesia. Pengacara diangkat dengan keputusan ketua pengadilan tinggi tempat pengacara berpraktek, sedangkan advokat pengangkatannya dilakukan oleh Menteri kehakiman dan HAM.
Melihat perkembangan selanjutnya, pada dasarnya advokat memiliki fungsi sebagai penasehat hukum atau advokat adalah untuk memberikan opini, serta nasehat dalam rangka menjauhkan klien dari konflik. Karena itu dalam beracara di pengadilan fungsi advokat sangat penting kedudukannya dalam rangka mengajukan fakta dan pertimbangan yang ada sangkut pautnya dengan klien yang dibelanya dalam suatu perkara.[5]Sehingga memungkinkan hakim untuk memberikan putusan yang adil.
Sehubungan dengan fungsi yang diembannya ini, advokat harus selalu teguh kepada usaha untuk merealisasi keterlibatan dan kepastian hukum untuk memberikan putusan yang berkeadilan.[6]Dalam hal ini melalui jasa hukum yang diberikan dalam rangka menyelesaikan sengketa, advokat menjalankan fungsinya demi tegaknya kebenaran dan keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk juga memberdayakan masyarakat menyadari hak-hak mereka di depan hukum.[7]
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami, bahwa fungsi advokat dalam menyelesaikan sengketa memegang peranan penting dalam merealisasikan jalannya hukum yang berkeadilan guna memperjuangkan hak-hak dan kewajiban pihak-pihak yang didampingi dalam rangka mewujudkan kesetaraan hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Dalam hal ini Allah SWT. berfirman dalam surat al-Maidah ayat 8 sebagai berikut:
?????? ?????? ????? ????? ?????? ??? ????? ??????? ??? ??? ???? ????? ??? ??? ??? ??????? ?????? ?? ???? ??????? ?????? ????? ?? ???? ???? ??? ?????? (???????: ?)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q. S. al-Maidah: 8)

Berdasarkan keterangan ayat di atas maka dapat dipahami dengan jelas, bahwa seorang petugas pengadilan dianjurkan untuk menyelenggarakan peradilan sesuai dengan ketentuan Syari'at Islam. Salah satu ketentuan Syari'at Islam adalah mengadili seseorang dengan seadil-adilnya. Di sini peran advokat sangat penting dalam memberikan keadilan hukum kepada seorang terdakwa, karena advokat merupakan salah satu lembaga bantuan hukum yang berperan sebagai pengawas keadilan sebuah hukum.
Di sisi lain, selain dalam proses pengadilan, fungsi dan peran advokat juga terlihat dijalur profesi di luar pengadilan.[8]Sehubungan dengan kebutuhan jasa hukum advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi dan sebagainya, profesi advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kegiatan pelayanan hukum oleh advokat selama ini tidak saja memberikan bantuan hukum dalam proses pengadilan, baik sebagai pembela maupun sebagai kuasa pihak, tetapi juga sebagai konsultan hukum di luar proses peradilan, seperti konsultan kepada mereka yang bergerak dalam bidang dunia usaha.

B.     Persyaratan Advokat Syari�ah
          Advokat merupakan  salah satu dari catur wangsa penegak hukum yang berupaya menegakkan kebenaran, keadilan, dan persamaan di muka hukum dengan memfasilitasi seorang klien dalam suatu proses peradilan hukum. Dengan demikian, agar terlaksananya penegakan hukum yang berkredibilitas dalam suatu proses peradilan, profesi advokat tentunya memiliki aturan-aturan atau syarat-syarat tertentu agar bisa mempertanggungjawabkan profesinya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, pasal 3 disebutkan syarat-syarat untuk bisa menjadi advokat antara lain:
(1)   Untuk dapat diangkat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.    Warga Negara Republik Indonesia
b.   Bertempat tinggal di Indonesia
c.    Tidak berstatus pegawai negeri atau pejabat negara
d.   Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun
e.    Berijazah sarjana yang berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
f.    Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi Advokat
g.    Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor advokat.
h.   Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak kriminal pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
i.     Berprilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil dan mempunyai integritas yang tinggi.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tersebut di atas, dapat diketahui bahwa syarat-syarat untuk dapat menjadi advokat antara lain adalah harus warga negara Indonesia dan bertempat tinggal di dalam negeri. Sehubungan dengan ini, dalam penjelasan Pasal 3 Undang-Undang ini disebutkann bahwa yang dimaksud dengan �bertempat tinggal di Indonesia� adalah bahwa pada waktu seseorang diangkat menjadi advokat, orang tersebut harus bertempat tinggal di Indonesia.[9]Lebih lanjut persyaratan ini tidak mengurangi kebebasan seseorang setelah diangkat menjadi advokat untuk bertempat tinggal di manapun, baik di dalam maupun di luar negeri.
Pada sisi lain, syarat menjadi advokat juga tidak dapat bertugas sebagai Pegawai Negeri Sipil dan tidak pernah dipidana karena telah melakukan kejahatan. Hal ini mengindikasikan bahwa Pegawai Negeri Sipil dan orang yang telah pernah melakukan kejahatan tidak bisa menjadi advokat.
Dari Pasal 3 di atas juga dapat dipahami, bahwa syarat menjadi advokat adalah harus berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum dan telah lulus ujian yang diselenggarakan oleh lembaga advokat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum adalah lulusan Fakultas Hukum, Fakultas Syari�ah, Perguruan Tinggi Militer, dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Dengan demikian, maka dapat dipahami pula bahwa dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ini, setiap lulusan pendidikan tinggi hukum dapat menjadi advokat, baik lulusan Fakultas Syari�ah maupun lulusan Perguruan Tinggi ilmu hukum lainnya. Hal ini bila dilihat dalam sejarah profesi advokat sebelumnya sangat bertolak belakang (dalam arti lulusan Fakultas Syari�ah tidak dapat menjadi advokat), sebagaimana terdapat di dalam pasal 185-186 RO dimana disebutkan, bahwa syarat-syarat advokat adalah harus Warga Negara Republik Indonesia dan lulus dengan prestasi baik, berijazah master in de rechten (Sarjana Hukum) dari Universitas Negeri Belanda, Recht Hoge School di Jakarta atau Universitas Negeri lainnya dalam bidang hukum.[10]
Di sisi lain, untuk menjadi advokat juga harus telah lulus dari ujian sebagaimana diselenggarakan oleh lembaga advokat. Sehubungan dengan lembaga advokat ini, dalam Pasal 32 ayat (13) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003, disebutkan bahwa �Organisasi advokat terdiri dari Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan sebagainya�.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa syarat-syarat untuk dapat berprofesi sebagai advokat telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2003 sebagaimana telah penulis uraikan di atas. Namun demikian, menurut Islam persyaratan advokat syari�ah dapat dikualifikasikan sebagai berikut:
1.  Memahami hukum Islam secara benar dan lengkap
Memahami hukum Islam secara lengkap merupakan salah satu persyaratan terpenting untuk menjadi advokat syari�ah. Sebab tanpa memahami hukum Islam, tidak mungkin seorang advokat dapat membela kliennya dalam persidangan, walaupun terkadang hukuman yang dijatuhkan hakim tidak sesuai dengan kesalahan yang dilakukan seseorang.
2.  Adil
Adil merupakan syarat terpenting dalam Islam. Apalagi dalam memutuskan perkara di pengadilan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman sebagai berikut:
... ???? ????? ??? ????? ?? ?????? ?????? ... (??????: ??)
Artinya: ��Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu  menetapkannya secara adil�� (Q. S. an-Nisa�: 58)
Ayat tersebut dengan jelas memberikan pemahaman kepada manusia bahwa setiap memutuskan perkara harus diputuskan secara adil. Hal ini tidak saja berlaku bagi para hakim, tetapi juga berlaku untuk advokat, karena apabila advokat tidak mampu berbuat adil dalam membela kliennya, maka akan terjadi pembelaan di luar ketentuan hukum, sehingga menimbulkan kesan advokat berfungsi sebagai sarana untuk meringankan hukum.
3.  Penyabar
Sabar merupakan cerminan dari sikap seorang advokat. Karena itu dalam melakukan pembelaan seorang advokat harus melakukannya dengan sikap sabar. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Saw. sebagai berikut:
...?? ???? ?????? ??? ????? ??? ????? (???? ???????)[11]
Artinya: �Hakim tidaklah memutuskan perkara antara dua orang padahal ia sedang marah (H. R. al-Bukhari)
Keterangan hadits di atas, menggambarkan bahwa seorang hakim termasuk pula advokat tidak dibolehkan membela kliennya dalam keadaan marah. Sebab apabila seorang advokat membela kliennya dalam keadaan marah, maka advokat tersebut telah keluar dari salah satu persyaratan advokat yaitu berakal, karena orang yang sedang marah akal sehatnya telah hilang.
Namun di sisi lain, persyaratan advokat yang sesuai dengan syari�at Islam dapat dilihat dari pernyataan Abu Qasim, yaitu:
1.  Islam (tidak syirik)
2.  Berakal (baligh)
3.  Merdeka (bukan hamba sahaya)
4.  Tidak fasiq atau munafiq.[12]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa persyaratan advokat syari�at sama seperti persyaratan hukum lain dalam Islam. Sebab Islam memberikan patokan empat hal tersebut sebagai pedoman dalam pembebanan atau menerapkan hukum Islam. Tanpa adanya keempat persyaratan di atas, maka menurut hukum Islam semua yang dilakukan tidak sah.

C.     Kedudukan Advokat Syari�ah
Secara sosiologis hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan. Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa hukum bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kepastian dan keterlibatan tetapi juga norma-norma yang mampu mendinamisasi pemikiran dan merekayasa prilaku masyarakat dalam mencapai cita-citanya.
Kedudukan pengacara dalam kehidupan dan perkembangan hukum adalah sangat penting dan dapat menentukan perubahan di dalam masyarakat sebagaimana Wiiliam M. Evan berpendapat: �Law is above all and primarily the culture of the lawyers and aspecially of the law makers, that is, of those lawyers who, ehether as legislators, jurist, or judges, have control of the accepted mechanism of legal change�. (Wujud hukum yang terpenting dan paling utama merupakan kultur para pengacara dan lebih khusus lagi merupakan para legislator, para pengacara ataupun para hakim, di mana mereka itulah yang mengendalikan mekanisme perubahan hukum).
Sebenarnya, Undang-Undang Dasar 1945 telah menentukan secara tegas bahwa negara Indonesiaadalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3)). Pada prinsipnya negara hukum menuntut adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di depan hukum (equality before the law). Hal ini berarti setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta diperlakukan yang sama di mata hukum. Oleh karena itu, untuk memberikan landasan yang kokoh demi tegaknya negara hukum, maka pemerintah Republik Indonesia telah mensahkan Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang penataan peraturan advokasi berstatus menggantikan peraturan lama yang merupakan warisan kolonialis yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, sekaligus sebagai pegangan yang kokoh dalam pelaksanaan tugas dan pengabdian advokat dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya bagi advokat Syari�ah.
Undang-Undang telah mengatur secara komprehensif berbagai ketentuan yang melingkupi profesi advokasi dengan tetap berpegang pada prinsip kebebasan advokat sebagaimana dalam pengangkatan, pengawasan, penindakan serta ketentuan bagi pengembangan organisasi advokasi yang kuat di masa mendatang.
Dalam hal ini, dengan disahkannya Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003, berarti telah memberikan kebebasan kepada lulusan Fakultas Syari�ah untuk berparstisipasi menjadi advokat (penasehat hukum) dalam sebuah peradilan hukum. Walaupun sebelumnya lulusan Fakultas Syari�ah tidak dapat berparstisipasi sebagai advokat di lingkungan peradilan, namun lain halnya setelah disahkannya Undang-Undang tersebut.
Menurut Undang-Undang yang baru ini lulusan Fakultas Syari�ah dapat menjadi advokat. Hal ini dapat dilihat sebagaimana termuat dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa �orang yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat�. Memang dalam Pasal 3 ayat (1) juga disebutkan persyaratan menjadi advokat, disebutkan berijazah sarjana yang berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1).
Walaupun kedua pasal ini tidak menyebutkan lulusan Fakultas Syari�ah atau lulusan dari Perguruan Tinggi Agama Islam, namun dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat Pasal 2 ayat (1) telah dijelaskan yang dimaksud dengan �berlatarbelakang pendidikan hukum� adalah lulusan Fakultas Hukum, Fakultas Syari�ah, Perguruan Tinggi Hukum Militer, dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.[13]
Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa dengan keluarnya Undang-Undang tentang advokat ini, maka telah memberi kesempatan yang luas kepada lulusan Fakultas Syari�ah untuk menjadi advokat di semua lingkungan peradilan, baik di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer maupun Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi tentunya setelah lulus ujian dari pendidikan khusus dan ujian dari organisasi advokat sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 ayat (1).
Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa �yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatarbelakang pendidikan hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat�. Selanjutnya dalam pasal 3 ayat (1) juga disebutkan bahwa �untuk dapat diangkat menjadi advokat harus memenuhi beberapa persyaratan yang di antaranya adalah telah lulus ujian yang diselenggarakan oleh organisasi advokat�.[14]
Dilihat dari profesi dan fungsinya, kedudukan advokat syari�ah sederajat dengan advokat umum, karena kedua jenis advokat ini sama-sama membela klien untuk menerima sanksi hukum yang sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Namun terjadi pebedaan kedua dalam lapangan peradilan, karena advokat syari�ah hanya dibolehkan membela klien yang melanggar hukum syari�at seperti jinayat, munakahat dan muamalat.
Namun demikian dalam Undang-Undang Advokat yang baru memberikan kedudukan yang sama antara advokat syari�ah dengan advokat umum. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Andi Nuzul bahwa dalam konsensus calon advokat/pengacara dari kalangan sarjana hukum (SH) akan diuji dengan hukum syari�ah, dan kalangan sarjana syari�ah akan diuji hukum perdata, hukum pidana, dan hukum acara.[15]
Berdasarkan konsensus di atas, maka dapat dipahami bahwa anggapan sarjana syari�ah hanya boleh menjadi pengacara di lingkungan pengadilan agama saja keliru, karena kalau hanya untuk itu, tidak perlu diuji dalam bidang hukum pidana dan perdata bagi sarjana syari�ah, tetapi hanya cukup dengan ujian hukum acara saja.

D.     Yurisdiksi Advokat Syari�ah dan Kemaslahatannya
Pengacara atau disebut advokat, bersama dengan hakim, jaksa, notaries, dan ilmuan hukum merupakan profesi hukum konvensional, selain itu terdapat profesi hukum modern antara lain konsultan hukum yang tidak tampil di pengadilan, melainkan hanya menjadi adviser terhadap perusahaan-perusahaan pejabat, pejabat pemerintah yang bertugas di bidang hukum dan profesi hukum lainnya di luar yudikatif.
Sebenarnya putusan hakim yang dijatuhkan kepada orang yang tidak didamping atau diwakili oleh seorang pengacara akan berbeda aplikasi hukumnya dibandingkan dengan hukum-hukum yang dijatuhkan kepada orang yang didampingi pengacara, karena putusan tersebut dikaji lebih jauh dan secara cepat berkembang menjadi putusan hukum (yurisprudensi).
Dalam rangka menyikap pemberlakuan Undang-Undang tentang profesi advokat pada saat sekarang ini masih dalam tahap penerapan Undang-Undang yang merupakan suatu lus consituantum, maka sudah selayaknya kalangan praktisi di bidang hukum maupun akademisi melalui lembaga pendidikan tinggi hukum memberikan masukan sebanyak-banyak dalam dimensi yang berbeda-beda sehingga menjadi landasan hukum yang mengatur profesi advokat yang benar-benar melalui tahapan uji public dan shaih di tengah-tengah masyarakat.
Diakui atau tidak, di antara sekian banyak profesi bidang hukum secara langsung maupun tidak langsung, advokat atau pengacara merupakan jenis profesi yang paling banyak menimbulkan kontroversi. Situasi ini tidak hanya dirasakan di negara berkembang seperti Indonesiayang hingga saat belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Sebagai penyandang profesi, seorang advokat memerlukan landasan intelektualitas, di mana yang bersangkutan harus menguasai ilmu pengetahuan tertentu di bidang hukum melalui proses pendidikan hukum. Wujud yang diatur oleh standar kualifikasi tidak selalu berupa tindakan fisik, tetapi juga bersifat psikis. Standar yang berwujud psikis biasanya disebut dengan etika profesi sebagai prinsip yang harus ditegakkan.
Dalam etika profesi terdapat dua prinsip yang harus ditegakkan, yaitu profesi pada umumnya dan profesi luhur.[16]Perbedaan profesi pada umumnya dengan profesi luhur terletak pada unsur pengabdian pada masyarakat, sedangkan profesi luhur pada hakikatnya merupakan suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat dan motivasi utamanya bukan untuk memperoleh nafkah dari pekerjaannya.
Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda sebagai berikut:
??? ????? ?????? ????? ??? ??? ????? ??? ???? ??? ????? (???? ???????)[17]
Artinya: Apabila seorang hakim berijtihad namun salah, maka ia mendapat satu pahala, dan apabila betul, maka mendapat dua pahala (H. R. al-Bukhari)                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               
Untuk profesi pada umumnya termasuk profesi advokat paling tidak ada dua prinsip yang wajib ditegakkan, yakni: pertama, prinsip agar menjalankan profesi secara bertanggung jawab. Kedua, hormat terhadap orang lain. Pengertian bertanggungjawab menyangkut baik terhadap pekerjaan itu sendiri, maupun hasilnya dalam arti yang bersangkutan harus menjalankan pekerjaannya dengan sebaik mungkin dengan hasil yang berkualitas. Selain itu dituntut tanggungjawab agar dampak pekerjaan tidak sampai merusak lingkungan hidup dengan menghormati orang lain.
Untuk profesi luhur (officium nobile) bagi seorang advokat terdapat dua prinsip, yaitu: pertama, mendahulukan kepentingan orang yang dibantu, khususnya klien, dan kedua mengabdi pada tuntutan profesi. Seperti seorang advokat tidak boleh mengelabui hakim dengan menyatakan orang yang dibelanya tidak bersalah demi untuk memenangkan perkara dan mendapatkan bayaran dari kliennya. Untuk melaksanakan profesi luhur secara baik, dituntut moralitas yang tinggi dari pelakunya. Tiga ciri moralitas yang tinggi, pertama, berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan profesi, kedua, sadar akan kewajibannya ketiga, memiliki idealisme yang tinggi.[18]
Di sisi lain, advokat atau pengacara merupakan penasehat hukum yang izin prakteknya diterbitkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Setelah diangkat, ia diwajibkan mengangkat sumpah jabatan. Seorang advokat atau pengacara dapat berbicara di manapun di seluruh nusantara, di semua lingkungan peradilan, baik pada peradilan umum maupun pada peradilan agama, bahkan pada pengadilan militer dan pengadilan tata usaha negara sekalipun.
Sebagaimana diketahui aturan hukum yang mengatur mekanisme kerja tentang profesi advokat baru pertama kali secara nasional diatur dalam bentuk Undang-Undang. Selama ini aturan hukum yang mengatur dan dipakai sebagai acuan bagi advokat/penasehat hukum ada beberapa aturan peninggalan colonial, seperti Reglement op de rechterlijke Organisatie en het beleid der Justitie in Indonesia (St 1847 Nomor 23 jo St Nomor 57 Pasal 185 sampai 192) dengan segala perubahan dan penambahannya.[19]Dalam perkara perdata untuk pengadilan negeri (landraad) diatur dalam Pasal 123 (Stb. 1848 No. 16 jo. 1926 No. 559 dan Stb 1941). Selain itu dikenal pula istilah �zaakwaaenemers� dalam Stb. 1927 No. 496 tentang pengaturan mengenai bantuan hukum dan mewakili para pihak dalam perkara perdata di pengadilan Negeri.[20]Sebagian kalangan hukum menilai bahwa aturan ini sudah sewajarnya untuk diganti dengan alasan untuk penyesuaian dengan keadaan tuntutan masyarakat yang ada pada saat sekarang.
Dalam hal Undang-Undang Dasar 1945 telah menentukan secara tegas bahwa Indonesiaadalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3). Maka pada prinsipnya negara hukum menuntut adanya jaminan, kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before law). Hal ini menandakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.
Oleh karena itu, untuk memberikan landasan yang kokoh bagi tegaknya negara hukum, maka Pemerintah Indonesia telah mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat menggantikan ketentuan-ketentuan perundang-undangan warisan kolonial yang diskrimiatif dan tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, sekaligus untuk memberikan landasan yang kokoh bagi pelaksanaan tugas pengabdian advokat dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam Undang-Undang ini diatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi advokat dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan advokat seperti pengangkatan, pengawasan, dan penindakan serta ketentuan bagi pengembangan organisasi advokat yang kuat di masa yang akan datang.
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa dasar hukum advokat untuk pertama kalinya disahkan oleh pemerintah adalah Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 18 Tahun 2003 yang menggantikan hukum sebelumnya, yaitu aturan hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan Belanda.
Sebenarnya, seorang pengacara praktek menurut SEMA Nomor 8 Tahun 1987 dapat beracara di semua lingkungan peradilan, dan untuk beracara di luar wilayah hukum Pengadilan Tinggi di mana ia terdaftar, seorang pengacara praktek harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Tinggi dalam wilayah hukum di mana ia ingin beracara. Berbeda dengan advokat, kewenangan yang dimiliki oleh seorang pengacara praktek tergantung pada izin praktek, oleh karena itu, bila izin itu telah habis masa berlakunya, maka ia tidak dapat lagi beracara di muka pengadilan sebelum memperbaharuinya.




[1]Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1995, hlm. 14

[2]Dardji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia, 2002, hlm. 163

[3]Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 3
[4]Abdullah Ghofar, Profesi Advokat bagi Sarjana Syari�ah dan Standar Kualifikasi Bidang Hukum, Mimbar Hukum No. 61 Tahun XIV, 2003, hlm. 13

[5]Taufiq, Sarjana Syari�ah dan Problematika Kepengacaraan, Mimbar Hukum No. 61 Tahun XIV, 2003, hlm. 12
[6]Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1994, hlm. 28

[7]UURI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, hlm. 18

[8]Ibid., hlm. 18
[9]Ibid., hlm. 20
[10]Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman RI, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1945 Tentang Mahkamah Agung, Jakarta: 1996, hlm. 12
[11]Imam Bukahri, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., hlm. 187

[12]Abu Qasim, al-Bajuri, Jil. II, Semarang: Maktabah wa Mathba�ah Toha Putra, t.t., hlm. 318
[13]UURI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, hlm. 20

[14]Ibid., hlm. 21
[15]Andi Nuzul, Sarjana Syari�ah dalam RUU Advokat, hlm. 22
[16]Frans Magnis Suseno, Etika Sosial, Jakarta: Gramedia, 1991, hlm. 70

[17]Imam Bukhari, Op. cit., hlm. 218
[18]Dardji Darmodihardjo, Op. cit., hlm. 276

[19]Abdullah Ghofar, Op. cit., hlm. 13

[20]Ibid., hlm. 12