Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

PERKAWINAN DALAM ISLAM

PERKAWINAN DALAM ISLAM

BAB II
PERKAWINAN DALAM ISLAM

A.    Pengertian Perkawinan Dalam Islam
Istilah perkawinan menurut Islam disebut nikah atau ziwaj. Kedua istilah ini dilihat dari arti katanya dalam bahasa Indonesia ada perbedaan, sebab kata 'nikah' berarti hubungan seks antar suami-istri sedangkan 'ziwaj' berarti kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam hubungan suami-istri untuk. mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadat kebaktian kepada Allah. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli dapat juga berarti aqad, dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti lain ialah bersetubuh.[1] Perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga antara suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tentram (sakinah), pergaulan yang saling mencintai (mawaddah) dan saling menyantuni (rahmah).[2]
Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan biologis antara pria dan wanita yang diakui sah melainkan sebagai pelaksana proses kodrat hidup manusia. Demikian juga dalam hukum perkawinan Islam mengandung unsur-unsur pokok yang bersifat kejiwaan dan kerohanian meliputi kehidupan lahir batin, kemanusiaan dan kebenaran. Selain itu perkawinan juga bersifat religius, artinya aspek-aspek keagamaan menjadi dasar pokok kehidupan rumah tangga dengan melaksanakan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Sedangkan dasardasar pengertian perkawinan itu berpokok pangkal kepada tiga keutuhan yang perlu dimiliki oleh seseorang sebelum melaksanakannya yaitu :
1.     Iman ialah percaya kepada Allah yang menciptakan alam semesta termasuk manusia yang secara siklus terdiri dari sel sperma laki-laki dan sel telur perempuan yang dibentuk melalui proses tahapan. Dan proses tahapan itu semula dari gumpalan darah berkembang menjadi daging, kemudian berbentuk tulang dan bercampur menjadi satu serta pembungkus kulit. Proses selanjutnya akan terjadi kehidupan roh/sukma setelah janin dilahirkan menjadi bayi. Siklus hidup menjadi manusia tidak akan sempurna kalau hubungan yang dilakukan antar suami istri tidak memenuhi syarat yang baik seperti kesehatan, kedewasaan, kejiwaan dan kesucian diri. Dari segi inilah Islam memandang bahwa perkawinan sebagai suatu proses kehidupan keluarga benar-benar dilaksanakan dalam suasana suci dan bersih sebagai manusia yang luhur.
2.     Islam, maksudnya bahwa bagi setiap calon suami istri wajib mempunyai jiwa penyerahan diri kepada Allah sebagai penciptanya. Kalau keyakinan ini sudah benar-benar dihayati maka dalam melakukan kewajiban sebagai suami istri tidak akan menimbulkan keraguan, kecemasan dan kekuatiran. Segala sesuatu yang menyangkut mengenai kewajiban dan haknya akan dapat dilaksanakan sesuai proses.
3.     Ikhlas, artinya pada diri masing-masing calon suami istri memiliki tekad yang bersih dan terbuka untuk membentuk keluarga sebagai kebaktian kepada Allah. Asas ini akan menghilangkan kecemasan atau ketidakpuasan dalam melaksanakan kehidupan keluarga yang akan menerima godaan dan cobaan, musibah atau kesengsaraan dalam menjalankan tugas sebagai kewajibannya secara sadar dan bertanggungjawab. Selain itu juga akan menutup kekurangankekurangan kedua belah pihak dalam membina kesatuan untuk mencapai kesempurnaan hidup rumah tangga.[3]
B.    Hikmah Perkawinan dalam Islam
Keluarga dalam Islam adalah perintah agama yang berusaha untuk diwujudkan oleh setiap manusia beriman. Ia juga kesempurnaan akhlak manusia yang dicoba-raih oleh setiap pribadi. Pernikahan mengandung beberapa hikmah yang memesona dan sejumlah tujuan luhur. Seorang manusia laki-laki maupun perempuan pasti bisa merasakan cinta dan kasih sayang dan ingin mengenyam ketenangan jiwa dan kestabilan emosi. Allah S.W.T. berfirman dalam surat Ar-Ruum ayat 21 :
?????? ???????? ???? ?????? ????? ????? ??????????? ?????????? ????????????? ????????? ???????? ????????? ?????????? ?????????? ????? ??? ?????? ???????? ????????? ??????????????  ) ?????: ??(
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ruum; 21)


Dalam pandangan Islam, keluarga atau rumah tangga merupakan gerbang utama dan pertama yang membukakan pengetahuan atas segala sesuatu yang dipahami oleh anak-anak. Keluargalah yang memiliki andil besar dalam menanamkan prinsip-prinsip keimanan yang kokoh sebagai dasar bagi si anak untuk menjalani aktivitas hidupnya. Berikutnya, mengantarkan dan mendampingi anak meraih dan mengamalkan ilmu setingggi-tingginya dalam koridor taqwa. Jadi keluarga harus menyadari memiliki beban tanggung jawab yang pertama untuk membentuk pola akal dan jiwa yang Islami bagi anak. Singkatnya, keluarga sebagai cermin keteladanan bagi generasi baru.[4]
Seseorang laki-laki maupun perempuan dalam naungan keluarga akan menikmati perasaan memiliki kehormatan diri dan kesucian dan mengenyam keluhuran budi pekerti. Rasulullah S.A.W. bersabda:
???? ?????? ????? ???? ?????????? ?????? ????? ???????? ?????? ?????: ????? ????? ???????? ????? ?????? ????? ???????? ????????? ??????????? ?????????? ???? ?????????? ???????? ?????????? ???????????????? ????????? ??????? ?????????? ?????????? ?????????? ?????? ???? ?????????? ?????????? ??????????? ????????? ???? ???????.) ????  ???????(
Artinya : Abdullah bin Mas�ud R.A. menceritakan bahwa Nabi saw berkata :Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya. (HR. Bukhari).[5]



Dari itu, ada dua catatan penting yang perlu kita garis bawahi:
Pertama, Insting seksual yang menginginkan lawan jenis bukanlah kekurangan yang harus dihilangkan dari diri manusia, namun ia adalah keniscayaan fitrah yang perlu diarahkan dengan jalan dipraktikkan dalam koridor manhaj Ilahi dan sebatas untuk mewujudkan ketenangan jiwa, serta menjauhkan masalah dan penyakit. Islam tidak mengenal pengebirian insting seksual. Islam juga bukan pendukung seks bebas. Masyarakat moderen di sekitar kita dewasa ini melepas-bebaskan syahwat mereka secara liar di mana nilai-nilai moral yang luhur, kehormatan diri, dan rasa malu tak lagi diperhatikan. Yang mengerti akan kesakralan nilai-nilai adiluhung tersebut hanyalah kaum Muslimin.
Kedua, Wasiat Rasulullah S.A.W. bagi mereka yang tak mampu menanggung konsenkuensi pernikahan untuk berpuasa sepatutnya tidak diartikan sebagai upaya untuk mengalangi keberlangsungan hidup insting seksual. Sebab, hal itu sama sekali bukan maksud dan tujuan dari hadis Rasulullah S.A.W. di atas. Namun, hikmah luhur yang terkandung di dalamnya adalah bahwasanya puasa merupakan wadah seorang Muslim untuk belajar arti kesabaran, ketabahan, keinginan yang cerdas dan kesadaran beragama.
Dengan demikian, kita bisa katakan, bahwa pernikahan mempunyai tujuan besardan asasi sebagai sarana melanggengkan hikmah utama di dalamnya. Yakni, kelangsungan ras manusia dan membangun peradaban dunia. Allah S.W.T. berfirman, "Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu." Oleh karena itu, seorang wanita sangat direkomendasikan untuk menjadi sosok yang wad�d dan wal�d. Maksudnya, ia harus punya cinta, kasih sayang, dan kesetiaan, di samping potensi besar untuk melahirkan keturunan. Dengan kedua predikat tersebut, ia pun telah mengumpulkan dua kebaikan.
Karena hikmah luhur inilah, pembentukan keluarga merupakan sunnah para Nabi, doa para Rasul, dan harapan kaum muttaq�n. Allah S.W.T. telah mengkaruniakan keluarga dan keturunan kepada para Nabi-Nya. al-Qur'an mengajari kita doa hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang yang merupakan barisan makluk-Nya terpilih, yang berbunyi, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa."Bila doa ini kita cermati, tampak bahwa hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang tidak puas hanya dengan menjadi orang-orang yang bertakwa saja. Mereka juga memohon agar diri mereka dan keturunan mereka menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa. Inilah doa yang niscaya membuat diri kita berambisi tinggi meraih karunia Allah. Oleh karena itu, jika kita meminta, kita mesti meminta surga Firdaus tertinggi.�[6]
Islam menganjurkan kaum Muslimin untuk memiliki kekayaan bukan karena kekayaan itu, namun haruslah didasari atas keinginan untuk meraih ridha Ilahi. Al-Qur'an yang mulia sudah menjelaskan kepada kita patokan umum untuk mengarungi kehidupan dunia ini melalui kisah Q�r�n ketika memperoleh nasihat dari kaum ulama di zamannya. Al-Qur'an menuturkan:
??????????? ??? ????? ??????? ???????? ????????? ??????? ????????????? ?????????? ????? ???????? ??????? ??????? ??????? ???? ??????? ???????????, ????? ???????? ????? ??? ?????? ?????? ??????? ?????????? ???????????? ???? ?????????? ??? ????? ??????????? ????????? ????????????? ?????? ?????????? ???? ????? ???? ???????? ??? ???????? ????? ??????? ??? ??????? ????????????, ????????? ?????? ?????? ??????? ???????? ?????????? ????? ????? ????????? ???? ?????????? ????????? ????? ???????? ??????? ???????? ????? ?????? ?????????? ??? ????????? ????? ??????? ??? ??????? ??????????????, ????? ???????? ?????????? ????? ?????? ?????? ???????? ???????? ????? ??????? ???? ???????? ??? ???????? ???? ????????? ???? ???? ??????? ?????? ??????? ?????????? ??????? ????? ???????? ??? ??????????? ??????????????, ???????? ????? ???????? ??? ????????? ????? ????????? ?????????? ?????????? ????????? ??? ?????? ????? ?????? ??? ??????? ???????? ??????? ????? ????? ???????, ??????? ????????? ??????? ????????? ?????????? ??????? ??????? ?????? ??????? ????? ???????? ???????? ????? ??????????? ?????? ?????????????, ??????????? ???? ??????????? ????????? ????? ????? ???? ??? ?????? ???????????? ??? ????? ??????? ????? ????? ???? ??????????????) ?????: ??-??(
Artinya: Sesungguhnya Q�r�n adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: 'Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianm075. Dan Kami datangkan dari tiap-tiap umat seorang saksi, lalu Kami berkata "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu", maka tahulah mereka bahwasanya yang hak itu kepunyaan Allah dan lenyaplah dari mereka apa yang dahulunya mereka ada-adakan. Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri". Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Karunberkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Karunkepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar". Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).(Qs. Al-Qashash : 75-81)

Atas dasar inilah kita memahami ayat tersebut. Harta dan anak-anak dipandang oleh al-Qur'an sebagai hiasan kehidupan dunia. Al-Qur'an membolehkan umat Islam untuk memiliki keduanya dan bekerja keras untuk meraih keduanya dalam batasan-batasan syara' serta dengan usaha manusiawi yang tak semena-mena, tanpa harus melampaui batas, bermegah-megahan, ataupun menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Ketika jiwa manusia berpaling dari manhaj Ilahi, fitnah harta akan timbul dari penumpukannya yang melalui jalan tidak halal dan penggunaannya untuk hal-hal yang tidak diperkenankan agama. Fitnah anak-anak juga akan muncul dengan jauhnya mereka dari kebaikan, penyimpangan moral mereka, dan pelanggaran mereka terhadap keharaman-keharaman yang telah ditetapkan Allah. Namun, apabila anak-anak tumbuh dan terdidik di atas manhaj Islami dan mengetahui keutamaan lalu menapaki jalan-jalan kebaikan, maka anak-anak seperti itu merupakan kemuliaan dan kebanggaan bagi kedua orang tua. Rasulullah S.A.W. bersabda:
??? ??? ????? ?????? ??????? ????? ?? ?????? ??????? ?????? ??????? ??????? ???????? ???: ??? ??? ??????? ????? ???? ??? ?? ????: ???? ?????? ?? ??? ????? ?? ?? ??? ???? ???? ??) ??????? ???????.(
Artinya: Jika anak cucu Adam meninggal dunia, maka seluruh amalnya akan terputus kecuali tiga perkara: sedekah yang pahalanya terus mengalir, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang selalu mendoakannya. (HR. Muslem)[7]

Secara ringkas dapatlah kita simpulkan bahwa hikmah perkawinan adalah sebagai berikut:
  1. Memelihara kelangsungan jenis manusia.
  2. Untuk melanjutkan dan memelihara keturunan.
  3. Menjadi media menyalurkan dorongan-doronganalami melalui saluran yang sehat dan bertanggungjawab.
  4. Memberikan ketenangan jiwa.
  5. Memelihara masyarakat dari kemerosotan moral.
  6. Menghaluskan rasa keibuan dan kebapakan.


C.    Larangan Mengawini Wanita Musyrikah
Perkawinan (pernikahan) merupakan sarana untuk melahirkan generasi umat manusia yang mempunyai tugas kekhalifahan untuk memakmurkan bumi. Selain itu, pernikahan juga bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang rukun, penuh cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah wa al-rahmah)." Kehidupan seperti ini merupakan kebutuhan yang telah menajadi fitrah atau naluri setiap       manusia. Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap masalah perkawinan ini, termasuk pernikahan antar umat yang berbeda agama atau pernikahan lintas agama.
Pernikahan lintas agama yang dimaksud adalah pernikahan yang dilakukan antara seseorang yang beragama Islam (Muslim atau Muslimah) dengan orang non-Muslim, baik yang dikategorikan sebagai orang musyrik maupun ahli kitab. Masalah pernikahan lintas agama ini selalu menjadi bahan perdebatan dikalangan ulama, hal ini karena perbedaan perspektif dalam memahami ayat-ayat atau teksteks agama yang melarang pernikahan orang Muslim dengan orang musyrik. Meskipun pernikahn lintas agama ini tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang, namun fenomena semacam ini terns berkembang.
Perkawinan beda agama pada dasarnya dilarang oleh agama Islam, meskipun secara tekstual ada ayat al-Qur'an yang membolehkannya sebagaimana yang tercantum dalams surat al-Maidah ayat 5 sebagai berikut:
????????? ??????? ?????? ????????????? ????????? ????????? ???????? ?????????? ????? ??????? ????????????? ????? ??????? ???????????????? ???? ?????????????? ???????????????? ???? ????????? ???????? ?????????? ??? ?????????? ????? ??????????????? ???????????? ??????????? ?????? ???????????? ????? ?????????? ????????? ????? ???????? ???????????? ?????? ?????? ???????? ?????? ??? ????????? ???? ?????????????) ???????: ?(
Artinya:   Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.(Qs. Al-Maidah: 5 )
Menurut para ulama ayat ini merupakan dispensasi bersyarat; yakni boleh seorang pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab dengan syarat kualitas iman pria tersebut sudah kuat. Artinya iman mereka sudah berkualitas. Sebab dari pernikahan ini mengandung resiko yang sangat besar, yaitu dapat menyeret pria muslim pindah agama dan terjadi perceraian.[8]  Pelarangan ini merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi pemurtadan  dan perceraian.Walaupun di akui dari pernihan ini bisa dijadikan strategi da'wah untuk mengajak   wanita musrikah menganut ajaran Islam. Tetapi pada kenyataannya strategi ini digunakan oleh kaum kristiani untuk menikahi wanita muslimah. Dan akhirnya terjadilah pengkristenan muslim lewat pernikahan.
Tetapi jika pria muslim melakukan tindakan yang sama seperti kaum kristiani tersebut, dikhawatirkan muslim itu menjadi murtad atau keluar dari Islam disebabkan terpengaruh oleh istrinya. Selain itu pun anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan ini akan menjadi masalah dalam hukum kewarisan. Sebab itulah para ulama melarang pernikahan ini guna mencegah terjadinya resiko yang lebih besar meskipun ada sedikit manfaatnya. Dalam kaidah fiqih dijelaskan bahwa mencegah datangnya madarat yang lebih besar itu harus di utamakan ketimbang mengambil maslahat yang sedikit.
Perkawinan beda agama pada dasarnya dilarang oleh agama Islam, meskipun secara tekstual ada ayat al-qur'an yang membolehkannya. Namun menurut para ulama ayat ini merupakan dispensasi bersyarat; yakni boleh seorang pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab dengan syarat kualitas iman pria tersebut sudah kuat. Artinya iman mereka sudah berkualitas. Sebab dari pernikahan ini mengandung resiko yang sangat besar, yaitu dapat menyeret pria muslim pindah agama dan terjadi perceraian.�[9] Tetapi jika pria muslim melakukan tindakan yang sama seperti kaum kristiani tersebut, dikhawatirkan muslim itu menjadi murtad atau keluar dari Islam disebabkan terpengaruh oleh istrinya. Selain itu pun anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan ini akan menjadi masalah dalam hukum kewarisan. Sebab itulah para ulama melarang pernikahan ini guna mencegah terjadinya resiko yang lebih besar meskipun ada sedikit manfaatnya. Dalam kaidah fiqih dijelaskan bahwa mencegah datangnya madarat yang lebih besar itu harus di utamakan ketimbang mengambil maslahat yang sedikit.  Agama Islam tidak memperkenankan pria muslim kawin dengan wanita musyrik,sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221:
????? ?????????? ?????????????? ?????? ????????? ????????? ??????????? ?????? ???? ??????????? ?????? ?????????????? ????? ?????????? ?????????????? ?????? ??????????? ?????????? ????????? ?????? ???? ????????? ?????? ????????????  ... )??????: ???(
Artinya:  Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.....(Qs. Al-baqarah: 221).

           Nash diatas dengan jelas melarang mengawini wanita musyrik.Demikian juga pendapat para ulama menegaskan demikian. Larangan perkawinan  antar  pemeluk  agama  yang  berbeda  itu agaknya  dilatarbelakangi  oleh  harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru  akan  langgeng  dan  tenteram jika  terdapat  kesesuaian  pandangan  hidup  antar  suami dan istri, karena jangankan  perbedaan  agama,  perbedaan  budaya, atau  bahkan  perbedaan  tingkat  pendidikan  antara suami dan istri pun tidak  jarang  mengakibatkan  kegagalan  perkawinan.  Memang  ada ayat yang membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan perempuan Ulul-Kitab  (Ahli  Al-Kitab) sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 5 sebagai berikut:
????????? ??????? ?????? ????????????? ????????? ????????? ???????? ?????????? ????? ??????? ????????????? ????? ??????? ???????????????? ???? ?????????????? ???????????????? ???? ????????? ???????? ?????????? ??? ?????????? ????? ??????????????? ???????????? ??????????? ?????? ???????????? ????? ?????????? ????????? ????? ???????? ???????????? ?????? ?????? ???????? ?????? ??? ????????? ???? ?????????????) ???????: ?(
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.(Qs. Al-maidah:5)

M. Hasbi Ash-Shiddiqey dalam Tafsir An-Nuur menjelaskan bahwa:
(Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik) artinya yang enak-enak (Dan makanan-makanan orang-orang yang diberi kitab) maksudnya sembelihan orang-orang Yahudi dan Nasrani (halal bagi kamu dan makananmu) yang kamu sajikan kepada mereka (halal pula bagi mereka. Dan wanita-wanita yang merdeka di antara wanita-wanita mukmin serta wanita-wanita merdeka dari kalangan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu) halal pula kamu kawini (apabila kamu telah membayar maskawin mereka) atau mahar (dengan maksud mengawini mereka) sehingga terpelihara kehormatan (bukan dengan maksud berzina) dengan mereka secara terang-terangan (dan bukan pula untuk mengambil mereka sebagai gundik) atau melakukan perzinaan dengan mereka secara sembunyi-sembunyi. (Dan siapa yang kafir terhadap iman) artinya murtad (maka sungguh telah hapuslah amalnya) amal saleh sebelum itu hingga tidak dianggap diberi pahala (dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi) yakni jika ia meninggal dalam keadaan demikian itu[10].

Kebolehan  yang dimaksud dalam ayat diatas itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah  Nabi  Allah  pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari wanita jika beragama Islam  dapat mentoleransi  dan  mempersilakan  Ahl  Al-Kitab  menganut  dan melaksanakan syariat agamanya. Untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama.
1). Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyahyang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.[11]
2). Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
3). Mazhab Syafi�i.
Demikian halnya dengan mazhab syafi�i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi�i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
2). Lafal min qablikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur�an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur�an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.[12]
4. Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi�i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.[13]
Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa Perkawinan lintas agama antara muslim dan muslimah dengan non muslim musyrik pada hakikatnya diharamkam menurut ajaran Islam (Jumhur Ulama). Namun terdapat perbedaan pendapat jika perkawinan itu antara seorang muslimah dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Sedangkan antara seorang muslim dengan seorang perempuan ahli kitab sebagian pendapat membolehkan karena laki-laki berperan dan dapat memengaruhi perempuan dalam suatu keluarga. Penulis sependapat dengan Putusan MUI tahun 1980 yang berpendapat seperti di atas.[14]
D.    Mencegah Kawin dengan Wanita Musyrikah
Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatar belakangi oleh harapan akan lahirnya sakinahdalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa as. adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari wanita jika beragama Islam dapat mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan melaksanakan syariat agamanya, seperti firman Allah didalam Al-qur�an surat Al- kafirun ayat 6:
?????? ????????? ?????? ?????) ????????:?(
Artinya:Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (Qs.  Al-Kafirun: 6).
Ini berbeda dengan Ahl Al-Kitab yang tidak mengakui Muhammad Saw. sebagai Nabi. Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga berbeda pendapat tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun penulis cenderung berpendapat bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen, namun yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu, adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai �wal muhshanat minal ladzina utul kitab�.
Kata al-muhshnnat di sini berarti wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata utuw yang selalu digunakan Al-Quran untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat. Itu sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran Yahudi dan Kristen.
Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan kaidah syar�iyah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami Muslim berdasarkan hak kepemimpinan yang disandangnya untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam.
 Laki-laki diperbolehkan mengawini non muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik istri. Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan non-Muslim karena kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan seorang pria Muslim, dengan wanita Ahl Al-Kitab harus pula tidak dibenarkan jika dikhawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Namun di sisi lain sekelompok golongan yang menamakan dirinya inklusif-pluralis berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, memiliki konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan, sehingga tidak bisa dikatakan mana agama yang benar atau agama yang sesat, mengenai hukum perkawinan beda agama menurut mereka adalah boleh. Kelompok ini mendasarkan argumentasinya pada ayat suci Al-quran yakni dalam surat al-Maidah ayat 5,yang berbunyi sebagai berikut :
????????? ??????? ?????? ????????????? ????????? ????????? ???????? ?????????? ????? ??????? ????????????? ????? ??????? ???????????????? ???? ?????????????? ???????????????? ???? ????????? ???????? ?????????? ??? ?????????? ????? ??????????????? ???????????? ??????????? ?????? ???????????? ????? ?????????? ????????? ????? ???????? ???????????? ?????? ?????? ???????? ?????? ??? ????????? ???? ?????????????) ???????:?(
Artinya: Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.( Qs. al-Maidah: 5).

Menurut mereka ayat ini merupakan ayat Madinah yang diturunkan setelah ayat yang melarang perkawinan dengan orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman, ayat ini dapat disebut ayat revolusi karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan masyarakat muslim pada masa itu, karena pada ayat yang diturunkan sebelumnya, yaitu QS. Al-Baqarah : 221 menggunakan istilah musyrik yang bisa dimaknai untuk seluruh non muslim. Namun pada ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi) untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang Muslim. Maka menurut kelompok ini ayat ini berfungsi sebagai nasikh terhadap ayat sebelumnya.
Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim dalam buku Dekonstruksi Syari�ah mengatakan bahwa larangan dan pengharaman perkawinan antar agama ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang dimana seorang wanita dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama didepan hukum, sehingga larangan itu tetap berlaku.[15]
           Islam memberikan kita kewajiban untuk memiliki satu risalah dalam hidup ini dengan cara hidup menurut risalah tersebut sehingga kita semua betul-betul menjadi Muslim baik dalam segi akidah, ibadah, maupun akhlak. Dengan Pengakuan terhadap Islam berarti kita harus bekerja keras di lingkungan kita dalam semua level, dari keluarga sampai negara, dan bahkan ke segenap ummat manusia karena Islam diturunkan kepada semua manusia. Kita tidak cukup dengan hanya menyatakan saja bahwa kita menganut Islam dan mematuhinya tanpa memperdulikan orang-orang di sekeliling kita. Kita seharusnya memiliki rasa tanggung jawab kepada orang lain, menyeru dan menasihati mereka.
           Bertolak dari keadaan ini, kita memiliki tanggung jawab baru, yaitu tanggung jawab untuk:
1.    Menegakkan sebuah masyarakat Islam
2.    Menyampaikan Islam kepada masyarakat.
           Langkah pertama yang sesuai dengan tabiat Islam adalah membentuk rumah tangga kita supaya menjadi rumah tangga yang Islami. Kita bertanggung jawab untuk menegakkan Islam di dalam kelurga, yang merupakan masyarakat kecil ini. Kita bertanggungjawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada keluarga kita, pasangan hidup kita, anak-anak kita, serta kerabat dan handai taulan.






[1]Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah dan Rujuk, (Jakarta: Ihya Ulumuddin, 1971), hal. 65.

[2]Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), hal. 47.
[3] R. Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-Asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II), Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, ( Bandung:  CV MandarMaju/1992), hal. 73.
[4]Khairiyah Husain Thaha, Konsep Ibu Teladan: Kajian Pendidikan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2002),hal. 67.

[5]Aidh al-Qarni, Bulughul Maram Hadits Pilihan Hukum (terj.Zacky Mubarak,), Cet. I, (Jakarta Timur: Qisthi Press, 2006) , hal. 285.
[6] Abu Mohd Rosyid Ridho, Wanita Sholihah: Ciri-ciri dan Fungsinya, (Medan: Hikmah, 1985), hal. 89.
[7]Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin (terj. Agus Hasan Hasri), cet. II ( Surabaya: Duta Ilmu, 2004), hal: 181.
[8]Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur.an di bawah Naungan Al-Qur.an, Jil IX, Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hal. 454.
[9]Muhammad Thalib, Membangun Keluarga  Islami, (Yokyakarta: Pro-U Media, 2008), hal. 14.
[10] M. Hasbi Ash-Shiddiqey, Tafsir An-Nuur, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), hal. 2.295.

[11] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 326.
[12] Mughniyah, Fiqih ... ,hal. 328.

[13] Ibid., hal. 330.

[14]Asnawi Ihsan, Warna-Warni Hukum Perkawinan Beda Agama, http:// asnawiihsan. blokspot.com/2007/03/, di akses pada 1 Mei 2008.
[15]Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari�ah (Terj) (Bandung: Mizan.2001), hal 122.