Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Sistem Pengumpulan dan Pendistribusian Zakat


BAB DUA
SISTEM PENGELOLAAN ZAKAT SEBELUM KELUARNYA QANUN NO. 7 TAHUN 2004


A.   Sistem Pengumpulan dan Pendistribusian Zakat
Berbicara masalah tatanan zakat tentu tidak dapat dipisahkan dengan manusia sebagai sosok ciptaan Allah yang sangat sempurna. Zakat adalah suatu ibadah yang bertujuan untuk membersihkan harta benda dari segala sifat yang mengharamkannya. Manusia dianjurkan membayar zakat, karena manusia telah diberikan petunjuk oleh Allah SWT untuk melaksanakan amal saleh, sehingga manusia menuju kepada martabat yang paling tinggi. Bahkan telah diciptakan Allah SWT dalam bentuk yang sebaik-baiknya, sehingga berbeda dengan makhluk Allah lainnya.
Menurut Mahmud Syaltut pengelolaan zakat ialah proses yang bertujuan untuk memberikan pengertian tentang pengentasan kemiskinan dan menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam membantu sesamanya.[1]

1.     Sistem Pengumpulan
Proses pengumpulan zakat dapat saja dilakukan dengan berbagai cara agar zakat dapat terkumpul sebanyak-banyaknya. Sistem pengumpulan zakat tersebut hampir sama dilakukan diberbagai tempat pengumpulan zakat. Hal ini dilakukan agar dengan adanya pengumpulan zakat dapat meningkatkan taraf hidup umat Islam.
Pegumpulan zakat pada mulanya dilakukan oleh penguasa atau pihak-pihak yang menggantikannya. Dalam pengumpulan zakat umum dibentuk sebuah badan pengumpul zakat yang dikenal dengan sebutan Baitul Mal. Baitul Mal melaksanakan pengumpulan zakat dengan cara muzakki dengan suka rela menyerahkan zakatnya kepada lembaga Baitul Mal. Pengumpulan zakat semacam ini berlaku sebagaimana yang dipraktekkan di masa Rasulullah, karena pada waktu umat Islam dengan sukarela menyerahkan zakatnya kepada Rasulullah. Dewasa ini, pengumpulan zakat secara sukarela ini berlaku pada pegawai negeri, perusahaan Negara atau swasta.[2]
Di sisi lain, lembaga Baitul Mal juga mengumpulkan zakat dengan memaksa muzakki untuk membayar zakatnya. Sistem pengumpulan zakat semacam ini dikenal dengan pendekatan kekuasaan. Sistem ini dijalankan kepada muzakki yang tidak mau membayar zakat, sehingga diperlukan pemaksaan agar muzakki tetap membayar zakatnya. Pengumpulan zakat secara paksa dilakukan terhadap harta-harta yang tidak tampak, sedangkan harta yang tampak umumnya muzakki menyerahkan zakat secara suka rela.[3]
Sedangkan sistem pengumpulan zakat juga dilakukan dengan membentuk perwakilan-perwakilan pengelola zakat. Hal ini terlihat dari Surat Keputusan Walikota Banda Aceh Pasal 3 yang menyatakan bahwa Teungku Imam adalah Kepala Baitul Gampong; Baitul Mal Gampong dapat dilengkapi dengan seorang wakil kepala, seorang sekretaris, seorang bendahara dan beberapa orang anggota.[4]
Hal ini menandakan bahwa pembentukan lembaga Baitul Mal Gampong merupakan salah satu bukti Baitul Mal juga melakukan pengumpulan zakat melalui perwakilan di desa-desa. Badan perwakilan pengumpul zakat yang dibentuk tersebut bertanggung jawab penuh kepada lembaga Baitul Mal kabupaten atau kota.

2.     Sistem Pendistribusian
Pengelolaan zakat sangat urgen bagi kehidupan manusia. Urgensi zakat ini tidak saja dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perseorangan, tetapi juga dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bahkan dapat dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Zakat adalah mustika yang membedakan makhluk manusia dengan makhluk lainnya. Tanpa menunaikan zakat manusia, telah kehilangan rasa kemanusiaannya.[5]
Fungsi umum zakat dalam Islam ialah menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah, agama Islam merupakan risalah samawi yang diturunkan kepada seluruh manusia sejak detik-detik pertama turunnya Islam. Tujuan strategis ini, sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:
???? ??????? ??????? ????????? ????????? ???????? ?????? ??? ?????? ????????? ??? ???? ???? ???? ??????? ????? ?? ???? ????? ???? ???? (??????: ??)
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dari kutipan di atas, maka dipahami bahwa ayat tersebut memberikan gambaran kepada manusia mendistribusikan zakat sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan dalam Al-Qur'an. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengangkat taraf hidup manusia dalam mencapai kemakmuran dalam hidupnya.
Akan tetapi pendistribusian zakat yang dilakukan oleh lembaga Baitul Mal dibagi dalam beberapa bentuk, yaitu:
a.      Pembagian langsung
Pembagian langsung harta zakat yang sebagiannya dibagikan kepada fakir miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendistristribusian semacam dilakukan agar dapat mengurangi beban hidup fakir miskin, gharim dan senif-senif lainnya, kecuali amil. Sebab amil sebagai pengelola zakat tidak lagi mengambil haknya melalui zakat, karena pengelola telah menerima hak kelola dari pemerintah (gaji).[6]
b.     Pengajuan Proposal
Sistem pembagian harta zakat dengan mengajukan proposal diperuntukkan bagi pengusaha ekonomi lemah yang ingin meningkatkan taraf hidupnya. Pengajuan proposal usaha dari harta hara zakat diberikan batasan maksimal yaitu sebesar limajuta rupiah perorang. Sistem pendistribusian zakat melalui proposal ini tidak dituntut pengembalian (hibah). Namun demikian penerima juga dilakukan pengawasan rutin oleh Baitul Mal agar uang dari hasil zakat tersebut tidak disalahgunakan.[7]
c.      Modal Gilir
Sistem pembagian zakat dalam bentuk kredit lunak ini dilakukan untuk pemerataan di kalangan umat Islam dalam memperoleh modal usaha tiap tahunnya. Hal ini dilakukan karena zakat yang terkumpul tiap tahunnya tidak mencukupi apabila penyalurannya tidak dilakukan dengan bergilir dengan besar jumlah sebesar dua juta rupiah perorang. Penggiliran modal ini dilakukan oleh lembaga Baitul Mal agar para pengguna modal mampu mempertanggung jawabkan modal yang telah diterima dari hasil zakat. Artinya penerima zakat harus menjadi pemberi zakat.[8]

B.   Dasar Hukum Pengelolaan Zakat dan Mekanismenya
Pengelolaan zakat dilakukan dengan berdasarkan hukum Al-Qur'an, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam suratat-Taubah ayat 103 sebagai berikut:
?? ?? ??????? ???? ?????? ??????? ??? ???? ????? ?? ????? ???? ??? ????? ???? ???? (?????: ???)
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q. S. at-Taubah: 103)
Berdasarkan keterangan firman Allah SWT tersebut di atas, dapat diketahui bahwa mengambil zakat merupakan salah satu kewajiban yang mesti diemban oleh para pengelola zakat. Jika pengumpulan tidak dilakukan, maka sudah barang pasti pengelola zakat akan mendapat ganjaran yang setimpal dari Allah SWT.
Di sisi lain, dasar pengelolaan zakat juga dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan zakat yang menyatakan bahwa zakat wajib dikumpulkan dan diberdayakan sebagai usaha untuk mewujudkan kesejahteraan, keadilan sosial, dan meningkat taraf hidup kaum fakir miskin serta memajukan pembangunan Islam.[9]
Sementara itu, dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2004 dalam Pasal 6 dijelaskan dasar pengelolaan zakat bahwa setiap warga Negara yang beragama Islam atau setiap badan yang berdomisili atau melakukan kegiatan usaha dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang tidak memenuhi syarat sebagai muzakki ditetapkan untuk membayar infaq melalui Baitul Mal.[10]
Sedangkan dalam Surat Keputusan Walikota Banda Nomor 154 Tahun 2004 dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa: �Badan Baitul Mal mempunyai tugas mlk Pengelolaan Zakat dan Pemberdayaan Harta Agama sesuai dengan Hk syari�at Islam, dengan rincian sebagai berikut:
a.      Menyelenggarakan tugas administrasi dan teknis pengumpulan, pendistribusian, Pendayagunaan Zakat dan Harta Agama.
b.     Mengumpulkan dan mengolah data yang diperlukan ut penyusunan rencana pengelolaan Zakat dan Pemberdayaan Harta Agama.
c.      Menyelenggarakan bimbingan di bidang pengelolaan, pengumpulan, pendistribusian, Pendayagunaan Zakat dan Harta Agama.
d.     Menyelenggarakan tugas penelitian dan pengembangan, komunikasi, informasi dan edukasi, pengelolaan zakat dan harta agama.[11]

Oleh karena itu, pengelolaan zakat merupakan suatu proses untuk membimbing manusia untuk menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Oleh karena itu, manusia membutuhkan hidup berkecukupan agar mampu mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, kegiatan mengelola tersebut mempunyai strategi tersendiri dalam usaha mencapai tujuan pengentasan kemsikinan. Namun demikian, strategi pengelolaan zakat hampir sama dengan sistem pengelolaan keuangan.
Hasbi Ash-Shiddieqy menerangkan bahwa �pada tahap berikutnya mengelola zakat adalah proses memberikan bantuan kepada umat Islam yang kekurangan kebutuhan hidup�.[12]
Peranan amil sebagai pengelola zakat bertolak dari banyaknya masalah yang hidup kekurangan. Dalam pengelolaan zakat ada masyarakat yang cepat mengembangkan usahanya, ada pula masyarakat yang sedang dalam mengembangkan perekonomiannya, dan ada pula masyarakat yang sama sekali lamban mengembangkan usaha sehingga melahirkan kekurangan kebutuhan hidup. Ketiga tipe masyarakat ini menghendaki agar amil mengatur strategi pengelolaan yang sesuai dengan gaya-gaya pengentasan kemiskinan.
Kegiatan mengelola zakat mempunyai prinsip-prinsip yang harus dilalui secara tepat agar kegiatan kegiatan penyaluran menjadi berhasil secara optimal. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah:
1)     Tujuan
Tujuan adalah prinsip yang dapat mempengaruhi pola pengelolaan zakat seperti amil, fakir miskin, ibnu sabil, bayar hutang, fi sabilillah dan pembebasan budak. Semua itu harus bersesuaian dan didayagunakan untuk mencapai tujuan seefektif dan seefesien mungkin. Dalam hal ini Abdurahman Qadir, merumuskan bahwa �tujuan pengelolaan zakat adalah deskripsi tentang penampilan prilaku (performance) masyarakat yang kita harapkan setelah mereka menerima zakat yang diberikan�.[13]Suatu prinsip penyaluran zakat mengatakan suatu hasil yang kita harapkan dari penyaluran zakat itu dan bukan sekedar suatu proses dari penerimaan itu sendiri. Sedangkan tujuan pengelolaan zakat itu sendiri adalah:
a.      Untuk membentuk kepribadian muslim yang sejati.
b.     Membiasakan untuk saling memberi dan meninggalkan sifat kikir.
c.      Membersihkan harta yang kotor, akibat tidak menunaikan hak-hak orang lain dalam zakat.
d.     Mengembangkan diri supaya menjadi manusia yang sempurna imannya, dimana iman akan menjadi kunci pembuka kebaikan dan kunci penutup kejahatan.
e.      Merasakan diri untuk membedakan antara hidup susah dengan hidup senang.[14]

2)     Jenis zakat
Jenis zakat adalah substansi yang akan dilakukan dalam proses pengelolaan zakat. Sebab apabila jenis tidak jelas, maka proses penyaluran tidak akan berjalan secara optimal. Karena itu, amil yang menyalurkan pasti memiliki dan menguasai jenis zakat yang akan disalurkan pada yang berhak menerimanya. Menurut al-Bajuri, jenis zakat adalah �salah satu bahan pertimbangan bagi penerima zakat. Jenis yang disebut sebagai bahan kebutuhan ini adalah sesuatu yang membawa kenyang, sehingga penerima mampu menjadi sebagai pemenuhan kebutuhannya�.[15]
Salah satu jenis yang dikenakan zakat dari yang menyangkut dengan kebutuhan hidup (primer) adalah padi yang digunakan sebagai makanan pokok. Karena itu, apabila jumlah padi telah mencapai nisabnya wajib dikeluarkan zakatnya.
Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 27 ayat 1 dijelaskan bahwa �jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah penghasilan dan tabungan yang meliputi emas mulia, perak, logam mulia dan uang; perdagangan dan perindustrian; pertanian, perkebunan, perikanana dan peternakan; pertambangan; pendapatan dan jasa; serta rikaz.[16]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa sumber zakat yang wajib dikeluarkan zakatnya telah ditentukan dalam qanun, sehingga siapa saja tidak mengingkari kewajiban zakat dari harta yang dikumpulkannya. Oleh karena itu, membayar zakat harta merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang beriman, sehingga harta yang telah dikumpulkan bersih dari pengaruh riba dan syubhat. Dan kadar pengeluaran zakat pun telah ditentukan menurut hukum Islam. Bahkan dalam qanun juga telah diuraikan melalui pasal 29 ayat 1 yang dilengkapi dengan huruf-huruf sebagai berikut:
Kewajiban pembayaran dan pemungutan zakat disesuaikan dengan kadar, nisab dan haul sesuai dengan jenis harta, sebagai berikut:
a.      Emas, perak, atau logam mulia dan uang yang telah mencapai nisab senilai 94 gram emas dan telah disimpan selama setahun, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2, 5 % setahun;
b.     Harta usaha/perusahaan/industri yang telah mencapai nisab senilai 94 gram emas setahun wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2, 5 % dari keuntungan pertahun;
c.      Hasil pertanian yang telah mencapai nisab 5 wasaq, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 5 % setiap panen dalam hal diolah secara intensif; dan 10 % setiap panen dalam hal diolah secara tradisional.
d.     Pendapatan dan jasa yang telah mencapai nisab senilai 94 gram emas setahun wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2, 5 % pertahun;
e.      Hewan ternak kambing atau sejenisnya yang telah mencapai nisab sebanyak 40 ekor, wajib dikeluarkan zakatnya satu ekor pertahun;
f.      Hewan ternak kerbau atau sapi atau sejenisnya yang telah mencapai nisab 30 ekor wajib dikeluarkan zakatnya satu ekor pertahun;
g.     Barang hasil tambang yang mencapai nisab senilai 94 gram emas, wajib dikeluarkan zakatnya 2, 5 % setiap temuan atau produksi; dan
h.     Rikaz yang telah mencapai nisab senilai 94 gram emas, wajib dikeluarkan zakatnya 20 % setiap temuan.[17]

Qanun telah diatur secara langsung jenis dan jumlah nisab menurut masing-masing zakat. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadi perbuatan yang dapat merugikan muzakki. Sebab jika ada ketentuan yang baku dalam pengelolaan zakat kemungkinan besar akan terjadi penyelewengan. Di sisi lain penentuan jenis dan kadar nisab ini juga dilakukan untuk menghindari terjadi penggelapan zakat ketika sampai kepada badan pengelolanya.
3)     Kegiatan pengelolaan zakat
Kegiatan pengelolaan zakat adalah inti kegiatan dalam pelaksanaan zakat. Segala sesuatu yang telah diprogramkan akan dilaksanakan dalam proses pengelolaan zakat. Dalam kegiatan pengelolaan zakat akan melibatkan semua komponen zakat, kegiatan pengelolaan zakat akan menentukan sejauhmana tujuan yang ditetapkan dapat dicapai.[18]
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa melaksanakan kegiatan pengelolaan zakat merupakan suatu keharusan, terutama yang berkenaan dengan penyalurannya. Sebab mengelola zakat merupakan salah satu cara untuk menyalurkan zakat secara tepat sasaran. Namun demikian, diperlukan langkah-langkah khusus dalam penyaluran zakat. Adapun langkah-langkah penyaluran zakat adalah:
a.      Pengelola memberikan pengertian tentang makna zakat beserta sanksi yang ditetapkan syara�.
b.     Pengelola menjelaskan tentang faedah zakat yang sesuai dengan tuntunan syari�at.
c.      Pengelola memberikan contoh-contoh keterangan tentang pentingnya zakat bagi kehidupan kaum faqir miskin.
4)     Teknik
Teknik adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan pengelolaan zakat, teknik diperlukan seorang amil dan penggunaannya bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai setelah penyaluran berakhir. Seorang amil tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak menguasai satu pun teknik penyaluran yang telah dirumuskan dan dikemukakan oleh para ulama. [19]
Dalam melaksanakan pengelolaan zakat juga diperlukan penerapan teknik yang sesuai dengan kondisi masyarakat. Jika tidak, maka tujuan penyaluran pun tidak akan tercapai dengan baik. Salah satu teknik yang sering digunakan dalam penyaluran zakat adalah persentase.[20]
Berdasakan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa ada cara tertentu yang mesti dilaksanakan dalam proses penyaluran zakat, yaitu sistem persentase, yang merupakan cara paling efektif untuk mengetahui jumlah zakat yang harus disalurkan menurut senifnya masing-masing. Dengan demikian, proses penyaluran zakat akan sampai kepada sasaran sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari�at.
5)     Alat
Alat adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan zakat. Sebagai segala sesuatu yang dapat dipergunakan dalam mengelola zakat, alat mempunyai fungsi, yaitu alat sebagai pelengkap, alat sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai tujuan, dan alat sebagai tujuan.[21]
Dalam rangka menyalurkan zakat kepada kaum yang membutuhkan juga perlu digunakan berbagai macam alat yang bertujuan untuk memudahkan dalam penyeluarannya. Kebiasaannya alat yang digunakan dalam proses penyaluran zakat berupa takaran yang berguna untuk mengukur jumlah zakat yang diterima oleh masing-masing penerima. Dan alat inipun digunakan untuk memudahkan pengelola zakat dalam melaksanakan penyaluran zakat tersebut.
6)     Kadar Nisab Zakat Biji-Bijian
Sebagaimana diketahui bahwa kadar nisab zakat biji-bijian itu berasal berbagai jenis sumber yang telah ditentukan dalam hadits. Hal ini dapat dibuktikan dengan hadits yang berkenaan dengan kadar nisab zakat biji-bijian seperti yang terdapat dalam hadits Rasulullah saw sebagai berikut:
?? ??? ???? ?????? ??? ???? ??? ???: ?? ????? ??? ???? ???? ????: ??? ??? ??????? ???? ???? ???? ??? ??????? ??? ??? ???? ??? ??????? ??? ???? ???? (???? ???????) [22]
Artinya: Dari Abi Said al-Khudri r.a: Nabi s.a.w bersabda: Hasil bumi (biji-bijian) yang kurang dari lima wasaq yaitu segantang, tidak diwajibkan zakat. Unta yang kurang dari lima ekor, tidak diwajibkan zakat. Perak yang kurang dari limauqiah (satu uqiah adalah sama dengan 40 dirham perak), tidak diwajibkan zakat (H. R. Bukhari)

Berdasarkan hadits tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa Rasulullah telah menggariskan kadar nisab zakat biji-bijian yang wajib dikeluarkan oleh umat Islam yang berima kepada Allah SWT. sehingga pelaksanaan (pengelola) zakat tidak bingung dalam mengeluarkan zakat tersebut.
Oleh karena itu, dalam pengelolaan zakat, mengetahui sumber zakat sangat diperlukan, karena sumber zakat merupakan pola yang harus dijalankan. Dengan demikian, sumber itu merupakan materi yang harus disalurkan kepada orang yang berhak menerimanya. Demikian pula halnya, jika pengelola zakat tidak memahami tentang sumber zakat, maka dalam usaha pengumpulannya pun akan sangat sulit.
Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam pengelola zakat diperlukan untuk memahami mekanisme pengelolaan zakat, sehingga dalam pelaksanaannya tidak bertentangan konsep yang telah ditetapkan oleh syara�.

C.   Proses Penyusunan Qanun No. 7 Tahun 2004
Secara formal proses pembuatan qanun sama dengan pembuatan PERDA. Penyusunan qanun pada dasar dilakukan atas dasar inisiatif Pemerintah Provinsi untuk mengajukan draf rancangannya kepada DPRD Provinsi untuk dibahas secara menyeluruh dan akurat, sehingga dapat disosialisasikan ke dalam kehidupan masyarakat.
Zakat sebagai salah satu rukum Islam dan juga merupakan ibadah maliyah, mempunyai dua dimensi, yakni dimensi vertikal yang bersifat ta�abbudi dan dimensi horizontal yang merupakan ibadah ijtima�iyah (sosial). Sebagai ibadah sosial, zakat merupakan sumber dana potensial yang dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh umat.
Untuk dapat memfungsikan zakat sebagai sarana pembersih jiwa dan harta serta meningkatkan kesejahteraan kaum dhuafa, perlu adanya pengelolaan zakat secara bertanggung jawab dan professional oleh Badan Baitul Mal di bawah pembinaan dan pengawasan Pemerintah.
Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan umum pembentukan perundang-undangan yang menyatakan bahwa:
Untuk mewujudkan negara hukum diperlukan tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan undang-undang. Tertib pembentukan undang-undang harus dirintis sejak perencanaan sampai dengan pengundangannya. Untuk membentuk undang-undang yang baik, diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, azas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan maupun pemberlakuannya.[23]

Qanun tentang pengelolaan zakat dimaksudkan sebagai upaya pre-emtif, preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan �uqubat dalam bentuk �uqubat ta�zir yang dapat berupa �uqubat cambuk dan �uqubat denda (gharamah).
Oleh karena materi yang diatur dalam Qanun ini termasuk kompetensi Mahkamah Syar�iyah dan sementara ini Qanun yang sesuai dengan kebutuhan Syariat Islam belum lengkap, maka untuk menghindari kevakuman hukum, Qanun ini juga mengatur tentang penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan �uqubat.
Setelah naskah tersebut dianggap sempurna barulah diajukan ke DPRD untuk dibahas. Dalam tahap ini ada pembahasan antara legeslatif dengan eksekutif dan juga ada tahap dengar pendapat antara legeslatif dengan berbagai unsur dan lapisan dalam masyarakat untuk menjaring aspirasi yang berkembang ditengah mereka. Untuk qanun-qanun yang berkaitan dengan Syariat Islam, karena di Aceh ada majelis permusyawaratan Ulama, maka ada satu tahap yang harus dilalui yaitu konsultasi dan pembahasan antara DPRD dengan MPU atau antara pemerintah provinsi dengan MPU. Pembahasan ini tidak musti formal sekali, karena di dalam praktek langkah konsultasi ini dapat saja disekaliguskan dengan tahap-tahap lainnya diperlukan.
Tetapi sebaliknya, bila draft yang ada dianggap belum sempurna, sehingga perlu perubahan dan penyempurnaan yang relatif panjang dan bahkan ditunda atau dikembalikan kepada pihak pengusul (eksekutif atau legislatif) untuk diperbaiki dan disempurnakan dan baru akan dibahas pada masa sidang berikutnya. Setelah proses ini selesai barulah rancangan tersebut disahkan oleh DPRD, diberi nomor, ditandatangani oleh Gubernur dan diletakkan dalam lembaran Daerah sebagai tanda pengundangannya secara resmi.
Hal ini sesuai dengan teknik penyusunan Undang-Undang yang menyatakan bahwa: �rancangan peraturan daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Gubernur, atau Bupati/walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten, atau kota�.[24]
Secara umum, proses pembahasan ini harus dimulai dengan penyiapan naskah akademik, inventarisasi masalah dan penyusunan sistematika. Ketiga langkah ini tidak musti berurutan. Setelah ini barulah dilakukan penulisan draf awal, yang dilanjutkan dengan penyempurnaan-penyempurnaan yang terus diulang sampai dianggap memadai bahkan sempurna.
Penyempurnaan ini akan terjadi dalam diskusi-diskusi dikalangan tim penulis (perancang) sendiri, dalam pembahasan antar instansi dikalangan eksekutif, dalam pembahasan intern legislatif (DPRD dan atau MPU) atau dalam musyawarah antar para pihak, misalnya setelah mendapat masukkan dari masyarakat melalui proses dengan pendapat langsung atau proses sosialisasi melalui media massa.
Hal ini sesuai dengan pernyataan peraturan yang menyatakan bahwa: �Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan dalam berita Daerah�.[25]
Diskusi tentang hal ini akan dilakukan secara serius dan mendalam, karena seperti telah disebutkan sebelumnya, belum ada model kongkrit yang dapat dicontoh dan dipedomi. Atas dasar ini maka penulisan qanun bahkan keputusan gubernur sebagai aturan pelaksanaannya, tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa, betul-betul harus disesuaikan dengan kesiapan dan kemampuan tenaga ahli.
Qanun tentang lembaga keuangan Islam sebagai contoh, sebetulnya mendesak sekali karena masyarakat menginginkan agar kegiatan ekonomi mereka secepatnya dibebaskan dari praktek yang mengandung riba. Keadaan ini menjadi semakin kondusif karena dalam bidang ini masih ada kekosongan hukum, baik pada tingkat lokal maupun nasional, yang sekiranya diisi tidak akan menimbulkan banyak masalah dan persinggungan hukum.
Tetapi penulisan ini tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat karena tenaga yang ada khususnya di Aceh dianggap belum memadai. Sedang kalau mengambil tenaga dari luar Aceh masih terbentur dengan berbagai kendala, diantaranya mekanisme perencanaan dan pengesahan anggaran serta pencairan dan pertanggung jawaban keuangan yang seharusnya tidak boleh jadi kendala. Di samping ada kesulitan tentang rancangan model dan arah yang akan dicapai yang memang belum final dan masih harus didiskusikan dan dipertajam secara terus-menerus.
Dalam penyusunan draft qanun maka kronologi proses lahirnya qanun-qanun terutama qanun Nomor 7 tahun 2004 diawali dengan diadakannya rapat Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan instansi terkait, yang dilaksanakan pada tanggal 15 Oktober 2003. Dalam pelaksanaan rapat dinas tersebut dibahas tentang pembentukan tim penyusun draft awal rancangan qanun  tentang pengelolaan zakat.
Langkah selanjutnya dalam penyusunan draf tersebut adalah diadakan public review (peninjauan kembali) terhadap draf qanun yang telah dirancang. Public review terhadap draf qanun tersebut. Kemudian draf qanun tersebut diseminarkan. Kemudian rancangan qanun tersebut disosialisasikan atau diperkenalkan kepada masyarakat luas melalui media massa antara lain Harian Serambi Indonesia Banda Aceh. Setelah proses sosialisasi dilakukan, maka draf qanun diajukan sebagai suatu rancangan qanun ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (DPRD NAD) untuk dibahas dan disahkan.
Proses pembahasan rancangan yang telah diajukan ke DPRD NAD tersebut dilaksanakan dalam Rapat Kerja DPRD NAD. Selanjutnya pengesahan rancangan qanun menjadi qanun dilakukan oleh DPRD NAD dalam melalui sidang paripurna. Selanjutnya tahap akhir dari proses lahirnya qanun tersebut adalah diundangkan (ditetapkan) dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. [26]
Hal ini sesuai dengan pernyataan TIM Penyusun Undang-Undang yng menyatakan bahwa: �pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama presiden atau menteri yang diberi tugas untuk pembahasan tersebut.[27]
Hal ini dilakukan, karena pada masa sekarang, untuk hal-hal tertentu pemerintah (Pusat dan daerah) telah terlibat dan bahkan merasa sangat bertanggungjawab dalam pelaksanaan Syari'at Islam, tetapi dalam hal-hal lainnya menghalangi masyarakat melaksanakan Syari'at Islam. Dalam hal lain, umat Islam dibiarkan melaksanakan aturan Islam tanpa campur tangan pemerintah, seperti kesediaan melaksanakan shalat dan mengajarkan ajaran agama lainnya, begitu juga kesediaan tidak meminum minuman keras. Sedangkan dibidang lainnya cenderung dihalangi. Misalnya, Syari'at Islam menyuruh umat Islam menutup aurat dengan baik, tetapi pemerintah Indonesiapada masa Orde Baru menetapkan bahwa pas photo yang akan ditempelkan pada dokumen-dokumen resmi harus menampakkan rambut dan telinga. Oleh karena itu, kaum muslimin khususnya kaum perempuan harus menampakkan rambut ketika membuat pas photo dan tidak boleh menolak. Jika dokumen itu tetap diberikan tidak sesuai dengan syarat yang ditetapkan maka dokumen itu paling kurang oleh kalangan dan oknum tertentu, akan dianggap tidak sah atau tidak dihargai.[28]
Sebetulnya pada tahun 1959 yang lalu pemerintah telah memberikan keistimewaan kepada Aceh dalam bidang pendidikan, peradatan dan pengamalan ajaran agama. Tetapi keistimewaan ini tidak pernah dapat diimplementasikan di tengah masyarakat, bahkan ada kesan dihalangi dan secara tidak langsung telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pemerintahan di Daerah.[29]
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 adalah peraturan untuk melaksanakan keistimewaan yang telah diberikan kepada Aceh sejak tahun 1959 itu. Tetapi karena rumusan yang ada dalam Undang-Undang ini tidak memadai, maka dalam rentang waktu dua tahun ditambah dengan satu Undang-Undang lagi yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan kedua Undang-Undang ini umat di Aceh telah diberi izin melaksanakan Syari'at Islam secara penuh dan lebih sempurna. Dengan kata lain, melalui kedua Undang-Undang ini umat Islam di Aceh diberi izin merumuskan kebijakan dan membuat peraturan tentang tata kehidupan masyarakat yang sejalan atau tidak bertentangan dengan Syari'at Islam.
Oleh karena itu, pembuatan Qanun No. 7 Tahun 2004 yang merupakan salah satu usaha untuk mempermudah pelaksanaan Syari'at Islam terhadap pengelolaan zakat, maka dirumuskan konsideren sebagai berikut:
a.      Bahwa keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didasarkan pada Undang-Undang No. 44 Tahun 2001, antara lain dibidang pelaksanaan Syari�at Islam dalam kehidupan masyarakat guna terwujudnya tata kehidupan masyarakat yang tertib, aman, tenteram, sejahtera dan adil untuk mencapai ridha Allah SWT;
b.     Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan b perlu membentuk qanun tentang pengelolaan zakat.
Setiap pemeluk agama Islam wajib mentaati, mengamalkan/menjalankan Syari'at Islam secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna, baik melaui diri pribadi, keluarga, masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demi terwujudnya pelaksanaan Syari'at Islam dalam masyarakat, maka banyak hal yang mendasar yang harus dibenahi dan ditata ulang terlebih dahulu dan untuk itu diperlukan suatu aturan atau Undang-Undang yang menjadi pembatas terhadap berhasilnya pelaksanaan Syari'at Islam tersebut. Salah satu dari hal yang harus dibenahi tersebut adalah dibidang pengelolaan zakat agar sesuai dengan ketentuan yang ditentukan oleh Islam. Bila pengelolaan zakat tidak mengikuti peraturan yang berlaku dalam Islam. Adabeberapa dasar penyusunan qanun tersebut, di antaranya adalah:
1. Al-Qur'an;
2. Al-Hadits;
3. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
4. Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209;
6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
7. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
12. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70);
13. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1986 tentang Ketentuan Umum Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah;
14. Peraturan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari�at Islam (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);
15. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari�at Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 2 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4);
16. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari�at Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5);
Penentuan ruang lingkup tersebut dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
a.      Menegakkan Syari�at Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
b.     Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan;
c.      Mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada penyelewengan zakat;
d.     Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya penyelewengan zakat;

D.   Materi Qanun No. 7 Tahun 2004
Sepanjang sejarah, masyarakat Aceh telah menjadikan agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya. Melalui penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang (sejak abad ke VII M) telah melahirkan masyarakat dan budaya Aceh yang Islami. Budaya dan adat Aceh yang lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan dan dilestarikannya. Dalam ungkapan bijak disebutkan �Adat bak Poteu Meureuhom, Hukum bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang Reusam bak Laksamana�. Ungkapan tersebut merupakan pencerminan bahwa Syari�at Islam telah menyatu dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh melalui peranan ulama sebagai pewaris para Nabi.
Fakta sejarah tersebut menjadi kabur sejak Kolonial Belanda dan Jepang menguasai Aceh bahkan hingga Indonesiamencapai kemerdekaannya. Dan munculnya era reformasi pada tahun 1998, semangat dan peluang yang terpendam untuk memberlakukan Syari�at Islam di beberapa daerah di Indonesia muncul kembali, terutama di Aceh yang telah lama dikenal sebagai Serambi Mekah. Semangat dan peluang tersebut kemudian terakomodir dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Peluang tersebut semakin dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di samping itu pada tingkat Daerah pelaksanaan Syari�at Islam telah dirumuskan secara yuridis melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari�at Islam.
Secara umum Syari'at Islam di bidang hukum memuat norma hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat/bernegara dan norma hukum yang mengatur moral atau kepentingan individu yang harus ditaati oleh setiap orang. Ketaatan terhadap norma hukum yang mengatur moral sangat tergantung pada kualitas iman, taqwa dan hati nurani seseorang, juga disertai sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya.
Dalam sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi; yaitu sanksi yang bersifat definitif dari Allah dan Rasul dan sanksi yang ditetapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum. Dalam banyak hal penegakan hukum menuntut peranan Negara. Hukum tidak berjalan bila tidak ditegakkan oleh Negara. Di sisi lain suatu Negara akan tidak tertib bila hukum tidak ditegakkan.
Bentuk ancaman �uqubat cambuk bagi si pengelola zakat yang melanggar ketentuan yang seharusnya juga dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku sekaligus menjadi peringatan bagi anggota masyarakat lainnya untuk tidak melakukan pelanggaran. Di samping �uqubat cambuk akan lebih efektif dengan memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi pelanggar qanun tersebut. Jenis �uqubat cambuk juga berdampak pada biaya yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih murah dibandingkan dengan jenis �uqubat lainnya seperti yang dikenal dalam KUHP sekarang ini.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa ancaman hukuman ta�zir yang dijatuhkan bagi pengelola zakat yang melanggar merupakan upaya pemerintah untuk menyadarkan simuzakki untuk menunaikan zakatnya sesuai dengan ketentuan kadar nisab hartanya. Apalagi penjatuhan hukuman ta�zir juga dimaksudkan debagai isyarat untuk menyadarkan simuzakki agar rela menunaikan zakatnya dengan sukarela, sehingga pihak Baitul Mal sebagai lembaga zakat tidak perlu bersusah payah dalam mengumpulkan zakat dari simuzakki.




[1]Mahmud Syaltout, al-Aqidah al-Islam, (Terj. Farid Ma�aruf) Jakarta: Bulan Bintang, 1988, hlm. 98

[2]Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Terj. Abdul Hayyie al-Katanie, Jakarta: Internusa, 2004, hlm. 414

[3]Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hlm. 96
[4]Surat Keputusan Walikota Banda Aceh Nomor 154 Tahun 2004, hlm. 4

[5]Mahmud Syaltut, Op. cit, hlm. 89

[6]Surat Keputusan Kepala Baitul Mal Nomor 53 Tahun 2004, hlm. 2

[7]Ibid., hlm. 2
[8]Ibid., hlm. 3
[9]Undang-Undang Nomo 38 Tahun 1999, hlm. 3

[10]Anonim, Himpunan Undang-Undang Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Intruksi Gubernur dan Edaran Gubernur, Banda Aceh: Dinas Syari�at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004, hlm. 354
[11]Surat Keputusan Walikota Banda Aceh Nomor 154 Tahun 2004, hlm. 3

[12]Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam, Cet. II, Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 12
[13]Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Surabaya: Pustaka Rizki Putra, 2005), hlm. 84

[14]Ibid, hlm. 50

[15]Al-Bajuri, Al-Bajuri, Jil. II, Beirut Libanon: al-Halabi al-Babi, t.t.,, hlm. 203

[16]Anonim, Op. cit., hlm. 360

[17]Ibid., hlm. 361-362

[18]Ibid., hlm. 204

[19]Abdurrahman Qadir, Op. cit, hlm. 90
[20]Ibid. hlm. 100

[21]Yusuf Qardhawi, Op. cit., hlm. 122

[22]Imam Bukhari, Shahih Bukhari,Beirut Libanon: Dar al-Fikr, t.t., hal. 360
[23]TIM Penyusun, Undang-UndangRI No. 10 Tentang Pembentukan Perundang-undangan, Jakarta: Citra Utama, 2004, hlm. 25
[24]TIM Penyusun, Op cit., hlm. 13
[25]TIM Penyusun, Op cit., hlm. 21
[26]Al-Yasa� Abubakar, Syari'at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;Paradigma Kebijakan dan kegiatan, Banda Aceh, Dinas Syari'at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004, hlm. 23

[27]TIM Penyusun, Op cit., hlm. 14
[28]Ibid., hlm. 24

[29]Ibid., hlm. 25