Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Dasar dan Tujuan Pendidikan


A.    Dasar dan Tujuan Pendidikan
     
Dasar dan Tujuan Pendidikan

Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan mempunyai tujuan landasan tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu pendidikan anak sebagai usaha untuk membentuk manusia, harus mempunyai dasar ke mana kegiatan dan perumusan tujuan pendidikan anak itu dihubungkan.
Dasar pendidikan menurut Ibrahim Amini adalah:
1.     Alquran
Alquran ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Alquran itu terdiri dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut dengan aqidah, yang berhubungan dengan ibadah disebut syari’ah.
“Alquran dijadikan sebagai sumber pendidikan yang utama karena ia memiliki nilai absolut yang diturunkan dari Allah Swt”[1].  Disamping itu, Ibrahim Amini juga mengemukakan bahwa “manusia memiliki kelayakan dan kemampuan menerima kewajiban perintah dan larangan, untuk itu dia memperoleh program hidup dan gerak kesempurnaan dari Allah Swt”[2].
Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan wahyu tidak banyak dibicarakan dalam Alquran tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan. Ini menunjukkan bahwa amal itulah yang paling banyak dilaksanakan. Sebab semua amal perbuatan manusia adalah hubungannya dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan manusia sesama (masyarakat), dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal shaleh (syariah). Istilah-istilah yang biasa digunakan dalam membicarakan ilmu tentang syariah ini ialah:
1.     Ibadah untuk perbuatan langsung berhubungan dengan Allah.
2.     Mu’amalah untuk perbuatan yang berhubungan dengan selain Allah.
3.     Akhlak untuk tindakan yang menyangkut etika dan budi pekerti dalam pergaulan.[3]

Lebih lanjut Ibrahim Amini mengemukakan bahwa “Islam memandang manusia sebagai wujud multi dimensi, yang penciptaannya dimulai dari materi yang tidak mempunyai kecerdasan, namun setelah meneliti peringkat-peringkat kesempurnaan ia berubah menjadi satu bentuk maujud yang lebih utama dari materi”[4].
2.     Tauhid
Menurut Ibrahim Amini “manusia mempunyai fitrah mengenal Allah. Manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga secara otomatis ia cenderung kepada Sumber Wujud dan Kekuatan Yang Mahadahsyat, dan tunduk di hadapan kebesaran-Nya. Manakala menghadapi krisis dan kesulitan ia berlindung kepada-Nya. Manusia memiliki kecenderungan kepada agama. Kecenderungan kepada pencarian dan penyembahan Tuhan merupakan sebuah insting yang tertanam pada diri manusia.[5]

Abdullah Nashih ulwan mengemukakan bahwa “fitrah Allah adalah manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama tauhid. Jika ada manusia tidak memiliki agama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka yang tidak beragama tauhid itu hanyalah karena pengaruh lingkungan”[6].
Lebih lanjut Ibrahim Amini mengemukakan bahwa “Alquran meyakini bahwa keyakinan dan pengakuan terhadap adanya Tuhan merupakan fitrah manusia. Seluruh manusia, bahkan orang-orang musyrik sekalipun mengakui yang demikian”[7]. Oleh karena itu, dalam banyak ayat Alquran disebutkan bahwa jika orang-orang musyrik ditanya, siapa pencipta langit dan bumi, mereka akan menjawab, Allah yang telah menciptakan.
Fitrah mengenal Tuhan, fitrah untuk tunduk dan menyembah kepada-Nya telah ditanamkan pada diri manusia. Fitrah dan perasaan yang seperti ini sudah ada pada diri manusia sejak ia masih kecil, namun pada awalnya samar, lalu menjadi sebuah potensi, dan kemudian sedikit demi sedikit menjadi bangkit dan berkembang.[8]

Seorang anak, di dalam dirinya dia merasakan bahwa dirinya butuh dan bergantung, dan secara fitrah dia cenderung kepada sesuatu yang dapat menyediakan segala kebutuhannya namun dia belum mempunyai kemampuan untuk menentukan. Terkadang, ia menyangka ibunya sebagai kekuatan hebat tersebut.
Di dalam Alquran terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca dalam kisah Luqman mengajari anaknya dalam surat Luqman ayat 12 sebagai berikut:
 ÙˆَØ¥ِØ°ْ Ù‚َالَ Ù„ُÙ‚ْÙ…َانُ Ù„ِابْÙ†ِÙ‡ِ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ ÙŠَعِظُÙ‡ُ ÙŠَا بُÙ†َÙŠَّ Ù„َا تُØ´ْرِÙƒْ بِاللَّÙ‡ِ Ø¥ِÙ†َّ الشِّرْÙƒَ Ù„َظُÙ„ْÙ…ٌ عَظِيمٌ,) لقمان: ١٣ (
Artinya:   Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.. (Qs. Luqman: 13).
Cerita ini menggariskan prinsip materi pendidikan yang terdiri dari masalah iman, akhlak ibadah, sosial dan ilmu pengetahuan. Pada bagian lain Ibrahim Amini juga mengemukakan bahwa “fitrah mencari tuhan dapat dijelaskan dengan insting mencari sebab, yang bersumber dari ilmu hudhuri tentang diri manusia”[9]. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus mengunakan Alquran sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai materi tentang pendidikan Islam.
3.     Akhlak
Menurut pengertian bahasa, “perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab yang artinya budi pekerti”[10]. Menurut konsep Ibrahim Amini, “akhlak menjadi fokus seluruh agama-agama samawi terutama agama Islam. Akhlak  adalah tema yang selalu menjadi perhatian besar para ulama Islam dan akan terus demikian sepanjang hidup”[11]. Akhlak adalah risalah terpenting yang diemban oleh Nabi Muhammad Saw.
Para Nabi membawa misi untuk mengajarkan tazkîyah nafs, akhlak yang mulia dan agar menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk. Mereka ingin mengajarkan agar sifat-sifat yang mulia bersemai di dalam hati manusia. Lebih lanjut Ibrahim Amini menjelaskan bahwa akhlak paralel dengan kepentingan kehidupan manusia dari dua sisi:
a).   Akhlak yang mulia itu sesuai dengan sifat dasar malakutiyahnya. Manusia yang senantiasa berusaha menyempurnakan akhlaknya yang mulia berarti juga menyempurnakan jiwanya; ketika jiwa sempurna maka akan semakin dekat dengan Allah Swt. Sebaiknya akhlak buruk juga sama sekali tidak sesuai dengan sifat dasar malakutiyahnya; dapat menjatuhkan ke tahapan paling rendah dan kesengsaraan di akhirat.
b).   Akhlak yang mulia juga memegang peranan yang sangat besar dalam kehidupan seseorang. Akhlak yang mulia juga bisa memberikan kebahagiaan kepada seseorang. Orang yang memiliki akhlak yang mulia juga akan mampu menghadapi rintangan-rintangan hidup dengan cara yang baik, berbeda dengan mereka yang tidak memiliki akhlak yang mulia; mereka ini tak ubahnya dengan memelihara binatang di dalam dirinya yang selalu menggigit dan menyakitinya dan itulah beban derita yang sangat berkepanjangan. Memang biasanya manusia yang memiliki karakter buruk tidak akan  memiliki kehidupan yang bahagia.[12]

Akhlak yang baik juga memberikan kontribusi yang sangat besar kepada lingkungannya. Situasi yang aman, ketenteraman di lingkungan sekitarnya adalah dampak dari orang-orang yang memiliki karakter yang baik. Hidup di tengah-tengah manusia yang memiliki sifat-sifat yang baik adalah kehidupan yang didambakan setiap orang. Sebaliknya bisa dibayangkan betapa menderitanya seseorang yang dikelilingi manusia-manusia yang memiliki karakter yang buruk. Jadi bisa disimpulkan alangkah signifikannya akhlak itu baik dalam kehidupan di dunia ini maupun untuk keselamatan dirinya di akhirat nanti.  Jika demikian maka pendidikan akhlak adalah program yang tidak boleh ditunda-tunda lagi karena berkaitan dengan seluruh dimensi kehidupan manusia. Sekalipun diakui bahwa pendidikan karakter alias mendidik akal yang baik dan mengikis sifat-sifat yang buruk bukan pekerjaan yang gampang. Ini adalah aktivitas yang menuntut keseriusan, profesionalisme, kerja sama seluruh elemen dan keseriusan dari para pakar dalam bidang pendidikan akhlak dan juga mereka yang berkecimpung di lapangan.
Para ilmuwan berkewajiban terus menerus mencari pola dan metode dalam bidang pendidikan akhlak yang baik supaya metode itu dapat diajarkan oleh para guru. Di lain pihak para pendidik juga harus komitmen dalam mengawasi anak asuhannya baik anak-anak remaja atau anak muda dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melalaikan tanggung jawab tersebut. Mereka juga dapat menerapkan metode-metode hasil temuan para pakar pendidikan untuk mengembangkan sifat-sifat baik dalam diri seseorang dan mengikis sifat-sifat buruknya dengan selalu terbuka dengan segala nasihat. Umumnya  apa yang diharapkan tidak selalu berjalan lancar.
Sementara itu para pakar sibuk dengan memperhatikan hal-hal yang bersifat jasmani dan tidak memiliki waktu dan kesempatan yang cukup untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada urusan pembinaan mental, demikian juga para guru lebih banyak memfokuskan pada pendidikan fisik dan lengah dengan pendidikan jiwa. Dan yang dirugikan adalah masyarakat manusia sendiri.
Tujuan pendidikan adalah salah satu unsur pendidikan berupa rumusan tentang apa yang harus dicapai oleh peserta didik yang berfungsi sebagai pemberi arah bagi semua kegaiatan pendidikan. Tujuan pendidikan menjadi pedoman dalam rangka menentapkan isi pendidikan, metode pendidikan, alat pendidikan dan tolak ukur dalam rangka melakukan evaluasi terhadap hasil pendidikan.
Menurut Ibrahim Amini “tujuan pendidikan adalah dari sisi sebagai jasmani manusia mempunyai rupa dan susunan khusus yang dengannya manusia dapat tumbuh dan berketurunan”[13]. Dari sisi ini pula manusia dapat sehat dan sempurna atau sakit dan tidak sempurna. Oleh karena itu, pendidikan berpengaruh terhadap kondisi fisik anak, dan tentunya hal ini harus mendapat perhatian dari para pendidik. Para pendidik harus memperhatikan perkembangan fisik anak, dan harus berusaha mendidik mereka menjadi individu yang sehat, kuat dan seimbang.
Dari sisi sebagai hewan, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang untuk memenuhinya telah diletakkan berbagai insting dalam dirinya dan untuk mencapainya telah diciptakan baginya anggota-anggota tubuh yang sesuai. Manusia memiliki perasaan, kehendak, kemampuan gerak, syahwat dan marah, yang jika ia kehilangan salah satu darinya maka kehidupan hewaninya menjadi terganggu. Insting-insting ini merupakan fasilitas bagi kehidupan hewaninya, dan jika salah satunya hilang atau tidak sempurna maka akan menyebabkan ketidaksempurnaan. Sikap ifrath dan tafrith dan keluar dari batas keseimbangan merupakan sebuah kekurangan dan akan menjadikan kehidupan manusia menjadi pincang.[14]

Oleh karena itu, dalam mendidik anak para pendidik harus mengembangkan insting dan sifat-sifat hewani si anak secara seimbang. Atau dengan kata lain, mereka harus mendidik seorang individu sehingga menjadi seorang yang memiliki kehendak, aktif, semangat, penuh gerak, memiliki tubuh yang sehat dan anggota tubuh yang sempurna dan kuat.
Lebih lanjut Ibrahim Amini mengemukakan bahwa manusia tidak terbatas hanya pada dimensi-dimensi fisik, tumbuhan dan hewan saja, melainkan manusia juga mempunyai dimensi insani dan ruh malakut yang lebih unggul dari alam materi. Yaitu sebuah maujud mujarrad, pilihan dan merupakan khalifah Allah. Manusia memiliki kemampuan keilmuan yang tidak dimiliki hewan-hewan yang lain. Manusia diciptakan bebas, mempunyai kemampuan memilih dan mengemban kewajiban di pundaknya. Manusia mempunyai fitrah mencari dan menyembah Tuhan.[15]

Makhluk pilihan Allah ini tidak akan lenyap dengan mati melainkan ia hanya berpindah dari alam ini ke alam akhirat dan kelak akan melihat hasil dari amal perbuatannya. Dengan perantaraan ilmu, iman, amal saleh dan berakhlak dengan akhlak-akhlak yang terpuji, diri manusia menjadi sempurna dan menjadi dekat dengan Allah Swt; sebaliknya keyakinan yang menyimpang, amal perbuatan buruk dan akhlak tercela akan menjatuhkan dan menjerumuskannya.
Untuk itu, para pendidik harus mengembangkan sisi-sisi kemanusiaan anak dan mendidiknya supaya menjadi manusia. Para pendidik harus mendorong dan mengembangkan fitrah iman kepada Allah dan hari akhir pada diri anak, memperkuat akhlak terpuji yang ada pada dirinya dan mengikis akhlak yang tercela. Para pendidik harus mendidik mereka menjadi manusia yang berakal, cerdas, beriman, berakhlak baik, menghendaki kebaikan, berbicara benar, dapat dipercaya, teguh, berani, mendambakan keadilan, berpegang pada janji, suka berkorban, mengenal kewajiban, disiplin, rendah hati, gigih dan ulet. Pendidik tidak boleh mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan anak dan hanya memperhatikan sisi-sisi fisik dan hewani anak saja. Pendidikan yang seperti ini jelas salah, tidak sempurna dan merupakan pengkhianatan kepada anak.
Pada bagian lain Ibrahim Amini juga mengemukakan bahwa “target dan tujuan pendidikan itu luas dan mencakup seluruh dimensi wujud manusia terutama dimensi-dimensi insaninya. Seorang pendidik anak harus tahu bahwa ia sedang mendidik seorang manusia bukan sedang mendidik seekor hewan, dan untuk itu pendidikan terhadap dimensi-dimensi kemanusiaannya harus lebih diutamakan”[16].



               [1] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 32.

               [2] Ibrahim Amini, Agar Tak Salah..., hal. 46.

               [3] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. 5, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 20.
               [4] Ibrahim Amini, Agar Tak Salah..., hal. 14.

               [5] Ibid., hal. 21.
              
               [6] Abdullah nashih Ulwan, Konsep Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asy-Syifa, 1993), hal. 43.

               [7] Ibrahim Amini, Agar Tak Salah..., hal. 22.
               [8] Ibrahim Amini, Agar Tak Salah..., hal. 21.
               [9] Ibid., hal. 31.

               [10] Fauzi Saleh, Konsep Pendidikan dalam Islam (Pendidikan Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Anak), (Banda Aceh: Yayasan PeNa, 2005), hal. 28.

               [11] Ibrahim Amini, Agar Tak Salah..., hal. 228.
               [12] Ibrahim Amini, Agar Tak Salah..., hal. 229.
               [13] Ibid., hal. 14.
               [14] Ibid., hal. 70.

               [15] Ibid., hal. 70.
               [16] Ibid., hal. 71.