BAB II
EKSISTENSI PRESTASI DAN PENDIDIKAN AGAMA
A. Pengertian Prestasi
1. Pengertian Prestasi
Dalam Ensiklopedi
Nasional Indonesia disebutkan prestasi adalah : ”Hasil perjuangan sendiri yang
memperoleh pengakuan.”[1] Namun
Abu Ahmadi memberikan pengertian adalah “hasil yang didapati siswa selama
belajar”.[2]
Menurut
David Krech, dkk., mendapatkan hasil belajar dapat dilakukan melalui proses
kognisi yang kompleks dan menghasilkan sesuatu yang mungkin dicapai atau
dicita-citakan. Karena itu, prestasi merupakan berperan aktif sebagai stimulus
yang diterima, tetapi diri orang tersebut secara total, baik pengalaman, sikap serta
motivasinya terhadap stimulus atau objek
itu.”[3]
Prestasi
adalah suatu hasil usaha yang didapat
siswa dan siswi selama mengikuti proses pembelajaran. Prestasi dapat
ditingkatkan dengan cara memberikan motivasi kepada siswa agar mereka giat
dalam belajar, sehingga apa yang diinginkannya dapat tercapai dengan baik.[4]
2. Faktor Yang Mempengaruhi
Prestasi
Dalam meningkatkan
prestasi belajar agama di sebuah lingkungan sekolah, tentunya dipengaruhi oleh
beberapa hal yang berhubungan erat dengan peningkatan prestasi antara lain
adalah:
Menurut Thoha ada tiga faktor yang mempengaruhi
meningkatkan prestasi belajar, yaitu:
a.
Faktor Psikologis
Prestasi
seorang siswa dalam belajar dipengaruhi oleh keadaan psikologis atau kejiwaan.
Pengalaman mental merupakan salah satu faktor bagi seorang guru adalah menilai
dan menanggapi suatu masalah. Kondisi psikologis yang sedang tenang akan
menghasilkan fikiran yang rasional, sehingga prestasi yang diharapkan
benar-benar tinggi. Bila kondisi siswa sedang senang ia akan berpikir yang baik
mengenai belajar di sekolah.[5]
b.
Faktor Keluarga
“Keluarga yang merupakan
tempat pertama kali anak belajar segala sesuatu. Pola pikiran orang tua secara
perlahan-lahan akan ikut juga mewarnai pola pikiran anaknya. Bila orang tua
memandang segala sesuatu masalah dari sudut pandang yang positif dan objektif,
hal itu akan berpengaruh pada pola pikir anaknya dimasa mendatang”.[6]
c.
Faktor Kebudayaan
Kebudayaan
dan lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang juga merupakan salah satu
faktor pembentukan prestasi dalam diri siswa.
Berdasarkan penjelasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa prestasi seorang siswa sangat dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain:
1. Faktor psikologis, termasuk emosional, keluarga dan
lingkungan.
2. Faktor karakteristik guru yang pada dasarnya berbeda dan
unik dari guru lain.
3. Faktor penilaian guru itu sendiri terhadap objek yang
diamati berdasarkan hasil pendidikan, kebiasaan dan ketentuan yang berlaku
dalam lingkungan tempat guru itu tumbuh dan berkembang.[7]
3. Usaha-Usaha Peningkatan
Prestasi Belajar
Meningkatkan prestasi siswa merupakan
tugas dan tanggung jawab guru yang mesti dilakukan jika terdapat siswa yang
nakal dalam belajar.[8]
Namun dalam melakukan usaha peningkatan prestasi siswa, maka guru memerlukan
beberapa cara, antara lain:
1. Memberi angka
Angka dalam hal ini sebagai simbol
dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa belajar yang utama justru untuk
mencapai angka atau nilai yang baik. Angka-angka yang baik itu bagi para siswa
merupakan motivasi yang sangat kuat. Namun demikian yang harus diingat oleh guru bahwa pencapaian angka-angka
seperti itu belum merupakan hasil belajar yang sejati, hasil belajar yang
bermakna.
2. Hadiah
Hadiah dapat juga dikatakan sebagai
motivasi, tetapi tidaklah selalu demikian. Karena hadiah untuk suatu pekerjaan,
mungkin tidak akan menarik bagi seseorang yang tidak senang dan tidak berbakat
untuk sesuatu pekerjaan tersebut.
3. Saingan/Kompetisi
Saingan atau kompetisi dapat digunakan
sebagai alat motivasi untuk mendorong belajar siswa. Persaingan, baik
persaingan individual maupun persaingan kelompok dapat meningkatkan prestasi
belajar siswa.
4. Ego – Involvoment
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa
agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga
bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri, adalah sebagai salah satu
motivasi yang cukup penting.
5. Materi Ulangan
Para siswa akan menjadi giat belajar
jika mengetahui akan ada ulangan. Oleh karena itu, memberi ulangan merupakan
sarana motivasi, tetapi memberikan ulangan jangan terlalu sering, karena siswa
bisa bosan dan bersifat rutinitas.
6. Mengetahui Hasil
Dengan mengetahui hasil pekerjaan,
apalagi kalau terjadi kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar.
Semakin mengetahui bahwa grafik hasil belajar meningkat, maka motivasi pada
diri siswa untuk terus belajar dengan suatu harapan hasilnya terus meningkat.
7. Pujian
Pujian merupakan bentuk motivasi yang
positif sekaligus umpan balik yang baik. Oleh karena itu, supaya pujian ini
merupakan motivasi, pemberiannya harus tepat.
8. Hukuman
Hukuman sebagai reinforcement
yang negatif kalau diberikan secara tepat dan bijak maka bisa menjadi alat
motivasi. Tetapi guru harus memahami prinsip-prinsip pemberian hukuman.
9. Hasrat untuk Belajar
Hasrat untuk belajar berarti pada diri
anak didik itu memang ada motivasi untuk belajar dari diri anak didik sendiri
sehingga hasilnya akan lebih baik.
10. Minat
Motivasi sangat erat hubungannya
dengan unsur minat. Motivasi muncul karena ada kebutuhan proses belajar
mengajar akan berjalan lancar kalau disertai dengan minat. Minat antara lain
dapat dibangkitkan dengan cara-cara sebagai berikut:
a) Membangkitkan adanya suatu
kebutuhan.
b) Menghubungkan dengan
persoalan pengalaman yang lampau.
c) Memberikan kesempatan untuk
mendapatkan hasil yang baik.
d) Menggunakan berbagai macam
bentuk mengajar.
11. Tujuan yang Diakui
Rumusan tujuan yang diakui dan
diterima baik oleh siswa, akan merupakan alat komunikasi yang sangat penting.
Sebab dengan memahami tujuan yang harus dicapai, karena dirasa sangat berguna
dan menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk terus belajar.
Bermacam-macam motivasi itu dapat
dikembangkan dan diarahkan guna untuk dapat melahirkan hasil belajar yang
bermakna. Pada mulanya, karena bentuk motivasi siswa rajin belajar, tetapi guru
harus mampu mengarahkan dari tahap rajin belajar kepada kegiatan belajar yang
bermakna.
B. Pendidikan Agama
1. Pengertian Pendidikan Agama
Lapangan
pendidikan agama identik dengan ruang lingkup pendidikan Islam, yaitu bukan
sekedar proses pengajaran (face to face), tetapi mencakup segala usaha penanaman (internalisasi)
nilai-nilai Islam ke dalam diri subjek didik. Usaha tersebut dapat dilaksanakan
dengan mempengaruhi, membimbing, melatih, mengarahkan, membina dan
mengembangkan kepribadian subjek didik. “Tujuannya adalah agar terwujudnya
manusia muslim yang berilmu, beriman dan
beramal salih. Usaha-usaha tersebut dapat dilaksanakan secara langsung ataupun secara tidak langsung”.[9]
Dalam
bahasa Arab pendidikan diistilahkan dengan tarbiyah, istilah ini berarti
mengasuh, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan,
membesarkan, memproduksi hasil-hasil
yang sudah matang. Pemahaman yang lebih rinci mengenai
tarbiyah ini harus mengacu kepada
substansial yaitu pemberian pengetahuan, pengalaman dan kepribadian. Karena itu
pendidikan Islam harus dibangun dari
perpaduan istilah 'ilm atau 'allama (ilmu, pengajaran). 'adl (keadilan), 'amal (tindakan), haqq
(kebeenaran atau ketetapan hubungan dengan
yang benar dan nyata, nuthq
(nalar), nafs (jiwa), qalb (hati), 'aql (pikiran atau
intelek), meratib dan darajat (tatanan hirarkhis), ayat
(tanda-tanda atau symbol), tafsir dan
ta'wil (penjelasan dan penerangan), yang secara keseluruhan terkandung
dalam istilah adab.[10]
Secara
keseluruhan definisi yang bertemakan
pendidikan agama itu mengacu kepada suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan pendidikan agama adalah
upaya membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didik yang dilakukan secara sadar dan terencana
agar terbina suatu kepribadian yang
utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Tujuan ini secara herarkhis
bersifat ideal bahkan universal. Tujuan tersebut dapat dijabarkan pada tingkat yang lebih rendah lagi, menjadi tujuan yang bercorak nasional, institusional,
terminal, klasikan, perbidang studi, berpokok ajaran, sampai dengan setiap kali
melaksanakan kegiatan belajar mengajar.[11]
2. Tujuan Pendidikan Agama
Tujuan
umum pendidikan dan pengajaran dalam Islam ialah menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba
Allah, mengingat Islam adalah risalah samawi yang diturunkan kepada seluruh
manusia sejak detik-detik pertama turunnya Islam. Tujuan strategis ini, sesuai
dengan firman Allah sebagai berikut:
ان هو
الا ذكر للعالمين (التكوير: ٢٧)
Artinya: "Al-Qur'an tidak
lain hanyalah peringatan bagi semesta alam." (Q. S. At-takasur : 27).
Bahkan
sebelum turun ayat ini keharusan da'wah merupakan tugas untuk memperingatkan
seluruh manusia terhadap kufur dan syirik serta menyuruh mereka supaya mengagungkan dan membesarkan asma Allah, dengan
meneladani Muhammad sebagai rasul.[12]
Di
samping itu secara rinci tujuan pendidikan dalam Islam adalah: pertama,
Untuk membentuk akhlak yang mulia, karena akhlak inti pendidikan Islam untuk
mencapai akhlak yang sempurna harus melalui pendidikan. Kedua, Persiapan
untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan agama bukan hanya menitikberatkan pada keagamaan saja, atau pada keduniaan saja
tetapi pada kedua-duanya. Ketiga, Persiapan untuk mencari rezeki dan
pemeliharaan segi manfaat atau lebih dikenal dengan prefosionalisme. Tujuan ini
adalah menyiapkan pelajar dari segi propesionalisme, teknikal dan pertukangan
supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan keterampilan pekerjaan agar dapat mencari
rezeki dalam hidup di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan. Keempat,
menumbuhkan semangat ilmiyah pada pelajar dan memuaskan keingin tahuan (curiosity)
dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri.[13]
Secara
psikologi tujuan pendidikan agama adalah:
- Pendidikan akal dan persiapan pikiran, Allah menyuruh manusia untuk
merenungkan kejadian langit dan bumi agar dapat beriman kepada Allah.
- Menumbuhkan potensi-potensi dan
bakat-bakat terutama pada manusia karena Islam adalah agama fitrah sebab
ajarannya tidak asing dari tabi'at manusia, bahkan ia adalah fitrah yang
manusia diciptakan sesuai dengannya.
3.
Menaruh perhatian pada kekuatan dan potensi
generasi muda dan mendidik mereka sebaik-baiknya, baik lelaki maupun
perempuan.
4.
Berusaha untuk menyeimbangkan segala potensi-potensi dan bakat-bakat manusia.[14]
Di
dalam al-Qur'an tujuan pendidikan adalah: pertama, mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka
bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan
mengelola bumi sesuai dengan kehendak
Tuhan. Kedua, mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas
kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah,
sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan. Ketiga, membina dan
mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu,
akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan untuk mendukung tugas
pengabdian dan kekhalifahan. Keempat, mengarahkan manusia agar berakhlak
mulia, sehingga tidak menyalahkan fungsi kekhalifahannya. Kelima,
mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
3. Metode Pendidikan Agama
Penerapan suatu metode dalam setiap
situasi pengajaran haruslah mempertimbangkan berbagai kemungkinan-kemungkinan
yang dapat mempertinggi mutu dan efektifitas suatu metode tertentu. Kalau
tidak, maka bukan saja akan berakibat proses pengajaran terhambat, akan tetapi
akan berakibat lebih jauh, yaitu tidak tercapai tujuan pengajaran sebagaimana
yang telah ditetapkannya.Namun demikian dalam proses belajar mengajar
pendidikan agama dapat diterapkan beberapa metode antara lain:
1. Metode Hiwar
Hiwar (dialog) ialah “percakapan silih
berganti antara dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai suatu topik
yang mengarah kepada satu tujuan, sehingga kedua pihak dapat bertukar pendapat
tentang suatu perkara tertentu“.[15]
Berdasarkan keterangan di atas, maka
dapat dipahami metode hiwar merupakan pengajaran agama Islam yang memfokuskan
diri dalam bentuk pertukaran pandangan antara si siswa dengan gurunya atau
sebaliknya. Bila dilihat secara seksama, metode ini mempunyai kesamaan dengan
metode tanya jawab dan metode diskusi. Adapun kedua metode tersebut adalah:
a. Metode Tanya Jawab
Metode Tanya jawab adalah “suatu
teknik mengajar yang dapat membantu kekurangan mengajar yang terdapat pada
metode ceramah, ini disebabkan karena guru memperoleh gambaran sejauhmana siswa
dapat mengerti dan dapat mengungkapkannya”.[16]
b. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah “cara
penyampaian pelajaran, dimana siswa diharapkan masalah yang berupa pernyataan
atau pertanyaan yang bersifat problematis untuk dipecahkan bersama”.[17]
2. Metode Qishah
Dalam pendidikan Islam, kisah
mempunyai fungsi edukatif yang tidak dapat diganti dengan bentuk lain selain
bahasa. Hal ini disebabkan kisah “Qur’ani dan Nabawi memiliki beberapa
keistimewaan yang membuat dampak psikologis dan edukatif yang sempurna, rapih,
dan jauh jangkauannya seiring dengan perjalanan zaman”.[18]
Adapun metode yang sama dengan metode
tersebut adalah:
a. Metode Ceramah
Metode ceramah adalah “sebuah bentuk
interaksi melalui penerapan dan penuturan secara lisan oleh seorang guru
terhadap sekelompok manusia. Guru yang berbicara, mengartikan serta menjelaskan
pokok-pokok pelajaran yang telah ditentukan dalam kurikulum”.[19]
b. Metode Demonstrasi
Meted demonstrasi adalah “metode
mengajar yang menggunakan peragaan untuk memperjelas sesuatu pengertian atau
memperlihatkan bagaimana memperlihatkan sesuatu kepada anak didik”.[20]
3. Metode Amtsal
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali
ayat-ayat dalam bentuk amtsal (perumpamaan) dalam rangka mendidik umatnya.[21]
Demikian juga dalam proses pelaksanaan pendidikan sangat banyak
perumpamaan-perumpamaan yang harus diberikan oleh seorang guru.
Adapun metode yang sama dengan metode
ini adalah metode pemecahan masalah dan metode proyek yaitu:
a. Metode Problem Solving
Problem Solving adalah “suatu cara
menyajikan bahan pelajaran dimana siswa diharapkan dengan kondisi masalah, dari
masalah yang sederhana, menuju ke masalah yang muskil”.[22]
b. Metode Proyek
Metode proyek adalah “cara mengajar
dengan jalan memberikan kegiatan belajar kepada siswa untuk memilih, merancang
dan memimpin fikiran serta perkataannya, anak-anak dilatih agar berencana di
dalam tugas-tugasnya”.[23]
4. Metode ‘Ibrah dan Mau’izah
‘Ibrah adalah suatu metode yang digunakan
untuk melakukan pertimbangan dari kejadian-kejadian yang ada dalam Al-Qur’an.
Sedangkan mau’izah adalah “metode yang penekanannya kepada memperkuat ingatan
terhadap kejadian-kejadian yang telah lalu, khususnya mengenai kisah-kisah yang
ada dalam Al-Qur’an”.[24]
Untuk lebih jelasnya, maka penulis
akan memaparkan metode-metode pengajaran tersebut sebagai berikut:
a. Metode Driil
Metode driil adalah “melakukan
kegiatan tertentu berulang kali sebagai latihan, baik yang menyangkut gerak
gerik perbuatan kecakapan tertentu dan juga terpakai untuk kegiatan-kegiatan
intelek atau ingatan, seperti menghafal berkali-kali secara mekanis dan
lain-lain sebagainya. Dalam metode ini aktifitas yang menonjol berada dipihak
siswa”.[25]
b. Metode Resitasi
Metode resitasi adalah “suatu cara
dalam proses belajar-mengajar manakala guru memberikan tugas tertentu dan siswa
mengerjakannya, kemudian tugas tersebut dipertanggungjawabkan”.[26]
c. Metode Eksperimen
Titik berat dari pada percobaan adalah
“melakukan percobaan-percobaan oleh siswa sendiri setelah dalil-dalilnya
diketahui dan difahami dengan maksud untuk lebih jelas dan kongkrit tentang
teori-teori yang diketahuinya. Biasanya metode ini memerlukan alat-alat
tertentu bahkan, laboratorium disebut juga laboratorium method”.[27]
Berdasarkan keterangan-keterangan yang
telah penulis kemukakan di atas, maka menurut pengamatan penulis, metode
pengajaran agama yang paling sering dan sangat dominan digunakan adalah metode
ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, dan resitasi. Sebab kelima metode tersebut
mempunyai relevansi dengan pengajaran mata pelajaran agama. Tanpa adanya
kombinasi kelima metode tersebut, maka pengajaran agama tidak akan berhasil
seperti yang diharapkan.
C. Peran Pendidikan Agama
dalam Kehidupan
Memberikan pendidikan agama merupakan
salah satu tanggung jawab orang tua dalam agama Islam yang bertujuan untuk
memberikan pemahaman, penghayatan, dan pengamalannya dalam kehidupan
sehari-hari. Pendidikan agama termasuk salah satu unsur terpenting dalam
mengembangkan simbol keagamaan, karena dengan pendidikan ini, seseorang dapat
mengetahui hal-hal yang berkaitan langsung dengan pengabdian manusia kepada
Khaliqnya.
Proses belajar mengajar pendidikan
agama mempunyai fungsi dan peranannya yang amat luas, baik di dalam tujuan
pokok maupun di dalam tujuan sementara. Karena hal tersebut menyangkut keimanan
dan ketaqwaan kepada Allah SWT sudah sejak awal menjadi ciri dan unsur pokok
umat manusia.
Iman dapat diartikan dengan “keyakinan
yang mantap akan adanya keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, syari’at serta
keputusan-Nya, Maha Pencipta segalanya Dialah satu-satunya Tuhan yang berhak
disembah dengan sebenarnya, tiada Tuhan selain Dia”.[28]
Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa:
عن أبى عمرو وقيل أبى عمرة سفيان بن
عبدالله رضي الله عنه قال قالت يارسول الله قل لى فى الإسلام قولا أسأل عنه أحدا غيرك، قال:
قل أمنت بالله، ثم استقم (رواه مسلم)
Artinya: Abu Amar atau Abu Amrah
Aufan bin Abdullah Rasulullah saw berkata: wahai Rasulullah, katakanlah
kepadaku satu perkataan dalam Islam yang tidak akan pernah aku tanyakan kepada
selain engkau”. beliau bersabda, “katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian
beristiqamah”. (H. R. Muslim)[29]
Keyakinan
yang teguh dan mantap terhadap Allah, kemudian dijabarkan kepada rukun-rukun
iman yang lain, yaitu beriman kepada Malaikat, Kitab-Kitab(samawi), para Rasul
alaihimussalam, iman kepada adanya hari kiamat serta qadha dan qadar Allah,
yang kemudian membentuk aqidah Islamiah yang kuat dan mantap didalam setiap
muslim.
Akan
tetapi konsep iman yang dibicarakan dalam bacaan pada umumnya mengacu pada
masalah berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Mahmud Syaltut, yang
dimaksud dengan keimanan “mengamalkan apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi
saw dan para sahabatnya; disebut “taqwa” karena mereka teguh mengikuti sunnah
Nabi saw; disebut muslimin, karena mereke berpegang di atas al-haq (kebenaran),
tidak berselisih dalam agama, mereka terkumpul pada para imam al-haq, dan
mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama”.[30]
Karena itu mengikuti sunnah Rasulullah
Saw, maka mereka disebut dengan ahlul hadits, ahlul autsar, ahlul ‘ittiba’,
thaifah al-mansurah (kelompok yang dimenangkan), dan firqah an-najah (golongan
yang selamat).[31] Oleh karena itu,
mempelajari pendidikan agama merupakan suatu kewajiban bagi kaum muslimin yang hendak
beriman kepada secara teguh kepada Allah SWT. Islam sangat menghargai
orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan beriman, karena orang yang
berilmu dan beriman dapat menjalani hidup yang lebih sempurna dibandingkan
dengan orang yang tidak berilmu. Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat
al-Mujadalah ayat 11 sebagai berikut:
يرفع الله الذين أمنوا منكم والذين أوتوا
العلم درجت والله بما تعملون خبيرا (المجادله: ١١)
Artinya: Allah meninggikan derajat
orang-orang yang beriman di antara kamu sekalian, dan orang-orang yang berilmu
pengetahuan dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadalah:
11)
Keterangan ayat di atas
mendeskripsikan bahwa orang yang memiliki
ilmu pengetahuan serta mampu mengaplikasikannya kepada kehidupan
sehari-hari akan ditingkatkan derajatnya oleh Allah SWT. Akan tetapi, untuk
memperoleh ilmu pengetahuan diperlukan belajar dengan rajin, karena hanya
dengan belajar ilmu pengetahuan dapat diperoleh dengan maksimal hingga derajat
kemanusiaanya menjadi tinggi dibandingkan orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
dilihat dengan jelas bahwa pendidikan agama sangat dibutuhkan dalam kehidupan
manusia. Sebab dalam pendidikan agama menerangkan tentang tata cara manusia
mengabdikan kepada Allah SWT, serta menjelaskan tentang konsep berakhlak kepada Allah SWT, kepada sesama manusia
dan lingkungannya. Tanpa mempelajari pendidikan agama, maka tentunya hal
tersebut tidak diketahui sama sekali, yang pada akhirnya akan menggelincirkan
manusia kepada jalan kesesatan baik di dunia maupun di akhirat.
[2]Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan..., hal. 88
[3]Yahya, dkk Mendidik Anak yang Berprestasi,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 1
[4]Widayatun, Mencari Siswa yang
Berprestasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999) hal. 110-111
[5]Thoha, Filsafat Pendidikan, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1993), hal. 55
[8]Roestiyah N. K., Strategi Pengajaran Ilmu
Eksact, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 45
[9]M. Nasir Budiman, Pendidikan Dalam Persepektif
Al-Qur'an, (Jakarta: Madani Press, 2001), hal. 1.
[10]Khursyid
Ahmad, Prinsip-prinsip
Pendidikan Islam, terj. A.S Robith (Surabaya: Pustaka Progresif, 1992),
hal. 14.
[11]Abudin Nata, Metodologi Studi Islam,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000),
hal. 292.
[12]Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam,
(Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 119.
[14] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu
Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995). hal. 61.
[15]Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam,
cet. II, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hal. 113
[16]Zakiah Daradjat, Metode Khusus Pengajaran Agama
Islam, Cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 20
[17]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein, Strategi
Belajar Mengajar, hal. 99
[19]Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam,
Terj. Sori Siregar, )Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hal. 71
[20]Indrakusuma, dkk., Pengantar Ilmu Pendidikan,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1973), hal. 236
[21]Ibid., hal. 121
[22]Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Metode
Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995), hal.
94
[25]Sutari Imam Bernadib, Pengantar Ilmu Pendidikan
Sistematis, (Yokyakarya: Andi Offset, 1993), hal. 89
[26]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), hal. 237
[27]Sudjono Trimo, Perkembangan Pendidikan,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 1986), hal. 95
[28]Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, (Beirut:
Wasyirkah al-Halabi al-Babi, 1953), hal. 122
[30]Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, (Mesir:
Dar al-Kutub, t.t.), hal. 65
0 Comments
Post a Comment